Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Agama


Pada asasnya peradilan perdata menganut asas persidangan terbuka untuk umum, namun hal tersebut dikecualikan dalam pemeriksaan perkara perceraian, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 80 ayat (2) UU No 7 Tahun 1989 jo Pasal 33 PP No 9 Tahun 1975 yang menyatakan “Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.”
Proses beracara yang harus dilalui bagi mereka yang sedang berperkara di peradilan agama adalah:
Ø  Pemeriksaan dilakukan selambat-lambatnya 30 hari sejak tanggal surat gugatan/permohonan didaftarkan. Hal ini diatur dalam Pasal 68 ayat (1) dan Pasal 131 KHI untuk perkara cerai talak, dan untuk perkara cerai gugat diatur dalam Pasal 80 ayat (1) jo Pasal 141 ayat (1) KHI.
Ø  Pada pemeriksaan sidang pertama yang telah ditentukan, suami istri harus hadir secara pribadi dan majelis hakim berusaha mendamaikan kedua pihak yang berperkara (Pasal 82 UU No 7 Tahun 1989).
Ø  Apabila usaha tersebut tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua pihak berperkara untuk menempuh mediasi (Pasal 3 ayat(1) PERMA No 2 Tahun 2003).
Ø  Apabila upaya mediasi tetap tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan/permohonan. Meskipun demikian usaha mendamaikan tetap dilaksanakan selama pemeriksaan berlangsung. Hal ini sesuai dengan Pasal 70 jo Pasal 82 ayat (4) dan Pasal 143 KHI yang menugaskan kepada hakim untuk berupaya secara sungguh-sungguh mendamaikan suami istri dalam perkara perceraian. Tugas mendamaikan merupakan upaya yang harus dilaksanakan hakim pada setiap sidang berlangsung sampai putusan dijatuhkan.
Ø  Sebelum surat gugatan dibacakan, jika perkara perceraian, hakim wajib menyatakan sidang tertutup untuk umum, sementara perkara perdata umum sidangnya selalu terbuka.
Ø  Surat Gugatan Penggugat yang diajukan ke Pengadilan Agama itu dibacakan oleh Penggugat sendiri atau salah seorang majelis hakim, dan sebelum diberikan kesempatan oleh majelis hakim kepada tergugat memberikan tanggapan/jawabannya, pihak penggugat punya hak untuk mengubah, mencabut atau mempertahankan isi surat gugatannya tersebut. Apabila Penggugat menyatakan tetap tidak ada perubahan dan tambahan dalam gugatannya itu kemudian persidangan dilanjutkan ketahap berikutnya.
Ø  Dalam hukum acara perdata disebutkan bahwa setelah gugatan dibacakan, kemudian Tergugat diberi kesempatan mengajukan jawabannya, baik ketika sidang hari itu juga atau sidang berikutnya. Jawaban tergugat dapat dilakukan secara tertulis atau lisan (Pasal 132 b ayat (1) HIR). Pada tahap jawaban ini, tergugat dapat pula mengajukan eksepsi (tangkisan) atau rekonpensi (gugatan balik). Dan pihak tergugat tidak perlu membayar panjar biaya perkara. Pada dasarnya jawaban bukanlah suatu kewajiban yang harus diberikan oleh Tergugat di dalam persidangan, melainkan adalah hak Tergugat untuk membantah dalil-dalil yang Penggugat sampaikan di surat gugatannya. Isi dari jawaban tersebut tidak hanya berisi bantahan terhadap pokok perkara, namun Tergugat juga boleh dan dibenarkan memberi jawaban yang berisi pengakuan (confession), terhadap sebagian atau seluruh dalil gugatan Penggugat.
Ø  Setelah Jawaban Tergugat disampaikan, maka agenda selanjutnya adalah mendengar Replik dari Penggugat. Pengertian Replik adalah Jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik ini dapat diajukan baik secara tertulis maupun secara lisan. Replik ini diajukan oleh pihak penggugat untuk meneguhkan gugatannya dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya. Sebagaimana juga halnya jawaban, maka replik itu juga tidak di atur dalam H.I.R/R.Bg, akan tetapi di dalam pasal 142 reglemen acara perdata, replik itu biasanya berisi dalil-dalil atau hak-hak tambahan guna dalam menguatkan dalil-dalil gugatan si penggugat.
Ø  Adanya duplik dari Tergugat merupakan implementasi atas asas “audi et alteram partem” yang berarti para pihak yang berperkara dalam suatu proses perdata di muka pengadilan, harus diperlakukan sama oleh hakim. Dengan menerapkan asas tersebut, kedua pihak diperlakukan secara sama di depan hakim, termasuk dalam didengar keterangannya. Setelah keterangan Penggugat yang termuat dalam surat gugatan dan replik didengar oleh hakim, maka kemudian keterangan dari Tergugat di dengar yang termuat dalam duplik, sebagai jawaban dari Tergugat atas pernyataan Penggugat yang tertuang dalam replik. Duplik merupakan kesempatan yang diberikan kepada tergugat untuk menjawab yang kedua kalinya terkait pernyataan dari Penggugat, khususnya yang termuat dalam replik. Tujuan dari duplik adalah agar hakim mengetahui pokok masalah yang sebenarnya yang menjadi perselisihan dari kedua belah pihak. Di dalam duplik, tergugat dapat mengajukan hal-hal baru untuk menguatkan alasan yang telah disampaikan dalam jawaban. Duplik dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan. Akan tetapi ketika jawaban dan replik disampaikan secara tertulis, maka duplik kebanyakan juga disampaikan secara tertulis pula. Apabila keterangan yang disampaikan oleh Penggugat dan Tergugat masih memerlukan kejelasan lebih lanjut, Hakim dapat meminta ReReplik dan ReDuplik pada para pihak.
