kaidah ghoiru asasiyah



III.             Pembahasan
A.    Pengertian Kaidah Ghoiru Asasiyah yang Mukhtalaf Fiha
Qawaidul Fiqhiyyah berarti dasar-dasar yang berhubungan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fikih) sebagaimana yang telah disebutkan dalam materi yang telah lampau. Qawaidul fiqhiyyah ini mencakup kaidah – kaidah asasi dan ghairu asasi. Qawaid fiqhiyyah asasiyyah yaitu kaidah pokok dari segala kaidah fiqh yang ada. Kaidah ini dipergunakan untuk menyelesaikan masalah furuiyyah. Sedangkan qawaid fiqhiyyah ghairu asasiyyah berarti kaidah-kaidah umum fikih yang bukan kaidah asasiyyah seperti yang diuraikan sebelumnya. Kaidah tersebut adalah kaidah-kaidah umum yang ruang lingkup dan cakupannya luas. Kaidah ini berlaku dalam berbagai cabang hukum fikih.[1]
Qawaid fiqhiyyah ghairu asasiyyah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kaidah ghairu asasiah muttafaq ‘alaih ( yang tidak dipertentangkan ), dan kaidah ghairu asasiah mukhtalafah fiha ( yang dipertentangkan ). Adapun kaidah ghairu asasiah yang tidak dipertentangkan banyaknya ada empatpuluh kaidah. Kaidah ini tidak asasi, tetapi keberadaannya tetap didudukkan sebagai kaidah yang penting dalam hukum islam, karena itu dalam kalangan fuqaha sepakat kehujjahan kaidah ini. Tentu saja kaidah ini tidak terlepas dari sumber hukum , baik alquran maupun al sunnah. Karena itulah kaidah ini disebut sebagai kaidah kulliah ( kaidah universal ).
Sedangkan kaidah yang mukhtalafah ini banyaknya ada duapuluh kaidah. Menurut al suyuthi, kedua puluh kaidah tersebut tidak dapat ditarjih (diunggulkan) salah satunya. Hal ini dikarenakan kedua puluh kaidah tersebut mempunyai dasar hukum masing – masing.[2] Berikut akan dijelaskan mengenai kedua puluh kaidah tersebut.

B.     Macam-Macam Kaidah Ghoiru Asasiyah yang Mukhtalaf Fiha Beserta Contohnya
Menurut Abdurrahman as-suyuthi dalam “Al_Asybah Wa Nadhoir” menyebutkan 20 (dua puluh) kaidah yang diperselisihkan, yaitu:
Kaidah pertama
الجمعة ظهر مقصورة او صلاة على حالها
“salat jum’at merupakan salat zuhur yang dipersingkat, ataukah salat sebgaimana mestinya.” (as_suyuthi. TT:109).
Menaggapi kaidah tersebut ada dua macam pendapat:
1.      Salat jum’at sebagai salat dzuhur yang diringkas, karena itu orang yang sedang bepergian boleh menjamak jum’at dengan ashar, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir.
2.      Salat jum’at sebagai keadaan salat jum’at sendiri bukan merupakan salat yang lain, karena itu niatnya harus niat salat jum’at bukan salat dzuhur.
Apabila salat jum’at diniati dengan salat dzuhur yang diringkas, maka menurut hakikatnya sudah sah, tetapi menurut fungsinya tidak sah, karena niat itulah sebenarnya yang membedakan setiap amalan.
Kaidah Kedua
الصلاة خلف المحدث المجهول الحال اذا قلنا بالصحة هل هي صلاة جماعة اوانفراد
“salat (makmum) dibelakanga imam yang berhadas dan tidak diketahui kondisi itu, jika salatnya diketahui sah, apakah sahnya itu karena salat jamaah ataukah karena salat sendirian.”(as_suyuthi.TT:110).
Jika seorang imam menjadi imam dalam salat dan jumlah jamaah sudah cukup walaupun dikurangi imam, sedang imam dalam keadaan berhadas, maka salat jamahnya dianggap sah, karena itu mereka semua mendapat pahala jamaah. Jika imam lupa bahwa ia berhadas atau makmumnya lupa bahwa imamnya berhadas, kemudian dalam salat itu ia ingat dan memisahkan diri dari jamaah sebelum salam, jika makmum menginginkansalat jamaah maka ia harus sujud sahwi karena lupanya imam, bukan karena kelupaan dirinya.
