Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2019

Upaya Hukum Banding

Upaya banding, yaitu permintaan atau permohonan salah satu pihak yang berperkara agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama diperiksa ulang dalam pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Agama. Apabila salah satu atau kedua belah pihak dalam suatu perkara tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama karena merasa haknya terganggu dengan adanya putusan itu atau menganggap putusan tersebut tidak benar dan belum adil, maka ia dapat mengajukan banding. Upaya hukum banding adalah hukum agar perkara yang telah diputuskan oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi karena pihak yang mengajukan belum puas dan tidak menerima keputusan pengadilan tingkat pertama. Berdasarkan Pasal 61 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, atas penetapan dan putusan pengadilan agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara kecuali apabila undang-undang menetukan lain. Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan

Upaya Hukum Verzet

Upaya Hukum Terhadap Putusan Verstek Bahwa  menurut Pasal 129 HIR, Pasal 153 RBG yang mengatur berbagai aspek mengenai upaya hukum terhadap putusan verstek adalah   sebagai berikut : ·       Ayat (1) menegenai bentuk upaya hukumnya, yaitu perlawanan atau vezet, ·       Ayat (2) mengenai tenggang waktunya. ·       Ayat (3) mengatur cara pengajuan upaya hukumnya. ·       Ayat (4) mengatur permintaan penundaan eksekusi putusan verstek . ·       Ayat (5) ketentuan tentang pengajuan verzet terhadap verstek . Bentuk Upaya Hukum Perlawanan ( Verzet ). Berdasarkan Pasal 129 ayat (1) atau Pasal 83 Rv upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan verstek adalah perlawanan atau verzet . Atau biasa juga disebut Verzet tegen verstek atau perlawanan terhadap putusan verstek . Jadi apabila tergugat dijatuhkan putusan verstek sedang ia keberatan terhadap putusan tersebut maka ia dapat mengajukan upaya hukum perlawanan verzet bukan upaya hukum banding, dan jika diajukan upa

Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Agama

Pada asasnya peradilan perdata menganut asas persidangan terbuka untuk umum, namun hal tersebut dikecualikan dalam pemeriksaan perkara perceraian, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 80 ayat (2) UU No 7 Tahun 1989 jo Pasal 33 PP No 9 Tahun 1975 yang menyatakan “Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.” Proses beracara yang harus dilalui bagi mereka yang sedang berperkara di peradilan agama adalah: Ø   Pemeriksaan dilakukan selambat-lambatnya 30 hari sejak tanggal surat gugatan/permohonan didaftarkan. Hal ini diatur dalam Pasal 68 ayat (1) dan Pasal 131 KHI untuk perkara cerai talak, dan untuk perkara cerai gugat diatur dalam Pasal 80 ayat (1) jo Pasal 141 ayat (1) KHI. Ø   Pada pemeriksaan sidang pertama yang telah ditentukan, suami istri harus hadir secara pribadi dan majelis hakim berusaha mendamaikan kedua pihak yang berperkara (Pasal 82 UU No 7 Tahun 1989). Ø   Apabila usaha tersebut tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua pihak berperkara