MAZHAB AL-ZAHIRI (IMAM DAWUD BIN KHALAF AL-ISFAHANI): TELAAH HISTORIS DAN METODOLOGIS
A. Pendahuluan
Salah satu mazhab fikih yang pernah hidup dan berkembang di dunia Islam
adalah mazhab az-Zahiri. Nama ini memang tak sepopuler empat mazhab yang lain,
seperti Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali. Namun, dalam sebahagian
kitab-kitab fikih, mazhab ini selalu diperhitungkan sebagai pembanding dengan
mazhab yang lain. Mazhab az-Zahiri muncul sekitar
abad ketiga Hijriyah di Irak. Didirikan oleh seorang ahli hukum (fakih) bernama
Dawud bin Khalaf al-Isfahani.
Dawud bin Khalaf al-Isfahani adalah putra dari seorang sekretaris
(katib) hakim di Isfahan pada masa Khalifah al-Ma’mun. Dia mempelajari fikih
dari tokoh-tokoh mazhab Syafi‘i, seperti Abu Saur Ibrahim bin Khalid Yamani
al-Kalbi dan Ishaq bin Rahawah. Bahkan, seperti dikemukakan Abu Zahrah,
pemikiran hukum Dawud mungkin disebabkan oleh pengaruh yang
"berlebihan" dari kegigihan Imam Syafi‘i dalam membela kedudukan
sunah sebagai sumber hukum Islam di zamannya. Di saat-saat sejumlah fakih (ahli
hukum Islam) mengabaikan sunah, bahkan ada kelompok yang disinyalir inkarsunah.
Dengan latar belakang pendidikan yang demikian, ia berpaling dari mazhab
Hanafi yang dianut oleh ayahnya. Akan tetapi, Dawud sendiri bukan penganut
mazhab Syafi‘i, melainkan mendirikan mazhab atas namanya sendiri, mazhab
ad-Dawudi yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan mazhab az-Zahiri. Inti
pokok dari paham mazhab az-Zahiri ini berkisar pada masalah sumber hukum dan
cara memahaminya. Menurut mazhab ini, sumber hukum fikih hanya nash dalam arti
Alquran dan sunah. Dalam hal tertentu, mazhab ini menerima ijmak para sahabat.
B.
Sekilas
tentang Biografi Imam Dawud Bin Khalaf
Nama
Iengkapnya ialah Dawud ibn 'Ali ibn Khalaf al-Asfihani. la di kenal sebagai ahli
dhahir dan penentang qiyas dan illat.
Dikatakan ahli dhahir, sebab ia mengambil dan menentukan hukum dari suratan
teks al Qur'an dan al-Sunnah, yang dalam bahasa Arab disebut dhahirnya Nash.[1]
Beliau
dilahirkan di Kufah pada tahun 202 H dan meninggal di Bagdad pada tahun 270 H.
Ayahnya adalah panitra Qadhi Abdullah bin Khaliq al-Kufiy yang bertugas di
Afganistan pada masa al- Ma’mun khalifah ke 7 dari bani Abbas.Tokoh ini lebih
populer dikenal dengan sebutan Daud az-Zahiriy karena dalam melakukan istinbat
hukum lebih menekankan dan berpegang pada zahir nash al-Kitab dan al-Sunnah.[2]
Imam Daud az-Zahiriy
bertempat di Bagdad dan asalnya dari kalangan penduduk Qasyam, beliau bermazhab
syafi’i dan amat teguh memegang hadits sedang ayahnya bermazhab Hanafi, namun
pada akhirnya beliau menentang mazhab Syafi’i mempergunakan qiyas dan memandangnya
sebagai sumber hukum.[3]
Dalam
mempelajari hadis Nabi beliau belajar pada seorang ulama hadis terkenal pada
masanya Ishaq ibn Rawahaih. Demikian juga ia selalu menerima dan menemui para
ulama dalam usahanya mempelajari dan mengumpulkan berbagai hadits. Beliau juga
merupakan seorang ulama yang terkenal anti taklid. Beliau juga memiliki
kemampuan luar biasa dalam bidang tulis menulis, akan tetapi hasil karyanya itu
sudah lama menghilang bersama dengan para penukilnya.[4]
C.