Kaidah Ketiga
من اتى بما ينا فى الفرض دون النفل فى اول فرض اواثناءه بطل فرضه وهل تبقى صلاته نفلا اوتبطل
“Barangsiapa yang  melakukan perbuatan dengan membatalkan perbuatan fardu, bukan perbuatan sunnat, diawal atau ditengah-tengah perbuatan fardu, maka perbuatan fardunya menjadi batal, tetapi apakah perbuatan itu menjadi perbuatan sunnat ataukah batal secara keseluruhan.” (as_suyuthi. TT:110).
Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat, yaitu:
1.      Bila seorang melakukan salat fardu sendirian, kemudian ada salat jamaah dan karena ingin mengikuti salat jamaah, maka ia salam setelah dua rakaat, maka salatnya tetap sah, dan salatnya berstatus salat sunnah.
2.      Bila seorang telah melakukan takbiratul ihram untuk salat fardu sebelum masuknya waktu atau karena ia membatalkan salat fardunya untuk ditukarkan kepada fardu yang lain, tau untuk berpindah kepada salat sunnah tanpa sebab, maka salatnya dianggap tidak sah.
Kaidah Keempat
النذر هل يسلك به مسلك الواجب اوالجائز
“Realisasi nazar, apakah apakah dilakukan seperti mengerjakan pekerjaan wajib, ataukah pekerjaan jaiz.” (as_suyuthi.TT:110).
Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat, yaitu:
1.      Dilaksanakan seperti pelaksanaan ibadah wajib, misalnya; nazar salat, puasa maupun kurban, maka salat , puasa, ataupun kurban itu harus dilakukan sebagaimana pekerjaan wajib. Kalau salat harus berdiri, tidak boleh duduk bila kuasa, puasanya harus berniat dimalam hari, tidak boleh siang hari seperti puasa sunnat, sedang kurbanya harus hewan yang cukup umur serta tidak cacat.
2.      Dilaksanakan seperti pelaksanaan ibadah jaiz, seperti memerdekakan budak, sehingga boleh memerdekakan budak kafir atau budak cacat.
Kaidah Kelima
هل العبرة بصيغ العقود او بمعانيها
“Apakah ungkapan itu yang dianggap bentuk akadnya tau maknanya.” (as_suyuthi.TT:111).
Misalnya ada orang yang mengadakan transaksi dengan berkata “saya beli bajumu dengan syarat-syarat demikian dengan harga sekian” kemudian penjual menjawab “iya jadi”, jika melihat akadnya bentuknya jual beli, namun jiak melihat maknanya merupaakan akad salam (pesanan). Demikian juga jika orang berkata “saya jual bajuku padamu” tanpa menyebutkan harganya. Bila dilihat dari maknanya berarti hibah, tetapi sudut lafalnya berarti jual beli. Bila hibah maka diperbolehkan tetapi jika dipandang jual beli, maka merupakan jual beli yang fasid (rusak).
Kaidah Keenam
العين المستعارة للرهن هل المغلب فيها جانب الضمان او جانب العارية
“Barang yang dipinjam untuk gadai, apakah layak sebagai jaminan ataukah sebagai pinjaman.”(as_suyuthi.TT:113).
Barang pinjaman untuk jaminan gadai dipegang oleh pemberi gadai, apakah yang mempunyai barang tersebut boleh meminta kembali? Kalau barang tersebut dianggap sebagai pinjaman, maka dapat kembaliatau diambil, sedaang jika sebagai jaminan maka tidak dapat diminta kembali kecuali sudah dilunasi utangnya. Demikian juga, jika barang itu rusak, maka pihak gadai harus mengganti, jika sebagai pinjaman, tetapi tidak wajib mengganti, jika sebagai jaminan.
Kaidah Ketujuh
الحوالة هل هي بيع او استيفاء
“Apakah hiwalah (pemindahan utang) itu merupakan jual beli ataukah kewajiban yang dipenuhi”.(as_suyuthi.TT:114).
Jika hiwalah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, maka tidak ada khiyar baginya (pilihan untuk ditangguhkan), namun bila dianggap jual beli maka ia berlaku persyaratan-persyaratan sebagaimana jual beli , yakni bila ada cacatnya dapat dikembalikan, atau bila tidak senang dapat dikembalikan kembali (khiyar majlis), namun apabila sebagai istifa’ maka tidak ada persyaratan tersebut.
