TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK DI LUAR NIKAH
TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK DI LUAR NIKAH
A.
Pengertian Anak
Anak merupakan amanah yang dititipkan oleh Allah kepada para orang
tua. Sebagai amanah tentu anak tersebut harus dijaga dan diperhatikan
kelangsungan hidupnya dengan sebaik-baiknya karena para orang tua akan dimintai
pertanggungjawaban berkenaan dengan anugerah yang telah diberikan kepadanya.[1]Secara
bahasa anak diartikan sebagai keturunan yang kedua atau manusia yang masih
kecil.[2]Dalam
Bahasa Arab, anak disebut dengan menggunakan lafadz ولد
.ولد baik dengan dibaca fathah, kasroh
maupun dhommah huruf wawunya berarti bayi yang dilahirkan. Jamaknya
adalah أولاد .[3]selain
itu, anak juga disebut juga dengan lafadzطفل dengan tha yang dibaca kasrah.[4]
Konsep anak dalam al-quran disebutkan dengan redaksi yang
berbeda-beda dan dimaksudkan kepada arti yang berbeda pula.Paling tidak ada
lima istilah yang dipakai Al-qur’an dalam menceritakan anak, yaitu ibn,
al-walad, shobiyyun,thiflundan zuriyyah. Ibn bentuk
jamaknya adalah abna’. Menurut Al-Ashfahani, kata ibn diartikan
sebagai suatu yang dilahirkan. Pada umumnya kata ibn di dalam Al-qur’an mengacu
pada status anak, baik disandarkan kepada nama bapak, nama Tuhan (Allah),
ataupun sebutan lainnya.[5]
Kata al-walad dengan segala derivasinya disebutkan sebanyak
102 kali dalam Alqu’an dengan makna-makna yang berbeda sesuai dengan bentuknya.Bentuk
pertama yaitu al-walad (anak laki-laki) jamaknya adalah aulad
yang pengertian dan penggunaannya tidak banyak berbeda dengan kata al-ibn.Bentuk
kedua yaitu walidan (waktu masih anak-anak) disebut hanya sekali dalam
Al-qur’an, yaitu dalam Surat Asy-Syu’ara’ ayat 28.Bentuk ketiga yaitu al-wildan
(anak-anak/anak-anak muda) disebutkan sebayak enam kali dalam Al-qur’an.Empat
kali dalam arti ‘anak-anak’ yaitu dalam Surat An-Nisa ayat 75, 98 dan 127,
serta Surat Al-Muzzammil ayat 17. Sedangkan dua lainnya berarti ‘anak-anak
muda’ sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Waqi’ah ayat 17 dan Surat Al-Insan ayat
19, yaitu pelayan-pelayan surga dari anak-anak muda yang tetap muda
selama-lamanya. Bentuk keempat yaitu maulud (yang dilahirkan/anak)
terulang sebanyak tiga kali, yaitu dalam Surat Al-Baqarah ayat 233 (dua kali)
dan Surat Luqman ayat 33. Ketiga kata maulud tersebut mempunyai arti
yang berbeda, bergantung pada kata yang menyertai di belakangnya, seperti maulud
yang berarti ayah/bapak karena disertai kata lahu yaitu dalam Surat
Al-Baqarah ayat 233, sedangkan dalam Surat Luqman ayat 33 berarti anak karena
tidak disertai oleh kata tersebut.[6]
Selain kedua Istilah di atas Al-qur’an juga memakai kata sobiyyundan
thiflun baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Kedua istilah ini
cenderung berarti anak dengan usia yang masih dini sebagaimana yang disebutkan
dalam Surat Maryam ayat 12 dan 29 serta Surat Al Hajj ayat 5 dan Surat An-Nur
ayat 31.Al Qur’an juga menggunakan kata dzurriyyah untuk menyebut anak
cucu atau keturunan. Kata tersebut terulang dalam Al Qur’an sampai
32 (tiga puluh dua) kali. Sebagian besar ayatnya berkaitan dengan
masalah harapan atau doa orangtua untuk memperoleh anak keturunan yang baik.
Sebagian lagi berkaitan dengan peringatan Allah agar jangan sampai meninggalkan
anak-anak yang bermasalah, sebagian lagi berkaitan dengan masalah balasan yang
akan diterima oleh orangtua yang memiliki anak-anak yang tetap kokoh dalam
keimanannya.[7]
Secara umum anak adalah seseorang yang lahir dari rahim seorang ibu
sebagai akibat dari hasil hubungan persetubuhan pria dan wanita.[8]Pengertian
anak dalam Islam disosialisasikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang arif
dan berkedudukan mulia yang keberadaanya melalui proses penciptaan yang
berdimensi pada kewenangan kehendak Allah SWT.[9]Al-quran
menyebutkan bahwa manusia merupakan makhluk yang paling mulia yang diberi rizki
yang baik serta dianugrahi dengan berbagai kelebihan-kelebihan yang tidak
diberikan oleh Allah kepada makhluk lainnya. Hal tersebut sebagaimana
ditegaskan dalam Surat al-Isra ayat 70 sebagai berikut :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى آدَمَ
وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ
وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
Artinya :Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.[10]
Dalam Surat at-Tiin juga disebutkan :
لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنسَانَ فيِ
أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Artinya :Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.[11]
Anak adalah sosok yang akan memikul tanggung jawab di masa akan
datang sehingga negara memberikan suatu perlindungan bagi anak-anak dari
perlakuan-perlakuan yang dapat menghancurkan masa depannya.[12]PP
Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menyebutkan bahwa anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita
perjuangan bangsa dansumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga menyebutkan
bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasaharus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan
hak-haksebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan
bagiandari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945
danKonvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi
kehidupanberbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi
peneruscita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh,dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari
tindakkekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
B.
Macam-macam Anak Menurut Hukum
1.
Anak Sah
Anak
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah.[13]Pengertian
tersebut memberikan penafsiran bahwa anak sah adalah anak yang dibenihkan dan
lahir di dalam perkawinan yang sah.Begitu juga apabila anak tersebut dilahirkan
dalam perkawinan yang sah namun pembuahan dilakukan di luar perkawinan atau
anak tersebut dibenihkan dalam perkawinan yang sah namun dilahirkan di luar
perkawinan.[14]Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan atau dibenihkan selama
perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya.[15]Dengan
demikian seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan
setelah perkawinan adalah anak sah.Begitu juga jika anak tersebut dibenihkan di
luar perkawinan tapi lahir dalam perkawinan maka anak tersebut sah juga.[16]
Kompilasi
Hukum Islam pasal 99 menyebutkan bahwa anak sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah serta hasil pembuahan
suami-istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.Dengan
demikian seorang anak mendapat kedudukan sebagai anak sah apabila kelahiran
anak tersebut didasarkan pada perkawinan orang tuanya yang sah atau telah
didahului oleh perkawinan yang sah.[17]
2.
