Pengakuan Anak di Luar Nikah

A.    PENGAKUAN ANAK  DI LUAR NIKAH
Penetapan asal usul anak dalam Islam mempunyai peran yang sangat penting karena dengan penetapan tersebut dapat diketahui hubungan mahram antara anak dengan ayahnya. Meskipun pada hakikatnya seorang anak berasal dari sperma seorang ayah, namun Islam memberikan aturan yang sangat tegas dalam menghubungkan nasab seorang anak kepada ayahnya, yakni harus lahir dalam perkawinan yang sah. Oleh sebab itu, seorang anak yang lahir tidak dalam ikatan perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya tidak dapat disebut sebagai anak sah. Akan tetapi anak tersebut disebut sebagai anak zina atau anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.[1]
Perkawinan mengandung nilai luhur dan bukan dilakukan untuk keperluan sesaat saja. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun atas dasar kesakralan nilai-nilai yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana tertera dalam sila pertama Pancasila. Hal tersebut berarti bahwa norma-norma agama harus menjiwai perkawinan dan pembentukan keluarga. Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang tidak saja menyangkut kepada para pihak yang bersangkutan, namun juga mempunyai kepentingan hukum terhadap pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dalam perkawinan tersebut lahir seorang anak, maka anak tersebut mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya.[2]
Dalam UUP disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan.[3] Keabsahan perkawinan menurut hukum Islam adalah ketika telah terpenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan. Pasal 14 KHI menyebutkan bahwa rukun perkawinan yaitu adanya calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qabul.[4] Ketika perkawinan telah dilaksanakan sesuai ketentuan yang ada, baik menurut agama maupun Negara, maka perkawinan tersebut adalah perkawinan yang sah.
Perkawinan yang sah mempunyai akibat hukum terhadap pasangan suami istri tersebut, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Bagi pasangan tersebut timbul hak dan kewajiban yang menjadi tanggung jawab masing-masing suami istri sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 30-36 UUP. Selain itu, anak yang lahir dalam perkawinan yang sah tersebut adalah anak yang sah sebagaimana ketentuan pasal 42 UUP jo. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam. Sebagai anak sah, anak tersebut mempunyai hubungan keperdataan dengan kedua orang tuanya, baik ayah maupun ibunya.
Para ulama sepakat bahwa anak zina dan anak li’an hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya. Hal senada juga disebutkan dalam UUP yang mengatur tentang asal usul anak sebagaimana disebutkan dalam pasal 42, 43 dan 44.[5]
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43
(1)   Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.
(2)   Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah

Pasal 44
(1)   Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
(2)   Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan.