Kaidah Kedelapan
الإبراء هل هو إسقاط او تمليك
“Pembebasan utang, apakah sebagai pengguguran utang, ataukah merupakan pemberian untuk dimiliki.”(as_suyuthi.TT:115).
Pembebasan utang yang tidak diketahui jumlah utangnya oleh orang yang membebaskan, maka yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki dan tidak sah pengguguranya, sedanfkan kalau pemberi membebaskan dengan mengetahui jumlah uangnya, maka yang lebih sah dengan isqoth (pengguguran). Demikian juga pembebasan utang dari salah satu orang, maka  yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki (tamlik) dan jika ibro’nya dikaitakan dengan sesuatu (tempat,keadaan) maka yang sah adalah tamlik, kalu disyaratkan adanya qobul maka yang sah dengan isqoth (pengguguran), sedang tamlik tidak disyaratkan adanya qobul.
Kaidah Kesembilan
الإقالة هل هي فسخ او بيع
iqolah (pencabutan jual-beli terhadap orang yang menyesal) adakah itu merupakan pembatalan jual-beli ataukah merupakan jual-beli (keduakalinya)”. (as_suyuthi, TT:115).
Misalnya seseorang membeli budak kafir dari penjual kafir, kemudian budak tersebut menjadi muslim dan penjual menghendaki iqalah. Kalau iqalah itu dipandang sebagai jual-beli maka dianggap sah seperti mengembalikan barang pembelian karena adanya cacat. Sedangkan kalau iqalah dianggap sebagai fasah (pembatalan) maka tidak perlu adanya ijab qabul, sedangkan jika dianggap jual beli maka memerlukan ijab qabul baru.
Kaidah Kesepuluh
الصداق المعين في يد الزوج قبل القبض مضمون ضمان عقد او ضمان يد
“Maskawin yang sudah ditentukan dan masih dalam genggaman suami yang belum diterima oleh istri, hal itu merupakan barang yang di jamin oleh suami berdasrkan akad ataukah dijamin sebagai barang yang diambil dari tangan istri (as_suyuthi,TT:116).
Artinya, maskawin kalau dianggap sebagai barang yang dijamin akad maka tidak sah untuk dijual sebelum diterima, sedangkan kalau dianggap hak milik istri maka boleh dijual walaupun barangnya masih disuaminya. Demikian juga jika maskawin yang ditangan suami itu rusak atau hilang, maka harus diganti sesuai dengan maskawin misil istri, karena jaminan berdasarkan akad. Tetapi kalau dianggap sebagai barang yang diambil dari tangan istri maka harus diganti persis seperti wujud semula atau seharga mahar itu.
Kaidah Kesebelas
الطلاق الرجعي هل يقطع النكاح اولا
“Thalaq raj’i apakah itu merupakan pemutusan nikah atai tidak.” (as_suyuthi,TT:116).
Seandainya suami menggauli istri dalam masa iddahnya, kemudian baru merujuknya, maka wajib membayar mahar menurut pendapat yang menyatakan rujuk termasuk memutus pernikahan, dan kalau suami meninggal, istri tidak boleh memandikanya menurut pendapat yang absah, tetapi menurut pendapat yang kedua boleh memandikanya sebagaimana masih suami istri. Bila hal itu dianggap putus maka berakibat haram melihat aurat, dan bergaul dengan istri, namun jika dianggap tidk putus, maka berkaibat wajib memberi nafkah, mempunyai hak waris. Menilai kaidah tersebut, maka muncul pndapat ketiga, yaitu talak Raj’i masih mauquf sampai habis masa iddahnya.
Kaidah Keduabelas
الظهار هل المغلب فيه مشابهة الطلاق اومشابهة اليمين
“Dhihar itu apakah selayaknya serupa dengan talak, ataukah serupa dengan sumpah.”
Misalnya ada seorang yang mendhihar (menyamakan punggung istri dengan punggung ibunya) empat istrinya dengan satu kalimat. Misalnya “engkau semua seperti punggung ibuku.” Jika ia ingin kembali pada istrinya ia harus membayar empat kafarat karena diserupakan dnegan talak, tetapi jika lebih diserupakan dengan sumpah maka cukup membayar satu kafarat, yakni kafarat sumpah. Jika diserupakan dengan talak maka boleh dengan lisan atau tulisan, tetapi jika dengan sumpah maka harus dengan lisan.