Anak Zina
Perzinaan dalam pandangan hukum barat adalah hubungan sumi istri
yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan dimana salah satu atau
keduanya sedang terikat perkawinan dengan orang lain. Hal tersebut didasarkan
pada ketentuan KUH Perdata yang menganut asas monogami sebagaimana tertera pada
pasal 27 yaitu pada waktu yang sama, seorang lelaki
hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja dan seorang
perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.[18]
Anak zina merupakan anak dalam kedudukan yang paling rendah. KUH
Perdata menyebutkan bahwa anak di luar kawin, kecuali
yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan
yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan
mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau bila
pengakuan ituterjadi dalam akta perkawinannya sendiri.[19]Anak
yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest, sumbang), tidak
boleh diakui tanpa mengurangi ketentuan Pasal 273 mengenai anak penodaan darah.[20]Hal
tersebut menunjukkan bahwa anak yang lahir karena perzinaan tidak mempunyai
hubungan keperdataan dengan orang tuanya baik dari ibu maupun bapak
biologisnya.Selain itu, anak yang lahir dari perzinaan juga tidak bisa
mendapatkan pengakuan dari kedua orang tuanya.
Lebih jauh lagi KUH Perdata menyebutkan bahwa anak zina
hanya memiliki hak untuk mendapatkan nafkah hidup seperlunya sesuai dengan
kemampuan orang tua biologisnya setelah memperhitungkan jumlah dan keadaan ahli
waris.Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan pasal 867-869 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa pengakuan anak dan kewarisan tidak berlaku bagi anak-anak yang
lahir dari perzinaanatau penodaan darah.Undang-undang hanya memberikan nafkah
seperlunya kepada mereka.[21]Nafkah
itu diatur sesuai dengan kemampuan bapak atau ibu atau menurut jumlah dan
keadaanpara ahli waris yang sah menurut undang-undang.[22]Bila
bapaknya atau ibunya sewaktu hidup telah memberikan jaminan nafkah seperlunya
untuk anak yang lahir dan perzinaan atau penodaan darah, maka anak itu tidak
mempunyai hak lebih lanjut untuk menuntut warisan dan bapak atau ibunya.[23]
Sementara dalam pandangan hukum Islam, yang dapat
disebut anak zina adalah setiap anak yang dilahirkan dari hubungan yang tidak
sah,[24]baik
salah satu atau keduanya terikat pernikahan dengan orang lain ataupun tidak. Artinya
anak tersebut dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
keduanya tidak terikat dalam pernikahan tanpa memandang apakah salah satu dari
mereka terikat pernikahan dengan orang lain atau tidak. Berbeda dengan konsep
yang dianut oleh hukum barat bahwa anak zina tidak memiliki hubungan perdata
dengan kedua orang tuanya, namun dalam Hukum Islam disebutkan bahwa anak zina
otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.Hal tersebut
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa
anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.[25]Hal
senada juga dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa anak yang
lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab denganibunya dan
keluarga ibunya.[26]
3.
Anak Sumbang
Anak sumbang yaitu anak yang lahir dari hasil hubungan antara
laki-laki dan perempuan dimana keduanya dilarang untuk melangsungkan perkawinan
baik karena terikat hubungan darah, hubungan semenda maupun hubungan
sepersusuan.[27]
Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa seseorang dilarang untuk
melangsungkan perkawinan apabila :
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
atau ke atas
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara
seorang dengan saudara neneknya
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu,
dan ibu atau ayah tiri
d. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak
sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.[28]
Sedangkan KUH Perdata menyebutkan bahwa :
Pasal 30
Perkawinan dilarang antara mereka yang satusama lainnya
mempunyai hubungan darah dalamgaris ke atas maupun garis ke bawah, baik karena
kelahiran yang sah maupun karena kelahiranyang tidak sah, atau karena perkawinan
dalam garis ke samping, antara kakak beradik lakiperempuan, sah atau tidak sah.
Pasal 31
Juga dilarang perkawinan:
1.
antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah,
kecuali bila suami atau istriyang menyebabkan terjadinya periparan itu telah
meninggal atau bila atas dasarketidakhadiran si suami atau si istri telah
diberikan izin oleh Hakim kepada suami atauistri yang tinggal untuk melakukan
perkawinan lain
2.
antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan
kemenakan,demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan kemenakan
laki-laki kemenakanyang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting,
Presiden dengan memberikandispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang
tercantum dalam pasal ini.
Dari kedua aturan tersebut dapat dilihat
bahwa terdapat perbedaan antara konsep anak sumbang dalam pandangan Hukum Islam
dan Hukum Perdata dimana dalam Hukum Islam dikenal istilah sepersusuan yang
tidak dikenal dalam Hukum Perdata. Selain itu, dalam KUH Perdata disebutkan
bahwa kedudukan anak sumbang sama dengan anak zina, dimana ia tidak mendapatkan
hak keperdataan dari kedua orang tua biologisnya, namun hanya sebatas
mendapatkan nafkah hidup seperlunya.[29]
4.
Anak Luar Kawin Lainnya
Witanto
membagi anak luar kawin lainnya ini menjadi tiga, yaitu anak luar kawin yang
dapat diakui, anak mula’anah dan anak syubhat.[30]
a.
Anak
luar kawin yang dapat diakui.
Yang
dimaksud dengan anak luar kawin yang dapat diakui ini adalah anak yang lahir di
luar perkawinan yang sah selain anak zina dan anak sumbang sebagaimana
disebutkan dalam KUH Perdata. Namun dalam konsep Islam, anak tersebut adalah
sama dengan anak zina.Dalam KUH Perdata disebutkan bahwa anak luar kawin
tersebut dapat diakui oleh orang tua biologisnya sehingga ada kemungkinan dia
memiliki hubungan keperdataan dengan mereka.Sebaliknya anak luar kawin tersebut
tidak bisa memiliki hubungan perdata baik dengan ayah atau ibunya tanpa adanya
pengakuan dari mereka.[31]
Hal tersebut termaktub dalam KUH Perdata pasal 280 yang berbunyi:
Dengan
pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak
itudan bapak atau ibunya.