Lingkungan
latar sosial budaya Masa Dawud Bin Khalaf
Mazhab ini muncul sebagai reaksi terhadap beberapa
pemikiran, terutama di bidang fikih yang berkembang pada abad kedua Hijriyah.
Pada abad itu terjadi pertentangan antara ahlulhadis (golongan yang
dalam menetapkan hukum berpegang pada Alquran dan hadis, tidak mau menggunakan
ijtihad) dan ahlur ra’yi (golongan yang dalam menetapkan hukum selain berpegang
pada Alquran dan hadis juga menggunakan akal pikiran atau ijtihad).
Pada waktu
yang sama, telah lahir pula gerakan Batiniah di kalangan kaum Syiah, suatu
aliran yang hanya mengambil arti batin dari nash. Selain daripada itu, telah
lahir pula aliran Muktazilah yang memandang akal lebih utama dan lebih
menentukan daripada wahyu dalam menetapkan segala persoalan agama. Mazhab
az-Zahiri lahir sebagai reaksi terhadap aliran-aliran yang berkembang di masa
itu, terutama aliran Batiniah kaum Syiah.
Dalam sejarah
perkembangannya, mazhab az- Zahiri ini pernah berkembang pesat dan tersebar
luas serta mempunyai pengikut yang tidak sedikit
jumlahnya. Pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, az-Zahiri merupakan mazhab
fikih keempat di dunia Islam, setelah mazhab Syafi‘i, mazhab Hanafi, dan mazhab
Maliki.[5]
D.
Pendidikan,
Guru dan Murid Imam Dawud Bin Khalaf
Tokoh yang
dijuluki Abu Sulaiman ini dibesarkan dan berdomisili di Baghdad sampai
meninggal dunia. Ia meninggal di Baghdad pada bulan Ramadhan dan dikuburkan
disana. Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafidz dan pendiri
madzhab al-dzohiry. Beliau merantau ke Naisabur dan besar di Baghdad. Pada
mulanya ia merupakan penganut fanatik madzhab syafi’i, dan termasuk orang yang
begitu mencintai sang Imam sehingga menulis dua buku mengenai keutamaan dan
sanjungan kepada Imam Syafi’i. Meskipun ayahnya seorang penganut madzhab
Hanafi. Beliau belajar tidak langsung kepada Imam Syafi’i, akan tetapi dari
murid dan sahabat Imam Syafi’i, karena ia baru berusia 4 tahun ketika Imam
Syafi’i wafat.
Di samping
mempelajari fiqh Syafi’i, beliau juga mempelajari hadits dari
para muhadits semasanya. Beliau menerima hadits dari orang-orang yang
bermukim di Baghdad, kemudian berkunjung ke Naisabur, Iran, dan meriwayatkan
hadits dari para muhadits negeri tersebut. Beliau menyusun
hadits-hadits yang diriwayatkan di dalam bukunya sehingga-ketika berorientasi
ke fiqh Zhahiri- fiqhnya merupakan hadits yang di riwayatkannya oleh
beliau.[6]
Namun tidak
lama menganut madzhab ini beliau keluar dan berkata “sesungguhnya sumber-sumber
hukum Islam adalah nash-nash saja”. Ia menolak dan tidak
mengikuti qiyas. Ketika ditanya, bagaimana Anda
membatalkan qiyas padahal Imam syafi’i menganutnya? beliau menjawab,
‘saya mengikuti argumentasi Syafi’i dalam membatalkan Istihsan, maka
saya juga menemukan adanya pembatalan pada qiyas’.
Daud az-Zhahiri termasuk dalam tingkatan imam mujtahid. Keluasan ilmu
dan pengaruhnya di masyarakat dapat dilihat dari banyaknya yang hadir di majlis tempat ia
mengajar. Dikatakan, setiap harinya ada empat ratus orang yang hadir di majlis
Imam Daud. Imam Daud seorang mujtahid, muhaddits, hafiz, zahid dan
wara’. Diantara guru beliau adalah Ishaq bin Rahawaih dan Abu
Tsaurin. Beliau dikenal sebagai tokoh yang tidak terikat pada pendapat
jumhur atau mayoritas ulama. Ia sering menggunakan majlis studi sebagai ajang
argumentasi dan mengajak untuk berfikir berdasarkan orientasi Alquran dan
Sunnah semata.[7]
Daud mempunyai
murid yang cukup banyak. Dinyatakan bahwa pada majelisnya terdapat lebih kurang
empat ratus orang murid yang berserban hijau. Di antara murid-muridnya itu ada
yang menjadi ulama yang cukup menonjol, seperti: Ibrahim bin Muhammad
Naftawaih, seorang ahli nahwu di samping ahli fikih, Zakaria bin Yahya al-Saji,
'Abbas bin Muhammad Muzakkar, Muhammad bin Daud, dan Yusuf bin Ya'qub serta
'Abd Allah bin al-Muglis, Sepeninggal mereka masih cukup banyak yang mendukung
dan membela mazhabnya. Di antaranya ialah: Ahmad bin Muhammad al-Qadhi
al-Mansuri, 'Abd Allah bin 'Ali bin Husain bin Muhammad al-Nakhai, dan 'Abd
al-Aziz Ahmad al-Jazri al-Asfiharti. Disamping nama-nama tersebut, Ibn al-Nadim
juga menyebut-nyebut nama 'Abd al-Mun'im bin Tulail al-Tamimi al-Nasafi (w. 346
H.), seorang yang terkenal ketaatannya dan disebut-sebut sebagai pengikut Daud.[8]
E.
Karya Dawud
Bin Khalaf (1/2 halaman)
Mazhab Zahiri
memiliki banyak karangan yang terdiri dari berbagai bidang, di antaranya
meliputi bidang fiqih, ushul fiqih, dan bidang lainnya. Karangan-karangan
tersebut diantaranya:
1.
Kitab al-Hujjah (buku
tentang argumentasi)
2.
Kitab al-Khabar al-mujib li
al-‘Ilm (buku mengenai informasi keilmuan)
3.
Kitab al-Khusus wa
al-Umum (buku tentang penjelasan mengenai lafal umum dan khusus)
4.
Kitab al-Mufassar wa
al-Mujmal (buku mengenai lafal yang jelas dan tidak jelas pengertiannya)
5.
Kitab Ibthal al-Qiyas (buku
yang membahas masalah penolakan terhadap qiyas)
6.
Kitab Ibthal
al-Taqlid (buku yang berisi penjelasan mengenai larangan bertaqlid)
7.
Kitab Khabar
al-Wahid (buku tentang hadits ahad).[9]
F.
Area Pengaruh
Mazhab Zhahiri
Mazhab Zhahiri berkembang pesat di wilayah Irak dan
sekitarnya pada kurun abad ke 3 dan ke 4 H. Mazhab Zhahiri adalah mazhab
ke empat di negeri Timur setelah Hanafiy, Syafi’iy, dan Malikiy. Kemudian
disusul Hanbaliy. Namun pada abad ke 5 H, di bawah al-Qadhi Ibn Abi Ya’la (w.
458), Mazhab Hanbali berkembang mengalahkan Mazhab Zhahiri.[10]
Mazhab Zahiri banyak mendapat tantatangan dan perlawanan yang hebat. Hal
ini dikarenakan Imam Daud melarang taklid secara mutlak sekalipun itu orang
awan. Jika ia tidak mampu berijtihad hendaknya bertanya kepada orang yang mampu
memberikan penjelasan dalil Alquran, Sunnah ataupun ijma’.[11]
M. Abu Zahroh menulis, ada dua faktor penyebab mazhab ini tersebar:
1. Karya-karya Imam Daud. Ia telah menulis sejumlah buku yang kesemuanya
berisi Sunnah dan Atsar, menyangkut penetapan
dalil-dalil furu’ fikih mazhab Zhahiri, penjelasan
hukum dan ketercakupan nash-nash terhadap
permasalahan-permasalahan yang timbul.
2. Para murid yang turut menyebarkan mazhab ini -terutama anaknya Abu Bakr
bin Daud- yang mengajak masyarakat kepada mazhab Zhahiri dengan
mengumandangkan kedudukan Sunnah pada saat banyaknya corak ragam fikih dan
mazhab-mazhab yang muncul.[12]
Pada saat Mazhab Zhahiri mundur di negeri Timur, Mazhab ini benderang di Andalusia. Bukan
karena banyaknya pengikut melainkan karena sosok intelektual cemerlang Ibn
Hazm. Seorang tokoh yang memiliki argumentasi kuat dan berpengetahuan luas
dibidang fikih, filsafat, sastra, dan kebudayaan. Ibn Hazm berjasa besar
melestarikan Mazhab Zhahiri sehingga furu’ dan ushul mazhab
tidak berserakan di buku-buku dan dalam mazhab-mazhab lain.[13]
Karya Ibn Hazm termasuk dalam deretan karya-karya besar khazanah Islam.
Benih-benih mazhab Zhahiri sudah terdapat di Andalusia sejak Imam Daud masih hidup. Pada Abad
ke tiga Hijriah, sekelompok ulama Andalusia melakukan perjalanan ilmiah ke
Negeri Timur (Baghdad) dan bertemu dengan Imam Ahmad dan juga para tokoh ulama
seperti Imam Daud dan lainnya. Para ulama ini lalu menyebarkan apa yang mereka
dapati dari Timur berupa Sunnah, atsar, dan juga mazhab. Diantara
mereka ada yang menyebarkan mazhab tersebut.
G.
Karakteristik
Metode Istimbath dan Pendekatan Dawud Bin Khalaf dalam Memahami Nash
Dalam sejarah pengkajian hukum Islam, dikenal beberapa madzhab fiqh,
yang secara umum terbagi menjadi dua, yaitu madzhab Sunni dan Syi’i. Dikalangan
Sunni terdapat beberapa madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali,
Dhahiri, Auza’I, Thabari dan Laits. Sementara dikalangan Syi’ah terdapat dua
madzhab fiqh yaitu Zaidiyah dan Ja’fariyah. Namun yang berkembang kini hanyalah
madzhab Ja’fariyah dan Syi’ah Imamiyah.
Seperti disebutkan di muka, bahwasanya Imam Daud Az Zhohiri yang sempat
mengagumi Imam Syafi’I akhirnya menolak ijtihad beliau tentang qiyas, kemudian
Daud al-zhahiri mengemukakan teori kajian hukum yang lebih menekankan pada
pengalaman literaris untuk diaplikasikan pada kenyataan kehidupan mukallaf. Dan
itulah menurutnya yang disebut istidlal. Dengan demikian, menurutnya sumber
hokum itu adalah al-Qur’an dan al-Sunnah. Kemudian menurutnya ijtihad hanya
dapat dilakukan untuk mengaplikasikan pesan ayat pada kehidupan dan
perbuatan mukallaf.
Adapun yang menjadi pedoman serta alasan Imam Daud al-zhahiri dalam
menetapkan suatu hukum antara lain sebagai berikut :
1. Al-qur’an.
Pegangan utama dari madzhab dhahir ialah
dzahir nash-nash yang diambil daripada al-Qur’an. Hujah serta alasan yang
dikemukakan oleh beliau dikarenakan semuanya tertulis lengkap dan dijelaskan di
dalam al-Qur’an. Baik penjelasan secara langsung daripada al-Qur’an itu sendiri
atau dijelaskan dengan Hadits. Dengan kata lain, madzhab ini secara
toeritis berdasarkan lafadz zhahir dari nash al-Qur’an dan Hadits selama tidak
ada dalil atau keterangan lain yang membolehkan ayat al-Qur’an ataupun Hadits
tersebut diabaikan atau ditinggalkan.
2. Hadits.
Selain daripada al-Qur’an, madzhab
tersebut juga menggunakan dalil dari makna zhahir nash-nash yang dikutip
hadits. Sebagaimana diketahui al-Qur’an dan Hadits saling melengkapi
menjelaskan terhadap hukum dari al-Qur’an yang masih perlu penjelasan Hadits.
3. Ijma’.
Madzhab zhahiri hanya menerima ijma’
sebagai sumber hukum ketika tidak ada dalil dari nash saja. Selain itu ijma’
dapat diterima dengan berdasarkan syarat tertentu pula yaitu ijma’ tersebut
harus merupakan hasil kesepakatan dari seluruh ulama’ dan mujtahid yang ada,
sesuai dengan pengertian ijma’ yang dikemukakan ulama’ ushul fiqh, bukan hanya
dari kesepakatan golongan yang ada diwilayah tertentu saja.
4. Ijtihad.
Imam Daud al-Zhahiri juga membuka ruang
atau pintu ijtihad, tetapi tidak menerima segala sumber hukum seperti Qiyas,
istihsan, maslahah mursalah, dan metode istinbath lainnya yang didasarkan pada
ra’yu.[14]
H.