Yang menjadi perbedaan antara pengaturan hukum positif di Indonesia dengan hukum Islam terkait masalah asal usul anak adalah bahwa dalam hukum positif di Indonesia disebutkan bahwa selama anak tersebut lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka anak tersebut berstatus sebagai anak sah. Sementara dalam hukum Islam disebutkan bahwa anak sah adalah anak yang lahir minimal enam bulan setelah akad nikah dilaksanakan.
Peradilan agama merupakan salah satu dari tiga peradilan khusus di Indonesia yang mengadili perkara-perkara perdata tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu, yakni orang Islam di Indonesia. Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 jo. UU Nomor 50 Tahun 2009.[6]
Dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa  Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf dan shadaqah. Dalam penjelasan pasal 49 ayat (2) disebutkan bahwa perkara-perkara dalam bidang perkawinan yang menjadi kewenangan peradilan agama adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan, salah satunya adalah mengenai penetapan asal usul anak.[7] Hal ini berarti bahwa Pengadilan Agama berwenang untuk mengadili perkara tentang penetapan asal usul anak karena telah sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Lantas bagaimana jika terdapat anak yang dilahirkan sebelum pernikahan, kemudian dinisbatkan kepada ayah biologisnya?. Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 42 disebutkan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.[9] Pasal tersebut menimbulkan dua arti yang berbeda terkait status anak sah. Pertama adalah anak tersebut lahir di dalam perkawinan yang sah, baik pembenihannya dilakukan di dalam perkawinan tersebut ataupun sebelum perkawinan.[10] Kedua, anak tersebut lahir sebagai akibat pembenihan yang dilakukan di dalam perkawinan meskipun dilahirkan di luar perkawinan.[11] Menurut ketentuan pasal 42 tersebut, setiap anak yang lahir yang sesuai dengan kriteria sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang adalah berstatus sebagai anak sah.
Pasal 43 ayat (1) UUP menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[12] Hal senada juga disampaikan oleh Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.[13] Dilihat dari bunyi kedua pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa anak luar kawin adalah anak yang lahir di luar perkawinan dan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkannya serta keluarga ibunya. Dalam rumusan tersebut jelas bahwa anak luar kawin tidak bisa mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagaimana anak sah pada umumnya. Anak luar kawin tidak akan memperoleh hak dari bapak biologisnya karena tidak adanya hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya tersebut.[14]
Dalam KUHPerdata, hubungan biologis yang dilakukan di luar perkawinan tidak selalu disebut dengan zina. Menurut pasal 284 KUH Pidana disebutkan bahwa seseorang dikatakan berbuat zina apabila orang itu ketika melakukan hubungan seksual di luar perkawinan, baik orang itu ataupun pasangannya, terikat hubungan perkawinan yang sah dengan orang lain. Dari hubungan seksual tersebut apabila kemudian melahirkan anak maka anak tersebut disebut sebagai anak zina.[15] Sementara itu apabila anak lahir dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang masih berstatus lajang dan dilakukan dengan cara suka sama suka serta telah berusia lima belas tahun atau lebih, maka menurut KUHPerdata disebut sebagai anak luar kawin (natuurlijke kind).[16]
Pasal 272 KUHPerdata menyebutkan: “Anak di luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri[17]. Berdasarkan ketentuan tersebut, anak luar kawin dapat berstatus sebagai anak sah apabila ibu yang melahirkan dan laki-laki yang menghamili ibunya tersebut menikah. Sebelum mereka melangsungkan perkawinan, keduanya telah mengakui bahwa anak tersebut adalah anak mereka berdua atau pengakuan itu dilakukan dalam akta nikah mereka. Akan tetapi apabila kedua orang tuanya tersebut tidak mengakui anak luar kawin tersebut, maka kedudukannya tetap sebagai anak luar kawin.[18]
Hukum Islam tidak membedakan pengertian zina dari aspek apakah pasangan tersebut salah satu atau kedua-duanya telah terikat perkawinan dengan orang lain atau tidak. Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang tidak terikat hubungan perkawinan. Melakukan perbuatan zina berarti seseorang telah melakukan dosa besar.[19] Oleh karena itu, Allah SWT berfirman :
وَلاَتَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً
Artinya: dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.[20]