Meskipun anak luar kawin tersebut dapat diakui namun kedudukannya
tidak bisa disamakan dengan anak sah.Anak tersebut tetap mendapatkan hak waris
dari kedua orang tuanya namun bagiannya tidak sebesar bagian anak sah. Anak
tersebut hanya mempunyai hak waris penuh apabila pewaris tidak mempunyai ahli
waris lain.[32]
b.
Anakmula’anah
Li’an
diambil dari kata la’ana yang berarti kutukan.Li’an adalah sumpah
suami yang menuduh istrinya berzina dan atau suami tidak mengakui anak yang dikandung
atau yang telah dilahirkan oleh istrinya, sementara sang istri mengingkari
tuduhan tersebut.[33]Anak
li’an berarti anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang dili’an
oleh suaminya.Anak li’an hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibu.
c.
Anaksyubhat
Anak
syubhat adalah anak yang lahir dari hubungan antara laki-laki dan perempuan
yang terjadi karena kekeliruan.[34]
Ulama Syafi’iyah membagi syubhat menjadi tiga, yaitu :
1)
Syubhat
pada subjek
Syubhat pada pelaku adalah syubhat yang bersumber pada dugaan
pelaku. Artinya ia tanpa sadar melakukan perbuatan yang dilarang karena menduga
bahwa perbuatan tersebut tidak dilarang. Sebagai contoh seorang suami
menyetubuhi wanita yang diduga istrinya, dan setelah persetubuhan itu
berlangsung ternyata wanita tersebut bukan istrinya.
2)
Syubhat
pada objek
Syubhat
pada obyek adalah bentuk syubhat yang dapat terjadi terkait dengan obyek
suatu perbuatan, misalnya suami menyetubuhi istrinya yang sedang dalam keadaan
haid atau puasa syara’.Di satu sisi menyetubuhi istri adalah boleh,
namun menyetubuhinya dalam keadaan haid adalah sesuatu yang dilarang oleh hukum
syara’.
3)
Syubhat
pada hukum
Syubhat
jenis ini adalah syubhat karena adanya keanekaragaman pendapat terhadap
suatu permasalahan. Akibat banyaknya pendapat tersebut sehingga seseorang
bingung untuk menentukan pendapat mana yang akan dijadikan pedoman.[35]
5.
Anak Angkat
Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan
pengadilan.[36]Tindakan pengangkatan anak
tersebut tidak menimbulkan terputusnya hubungan darah antara anak dengan orang
tua kandungnya.Anak angkat tersebut tetap dapat menerima warisan dari orang tua
kandungnya.Tujuan pengangkatan anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
anak yang dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang dan ketentuan adat
setempat.[37]
Dalam pengangkatan anak tersebut harus diperhatikan juga
syarat-syarat yang harus dipenuhi, baik dari sisi anak angkat maupun dari sisi
calon orang tua angkat sebagaimana tertera dalam pasal 12 dan 13 PP Nomor 54
Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yaitu :
Pasal 12
(1) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a.
belum berusia 18 (delapan belas) tahun
b.
merupakan anak terlantar atau ditelantarkan
c.
berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak
d.
memerlukan perlindungan khusus.
(2) Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi:
a.
anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama
b.
anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua
belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak
c.
anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
Pasal 13
Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
a.
sehat jasmani dan rohani
b.
berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55
(lima puluh lima) tahun
c.
beragama sama dengan agama calon anak angkat
d.
berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan
e.
berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun
f.
tidak merupakan pasangan sejenis
g.
tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak
h.
dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial
i.
memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali
anak
j.
membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaikbagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak
k.
adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat
l.
telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,
sejak izin pengasuhandiberikan
m.
memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
6.
Anak Tiri
Anak
tiri adalah anak yang dibawa masuk kedalam sebuah perkawinan baru orang tua
dimana anak tersebut merupakan hasil dari perkawinan sebelumnya. Seorang anak
tiri memiliki kedudukan yang sama dengan anak sah terhadap orang tua kandung
dan hak mewaris juga hanya didapatkan dari orang tua kandung. Oleh karena itu,
jika orang tua tiri ingin memberikan sebagian harta kepada anak tirinya, maka
hal tersebut dapat dilakukan dengan hibah atau wasiat wajibah
yang jumlahnya tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta.Meskipun anak tiri
tidak dapat mewaris dari orang tua tirinya, namun hak dan kewajiban alimentasi
antara anak dan orang tua tiri tetap berlaku sebagaimana hak dan kewajiban
alimentasi antara orang tua dan anak kandung.[38]
C.
Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam
Prof.Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa setiap anak mempunyai hak
yang harus dipenuhi oleh orang tua, yaitu nasab, radha’, hadhanah,
perwalian dan nafkah.Nasab sangat penting untuk menentukan garis
keturunan.Radha’ dan hadhanah juga penting untuk memelihara dan
menjaga anak pada saat masih bayi dan lemah.Perwalian dan nafkah juga penting
bagi anak karena berkaitan dengan jiwa, harta dan pendidikan anak.[39]
1.
Nasab
Nasab adalah
keturunan, yaitu pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai
suatu akibat dari perkawinan yang sah.Nasab merupakan nikmat yang paling
besar yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sebagaimana firman-Nya :
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَآءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا
وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
Artinya
:Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu
(punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.[40]
Syariat melarang orang
tua untuk mengingkari nasab anak mereka sendiri atau menisbahkan anak pada
selain ayahnya sendiri. Hal tersebut sebagaimana sabda Nabi SAW :
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ فَلَيْسَتْ مِنَ اللّهِ
فِى شَيْءٍ وَلَنْ يُدْخِلَهَا اللّهُ جَنَّتَهُ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ
وَلَدَهُ وَهُوَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ احْتَجَبَ اللهُ مِنْهُ وَفَضَحَهُ عَلَى
رُؤُوسِ الأَوَّلِيْنَ وَالآخَرِيْنَ
Artinya
:Wanita mana saja yang menambahkan seseorang dalam sebuah keluarga, namun sebenarnya
bukan bagian dari keluarga itu maka Allah tidak akan memasukkannya kedalam
surga. Dan lelaki mana saja yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia
mengetahuinya maka Allah akan menghalanginya masuk surga dan Allah akan
mempermalukannya di hadapan orang banyak.
Syariat juga melarang anak untuk menasabkan dirinya kepada selain
ayahnya sendiri[41]
sebagaimana sabda Rasul SAW :
حدثنا مسدد
حدثنا خالد هو ابنُ عبدِ اللهِ حدثنا خالدٌ عن أبى عثمانَ عن سعدٍ رضي الله عنه
قال سمعتُ النبيَّ صلى الله عليه و سلم يقول من ادَّعى الى غيرِ أبيه وهو يعلم أنه
غيرُ أبيه فالجنة عليه حرامٌ فذكرتُه لأبي بكرة فقال وانا سمعتْه أُذُنايَ ووَعاه
قلبي من رسول الله صلى الله عليه و سلم
Artinya
:Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Khalid
yaitu Ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Khalid dari Abu Utsman dari
Sa’d RA mengatakan, aku mendengar Nabi SAW bersabda :”barangsiapa menasabkan
diri kepada selain ayahnya padahal dia tahu bahwa dia bukan ayahnya maka surga
haram baginya.” Maka aku sampaikan hadits ini kepada Abu Bakrah dan ia
berkata:”aku mendengarnya dengan kedua telingaku ini dan hatiku juga mencermati
betul dari rasulullah SAW”.[42]
Sebab-sebab penentuan nasab ditinjau dari dua garis:
1.
Sebab
penentuan nasab seorang anak kepada ibunya adalah dengan adanya
kelahiran, baik kelahiran tersebut sebagai hasil dari pernikahan yang sah,
pernikahan yang fasid, perzinaan, atau wathi’ syubhat.[43]
2.
Penentuan
nasab anak terhadap ayah dapat terjadi karena tiga hal, yaitu pernikahan
yang sah, pernikahan yang fasid dan melalui hubungan senggama karena
adanya syubhat.[44]
a)
Pernikahan
yang sah
Ulama
fikih sepakat bahwa anak yang lahir dalam pernikahan yang sah, maka nasabnya
dikembalikan kepada suami wanita yang melahirkan tersebut. Hal tersebut sesuai
dengan hadits :
وَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ وَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَ
ابْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عن الزُّهْريِّ
عن ابنِ المُسَيَّبِ و أبي سَلَمَةَ عن أبي هُرَيْرَةَ أَنَّ رسولَ اللهِ صلى الله
عليه وسلم قال الولدُ للفِرَاشِ و للعاهِرِ الحجرُ.
Artinya : Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi’ dan Abd
bin Humaid, Ibnu Rafi’ mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razaq telah
mengabarkan kepada kami Ma’mar dari az-Zuhri dari Ibnu Musayyab dan Abu Salamah
dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :”seorang anak adalah
untuk pemilik ranjang, sedangkan orang yang menzinai tidak mempunyai hak
atasnya.”[45]
Dalam menetapkan nasab melalui pernikahan yang sah tersebut harus
memenuhi beberapa syarat, yaitu :
1)
Suami
tersebut merupakan orang yang mampu menghamili istri. Maksud dari pernyataan
tersebut adalah bahwa suami tersebut sudah baligh menurut kesepakatan ulama
Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan Hanafiyah.[46]
2)
Menurut
ulama Hanafiyah, kelahiran anak tersebut terjadi setelah enam bulan dari waktu
pernikahan.[47]
3)
Suami
istri bertemu minimal satu kali setelah akad nikah. [48]
Adapun cara menentukan nasab anak yang terlahir setelah
terjadi perceraian antara suami istri adalah sebagai berikut :
1)
Ulama
sepakat bahwa apabila suami menalak istrinya setelah melakukan hubungan badan,
kemudian istrinya melahirkan anak dalam kurun waktu kurang dari enam bulan
setelah perceraian, maka anak tersebut dinasabkan kepada suami itu. Namun
apabila kelahiran anak tersebut terjadi lebih dari enam bulan setelah
perceraian sedangkan suami tidak menggaulinya sebelum bercerai, maka anak
tersebut tidak dapat dinasabkan kepadanya.[49]
2)
Apabila
suami menceraikan istri setelah menggaulinya, baik cerai tersebut talakraj’i,
talak ba’in maupun karena meninggal, maka terdapat dua kemungkinan :
a.
Apabila
istri melahirkan sebelum lewat batas maksimal kehamilan terhitung dari hari
cerai atau meninggalnya suami, maka anak tersebut bernasab kepada suami.[50]
Batas maksimal kehamilan menurut para ulama fikih adalah dua tahun menurut imam
Hanifah, empat tahun menurut Imam Syafi’i, Malik dan Hanbali, lima tahun
menurut ‘Ibad Bin Awam, tujuh tahun menurut az-Zuhri dan tidak ada batas
maksimal kehamilan menurut Abu ‘Ubaid.[51]
b.
Apabila
anak tersebut lahir setelah lewat batas maksimal kehamilan yang terhitung sejak
hari perceraian atau meninggalnya suami, maka nasab anak tidak bisa
diikutkan kepada suami yang telah cerai atau wafat. Pendapat ini adalah
pendapat mayoritas ulama.[52]
b)
Pernikahan
yang fasid
Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam
keadaan kekurangan syarat ( الزواج الفاسد هي الذي فقد
شرطا من شروط الصحة). Penetapan
nasab anak yang lahir dari pernikahan yang fasidsama dengan
penetapan anak yang lahir dari pernikahan yang sah. Ulama menetapkan tiga
syarat penetapan nasab anak dari pernikahan yang fasid, yaitu :
1)
Suami
adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menjadikan istrinya hamil, yaitu
seorang yang baligh dan tidak mempunyai penyakit yang dapat menyebabkan
istrinya tidak hamil.
2)
Hubungan
badan benar-benar terjadi dan dilakukan oleh pasangan yang bersangkutan.
3)
Anak
tersebut dilahirkan dalam waktu enam bulan setelah akad nikah fasid.[53]Apabila
anak tersebut dilahirkan sebelum enam bulan dari hari akad maka anak tersebut
tidak dapat dinasabkan kepada suami wanita tersebut.
Apabila anak tersebut lahir setelah pasangan suami istri melakukan
hubungan badan kemudian bercerai, baik melalui hakim atau tidak, dan anak
tersebut lahir sebelum batas maksimal kehamilan, maka anak tersebut dinasabkan
kepada suami wanita tersebut.Namun apabila anak tersebut lahir setelah lewat
batas maksimal kehamilan maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada suami
wanita tersebut.[54]
c)
Wathi’
syubhat
Wathi’ syubhat adalah
hubungan badan yang terjadi bukan dalam pernikahan yang sah atau fasid
dan bukan pula dari perzinaan.Wathi’ syubhat terjadi karena
kesalahpahaman atau kekeliruan.Misalnya seorang pria menggauli wanita yang
dikira sebagai istrinya, namun ternyata bukan.Dalam hal ini, apabila wanita
tersebut melahirkan dalam kurun waktu enam bulan atau lebih dari waktu senggama
maka anak tersebut dinasabkan kepada lelaki yang menyetubuhinya.Akan
tetapi apabila anak tersebut lahir sebelum enam bulan atau lebih dari batas
maksimal kehamilan maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada
lelaki yang menyetubuhinya.[55]
2.
Radha
Para fuqaha sepakat bahwa menyusui anak itu wajib bagi
seorang ibu, baik ketika ibu tersebut masih menjadi istri ayah dari bayi maupun
sudah dicerai dan sudah selesai masa iddahnya.[56]Apabila
ibu tidak mau menyusui bayinya tanpa alasan yang dibenarkan, maka hakim berhak
memaksa supaya ibu tersebut menyusui anaknya.Pemaksaan itu dilakukan demi
pemeliharaan terhadap anak tersebut. Allah berfirman :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ
تُضَآرَّ وَالِدَةُ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى
الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا
وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا
أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآءَاتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ
وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya
:Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian.apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.[57]
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa seorang ibu wajib menyusui
bayinya jika memang statusnya masih sebagai istri atau dalam masa ‘iddah dari
cerai raj’i.dan jika ia menolak untuk menyusui tanpa uzur maka hakim berhak
memaksanya untuk menyusui bayinya. Sedangkan istri yang sudah dicerai ba’in
tidak wajib menyusui bayinya. Apabila ia menyusui bayinya maka ia berhak
meminta upah kepada ayah bayi[58]
tersebut berdasarkan firman Allah SWT :
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلاَتُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُوْلاَتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا
بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
Artinya
:Tempatkanlahmereka (para
isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.[59]
3.
Hadhanah
Pengasuhan merupakan hak setiap anak karena mereka sangat
membutuhkan orang yang mampu menjaga, melindungi, serta memenuhi kebutuhan dan
pendidikan mereka.Para ahli fikih menyebutkan bahwa mengasuh anak merupakan
kewajiban seorang ibu.Yang dimaksud dengan mengasuh adalah mendidik,
memelihara, mengurus makanan, minuman, pakaian, dan kebersihan anak tersebut.Alasan
didahulukannya ibu dalam mengasuh adalah karena ibu lebih bijak, lebih mampu
dan lebih sabar daripada kaum laki-laki.Seorang ibu juga lebih banyak memiliki
waktu luang daripada ayah sehingga pengasuhan lebih didahulukan kepada ibu
untuk menjaga kemashlahatan anak.[60]Apabila
tidak ada ibu, maka pengasuhan diganti oleh kaum wanita dari keluarga ibu, dan
kalau mereka juga tidak ada maka diganti oleh kaum wanita dari keluarga ayah.
Seorang wanita yang akan menjadi pengasuh anak harus memiliki
syarat-syarat tertentu agar ia dalam melaksanakan tugasnya benar-benar
bermanfaat bagi anak. Syarat-syarat itu sebagai berikut[61] :
1.
Berakal
sehat
2.
Baligh
3.
Memiliki
kemampuan untuk mendidik anak
4.
Amanah
dan berbudi pekerti baik
5.
Beragama
islam[62]
6.
Belum
menikah[63]
7.
merdeka
Para fuqoha’ sepakat bahwa pengasuhan anak dimulai sejak kelahiran
anak sampai usiatamyiz. Menurut ulama Madzhab Hanafi, masa mengasuh anak
habis dengan sendirinya manakala anak yang bersangkutan tidak lagi membutuhkan
pemeliharaan dan sudah sanggup melaksanakan keperluan vital seperti makan,
minum, berpakaian dan mandi.Usiatamyiz tersebut kira-kira sampai anak
berusia tujuh tahun.Ulama Madzhab Maliki berpendapat bahwa pengasuhan anak
berlanjut sampai anak tersebut baligh.Sedangkan bagi anak perempuan pengasuhan
berlanjut sampai anak tersebut menikah.Menurut Madzhab Syafi’i dan Hanbali,
pengasuhan anak dilakukan sampai anak tersebut tamyiz. Apabila anak
telah mencapai usia tujuh atau delapan tahun dan tamyiz, maka anak
dipersilahkan untuk memilih antara ayah dan ibunya ketika keduanya dalam
keadaan berpisah.[64]
4.
Perwalian
Perwalian adalah pengaturan orang dewasa terhadap urusan orang yang
kurang dalam masalah kepribadian dan harta.Yang dimaksud kurang adalah orang
yang tidak sempurna ahliyyatul ada’nya.Perwalian terbagi menjadi dua,
yaitu perwalian atas jiwa dan perwalian atas harta.Perwalian atas jiwa adalah mengatur
urusan orang yang kurang ahliyatul ada’, baik menjaga, merawat,
mendidik, menikahkan dan lain-lain.Sedangkan perwalian atas harta adalah
mengatur perputaran harta benda seseorang yang kurang ahliyatul ada’nya,
baik dalam masalah perdagangan, sewa, gadai dan lain-lain.[65]
Urutanwali atas diri seseorang menurut Ulama’ Hanafiyah adalah
anak, ayah, kakek, saudara laki-laki, dan paman.Sedangkan menurut Ulama
Malikiyah adalah anak, bapak, orang yang diwasiati, saudara laki-laki, kakek
dan paman.Kewenangan wali atas diri seseorang adalah mendidik dan mengajar,
menjaga kesehatan, mengawasi perkembangan fisik, menyekolahkan dan mengurus
pernikahannya. Perwalian atas diri seseorang habis ketika anak telah mencapai
usia lima belas tahun serta anak mampu mengurus dirinya sendiri. Yang demikian
adalah pendapat Ulama Hanafiyyah. Sedangkan untuk anak perempuan masa perwalian
habis setelah ia menikah, karena setelah menikah haknya menjadi tanggung jawab
suaminya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa masa perwalian habis ketika sebab
perwalian sudah hilang, yakni usia anak-anak, gila, idiot dan sakit. Sedangkan
bagi perempuan, masa perwalian tidak habis kecuali setelah melakukan hubungan
badan dengan suaminya.[66]
Adapun perwalian atas harta benda seorang anak adalah menjadi
tanggung jawab ayah.Apabila ayah meninggal dunia, maka perwalian atas harta
dilimpahkan kepada orang yang diberi wasiat, kemudian kakek, orang yang diberi
wasiat oleh kakek, hakim pengadilan dan orang yang diberi wasiat oleh
kakek.Demikian menurut pendapat Ulama Hanafiyyah.Sedangkan menurut Ulama
Malikiyah dan Hanabilah adalah perwalian atas seorang anak yang ayahnya wafat
diserahkan kepada orang diberi wasiat untuk mengurusnya.Jika tidak ada maka
perwalian diserahkan kepada hakim.Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa perwalian
setelah ayah diserahkan kepada kakek, orang yang diberi wasiat, kemudian hakim.
Perwalian atas harta tersebut terus berlanjut hingga anak mencapai usia dewasa.[67]
5.
Nafkah
Pemberian nafkah diwajibkan karena adanya anak yang lahir dari
hubungan mereka.[68]
Allah berfirman :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ
تُضَآرَّ وَالِدَةُ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى
الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا
وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا
أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآءَاتَيْتُم
بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya
:Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian.apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.[69]
Ayat tersebut mengajarkan bahwa ayah berkewajiban memberi nafkah
kepada ibu anak-anak dengan ma’ruf. Seseorang tidak dibebani kewajiban
kecuali menurut kadar kemampuannya. Seorang ibu jangan sampai menderita karena
anaknya.Demikian pula seorang ayah jangan sampai menderita karena anaknya dan
ahli warisnya.Kewajiban memberi nafkah tersebut disebabkan karena adanya
hubungan saling mewarisi dengan orang yang diberi nafkah.[70]
Anak-anak yang wajib dinafkahi menurut pendapat mayoritas ulama
adalah anak-anak yang langsung dari ayah, kemudian cucu dan seterusnya ke
bawah.Imam Malik berpendapat bahwa nafkah anak yang wajib hanyalah anak yang
langsung saja, sedangkan cucu tidak wajib diberi nafkah.[71]
Adapun kewajiban ayah memberi nafkah kepada anak tersebut memerlukan
syarat-syarat sebagai berikut :
1.
Anak-anak
membutuhkan nafkah dan tidak mampu bekerja. Anak dipandang tidak mampu bekerja
ketika masih anak-anak atau telah besar namun tidak mendapatkan pekerjaan.
2.
Ayah
mempunyai harta dan berkuasa memberi nafkah.[72]
D.
Kedudukan Anak Luar Nikah
Kedudukan anak dalam Islam sangat tinggi dan mulia.Al-Quran
memposisikan anak sebagai perhiasan dunia. Hal tersebut tercantum dalam surat
al-Kahfi ayat 46 sebagai berikut:
الْمَالُ
وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ
عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلاً
Artinya :Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia
tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.[73]
Al-quran juga menyebutkan anak sebagai hiburan sebagaimana tertera
dalam surat al-Furqan ayat 74 sebagai berikut:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا
مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا
Artinya : Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami,
anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai
penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.[74]
Namun harus disadari pula bahwa predikat yang begitu mulia dan
tinggi terhadap anak tersebut hanya dimiliki oleh anak yang berpredikat sebagai
anak sah sebagai akibat dari pernikahan yang sah pula.[75]Islam
mengajarkan bahwa anak yang dilahirkan secara sah memiliki kedudukan yang baik
dan terhormat.Ia memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya, sehingga antara anak
dan orang tua tersebut timbul hak dan kewajiban. Anak berkewajiban menghormati
dan mentaati orang tuanya sepanjang tidak diperintah untuk berbuat maksiat.Sebaliknya,
orang tua berkewajiban mendidik dan menafkahi anak sesuai dengan perkembangan
anak itu sendiri.[76]
Orang tua wajib memberikan hak anak secara total, baik hak
penjagaan dan pemeliharaan, hak nasab, hak nama baik, hak penyusuan,
pengasuhan, warisan bahkan pendidikan dan pengajaran. Islam tidak membenarkan
menghubungkan nama anak kepada selain bapaknya, meskipun anak angkat kepada
bapak angkat. Allah menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya sebagai berikut:
وَمَاجَعَلَ
أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ
يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ * ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ
اللهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا ءَابَآءَهُمْ فَإِخْوَانَكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَآ أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّاتَعَمَّدَتْ
قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Artinya :Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah
hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar
itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu.dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[77]
Nabi SAW bersabda :
وَ
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ وَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَ ابْنُ رَافِعٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عن الزُّهْريِّ عن ابنِ
المُسَيَّبِ و أبي سَلَمَةَ عن أبي هُرَيْرَةَ أَنَّ رسولَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم قال الولدُ للفِرَاشِ و للعاهِرِ الحجرُ.
Artinya : Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi’ dan Abd
bin Humaid, Ibnu Rafi’ mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razaq telah
mengabarkan kepada kami Ma’mar dari az-Zuhri dari Ibnu Musayyab dan Abu Salamah
dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :”seorang anak adalah
untuk pemilik ranjang, sedangkan orang yang menzinai tidak mempunyai hak
atasnya.”[78]
Hadits di atas menunjukan bahwa anak yang lahir dari pernikahan
yang sah dihubungkan nasabnya kepada bapaknya. Implikasi dari hubungan nasab
tersebut otomatis membuat anak tersebut memiliki hubungan keperdataan dengan
bapak sehingga ia berhak mendapatkan waris, nafkah, perwalian serta hak
keperdataan lainnya. Sebaliknya anak yang lahir di luar pernikahan yang sah
tidak tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada bapaknya namun hanya
kepada ibu dan keluarga ibunya.[79]
Hal tersebut senada dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan pasal
43(1) jo. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.Oleh karena anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak
mempunyai hubungan nasab dengan bapak dan keluarga bapaknya sehingga anak
tersebut tidak berhak atas waris, nafkah, perwalian serta hak keperdataan
lainnya.
Ibnu Hazm menegaskan bahwa anak yang lahir akibat perzinaan hanya
ada hubungan saling mewarisi dengan ibu kandungnya.Ia juga hanya mempunyai
hak-hak seperti perlakuan baik, pemberian nafkah, hubungan kemahraman dan
berbagai ketentuan hubungan hukum lain dengan ibu kandungnya saja.[80]Para
ulama sepakat bahwa anak yang lahir akibat perzinaan berkedudukan sebagai orang
lain dengan bapak biologisnya, sehingga ia tidak dapat saling mewarisi dan
tidak dapat dihubungkan nasabnya dengan bapak biologisnya. Selain itu,
bapaknya juga tidak berkewajiban untuk memberi nafkah, tidak diperkenankan
untuk duduk berduaan serta tidak bisa menjadi wali nikah bagi anak perempuan
zinanya.[81]
Aturan tersebut sangat berbeda dengan konsep yang dipakai dalam
hukum perdata.Anak yang dilahirkan di luar nikah selain anak zina dan anak
sumbang dapat diakui sebagai anak sah apabila anak tersebut mendapat
pengakuan.Pengakuan tersebut tentu melahirkan status baru bagi anak tersebut
karena dengan adanya pengakuan oleh kedua orang tua biologisnya maka muncullah
status dan hak anak di hadapan hukum.Anak yang sebelumnya tidak memiliki hak
apapun terhadap ayah dan ibunya menjadi memiliki hak waris dan hak keperdataan
lainnya.[82]
KUH Perdata membagi anak luar kawin menjadi tiga bagian, yaitu anak
zina, anak sumbang dan anak luar kawin yang dapat diakui. Seorang anak mendapat
status sebagai anak zina adalah apabila ia dilahirkan dari hubungan antara
laki-laki dan perempuan yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dengan
orang lain. Sedangkan anak sumbang adalah anak yang dilahirkan dari sebuah
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terlarang untuk melakukan
pernikahan.[83]Dalam
KUH Perdata disebutkan bahwa anak zina maupun anak sumbang itu tidak dapat
diakui oleh kedua orang tua biologisnya.Anak zina dan anak sumbang dianggap
tidak mempunyai orang tua secara yuridis, sehingga menjadikan mereka tidak
mempunyai hak keperdataan apapun kepada orang tua biologisnya, baik ayah maupun
ibu kandungnya.Mereka tidak mendapatkan bagian warisan apabila orang tuanya
meninggal.Bahkan mereka hanya berhak untuk mendapatkan hak nafkah hidup
seperlunya berdasarkan kemampuan ayah dan ibu serta ahli waris yang sah menurut
undang-undang.[84]
Sementara anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang
dilahirkan di luar ikatan perkawinan yang sah selain anak zina dan anak
sumbang.Anak dalam kategori ini dapat dianggap sebagai anak sah apabila
dilakukan pengakuan terhadapnya.Karena dianggap sebagai anak sah, maka ia
memiliki hubungan keperdataan dengan bapak dan ibu biologisnya setelah adanya
pengakuan dari keduanya.[85]Pengakuan
anak yang telah dilakukan oleh orang tua biologis tidak hanya berakibat pada
munculnya hak waris bagi anak terhadap ayah atau ibunya, namun juga dapat
menimbulkan hak waris bagi ayah atau ibu terhadap anak tersebut apabila anak
tersebut meninggal terlebih dahulu.[86]Anak
sah dan anak luar kawin yang diakui sama-sama memiliki hak terhadap harta
peninggalan orang tua, hak saissane, hak heredetatis petition dan
hak untuk menuntut pemecahan warisan.Akan tetapi diantara keduanya terdapat
perbedaan yaitu anak luar kawin meskipun telah diakui, namun kedudukan mereka
hanya dibawah perwalian orang tua mereka, hak bagian warisan mereka berbeda
dengan bagian anak sah dan mereka tidak memiliki hubungan apa-apa selain dengan
orang tua yang mengakuinya saja.[87]
و الله أعلم بالصواب
[1] Siti Musdah
Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaharu Keagamaan, Bandung : Mizan
Pustaka, 2005, h. 403.
[2] Ebta Setiawan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.1, Http://Ebsoft.Web.Id
[4]Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997, h. 856.
[5]http://sumut.kemenag.go.id
/file/file/ TULISANPENGAJAR/gfpm 1365 445181.pdf, diakses pada 23 Februari 2015 pukul 08 : 00
WIB.
[7]http://fadhlibull.blogspot.com/2013/05/anak-dalam-kacamata-al-quran.html, diakses pada
23 Februari 2016 pukul 09 : 18 WIB.
[8] Abdul Azis
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996,
h. 112.
[9]http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27786/3/Chapter%20II.pdf, diakses pada
hari Sabtu, 20 Februari 2016 pukul 21 : 32 WIB.
[10]Al-Isra ayat
70. Dalam Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, Bandung : Hilal,
h.289.
[11]At-Thin ayat 4.
Dalam Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, Bandung : Hilal, h.597.
[12] Witanto, Hukum
Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang
Uji Materiil UU Perkawinan, Jakarta : Prestasi Pustakaraya, 2012, h.4.
[13]Pasal 42 UU
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
[14] Ahmad Rofiq, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2013, h. 181.
[15]Pasal 250
KUHPerdata.
[16] Ali Afandi, Hukum
Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian ,Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW), Jakarta : Bina Aksara, 1986, hal. 145.
[17] Witanto, Hukum
Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang
Uji Materiil UU Perkawinan, Jakarta : Prestasi Pustakaraya, 2012, h. 39.
[18] Pasal 27 KUH
Perdata
[19] Pasal 272 KUH
Perdata
[20] Pasal 283 KUH
Perdata
[21] Pasal 867KUH
Perdata
[22] Pasal 868 KUH
Perdata
[23] Pasal 869 KUH
Perdata
[24] Abdul Azis
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 112.
[25]Pasal 43 ayat
(1) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[26] Pasal 100
Kompilasi Hukum Islam
[27]Witanto, Hukum
Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang
Uji Materiil UU Perkawinan., h. 41.
[28] Pasal 70 (d) Kompilasi
Hukum Islam jo. Pasal 8 UU Perkawinan
[29] Pasal 867 KUH
Perdata
[30]Witanto, Hukum
Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang
Uji Materiil UU Perkawinan. h. 45.
[32]Pasal 862-865
KUH Perdata.
[33] Sayid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah, Jilid 2, Kairo : al-Fath
Lil I’lam al-‘Araby,tt, h. 204-205.
[34]Witanto, Hukum
Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang
Uji Materiil UU Perkawinan., h. 47.
[35] Nurul Irfan, Nasab
Dan Status Anak Dalam Hukum Islam,
Jakarta : Amzah, 2015, h. 83-85.
[36] Pasal 1 PP
Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
[37]Witanto,
Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK
Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, h. 49.
[39] Wahbah
az-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, Penerj. Abdul Hayyie
al-Kattani, Jakarta : Gema Insani, 2011, h. 25.
[40]Al-Furqan ayat
54. Dalam Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, Bandung : Hilal,
h. 364.
[41] Abdul Azis
Dahlan, , Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1304.
[42]Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2 Shahih al-Bukhari 2,
Penerj. Subhan Abdullah dkk, Jakarta : Almahira, 2012, h. 695.
[43] Badran Abu
al-‘Ainain Badran, Huquq Al-Aulad Fi Al-Syari’ati Al-Islamiyyah Wa Al-Qanun,
Iskandariyah : Muassasah Syabab Al-Jami’ah,tt, h. 7.
[44] Nurul Irfan, Nasab
Dan Status Anak Dalam Hukum Islam, h. 61.
[45] Muslim Bin
Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 3 Shahih Muslim 2,
Penerj. Ferdinand Hasmand Dkk, Jakarta :
Almahira, 2012, h. 701.
[46] Abdul Azis
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,
h. 1305.
[47]Ahmad Husni, Al-Ahkam
Al-Syar’iyyah Fi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah ‘Ala Madzhab Al-Imam Al-A’dham Abi
Hanifah Al-Nu’man, Mesir : Maktabah Muhammad Ali Shabih Wa Auladuhu, 1965, h.
52.
[48] Wahbah
az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu. h. 33.
[49] Abdul Azis
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1305.
[50] Wahbah al-Zuhaili,
Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, jilid 7, Damaskus : Dar Al-Fikr, 1985,
h. 684-685.
[51] Muhammad Jawad
Mughniyah, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Beirut :Dar al-Ilmi Li al-Malayin,
1964, h. 78.
[52] Wahbah al-Zuhaili,
Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, h. 685.
[53]Pendapat
tersebut adalah pendapat jumhur ulama.Ulama Hanafiyah berbeda pendapat dalam
menentukan masa tersebut apakah dihitung sejak akad nikah atau sejak dukhul.Abu
Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bahwa masa tersebut dihitung sejak terjadinya
akad karena diqiyaskan kepada pernikahan yang sah.Sedangkan Muhammad
berpendapat bahwa masa tersebut dihitung sejak terjadinya dukhul karena
pernikahan yang fasid berbeda dengan pernikahan yang sah serta syarat
ditetapkannya nasab karena nikah yang fasid adalah harus benar-benar
terjadi hubungan badan antara suami dan istri.
[54]Badran Abu
Al-‘Ainain Badran, Huquq Al-Aulad Fi Al-Syari’ati Al-Islamiyyah Wa Al-Qanun,
h. 22-25.
[55] Abdul Azis
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1306.
[56]Wahbah
az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 43.
[57]Surat
al-Baqarah ayat 233. Dalam Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h.
37.
[58] Wahbah
az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 44.
[59]Surat at-Tholaq
ayat 6. Dalam Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h. 559.
[60]Sayid Sabiq, Fiqih
Sunnah, Penerjemah M. Ali Nursyidi dan Hunainah M. Thahir Makmun, Jakarta :
Pena Pundi Aksara, 2009, h. 137-139.
[61]Sayid Sabiq, Fiqih
Sunnah, h. 141-146.
[62] Pengasuhan
anak muslim tidak boleh diserahkan kepada orang kafir karena pengasuhan anak
merupakan hal yang berhubungan dengan kekuasaan, sedangkan Allah tidak memberi
peluang bagi orang kafir untuk menguasai orang muslim sebagaimana disebutkan dalam
firman-Nya :وَلَن يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً.
[63]Wanita yang
telah menikah maka hak mengasuh anak menjadi gugur.Ketentuan tersebut berlaku
bagi wanita yang menikah dengan laki-laki asing yang tidak mempunyai hubungan
kekerabatan dengan anak.Apabila wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang
memiliki hubungan mahram dengan anak, maka hak pengasuhannya tidak gugur.
[64]Wahbah Zuhaily,
Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuhu, Damaskus : Dar Al-Fikr, 2006, h.
7322-7324.
[65] Wahbah Zuhaily,
Fikih Islam Wa Adilatuhu, h. 82.
[68]Hasan Ayyub, Fikih
Keluarga, Penerjemah Abdul Ghofar, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008, h.
446.
[69]Surat
al-Baqarah ayat 233. Dalam Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h.
37.
[70] Tihami dan Sohari
Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta :Rajagrafindo
Persada, 2010, h. 164.
[71] Wahbah Zuhaily,
Fikih Islam Wa Adilatuhu, h. 136-137.
[72]Tihami dan
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 169.
[73]Kementerian
Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h. 299.
[74]Kementerian
Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h. 366.
[75]Musthofa
Rahman, Anak Luar Nikah Status Dan Implikasi Hukumnya, Jakarta :
Penerbit Atmaja, 2003, h. 63.
[76]Chuzaimah T.
Yanggo Dan Hafiz Anshary (Eds), Problematika Hukum Islam Kontemporer 1,
Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008, h. 132.
[77] Al-ahzab 4-5,
Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h. 418.
[78]Muslim Bin
Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 3 Shahih Muslim 2,
Penerj. Ferdinand Hasmand Dkk, Jakarta :
Almahira, 2012, h. 701.
[79]Chuzaimah T.
Yanggo Dan Hafiz Anshary (Eds), Problematika Hukum Islam Kontemporer 1, h.
135.
[80] Nurul Irfan, Nasab
Dan Status Anak Dalam Hukum Islam, h. 118.
[81] Abdu ar-Rahman
al-Jaziry,al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, jilid 5, Beirut : Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003, h. 121.
[82] Witanto,Hukum
Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang
Uji Materiil UU Perkawinan, h.
107-108.
[84] KUH Perdata
pasal 867-869.
[85]KUH Perdata Pasal
280
[86]KUH Perdata Pasal
870
[87]Witanto, Hukum
Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang
Uji Materiil UU Perkawinan, h. 120.
Komentar