Ø  Setelah proses jawab jinawab selesai dilakukan, agenda selanjutnya adalah Pembuktian. Dalam Hukum Acara Perdata menjadi kewajiban bagi kedua belah pihak yang berperkara untuk membuktikan. Pembuktian ini untuk meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil yang disampaikan kedua belah pihak, sebelum hakim mengambil keputusan. Hal ini seperti ketentuan dalam pasal 1865 BW yang menyatakan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Ketentuan seperti itu juga terdapat dalam pasal 163 HIR /283 Rbg. Menurut ketentuan pasal 164 HIR terdapat 5 (lima) macam alat bukti, yakni; Alat bukti tertulis (surat), Alat bukti saksi, Persangkaan,  Pengakuan dan Sumpah. Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 164. 284, 285, 293, 294, Rbg. Pasal 1867 -1894 KUHPerdata ( BW ). Pengertian alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda baca dimaksud mencurahkan isi hati dan buah pikiran dipergunakan sebagai pembuktian. Akta, yakni surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar dan suatu hak atau perikatan yang dimuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta tersebut terdiri dari : AKTA OTENTIK, yaitu akta yang dibuat dihadapan pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan yang telah ditetapkan.  Akta Dibawah Tangan, ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa melibatkan/bantuan pejabat umum yang berwenang. Akta sepihak adalah akta yang ditulis dan ditanda tangani sendiri (sepihak). Perlu diketahui dari sekian alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam hukum acara perdata, maka alat bukti yang paling utama adalah alat bukti surat, terlebih-lebih menyangkut hak kepemilikan, hak penguasaan terhadap suatu benda, dan perjanjian/perikatan. Semua surat- surat yang dijadikan alat bukti dipersidangan harus di nazegelen (dimateraikan) terlebih dahulu dikantor pos sesuai UU No 13 Tahun 1985 dan Penjelasannya, agar surat tersebut dapat dinilai sebagai alat bukti. Bahwa surat-surat dalam bentuk fotocopy yang dijadikan alat bukti dipengadilan, pihak yang mengajukan berkewajiban menunjukkan asli surat tersebut kepada Majelis Hakim, yang kemudian Majelis Hakim membubuhkan tulisan singkat pada sudut atas surat tersebut bahwa surat tersebut telah dicocokkan dengan aslinya, kemudian diparaf oleh Ketua Majelis.  Surat-surat yang diajukan Penggugat diberi tanda ; P1, P2, dst. - Surat-surat yang diajukan Tergugat diberi tanda : T1, T2, dst. Selain alat bukti surat, Para Pihak juga dapat mengajukan alat bukti tambahan atau lainnya seperti alat bukti saksi, pengakuan dan persangkaan.
Ø  Setelah masing-masing pihak diberi kesempatan untuk membuktikan dalilnya, agenda selanjutnya adalah mendengar kesimpulan para pihak. Kesimpulan dibuat oleh para pihak setelah acara pembuktian. Kesimpulan merupakan suatu uraian megenai hasil-hasil sidang, yaitu penjabaran dari dalil-dalil yang telah disampaikan para pihak dalam jawab menjawab dikaitkan dengan alat bukti.Isi pokok dari kesimpulan adalah hal-hal yang menguntungkan para pihak sendiri.
Ø  Setelah itu Majelis Hakim melakukan Musyawarah untuk menentukan putusan yang akan dijatuhkan terhadap perkara yang diajukan.
Ø  Penjelasan pasal 60 undang – undang Nomor 7 tahun 1989 memberi definisi tentang putusan sebagai berikut: “Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa. Sedangkan Drs. H.A. Mukti Arto, SH. Memberi definisi terhadap putusan, bahwa : “Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan diajukan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempuh tahap jawaban dari tergugat sesuai dari pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik dari penggugat berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik dari tergugat, dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian dan konklusi. Untuk dapat membuat putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan bagi para pihak yang berperkara, hakim harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam perundang – undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.  Dalam penyusunan Hukum Acara Perdata telah dibuat sedemikian rupa agar prosesnya dapat berjalan secara cepat, sederhana, mudah dimengerti dan tentunya dengan biaya yang murah. Menurut bentuknya penyelesaian perkara oleh pengadilan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1.      Putusan / vonis : Suatu putusan diambil untuk memutusi suatu perkara.
2.      Penetapan / beschikking : suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan “yuridiksi voluntair”.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 178 H.I.R, Pasal 189 R.Bg. dan beberapa pasal dalam Undang – undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, maka wajib bagi hakim sebagai aparatur Negara yang diberi tugas untuk itu, untuk selalu memegang teguh asas-asas yang telah digariskan oleh undang-undang, agar keputusan yang dibuat tidak terdapat cacat hukum, yakni :
1.      Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci.
2.      Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan.
3.      Tidak boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan.
4.      Diucapkan di Muka Umum.
Pengadilan dalam mengambil suatu putusan diawali dengan uraian mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR , Pasal 189 RGB, dan Pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009. Menurut ketentuan undang undang ini, setiap putusan harus memuat hal – hal sebagai berikut :
1.      Kepala Putusan
2.      Identitas pihak yang berperkara
3.      Pertimbangan atau alasan-alasan
4.      Amar atau diktum putusan
5.      Mencantumkan Biaya Perkara.
Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14 / 1970 adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum. Jenis jenis putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu Kekuatan Mengikat, Kekuatan Pembuktian dan Kekuatan Executorial.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA

ringkasan Nahwu