Maqashid Al-Syari’ah Menurut Jaseer Auda
Jasser Auda
merupakan seorang tokoh intelektual muslim kontemporer yang amat tersohor di
dunia Islam maupun Barat. Jasser dilahirkan pada tahun 1966 di Kairo Mesir.[1]
Jasser Auda adalah seorang kelahiran Mesir yang cukup lama tinggal di Barat. Ia
memperoleh gelar PhD dari University of Wales, Inggris, pada konsentrasi
Filsafat Hukum Islam tahun 2008. Gelar PhD yang kedua diperoleh dari
Universitas Waterloo, Kanada, dengan kajian analisis sistem tahun 2006. Master
Fiqh diperoleh dari Universitas Islam Amerika, Michigan, pada tujuan hukum
Islam (Maqasid al-Syari’ah) tahun 2004. Gelar BA diperoleh dari
JurusanIslamic Studies pada Islamic American University, USA, tahun 2001 dan
gelar BSc diperoleh dari Engineering Cairo University, Egypt Course Av. Tahun
1988. Ia memperoleh pendidikan al-Quran dan ilmu-ilmu Islam di Masjid Al-Azhar,
Kairo.[2]
Jasser Auda
gelisah terhadap ketidakberdayaan hukum Islam dalam menghadapi perkembangan
kemajuan dunia modern. Menurutnya, ini terjadi karena ketidakmampuan para ulama
untuk melahirkan produk hukum baru, yang disebabkan oleh ketidakmampuan yang
bersifat metodologis. Setelah melakukan penelitian terkait perkembangan teori maqasid
sepanjang sejarah Islam pasca Rasulullah, dia kemudian mengajukan teori
analisis system dan teori maqasid al-shari’ah yang ditempatkannya
sebagai filsafat hukum Islam.
Maqasid sendiri adalah tujuan yang ingin dicapai melalui
penerapan agama dengan basis memaksimalkan maslahah dan meminimalisir mafsadah.
Dalam bahasa yang sederhana, Auda membuat ilustrasi bahwa jawaban terhadap
setiap pertanyaan mengapa (why), adalah maqasid. Artinya mengapa manusia
diciptakan? Mengapa manusia disuruh salat, puasa, zakat? Mengapa peraturannya
seperti ini dan itu ada adalah sederet pertanyaan maqasid. Maka dalam maqasid,
makna, tujuan, dan rahasia di balik sesuatu merupakan wilayah kajian maqasid.
Jaseer Auda
menyatakan bahwa ada dua alasan
penting maqasid perlu direkonstruksi kembali, yaitu adanya krisis
kemanusiaan (ajmah insaniyah) dan
minimnya metode (qushur manhazhiy) untuk
menyelesaikannya. Krisis kemanusiaan merupakan realitas yang dialami oleh
hampir semua negara-negara muslim; di mana angka kemiskinan, pengangguran,
minimnya tingkat pendidikan, keamanan, pemerataan ekonomi serta kesejahteraan sosial
belum terwujud. Ditambah lagi, sebagian besar agamawan masih berkutat dengan
metode klasik, yang dalam beberapa hal tidak kontekstual lagi. Akibatnya agama
tidak bisa memberikan fungsinya sebagai pembebas.
Auda juga
mengkritik beberapa hal dari maqasid klasik. Pertama, perbaikan
pada jangkauan maqasid. Dalam maqasid klasik tidak ada klasifikasi jangkauan.
Akibatnya sering terjadi overlapping antara maslahah
yang ada. Untuk menghindari itu, klasifikasi kontemporer membagi
maqasid ke dalam tiga tingkatan: umum, khusus, dan parsial.[3]
Maqasid
umum (al-maqasid
al-ammah) terdapat dalam seluruh bagian agama, sifatnya
universal. Seperti keadilan, kebebasan, kemudahan, kesetaraan. Maqasid
khusus (al-maqasid al-khassah) ada
dalam bagian (bab) hukum Islam tertentu,
sifatnya partikular. Seperti perlindungan dari monopoli dalam hukum ekonomi,
kesejahteraan anak dalam hukum keluarga. Maqasid parsial (al-maqasid
al-juziyah) dijumpai dalam suatu nash atau hukum tertentu.
Seperti adanya ‘adam al-haraj (menghilangkan
kesulitan) adalah maksud di balik diperbolehkannya orang sakit tidak puasa.
Kedua, perbaikan
jangkauan yang diliputi oleh maqasid. Maqasid klasik cenderung bersifat mikro,
hanya dalam wilayah individual. Maqasid kontemporer manarik maqasid ke wilayah
makro, yakni masyarakat, bangsa, bahkan umat manusia.[4]
Ketiga,
perbaikan pada sumber induksi. Maqasid klasik dideduksi dari literatur fikih,
maka maqasid kontemporer langsung digali dari nash wahyu.[5]
Paradigma maqasid klasik adalah protection
(perlindungan) dan preservation (penjagaan,
pelestarian), yang wilayah cakupan, jangkauan dan sumber induksinya masih
sempit. Untuk itu perlu digeser ke dalam paradigma baru
yang lebih menekankan development (pembangunan,
pengembangan) dan human right (hak-hak manusia).
Auda
mendasarkan konsep maqasidnya pada hadis sahih Bukhari Muslim dan lainnya yaitu
:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ
قَالَ حَدَّثَنَا جُوَيْرِيَةُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنْ
الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي
حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ
فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ
وَاحِدًا مِنْهُمْ
Telah
menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Muhammad bin Asma' berkata,
telah menceritakan kepada
kami Juwairiyah dari Nafi' dari Ibnu
'Umar berkata, "Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab:
"Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat 'Ashar keculi di
perkampungan Bani Quraizhah." Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih
di jalan, sebagian dari mereka berkata, 'Kami tidak akan shalat kecuali telah
sampai tujuan', dan sebagian lain berkata, 'Bahkan kami akan melaksanakan
shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian'. Maka kejadian tersebut
diceritakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau tidak mencela
seorang pun dari mereka."[6]
Jasser Auda mengartikan
Maqasid pada empat arti, pertama, Hikmah dibalik suatu hukum. Kedua,
tujuan akhir yang baik yang hendak dicapai oleh hukum. Ketiga, kelompok
tujuan ilahiyah dan konsep moral yang menjadi basis dari hukum. Keempat,
Mashalih. Dalam konsep Maqasid yang ditawarkan oleh Jasser Auda,
nilai dan prinsip kemanusian menjadi pokok paling utama.[7]
Pendekatan
sistem[8]
dalam mengkaji suatu ketentuan hukum merupakan tawaran solutif Jasser Auda
dalam menjawab permasalahan hukum kontemporer. Pendekatan sistem yang diusulkan
oleh Jasser Auda sebagai sistem analisis dalam istimbat hukum Islam turut
mengubah konstruksi maqasid. Menurut Jasser Auda, reorientasi maqasid
al-shari’ah klasik menuju maqasid al-shari’ah kontemporer yaitu
adanya perubahan dari maqasid al-shari’ah yang sifatnya “perlindungan”
dan “pelestarian” menuju maqasid al-shari’ah yang sifatnya
“pengembangan” dan “pemuliaan human rights (hak asasi manusia)”.
Pengembangan
maqasid al-shari’ah yang diusulkan oleh Jasser Auda tidak terlepas dari
latar belakang pemikirannya bahwa dewasa ini kondisi kemanusiaan umat Islam
sangat memprihatinkan, sehingga perlu adanya pengembangan manusia sebagai
tujuan utama maqasid al-shari’ah itu sendiri. Sebagaimana yang diketahui
bahwa maqasid al-shari’ah klasik bersifat perlindungan dan pelestarian,
sedangkan maqasid al-shari’ah kontemporer lebih kepada pengembangan dan
pemuliaan hak asasi manusia. Sehingga maqasid al-shari’ah kontemporer
lebih sesuai dengan kondisi umat Islam saat ini. Jasser Auda tidak menolak atau
mengabaikan maqasid al-shari’ah klasik, tetapi ia hanya mengkritisi dan
mengembangkannya menjadi maqasid al-shari’ah kontemporer yang lebih
menyeluruh, humanis, dan sistematis. [9]
Pendekatan
sistem yang diusulkan oleh Jasser Auda meliputi enam fitur yang saling
berhubungan yaitu: kognisi (cognitive nature); keutuhan (wholeness);
keterbukaan (openness); kesalingterkaitan (interrelated hierarchy);
multi-dimensi (multi-dimensionality); dan tujuan (purposefulness).
Tujuan inilah yang menjadi inti dari fitur sistem hukum Islam itu sendiri.[10]
1.
Sifat Kognisi (Cognitive
Nature) Hukum Islam
Hukum Islam ditetapkan berdasarkan pengetauan seorang faqih
terhadap teks-teks yang menjadi sumber rujukan hukum Islam, untuk membokar
validasi semua kognisi (pengetahuan tentang teks dan nash). Namun kebanyakan
umat beranggapan bahwa fiqh tersebut merupakan aturan yang tidak bisa diubah
dan taklid kepadanya. Padahal fiqh sebagai hasil dari kognisi (nalar) manusia,
sehingga tidak menutup kemungkinan adanya kelemahan dan kekurangan. Artinya,
fikih masih menerima beberapa koreksi dan kritik perdebatan serta adanya
kelenturan hukum-hukum agama dan menjamin kesesuaiannya dengan setiap tempat,
waktu, dan situasi.
2.
Keutuhan Integritas (Wholeness)
Hukum Islam
Jasser Auda menyatakan bahwa prinsip dan cara berpikir holistik
sangat dibutuhkan dalam kerangka ushul fiqh, karena dapat memainkan peran dalam
isu-isu kontemporer, sehingga dapat dijadikan prinsip-prinsip permanen dalam
hukum Islam. Dengan sistem ini, Auda mencoba membawa dan memperluas Maqasid
al-Syari‟ah yang berdimensi individu menuju dimensi universal, sehingga bisa
diterima oleh masyarakat banyak, seperti masalah keadilan dan kebebasan.
Sedangkan mengenai asas kausalitas, ketidakmungkinan penciptaan tanpa adanya
sebab akan bergeser menjadi tidak mungkin ada penciptaan tanpa ada tujuan.
3.
Kerterbukaan (openness)
Hukum Islam
Keterbukaan sebuah sistem bergantung pada kemampuannya untuk
mencapai tujuan dalam berbagai kondisi. Kondisi inilah yang mempengaruhi
tercapainya suatu tujuan dalam sebuah sistem. Sistem yang terbuka adalah suatu
sistem yang selalu berinteraksi dengan kondisi dan lingkungan yang berada di
luarnya. Keterbukaan dapat dilakukan melalui: Pertama, mekanisme
keterbukaan dengan mengubah cognitive culture. Kognisi seseorang sangat
berkaitan erat dengan sudut pandangnya mengenai dunia di sekelilingnya. Kedua,
keterbukaan terhadap pemikiran filosofis.
4.
Interrelasi Hierarki (Interrelated
Hierarchy) Hukum Islam
Sistem memiliki struktur hierarki, di mana sebuah sistem terbangun
dari sub sistem yang lebih kecil di bawahnya. Hubungan interrelasi tersebut
menentukan tujuan dan fungsi yang ingin dicapai. Usaha membagi sistem
keseluruhan yang utuh menjadi bagian yang kecil merupakan proses pemilahan
antara perbedaan dan persamaan di antara sekian banyak bagian-bagian yang ada.
Bagian terkecil menjadi representasi dari bagian yang besar, demikian
sebaliknya.
5.
Multi-Dimensi (Multi-Dimensionality)
Hukum Islam
Sebuah sistem bukanlah sesuatu yang tunggal, namun
terdiri dari beberapa bagian yang saling terkait antara yang satu dengan
lainnya. Di dalam sistem terdapat struktur yang koheren,
karena sebuah sistem terdiri dari bagian-bagian yang cukup kompleks yang
memiliki spektrum dimensi yang tidak tunggal. Hal ini juga berlaku dalam hukum
Islam. Hukum Islam merupakan sebuah sistem yang memiliki berbagai dimensi.
6.
Tujuan (Porposefulness)
Hukum Islam
Setiap sistem memiliki output (tujuan). Dalam teori
sistem, tujuan dibedakan menjadi cita-cita (goal/al-hadad)
dan kegunaan (purpose/al-ghoyah). Sebuah sistem akan menghasilkan goal
jika hanya menghasilkan tujuan dalam situasi yang konstan, bersifat mekanistik,
dan hanya dapat melahirkan suatu tujuan saja. Sedangkan sebuah sistem akan
menghasilkan purpose (al-ghoyah), jika mampu menghasilkan berbagai
tujuan dalam situasi yang beragam. Dalam konteks ini, Maqasid al-Syari‟ah berada
dalam pengertian porpuse (al-ghoyah), tidak monolitik dan
mekanistik, tetapi beragam sesuai dengan situasi dan kondisi.
Tawaran dalam pemikiran Jasser Auda adalah
melakukan kajian, pemetaan ulang, dan studi kritis terhadap teori Maqᾱṣid
al-Syarῑ'ah yang telah ada melalui pemaduan kajiannya dengan menggunakan
pendekatan keilmuan sains (teori sistem) dan keilmuan sosial (pembangunan
manusia) serta humanities kontemporer seperti isu-isu baru yang terkait dengan
HAM, gender, hubungan yang harmonis dengan non-Muslim dan begitu seterusnya.
Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana tabel berikut ini[11]
;
Teori Maqᾱṣid Klasik |
Teori Maqᾱṣid Kontemporer |
Menjaga
Keturunan (al- nasl) |
Teori
yang berorientasi pada perlindungan keluarga; kepedulian yang lebih terhadap
institusi keluarga |
Menjaga
Akal (al-‘aql) |
Melipatgandakan
pola pikir dan research ilmiah; mengutamakan perjalanan untuk mencari
ilmu pengetahuan; menekan pola pikir yang mendahulukan kriminalitas kerumunan
gerombolan; menghindari upaya-upaya meremehkan kerja otak |
Menjaga
Kehormatan; menjaga jiwa (al-‘Ird) |
Menjaga
dan melindungi martabat kemanusiaan; menjaga dan melindungi hak-hak asasi
manusia. |
Menjaga
Agama (ad-dῑn) |
Menjaga,
melindungi dan menghormati kebebasan beragama dan berkepercayaan. |
Menjaga
Harta (al-mᾱl) |
Mengutamakan
kepedulia social; menaruh perhatian pada pembangunan dan pengembangan
ekonomi; mendorong kesejahteraan manusia; menghilangkan jurang antara miskin
dan kaya |
Hal
ini dikarenakan apapun usaha suatu hukum untuk mencegah timbulnya pelanggaran
tetapi jika human resourcesnya tidak dikembangkan maka usaha itu kurang efektif
atau bahkan sia-sia. Apalagi jika dihadapkan dengan perkembangan zaman yang
semakin modern ini di mana tidak ada lagi batas antar wilayah dalam kaitannya
dengan teknologi dan informasi yang berdampak pada kehidupan sosial budaya umat
manusia. Oleh karena itu hukum dalam hal ini termasuk hukum Islam harus
menyesuaikan dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan kaidah-kaidah hukum
Islam yang telah ada.
Memang
sepertinya Jasser Auda ini menerapkan adagium yang sudah banyak dikenal oleh
umat Islam namun dengan pergantian susunan yaitu:
ألْأ خذُ بِجَدِيدِ
الْأَصْلَاحِ وَالمُحَافَظَةُ عَلَى قَدِيمِ الصَّالِخِ
“Mengambil
(pemikiran) yang baru yang lebih baik namun tetap menjaga (pemikiran) terdahulu
yang baik”.
Jasser Auda tidak menolak atau mengabaikan
maqashid al-syariah klasik, tetapi ia mengkritisi dan kemudian mengembangkan
menjadi maqashid kontemporer yang lebih universal, holistic, humanis dan
sistematis yang esensinya sebenarnya memuat maqashid klasik namun dia lebih
mengedepankan aspek kontemporer yang dianggapnya lebih baik.
[1] Nur
Muhammad Saifur Rijal, Implementasi Konsep Maqasid A-Syari’ah Jasser Auda Dalam
Menangkal Radikalisme Di Keluarga, Skripsi Iain Kediri,
Hal. 17, http://etheses.iainkediri.ac.id/1993/.
[2] Syukur Prihantoro, Maqasid
Al-Syari’ah Dalam Pandangan Jasser Auda (Sebuah Upaya Rekontruksi Hukum Islam
Melalui Pendekatan Sistem), Jurnal At-Tafkir Vol. X No. 1 Juni 2017, Hal.
121.
[3]Abbas Arfan, “Maqasid Al-Syari'ah Sebagai
Sumber Hukum Islam: Analisis Terhadap Pemikiran
Jasser Auda, Al-Manahij: Jurnal
Kajian Hukum Islam, Vol. Vii, No.2 Juli 2013,
Hal. 186-187. http://repository.uin-malang.ac.id/1092/.
[4] Hamka Husein Hasibuan,
Jasser Auda, Bapak Maqasid Syariah Kontemporer, https://islami.co/jasser-auda-bapak-maqasid-syariah-kontemporer/.
[5] Muhammad Iqbal Fasa, Reformasi Pemahaman Teori
MaqᾹṣid Syariah: Analisis Pendekatan Sistem Jasser Auda, Hunafa: Jurnal
Studia Islamika, Vol. 13, No. 2 Desember 2016, Hal. 225.
[6] Hadits Shahih Al-Bukhari No. 894 -
Kitab Jum'at, Https://Www.Hadits.Id/Hadits/Bukhari/894.
[7] Galuh Nashrullah Kartika
Mayangsari R Dan H. Hasni Noor, Konsep Maqashid Al-Syariah Dalam Menentukan
Hukum Islam (Perspektif Al-Syatibi Dan Jasser Auda), Al Iqtishadiyah :
Jurnal Ekonomi Syariah Dan Hokum Ekonomi Syariah, Vol. I, 2014, Hal. 56.
[8] Definisi sistem dalam filsafat sistem adalah
sebuah pendekatan filsafat sistem yang memandang bahwa penciptaan dan fungsi
dari alam dan semua komponennya terdiri dari sistem yang luas dan menyeluruh
yang terdiri dari jumlah tak terbatas dari sub sistem; berinteraksi, terbuka,
hierarki dan memiliki tujuan. Sistem adalah sesuatu yang terdiri atas beberapa
rangkaian yang saling berkaitan satu sama lain secara menyeluruh dan utuh,
karena sistem merupakan lahan multidisiplin yang muncul dari berbagai bidang
ilmu kemanusiaan.
[9] Dahlia, Kontekstualisasi Pemikiran Maqâsid
Al-Sharî’ah Jasser Auda Terhadap Pendidikan Anak Usia Dini, Wahana
Islamika: Jurnal Studi Keislaman Vol. 5 No. 2 (2019), Hal. 5-7.
[10] Mukhlishi, Tinjauan Maqasid Al Syariah Perspektif
Jasser Audah, Jurnal
Keislaman Terateks, Vol. 2 No. 1 , 2017, Hal. 2-4.
[11] Syahrul Sidiq, Maqasid Syari‟Ah & Tantangan
Modernitas: Sebuah Telaah Pemikiran Jasser Auda, In Right Jurnal Agama Dan
Hak Azazi Manusia, Vol. 7, No. 1, November 2017, Hal. 154 - 157
Komentar