Analisis
Mazhab az-Zhahiri dibangun atas tekstualitas dalam
menafsirkan hukum. Ia mengambil pemahaman dari teks secara penuh. Jika suatu
hukum tidak didapati dalam teks, maka ia menggunakan ijma’ sahabat. Jika tetap
tidak ada, ia mengambil ijma’ umat Islam. Adapun sumber hukum yang tidak
disepakati seperti qiyas, istihsan, saddu adz-dzariah, dan lain-lain, ditolak
oleh Az-Zhahiri. Secara umum, mazhab ini hanya mengakui Al-Qur’an dan sunah
sebagai sumber hukum yang sah, yang dipahami dengan tekstual. Sehingga, mereka
melarang penggunaan ra’yu (akal).[15]
Dari sudut tinjauan historis, Az-Zhahiri memang lebih muda dari tokoh-tokoh mazhab sunni lainnya seperti Imam Abu Hanifah (w. 767 M); Imam Malik ibn Anas (w.
795 M); Imam al-Syafi‘i (w. 819 M) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 855 M). Oleh
karena masanya yang sangat berdekatan, maka kelihatannya keberadaan mazhab
zahiri ini menjadi kalah populer dari mazhab-mazhab tersebut. Keempat tokoh
yang disebut selain berpegang kepada nash, mereka juga melakukan penalaran dalam istinbat-nya, sementara Dawud ibn ‘Ali mengajak untuk hanya berpegang kepada
nash dan meninggalkan penalaran.
Melihat kecenderungan aliran al-Syafi‘i yang sangat kuat berpegang
kepada nash, telah mendorong Dawud banyak menemui guru-guru hadis yang tersohor pada
masanya, seperti Sulayman ibn Harb, al-Qa‘nabi, ‘Umar ibn Marzuq, Musaddad ibn
Musarhad dan disebut juga bahwa ia mempelajari hadis dari Ishaq ibn Ibrahim
al-Hanzali yang populer dengan nama Ibn Rahawayh. Kekayaan perbendaharaannya di
lapangan hadis ini telah membuatnya merasa tidak memerlukan sarana lain (selain
nash) untuk menyelesaikan problematika yang timbul dalam bidang hukum. Atas
dasar itu mulailah ia menawarkan metode (manhaj) zahiri-nya dan menolak penggunaan qiyas sebagai sumber hukum. Ia menegaskan:
“Sesungguhnya
dasar-dasar penetapan hukum Islam adalah al-Kitab, sunnah dan
ijma’ saja. Adapun qiyas tidak boleh dipakai sebagai dasar penetapan hukum.
Qiyas pertama sekali digunakan oleh Iblis”
Sampai abad ke-4 H, perkembangan mazhab zahiri ini masih terbatas di
wilayah Irak dan seberang sungai Oxus (Transoksania). Memang seperti telah
disebut, keberadaan mazhab zahiri setelah mazhab-mazhab lain membuatnya lambat
berkembang.
Ada beberapa faktor, yang menyebabkan lambannya perkembangan tersebut:
1.
Karena mazhab-mazhab yang empat
telah demikian tersiar dan dianut oleh kaum muslimin, misalnya
mazhab Hanafi di Irak, mazhab al-Syafi‘i di daerah Hijaz, Siria dan Mesir,
mazhab Maliki di daerah Barat (al-Maghrib ) dunia Islam dan mazhab
al-Hanbali juga di Irak.
2.
Penolakannya terhadap penggunaan
qiyas yang berarti berbeda dengan anutan mayoritas ulama, membuatnya mendapat
serangan/kritik yang pedas dan bertubi-tubi yang pada gilirannya membuat orang
tidak mau mengikutinya.
3.
Tersiar bahwa Dawud ibn ‘Ali
menganut faham bahwa al-Qur’an itu baharu (khalq al-Qur’an) dan orang yang
ber-hadath besar (karena janabah atau hayd) boleh menyentuh dan membaca
al-Qur’an. Pendapat mana pada masanya berbeda dengan yang dianut mayoritas
Fuqaha’.[16]
I.
Kesimpulan
Nama Iengkapnya ialah Dawud ibn 'Ali ibn Khalaf al-Asfihani. la di
kenal sebagai ahli dhahir dan penentang qiyas dan illat. Dikatakan ahli dhahir, sebab ia mengambil dan
menentukan hukum dari suratan teks al Qur'an dan al-Sunnah, yang dalam bahasa
Arab disebut dhahirnya Nash. Mazhab ini muncul sebagai reaksi terhadap beberapa
pemikiran, terutama di bidang fikih yang berkembang pada abad kedua Hijriyah.
Pada abad itu terjadi pertentangan antara ahlul hadis dan ahlur ra’yi. Pada
waktu yang sama, telah lahir pula gerakan Batiniah di kalangan kaum Syiah serta
telah lahir pula aliran Muktazilah.
Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafidz dan pendiri madzhab
al-dzohiry. Beliau merantau ke Naisabur dan besar di Baghdad. Di samping
mempelajari fiqh Syafi’i, beliau juga mempelajari hadits dari
para muhadits semasanya. Mazhab Zahiri memiliki banyak karangan yang
terdiri dari berbagai bidang, di antaranya meliputi bidang fiqih, ushul fiqih,
dan bidang lainnya. Mazhab Zhahiri berkembang pesat di wilayah Irak dan
sekitarnya pada kurun abad ke 3 dan ke 4 H. Mazhab az-Zhahiri dibangun atas
tekstualitas dalam menafsirkan hukum. Secara umum, mazhab ini hanya mengakui
Al-Qur’an dan sunah sebagai sumber hukum yang sah, yang dipahami dengan tekstual. Sehingga, mereka melarang penggunaan
ra’yu (akal).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi, Istinbat Hukum Islam Perspektif Az Zahiri, Nurani, Vol. 14, No. 2, Desember 2014: 27 – 48, H. 38-39.
Ahmad Qarib,
Metode Ijtihad Mazhab Zahiri (Studi Tentang Pemikiran Ibnu Hazm Al-Andalusi),
H. 20-21.
Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Cet. Ii; Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), H.231.
Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, H. 175.
Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, Ter. Halid Alkaf, Cet. 1
(Jakarta:Penerbit Lentera, 2001) H, 175.
Http://Imanhsy.Blogspot.Com/2011/06/Biografi-Dan-Metode-Ushul-Fiqh-Imam.Html,
Http://Ulumsyareah.Blogspot.Com/2013/04/Mazhab-Az-Zhahiri-1-Pendiri-Dan.Html,
Https://Ibtimes.Id/Az-Zhahiri-Pendiri-Mazhab-Fiqh-Tekstual/,
Https://Mahira12.Blogspot.Com/2018/05/Biografi-Imam-Daud-Adz-Dzohiry-V.Html,
Https://Www.Republika.Co.Id/Berita/Os912f313/Mengenal-Mahzab-Azzahiri,
Huzaimah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan
Mazhab (Cet. 1 Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997), H.153
M. Abu Zahroh, Tarikh Al- Mazahib Al-Islamiyah (Dar Al-Fikr Al-Arabi, Tth.) Juz 2, H. 350.
M.A. Tihami, Dawud Al-Dhahiri Dan Aliran
Al-Dhahiriyah, Jurnal Al-Qalam No. 52/X/1995.
Penulis IAIN Syarif
Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, H.
207.
[1] M.A. Tihami, Dawud Al-Dhahiri Dan
Aliran Al-Dhahiriyah, Jurnal Al-Qalam
No. 52/X/1995.
[2] Huzaimahtahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Cet. 1 Jakarta Logos Wacana Ilmu,
1997), H.153
[3] Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Cet. Ii; Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), H.231.
[4] Ibid, H. 155.
[8] Ahmad Qarib, Metode Ijtihad Mazhab Zahiri
(Studi Tentang Pemikiran Ibnu Hazm Al-Andalusi), H. 20-21.
[9] Penulis Iain Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi
Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, H. 207.
[10] Dr.
Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, Ter. Halid Alkaf, Cet. 1
(Jakarta:Penerbit Lentera, 2001) H, 175.
[11] M.
Abu Zahroh, Tarikh Al- Mazahib Al-Islamiyah (Dar Al-Fikr Al-Arabi, Tth.)
Juz 2, H. 350.
[12] Ibid, H. 351.
[13] Dr.
Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, H. 175.
[16] Abdul Hadi, Istinbat Hukum Islam Perspektif Az Zahiri, Nurani, Vol. 14, No. 2, Desember 2014: 27 – 48, H. 38-39.
Komentar