Kaidah Ketigabelas
فرض الكفاية هل يتعين بالشروع او لا
“Fardu kifayah, apakah menjadi fardu ‘ain setelah dilaksanakan atau masih tetap sebagai fardu kifayah “.)as_suyuthu,TT:117).
Pendapat yang lebih syah adalah bahwa shalat jenazah apabila sesorang telah memulai menegrjakan maka haram baginya untuk meninggalkan, karena hal itu bagai fardu ‘ain, demikian pula kasus jihad. Diharamkan meninggalkan bila sudah memulai berjihad (berperang), bahkan sangat dibenci jika hal itu dilakukan, karena hal itu merupakan kemunafikan. Bagi al-Ghazali menyatakan bahwa pendapat itu khusus fardu kifayah shalat jenazah dan jihad, selainya tidak mengubah status fardu kifayah.
Kaidah Keempatbelas
الزائل العائد هل هو كالذي لم يزل او كالذي لم يعد
“Suatu yang hilang kemudian kembali, apakah hukumnya seperti tidak hilang sebagaimana sedia kala ataukah sebagai barang baru”. (as_suyuthi.TT:118).
Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat , yaitu:
1.Dianggap sebagaiamana sedia kala, misalnya wanita yang telah ditalak sebelum digauli, maka hilang kemilikanya atas mahar, kalau suamianya kemabali maka kembali pula hak pemilikanya terhadap mahar seperti mahar semula. Harta yang pada ahir tahun perlu dizakati kemudian hilang ditengah tahun yang kemudian kembali maka tetap pada ahir tahun dizakati seperti tidak hilang, dan juga orang memukul orang lain hingga rusak penglihatan, kemudian penglihatan kembali maka gugur hukum qashas atas orang itu.
2.Dianggap sebagaimana barang baru, mislanya hakim gila atau hilang keahlianya, kemudian sembuh atau kembali keahlianya maka tidak kembali kekuasaan hakimnya.
Kaidah Kelimabelas
هل العبرة بالحال اوبالمال
“Apakah ungkapan itu menurut keadaan atau menurut bendanya”. (as_suyuthi,TT:119).
Kaidah tersebut menimbulkan kaidah sebagai berikut:
ماقارب الشيء هل يعطي حكمه
“Yang dekat dengan sesuatu adakah diberi hukumya.”
المشرف الزوال هل يعطي حكم الزائل
“Sesuatu yang hampir hilang, apakah diberikan hukum sebgaimana sesuatu yang hilang” (as_suyuthi,TT:119).
المتوقع هل يجعل كالواقع
“Apa yang akan terjadi apakah dijadikan seperti yang terjadi.” (as_suyuthi, TT:119).
Misalnya ada seorang menjadi imam dengan berpakaian yang menutup aurat, tetapi ketika ruku’ pakianya robek. Pendapat yang kuat adalah bahwa apa yang akan terjadi itu tidak dijadikan seperti apa yang terjadi, jadi makmum tetap sah dengan niat infirod (memisahkan diri dari shalat jamaah) ketika robek pakaian imam.
Kaidah Keenambelas
اذا بطل الخصوص هل يبقى العموم
“Apabila kekhususanya batal maka masih tetap keumumanya”. (as_suyuthi, TT:121).
Misalnya seseorang telah melakukan takbiratul ihram pad shalat yang belum masuk waktunya, mka batallah kekhususanya (niat shalat wajib itu) tetapi menurut pendapat yang absah masih dianggap berlaku keumuman takbir itu untuk shalat sunnah. Demikian juga orang yang bertayamum untuk shalat wajib sebelum waktunya, maka batal tayamumnya untuk digunakan shalat wajib (sebab kebolehan tayamum adalah menunggu waktu shalat wajib tiba) serta tidak boleh digunakan sholat sunnat, lain lagi jika niyatnya untuk tayamum sholat sunnat maka diperbolehkan.
Kaidah Ketujubelas
الحمل هل يعطي حكم المعلوم اوالمجهول
“Anak yang masih dalam kandungan, apakah dihukumi seperti sesuatu yang telah diketahui ataukah sebagai sesuatu yang belum diketahui”.(as_suyuthi, TT:121).