Islam melarang zina adalah untuk melindungi harga diri dan keturunan manusia. Keturunan yang suci akan mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi keluarga serta akan melahirkan anak cucu yang kuat dan sholih. Selain itu, dengan adanya keturunan yang suci tersebut akan menjadikan keluarga tersebut dipandang sebagai keluarga yang mulia dan memiliki kedudukan yang tinggi. Membangun masyarakat yang bermartabat haruslah dimulai dari membangun masyarakat yang paling kecil, yaitu keluarga. Sedangkan zina merupakan perbuatan yang mengandung dosa besar dan kejelekan sehingga keturunan yang dihasilkan dari zina akan mendatangkan keburukan juga bagi sekitar karena akan mendatangkan kehancuran dan kerusakan.[21]
Anak yang lahir dari perzinaan adalah anak zina (ولد الزنا هو الولد الذي أتت به أمه من سفاح).[22] Abu Zahrah menyebutkan bahwa anak zina hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja, tidak dengan orang yang menghamili ibunya.[23] Nasab anak zina terputus dari bapak biologisnya[24] karena penisbatan anak kepada bapak hanya terjadi karena adanya perkawinan yang sah, sementara anak zina bukanlah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Hal tersebut sesuai dengan hadits Nabi SAW “الولد للفراش و للعاهر الحجر “ dimana anak adalah bagi pemilik ranjang dan bagi pezina adalah batu. Ketika ibu dari anak tersebut bukan pemilik firasy, maka tidak dibenarkan untuk menisbatkan anak kepada laki-laki yang menghamilinya karena tidak sesuai dengan ketentuan hadits tersebut.[25]
Ulama berbeda pendapat mengenai makna firasy dalam al-walad lil firasy. Mayoritas berpendapat bahwa firasy tersebut bermakna nama istri dan ada yang berpendapat bahwa firasy adalah nama bagi suami. Dalam kitab Nailul Authar disebutkan bahwa firasy adalah istri bagi laki-laki. Sedangkan lafadz al-’ahir dalam ucapan و للعاهر الحجر bermakna orang yang berzina[26] dan lafadz al-hajar bermakna kesengsaraan. Maksudnya adalah orang yang berzina tidak berhak atas penisbatan anak padanya. Hal tersebut merupakan kebiasaan orang Arab ketika mengatakan "له الحجر و بفيه التراب" maka yang dimaksud adalah kesengsaraan.[27] Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-hajar adalah seseorang akan dirajam dengan menggunakan batu apabila dia berzina.[28]
Menurut hadits tersebut disebutkan bahwa seorang anak dihubungkan nasabnya kepada bapaknya setelah adanya ketetapan firasy. Seorang istri menjadi tempat tidur bagi suami adalah setelah adanya kemungkinan dilakukan hubungan badan antara suami istri tersebut dalam perkawinan sebagaimana pendapat mayoritas ulama atau setelah terjadinya akad nikah menurut pendapat Abu Hanifah. Bila seorang perempuan melahirkan seorang anak dalam jangka waktu yang memungkinkan berasal dari suaminya, maka nasab anak tersambung kepadanya. Jangka waktu tersebut adalah enam bulan setelah pasangan suami istri berkumpul (setelah terjadi kemungkinan wathi’ menurut Jumhur, setelah terjadi akad nikah menurut Abu Hanifah atau setelah diketahui benar-benar telah terjadi wathi’ menurut Ibnu Taimiyah).[29]
Para ulama madzhab sepakat bahwa anak zina tidak memiliki nasab yang sah secara syar’i. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa anak zina itu milik ibunya, sehingga anak tersebut hanya dinasabkan kepada ibunya.[30] Madzhab Hanafiyah memandang bahwa anak zina tidak memiliki nasab dengan ayahnya, namun hanya bernasab kepada ibu saja karena nasab hanya dimiliki oleh anak karena akibat hubungan perkawinan yang sah.[31] Ulama Malikiyah juga mengemukakan bahwa status anak zina itu sama dengan status anak li’an, sehingga anak yang dibenihkan di luar perkawinan yang sah hanya dinasabkan kepada ibunya.[32] Hal senada juga disampaikan oleh madzhab Hanabilah bahwa anak yang kelahirannya kurang enam bulan sejak perkawinan ayah dan ibunya dipandang tidak memiliki nasab dengan ayahnya.[33]
Dalam tataran hukum perdata Islam, anak zina itu suci dari segala dosa, di dunia ini. Allah telah berfirman dalam surat al-Najm ayat 38, yang berbunyi:
أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Artinya: Bahwasannya seseorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.[34]

Dalil tersebut menunjukkan bahwa anak zina tidak berbeda dengan anak-anak yang lainnya di mana mereka harus diperlakukan secara manusiawi, diberikan pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di dalam lingkungan masyarakat. Islam memberikan tempat yang mulia bagi setiap anak manusia yang terlahir di muka bumi ini, setiap anak dilahirkan dengan kondisi suci, bersih tanpa noda sedikitpun. Dalam ayat tersebut juga mengindikasikan bahwa anak zina sudah sepatutnya tidak dibenarkan diperlakukan secara diskriminatif, baik dari segi moral maupun sosial, karena yang berbuat keliru adalah kedua orang tuanya, maka sudah sepantasnya hak asasi anak tersebut ditunaikan berdasarkan dalil tersebut di atas, karena pada prinsipnya dalam hukum Islam tidak dikenal adanya dosa warisan, masing-masing bertanggung jawab atas perbuatan baik atau buruk yang dilakukannya tanpa perbedaan dan pengecualian, sekalipun anak zina.[35]
Pada tanggal 10 Maret 2012, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa sebagai jawaban terhadap dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Adapun jawaban yang dikeluarkan MUI dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya adalah sebagai berikut :
Pertama :   Ketentuan Umum
Di dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
1.      Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).
2.      Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
3.      Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukuman)
4.      Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Kedua :   Ketentuan Hukum
1.      Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah,  waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2.      Anak hasil zina  hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3.      Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.
4.      Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5.      Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
6.      Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.[36]

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tidak dapat disebut sebagai anak sah, meskipun anak tersebut adalah anak biologis dari ayahnya, sehingga harus dipandang sebagai anak yang mempunyai kedudukan yang berbeda dengan anak sah. Anak biologis dapat dianggap sebagai anak sah manakala kedua orang tuanya mampu membuktikan adanya perkawinan yang telah dilakukan secara syar’i yaitu terpenuhi syarat dan rukunnya yang dibuktikan dengan keterangan para saksi. Ketika perkawinan kedua orang tuanya telah terbukti, maka anak tersebut dapat dianggap sebagai anak biologis yang sah sehingga hak-hak keperdataan harus diberikan kepadanya[37]. Hal tersebut sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.[38]
Hal tersebut tidaklah sesuai dengan prinsip dasar hukum Islam yang sangat menjaga kemaslahatan manusia. Hukum Islam memandang bahwa penegakan lima pilar, yaitu agama, jiwa, harta, akal dan keturunan bagi kehidupan manusia akan menjamin penegakan hukum.[39] Penjagaan keturunan dan harga diri merupakan salah satu dari lima pokok pilar kemaslahatan, dan penjagaan tersebut hanya didapatkan melalui perkawinan yang sah. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tidak termasuk kedalam rumusan hifd al-nasl tersebut. Oleh karena itu, penisbatan anak yang lahir di luar perkawinan terhadap bapaknya akan menodai kesucian nasl yang sangat dijaga oleh Islam.
Ketentuan Undang-undang telah menyebutkan dengan tegas bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Meskipun KUHPerdata menyebutkan bahwa anak luar kawin dapat diakui oleh kedua orang tuanya, namun harus diingat bahwa setelah UUP dikeluarkan maka ketentuan yang termaktub dalam KUHPerdata tersebut tidak berlaku lagi.[40] Selain itu, putusan MK tersebut merupakan jawaban dari permohonan pemohon yang mengajukan uji materiil pasal 43 UUP dimana anak yang dilahirkan pemohon merupakan anak yang lahir dari perkawinan sirri (perkawinan yang sah menurut agama namun tidak dicatatkan) pemohon. Oleh karena itu tidak tepat apabila putusan tersebut dijadikan sebagai dasar sebagai penetapan status anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Selain itu, Pengadilan Agama merupakan pengadilan khusus yang hanya berlaku bagi orang Islam di Indonesia. Sebagai Pengadilan Islam, sudah tentu penetapan dan kebijakan yang dikeluarkan haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, yaitu segala kebijakan yang dikeluarkan harus sesuai dengan nas al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum utama. Oleh karena itu, penulis sangat setuju dengan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dimana penisbatan anak luar kawin atau anak hasil zina hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya, tidak dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya serta mewajibkan kepada bapak biologisnya untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut sebagai bentuk tanggungjawab bapak biologis atas perbuatannya. Menurut penulis, fatwa tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah serta bertujuan untuk menjaga dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak yang pada umumnya tidak didapatkan oleh anak luar kawin.

و الله أعلم بالصواب



[1] Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam, Bandung : Refika Aditama, 2015, h. 16.
[2] Alimuddin, Pembuktian Anak Dalam Hukum Acara Peradilan Agama, Bandung : Nuansa Aulia, 2014, h. 7-8.
[3] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[4] Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam
[5] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2013, h. 177.
[6] Alimuddin, Pembuktian Anak Dalam Hukum Acara Peradilan Agama, h. 39-43.
[7] Pasal 49 (1) dan (2) Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[8] Diambil dari berkas Pengadilan Agama Magetan Register Nomor 0106/Pdt.P/2015/PA.Mgt pada riset tanggal 10 Februari 2016.
[9] Pasal 42 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
[10] Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam,  h. 19.
[11] Alimuddin, Pembuktian Anak Dalam Hukum Acara Peradilan Agama,  h. 77.
[12] Pasal 43 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
[13] Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam.
[14] M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam  Perspektif  Hukum Islam Dan Hukum Nasional, Bandung : Mandar Maju, 2014, h. 62.
[15] Andy Hartanto, Hukum Waris Kedudukan Dan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Burgerlijk Wetboek Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Surabaya : Laksbang Justitia Surabaya, 2015, h. 37.
[16] M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam  Perspektif  Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 59.
[17] Pasal 272 KUHPerdata
[18] M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam  Perspektif  Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 59.
[19] M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam  Perspektif  Hukum Islam Dan Hukum Nasional,  h. 55.
[20] Al-Isra ayat 32 dalam Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, Bandung : Hilal, h. 285.
[21] Abdu al-Rahman al-Jaziry,  Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz 5, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003, h. 54.
[22] Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawaris Fi al-Syari’at al-Islamiyyah, Mesir : Matba’ah al-Madany, 1976, h. 196.
[23] Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, Beirut : Dar al-Fikr, 1957, h. 455.
[24] Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawaris Fi al-Syari’at al-Islamiyyah, h. 196. Lihat juga dalam Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardy al-Bashry, al-Hawi al-Kabir Fi Fiqhi Madzhabi al-Imam al-Syafi’i, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 162.
[25] Abdu al-Rahman bin Muhammad bin Qasim al-‘Ashimy al-Najdy al-Hanbaly, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyyah, Riyadh : Dar al-Kutub al-‘Alamy, 1991, h, 112-113.
[26] Al-Imam al-‘Allamah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukany, Nail al-Authar Min Asrari Muntaqa al-Akhbar, Beirut : Dar al-Kutub al-Araby, 1173, h. 378.
[27] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Penerj. Darwis, dkk, Jakarta : Darus Sunnah Press, 2013, h. 193.
[28] Al-Imam al-‘Allamah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukany, Nail al-Authar Min Asrari Muntaqa al-Akhbar, h. 378.
[29] Ibid, h. 378-379. Lihat juga Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, h. 193.
[30] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardy al-Bashry, al-Hawi al-Kabir Fi Fiqhi Madzhabi al-Imam al-Syafi’i, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 162.
[31] Ahmad Husni, Al-Ahkam Al-Syar’iyyah Fi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah ‘Ala Madzhab Al-Imam Al-A’dham Abi Hanifah Al-Nu’man, h. 52 dan 54.
[32] Malik bin Anas, al-Mudawwanah al-Kubra, Beirut : Dar Shadir, tt, h. 346.
[33] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, al-Mughny Fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibany, Beirut : Dar al-Fikr, 1405, h. 130.
[34] Surat an-Najm ayat 38 dalam Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah,  h. 527.
[35] Yesi Aswita, Hak-Hak Anak Korban Perkawinan Di Luar Nikah (Analisis Hukum Islam dan Keputusan Mahkamah Konstitusi), Jurnal Al-Mizan Volume I (I), Januari-Desember 2013, h. 21-22.
[36] Ketentuan dalam Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012.
[37] Hasil wawancara dengan Bapak Drs, M. Daim Khoiri, SH., M.Hum. (Hakim PA Trenggalek yang sebelumnya merupakan Hakim PA Magetan yang mengadili perkara tersebut) pada tanggal 16 April 2016.
[38] Putusan  Nomor 46/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi.
[39] Alimuddin, Pembuktian Anak Dalam Hukum Acara Peradilan Agama, h. 17.
[40] Pasal 66 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

ringkasan Nahwu

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA