Upaya Hukum Banding
Upaya
banding, yaitu permintaan atau permohonan salah satu pihak yang berperkara agar
penetapan atau putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama diperiksa ulang dalam
pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Agama. Apabila salah satu
atau kedua belah pihak dalam suatu perkara tidak menerima putusan pengadilan
tingkat pertama karena merasa haknya terganggu dengan adanya putusan itu atau
menganggap putusan tersebut tidak benar dan belum adil, maka ia dapat
mengajukan banding. Upaya hukum banding adalah hukum agar perkara yang telah
diputuskan oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh pengadilan yang
lebih tinggi karena pihak yang mengajukan belum puas dan tidak menerima
keputusan pengadilan tingkat pertama.
Berdasarkan
Pasal 61 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, atas penetapan dan putusan
pengadilan agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara kecuali
apabila undang-undang menetukan lain. Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama merupakan pengadilan judex factie
yaitu pengadilan yang memeriksa duduknya perkara, sehingga Pengadilan Tinggi
Agama sebagai pengadilan tingkat banding merupakan pengadilan ulangan yang
memeriksa ulang perkara yang sudah diputus di tingkat pertama. Segala fakta
yang sudah ditetapkan oleh Pengadilan Banding akan tetap dianggap benar untuk
seterusnya dan sudah tidak bisa diubah lagi.
Tata Cara Permohonan
Banding
Berpedoman
kepada ketentuan yang ditetapkan dalam UU No. 20 Tahun 1947 sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 7 sampai Pasal 15, menurut ketentuan Pasal 7 tata cara
permohonan banding:
1) Tenggang waktu permohonan banding:
a. 14 hari setelah putusan diucapkan, apabila
waktu putusan diucapkan pihak pemohon banding hadir sendiri di persidangan
b. 14 hari sejak putusan diberitahukan, apabila
pemohon banding tidak hadir pada saat putusan diucapkan di persidangan
c. Jika perkara prodeo, terhitung 14 hari dari
tanggal pemberitahuan putusan prodeo dari Pengadilan Tinggi kepada pemohon
banding (Pasal 7 ayat (3).
2) Pengajuan permohonan banding disampaikan
kepada panitera pengadilan yang memutus perkara yang hendak dibanding.
3) Yang berhak mengajukan perrmohonan banding:
a. Pihak yang berperkara in person, atau
b. Kuasanya, dengan syarat terlebih dulu
mendapat surat kuasa khusus untuk itu.
4) Bentuk permintaan banding, bisa dengan lisan atau
dengan tulisan.
5) Pembayaran ongkos atau biaya banding
merupakan syarat formal permintaan banding. Biaya banding dibebankan kepada
pemohon banding, bukan kepada pihak penggugat.
6) Kalau syarat formal dipenuhi yakni permohonan
tidak melampaui tenggang 14 hari dan biaya banding telah dibayar, panitera:
a. Meregistrasi permohonan, dan
b. Sekaligus membuat akta banding, serta
c. Melampirkan akta banding dalam berkas perkara
sebagai akta atau bukti bagi Pengadilan Tinggi tentang adanya permohonan
banding, serta sebagai alat penguji apakah permohonan melampaui tenggang atau
tidak.
7) Juru sita menyampaikan pemberitahuan
permohonan banding kepada pihak lawan berperkara: bentuk pemberitahuan berupa
akta relaas pemberitahuan banding, kemudian melampirkan relaas tersebut dalam berkas
perkara.
8) Menyampaikan pemberitahuan inzage.
Maksud inzage ialah kesempatan mempelajari berkas perkara, pemberitahuan inzage dilakukan oleh juru sita:
a. selambat-lambatnya dalam tempo 14 hari dari
tanggal permohonan banding, dan
b. pemberitahuan inzzage disampaikan kepada
kedua belah pihak yang berperkara:
A. tenggang waktu mempergunakan hak inzage hanya 14 hari terhitung dari
tanggal pemberitahuan inzage, dan
B. hak mempergunakan inzage:
a. Bukan syarat formal permohonan banding,
b. Boleh dipergunakan atau boleh tidak
dipergunakan pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, pengiriman berkas ke
Pengadilan Tinggi tidak boleh ditangguhkan atas alasan para pihak belum
melakukan inzage. Asal sudah lewat
tenggang inzage, tidak ada keharusan
bagi panitera untuk melayaninya.
9) Penyampaian Memori dan Kontra Memori Banding.
Penyampaian memori banding adalah hak bukan
kewajiban hukum bagi pemohon banding. Tanpa memori banding permohonan banding
tetap sah, hal ini sesuai dengna karakter pemeriksaan banding adalah
pemeriksaan ulang perkara secara keseluruhan. Seperti yang telah ditegaskan,
misalnya dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Agustus 1957 No. 143
K/Sip/1956, menurut tafsiran yang lazim hakim banding tidak diharuskan untuk
meninjau segala-galanya yang tercantum dalam memori banding.
a. Tenggang waktu mengajukan memori banding
tidak terbatas,
b. harus memberitahu dengan relaas memori
banding kepada pihak lawan
c. harus memberitahu dengan relaas adanya kontra
memori banding kepada pemohon banding,
d. semua memori, kontra memori, dan relaas
pemberitahuan dilampirkan (disatukan) dalam berkas perkara.
10) Satu bulan sejak dari tanggal permohonan
banding berkas perkara harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi. Ketentuan ini
diatur dalam pasal 11 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1947. Ketentuan ini bersifat
imperatif dalam arti perintah, karena dalam pasal terdapat kata-kata: “harus
dikirim kepada panitera Pengadilan Tinggi selambat-lambatnya satu bulan setelah
menerima permintaan banding”.
Pemeriksaan
Tingkat Banding
Secara garis besar, pemeriksaan tingkat
banding dengan pemeriksaan tingkat pertama terdapat perbedaan, perbedaan
pertama terletak pada tata cara pemeriksaan. Proses pemeriksaaan perkara pada
peradilan tingkat pertama bersifat “hubungan langsung” atau levend contact (life contact) antara hakim dengan pihak-pihak yang berperkara dan
saksi-saksi. Lain halnya dengan tingkat banding, sesuai dengan ketentuan Pasal
II Lembaran Negara No. 36 Tahun 1955, pemeriksaan perkara:
1) Dilakukan berdasarkan berkas perkara.
Pada prinsipnya pemeriksaan perkara pada
tingkat banding tidak bersifat hubungan langsung antara hakim dengan para pihak
dan saksi-saksi, dilakukan melalui berita acara pemeriksaan pengadilan tingkat
pertama. Itu sebabnya dikatakan, pemeriksaan persidangan tingkat banding
“berdasar berkas perkara”.
2) Apabila dianggap perlu dapat melakukan
“pemeriksaan tambahan”.
Apabila Pengadilan Tinggi berpendapat ada
hal-hal yang memerlukan kejelasan atau untuk menambah kesempurnaan pembuktian,
pemeriksaan setempat, pemeriksaan saksi ahli, dan sebagainya, Pengadilan Tinggi
dapat memerintahkan pemeriksaan tambahan melalui proses:
a. Pemeriksaan tambahan berdasarkan putusan sela
b. Pemeriksaan tambahan dapat dilaksanakan
sendiri oleh pengadilan tinggi
c. Pelaksanaan pemeriksaan tambahan diperintahkan
kepada pengadilan yang memeriksa dan memutus pada tingkat pertama
3) Pemeriksaan Tingkat Banding Dilakukan Dengan
Majelis.
Demikian penegasan yang disebut dalam Pasal
II ayat (1) Lembar Negara No. 36 Tahun 1955. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi
dalam Pasal 15 UU No. 14 Tahun 1970.
Komentar