Misalnya mengenai penjualan biantang yang bunting “hamil” menurut pendapat yang absah hal itu tidak diperkenankan, karena yang dalam kandungan itu masih majhul tidak tidak diketahui kriterianya, demikian juga tidak sah menjual binatang dalam perut induknya karena hal itu tidak diketahui, sedang dalam masalah waisat pada anak dalam kandungan itu diperbolehkan, karen ahak itu sudah jelas. Tetapi dalam hal waris-mewarisi, maka anak dalam kandungan dianggap laki-laki saja, sebab dengan begitu maka ketika ia lahir laki-laki maka bagianya sebgaimana mestinya, tetapi jika wanita maka uang warisan yang lebih dapat dibagikan lagi pada yang lain.
Kaidah Kedelapanbelas
النادر هل يلحق بجنسه اوبنفسه
“Sesuatu yang jarang terjadi, apakah dikaitkan dengan jenisnya ataukah menurut keadaanya sendiri”.(as_suyuthi,TT:122)
Misalnya hukum menyentuh penis laki-laki yang telah putus, menurut pendapat yang lebih kuat adalah membatalkan wudlu, karena secara hakiki adalah menyentuh alat kelamin. Sedangkan jika menyentuh anggota tubuh wanita yang telah terputus dari induknya maka tidak membatalkan, karena hal itu tidak menyentuh wanita lagi. Demikian juga orang yang mempunyai anggota badan lebih, misalnya jarinya 6 (enam), maka wajib juga dibasuh saat berwudlu.
Kaidah Kesembilanbelas
القادر على اليقين هل له الاجتهاد والأخذ بالظن
“Orang yang kuasa menuju yang yakin bolehkah baginya berijtihad berdasarkan perkiraan”.(as_suyuthi,TT:123)
Secara umum seorang mujtahid tidak boleh berijtihad jika mendapatkan nash, karena nash merupakan suatu keyakinan dan dia tidak boleh mengabaikan nash tersebut, sedangkan ijtihad merupakan keputusan dhon dibanding nash. Misalnya seseorang mempunyai dua baju, yang stau suci, sedang yang lain najis, maka dia boleh meneliti (berijtihad) mana yang suci untk dipergunakan walaupun ia dapat berganti dengan pakaianya lain yang jelas suci. Namun seseorang tidak sah shalat menghadap hijr ismail, karena yang yakin jelas diketahui, yakni menghadap ka’bah.
Kaidah keduapuluh
المانع الطارئ هل هو كالمقارن
“Halangan yang datang kemudian, apakah ia seperti bercampur”. (as_suyuthi,TT:123).
Kaidah tersebut ada dua pendapat , sebagian menganggap seperti bercampur seperti menambah air sehingga menjadi banyak yang semua jenis. Selesainya orang yang istihadloh ditengah-tengah menjalankan sholat. Murtadnya seseorang yang sedang ihram, serta perubahan niat yang buruk yang semula baik dalam bepergian, maka kasus tersebut hukum airnya menjadi suci, sholatnya menjadi batal, dan ihramnya juga batal dan tidak ada rukhsoh baginya.
Dari beberapa kaidah diatas, dapat diamati bahwa kaidah-kaidah yang diperselisihkan sebenarnya bukan pada kaidah itu sendiri tetapi lebih mengarah pada kondisi yang mempengaruhi kaidh itu tercipta, sehingga keberlakuan kaidah tersebut menurut kondisi yang melatarbelakanginya.
IV.      Kesimpulan
Qawaidul fiqhiyyah terbagi dalam kaidah – kaidah asasi dan ghairu asasi. Qawaid fiqhiyyah ghairu asasiyyah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kaidah ghairu asasiah muttafaq ‘alaih ( yang tidak dipertentangkan ), dan kaidah ghairu asasiah mukhtalafah fiha ( yang dipertentangkan ). Adapun kaidah ghairu asasiah yang tidak dipertentangkan banyaknya ada empat puluh kaidah. Kaidah ini disebut sebagai kaidah kulliah ( kaidah universal ). Sedangkan kaidah yang mukhtalafah ini banyaknya ada duapuluh kaidah. Kedua puluh kaidah tersebut tidak dapat ditarjih (diunggulkan) salah satunya.


[2] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah Kaidah – Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2008, Hal. 142-143.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ringkasan Nahwu

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA