Pengakuan Anak di Luar Nikah
A. PENGAKUAN ANAK DI LUAR NIKAH
Penetapan asal
usul anak dalam Islam mempunyai peran yang sangat penting karena dengan
penetapan tersebut dapat diketahui hubungan mahram antara anak dengan ayahnya. Meskipun
pada hakikatnya seorang anak berasal dari sperma seorang ayah, namun Islam
memberikan aturan yang sangat tegas dalam menghubungkan nasab seorang anak
kepada ayahnya, yakni harus lahir dalam perkawinan yang sah. Oleh sebab itu,
seorang anak yang lahir tidak dalam ikatan perkawinan yang sah antara kedua
orang tuanya tidak dapat disebut sebagai anak sah. Akan tetapi anak tersebut
disebut sebagai anak zina atau anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.[1]
Perkawinan
mengandung nilai luhur dan bukan dilakukan untuk keperluan sesaat saja.
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun
atas dasar kesakralan nilai-nilai yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagaimana tertera dalam sila pertama Pancasila. Hal tersebut berarti
bahwa norma-norma agama harus menjiwai perkawinan dan pembentukan keluarga.
Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang tidak saja menyangkut kepada para
pihak yang bersangkutan, namun juga mempunyai kepentingan hukum terhadap pihak
lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dalam perkawinan tersebut
lahir seorang anak, maka anak tersebut mempunyai hubungan hukum dengan kedua
orang tuanya.[2]
Dalam UUP
disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan
kepercayaan.[3]
Keabsahan perkawinan menurut hukum Islam adalah ketika telah terpenuhi syarat
dan rukun yang telah ditentukan. Pasal 14 KHI menyebutkan bahwa rukun
perkawinan yaitu adanya calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi
dan ijab qabul.[4]
Ketika perkawinan telah dilaksanakan sesuai ketentuan yang ada, baik menurut
agama maupun Negara, maka perkawinan tersebut adalah perkawinan yang sah.
Perkawinan yang
sah mempunyai akibat hukum terhadap pasangan suami istri tersebut, harta
kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Bagi pasangan tersebut
timbul hak dan kewajiban yang menjadi tanggung jawab masing-masing suami istri
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 30-36 UUP. Selain itu, anak yang lahir
dalam perkawinan yang sah tersebut adalah anak yang sah sebagaimana ketentuan
pasal 42 UUP jo. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam. Sebagai anak sah, anak
tersebut mempunyai hubungan keperdataan dengan kedua orang tuanya, baik ayah
maupun ibunya.
Para ulama
sepakat bahwa anak zina dan anak li’an hanya mempunyai hubungan nasab kepada
ibu dan keluarga ibunya. Hal senada juga disebutkan dalam UUP yang mengatur
tentang asal usul anak sebagaimana disebutkan dalam pasal 42, 43 dan 44.[5]
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut
ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 44
(1) Seorang suami dapat
menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat
membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan
tersebut.
(2) Pengadilan memberikan
keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang
bersangkutan.
Yang menjadi
perbedaan antara pengaturan hukum positif di Indonesia dengan hukum Islam terkait
masalah asal usul anak adalah bahwa dalam hukum positif di Indonesia disebutkan
bahwa selama anak tersebut lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
maka anak tersebut berstatus sebagai anak sah. Sementara dalam hukum Islam disebutkan
bahwa anak sah adalah anak yang lahir minimal enam bulan setelah akad nikah
dilaksanakan.
Peradilan agama
merupakan salah satu dari tiga peradilan khusus di Indonesia yang mengadili
perkara-perkara perdata tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu, yakni orang
Islam di Indonesia. Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama adalah acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
undang-undang sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 54 UU Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 jo. UU Nomor 50 Tahun 2009.[6]
Dalam UU Nomor 7
Tahun 1989 pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan
hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf dan shadaqah. Dalam
penjelasan pasal 49 ayat (2) disebutkan bahwa perkara-perkara dalam bidang
perkawinan yang menjadi kewenangan peradilan agama adalah sebagaimana yang
disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan, salah satunya adalah mengenai
penetapan asal usul anak.[7]
Hal ini berarti bahwa Pengadilan Agama berwenang untuk mengadili perkara tentang
penetapan asal usul anak karena telah sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Lantas bagaimana jika terdapat anak yang dilahirkan sebelum pernikahan, kemudian dinisbatkan kepada ayah biologisnya?. Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 42 disebutkan bahwa anak sah
adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.[9]
Pasal tersebut menimbulkan dua arti yang berbeda terkait status anak sah.
Pertama adalah anak tersebut lahir di dalam perkawinan yang sah, baik
pembenihannya dilakukan di dalam perkawinan tersebut ataupun sebelum
perkawinan.[10]
Kedua, anak tersebut lahir sebagai akibat pembenihan yang dilakukan di dalam
perkawinan meskipun dilahirkan di luar perkawinan.[11]
Menurut ketentuan pasal 42 tersebut, setiap anak yang lahir yang sesuai dengan
kriteria sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang adalah berstatus sebagai
anak sah.
Pasal 43 ayat
(1) UUP menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[12]
Hal senada juga disampaikan oleh Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa
anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya.[13]
Dilihat dari bunyi kedua pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa anak
luar kawin adalah anak yang lahir di luar perkawinan dan hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkannya serta keluarga ibunya. Dalam
rumusan tersebut jelas bahwa anak luar kawin tidak bisa mendapatkan hak-hak dan
kedudukan sebagaimana anak sah pada umumnya. Anak luar kawin tidak akan
memperoleh hak dari bapak biologisnya karena tidak adanya hubungan keperdataan
dengan bapak biologisnya tersebut.[14]
Dalam
KUHPerdata, hubungan biologis yang dilakukan di luar perkawinan tidak selalu
disebut dengan zina. Menurut pasal 284 KUH Pidana disebutkan bahwa seseorang
dikatakan berbuat zina apabila orang itu ketika melakukan hubungan seksual di
luar perkawinan, baik orang itu ataupun pasangannya, terikat hubungan
perkawinan yang sah dengan orang lain. Dari hubungan seksual tersebut apabila
kemudian melahirkan anak maka anak tersebut disebut sebagai anak zina.[15]
Sementara itu apabila anak lahir dari hubungan seksual antara laki-laki dan
perempuan yang masih berstatus lajang dan dilakukan dengan cara suka sama suka
serta telah berusia lima belas tahun atau lebih, maka menurut KUHPerdata
disebut sebagai anak luar kawin (natuurlijke kind).[16]
Pasal 272
KUHPerdata menyebutkan: “Anak di
luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan
yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak
itu, atau bila pengakuan itu terjadi
dalam akta perkawinannya sendiri”[17]. Berdasarkan ketentuan tersebut, anak luar kawin dapat berstatus sebagai
anak sah apabila ibu yang melahirkan dan laki-laki yang menghamili ibunya
tersebut menikah. Sebelum mereka melangsungkan perkawinan, keduanya telah
mengakui bahwa anak tersebut adalah anak mereka berdua atau pengakuan itu
dilakukan dalam akta nikah mereka. Akan tetapi apabila kedua orang tuanya
tersebut tidak mengakui anak luar kawin tersebut, maka kedudukannya tetap
sebagai anak luar kawin.[18]
Hukum Islam tidak
membedakan pengertian zina dari aspek apakah pasangan tersebut salah satu atau
kedua-duanya telah terikat perkawinan dengan orang lain atau tidak. Zina adalah
persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang tidak terikat
hubungan perkawinan. Melakukan perbuatan zina berarti seseorang telah melakukan
dosa besar.[19]
Oleh karena itu, Allah SWT berfirman :
وَلاَتَقْرَبُوا
الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً
Artinya: dan
janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.[20]
Islam melarang zina adalah untuk melindungi harga
diri dan keturunan manusia. Keturunan yang suci akan mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi keluarga serta akan
melahirkan anak cucu yang kuat dan sholih. Selain itu, dengan adanya
keturunan yang suci tersebut akan menjadikan keluarga tersebut dipandang
sebagai keluarga yang mulia dan memiliki kedudukan yang tinggi. Membangun
masyarakat yang bermartabat haruslah dimulai dari membangun masyarakat yang
paling kecil, yaitu keluarga. Sedangkan zina merupakan perbuatan yang
mengandung dosa besar dan kejelekan sehingga keturunan yang dihasilkan dari
zina akan mendatangkan keburukan juga bagi sekitar karena akan mendatangkan
kehancuran dan kerusakan.[21]
Anak yang lahir
dari perzinaan adalah anak zina (ولد الزنا هو الولد
الذي أتت به أمه من سفاح).[22]
Abu Zahrah menyebutkan bahwa anak zina hanya mempunyai nasab dengan ibunya
saja, tidak dengan orang yang menghamili ibunya.[23]
Nasab anak zina terputus dari bapak biologisnya[24]
karena penisbatan anak kepada bapak hanya terjadi karena adanya perkawinan yang
sah, sementara anak zina bukanlah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
sah. Hal tersebut sesuai dengan hadits Nabi SAW “الولد
للفراش و للعاهر الحجر “ dimana
anak adalah bagi pemilik ranjang dan bagi pezina adalah batu. Ketika ibu dari
anak tersebut bukan pemilik firasy, maka tidak dibenarkan untuk
menisbatkan anak kepada laki-laki yang menghamilinya karena tidak sesuai dengan
ketentuan hadits tersebut.[25]
Ulama berbeda
pendapat mengenai makna firasy dalam al-walad lil firasy.
Mayoritas berpendapat bahwa firasy tersebut bermakna nama istri dan ada
yang berpendapat bahwa firasy adalah nama bagi suami. Dalam kitab Nailul
Authar disebutkan bahwa firasy adalah istri bagi laki-laki. Sedangkan
lafadz al-’ahir dalam ucapan و للعاهر الحجر bermakna orang yang berzina[26]
dan lafadz al-hajar bermakna kesengsaraan. Maksudnya adalah orang yang
berzina tidak berhak atas penisbatan anak padanya. Hal tersebut merupakan
kebiasaan orang Arab ketika mengatakan "له الحجر و بفيه التراب" maka yang dimaksud adalah kesengsaraan.[27]
Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-hajar adalah
seseorang akan dirajam dengan menggunakan batu apabila dia berzina.[28]
Menurut hadits
tersebut disebutkan bahwa seorang anak dihubungkan nasabnya kepada bapaknya
setelah adanya ketetapan firasy. Seorang istri menjadi tempat tidur bagi
suami adalah setelah adanya kemungkinan dilakukan hubungan badan antara suami
istri tersebut dalam perkawinan sebagaimana pendapat mayoritas ulama atau
setelah terjadinya akad nikah menurut pendapat Abu Hanifah. Bila seorang
perempuan melahirkan seorang anak dalam jangka waktu yang memungkinkan berasal
dari suaminya, maka nasab anak tersambung kepadanya. Jangka waktu tersebut
adalah enam bulan setelah pasangan suami istri berkumpul (setelah terjadi
kemungkinan wathi’ menurut Jumhur, setelah terjadi akad nikah menurut Abu
Hanifah atau setelah diketahui benar-benar telah terjadi wathi’ menurut Ibnu
Taimiyah).[29]
Para ulama
madzhab sepakat bahwa anak zina tidak memiliki nasab yang sah secara syar’i.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa anak zina itu milik ibunya, sehingga anak
tersebut hanya dinasabkan kepada ibunya.[30]
Madzhab Hanafiyah memandang bahwa anak zina tidak memiliki nasab dengan
ayahnya, namun hanya bernasab kepada ibu saja karena nasab hanya dimiliki oleh
anak karena akibat hubungan perkawinan yang sah.[31]
Ulama Malikiyah juga mengemukakan bahwa status anak zina itu sama dengan status
anak li’an, sehingga anak yang dibenihkan di luar perkawinan yang sah hanya
dinasabkan kepada ibunya.[32]
Hal senada juga disampaikan oleh madzhab Hanabilah bahwa anak yang kelahirannya
kurang enam bulan sejak perkawinan ayah dan ibunya dipandang tidak memiliki
nasab dengan ayahnya.[33]
Dalam tataran
hukum perdata Islam, anak zina itu suci dari segala dosa, di dunia ini. Allah
telah berfirman dalam surat al-Najm ayat 38, yang berbunyi:
أَلاَّ
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Artinya: Bahwasannya seseorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.[34]
Dalil tersebut
menunjukkan bahwa anak zina tidak berbeda dengan anak-anak yang lainnya di mana
mereka harus diperlakukan secara manusiawi, diberikan pendidikan, pengajaran
dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di dalam lingkungan
masyarakat. Islam memberikan tempat yang mulia bagi setiap anak manusia yang
terlahir di muka bumi ini, setiap anak dilahirkan dengan kondisi suci, bersih
tanpa noda sedikitpun. Dalam ayat tersebut juga mengindikasikan bahwa anak zina
sudah sepatutnya tidak dibenarkan diperlakukan secara diskriminatif, baik dari
segi moral maupun sosial, karena yang berbuat keliru adalah kedua orang tuanya,
maka sudah sepantasnya hak asasi anak tersebut ditunaikan berdasarkan dalil
tersebut di atas, karena pada prinsipnya dalam hukum Islam tidak dikenal adanya
dosa warisan, masing-masing bertanggung jawab atas perbuatan baik atau buruk
yang dilakukannya tanpa perbedaan dan pengecualian, sekalipun anak zina.[35]
Pada tanggal 10 Maret 2012, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa
sebagai jawaban terhadap dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Adapun jawaban yang dikeluarkan MUI dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan
Perlakuan Terhadapnya adalah sebagai
berikut :
Pertama :
Ketentuan Umum
Di dalam fatwa
ini yang dimaksud dengan :
1.
Anak hasil zina adalah anak yang lahir
sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut
ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).
2.
Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang
bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
3.
Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang
bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang
menetapkan hukuman)
4.
Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri
(penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina
untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Kedua :
Ketentuan Hukum
1.
Anak hasil zina tidak
mempunyai hubungan nasab, wali nikah,
waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2.
Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan
nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3.
Anak hasil zina tidak
menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan
kelahirannya.
4.
Pezina dikenakan hukuman
hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga
keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5.
Pemerintah berwenang
menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya
anak dengan mewajibkannya untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat
wajibah.
6.
Hukuman sebagaimana
dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan
nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.[36]
Berdasarkan uraian
tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tidak dapat disebut sebagai
anak sah, meskipun anak tersebut adalah anak biologis dari ayahnya, sehingga harus dipandang sebagai
anak yang mempunyai kedudukan yang berbeda dengan anak sah. Anak biologis dapat dianggap sebagai anak
sah manakala kedua orang tuanya mampu membuktikan adanya perkawinan yang telah
dilakukan secara syar’i yaitu terpenuhi syarat dan rukunnya yang dibuktikan
dengan keterangan para saksi. Ketika perkawinan kedua orang tuanya telah
terbukti, maka anak tersebut dapat dianggap sebagai anak biologis yang sah
sehingga hak-hak keperdataan harus diberikan kepadanya[37].
Hal tersebut sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”.[38]
Hal tersebut tidaklah
sesuai dengan prinsip dasar hukum Islam yang sangat menjaga kemaslahatan
manusia. Hukum Islam memandang bahwa penegakan lima pilar, yaitu agama, jiwa,
harta, akal dan keturunan bagi kehidupan manusia akan menjamin penegakan hukum.[39]
Penjagaan keturunan dan harga diri merupakan salah satu dari lima pokok pilar
kemaslahatan, dan penjagaan tersebut hanya didapatkan melalui perkawinan yang
sah. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tidak termasuk kedalam
rumusan hifd al-nasl tersebut. Oleh karena itu, penisbatan anak yang
lahir di luar perkawinan terhadap bapaknya akan menodai kesucian nasl
yang sangat dijaga oleh Islam.
Ketentuan Undang-undang
telah menyebutkan dengan tegas bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Meskipun KUHPerdata menyebutkan bahwa
anak luar kawin dapat diakui oleh kedua orang tuanya, namun harus diingat bahwa
setelah UUP dikeluarkan maka ketentuan yang termaktub dalam KUHPerdata tersebut
tidak berlaku lagi.[40]
Selain itu, putusan MK tersebut merupakan jawaban dari permohonan pemohon yang
mengajukan uji materiil pasal 43 UUP dimana anak yang dilahirkan pemohon
merupakan anak yang lahir dari perkawinan sirri (perkawinan yang sah menurut
agama namun tidak dicatatkan) pemohon. Oleh karena itu tidak tepat apabila
putusan tersebut dijadikan sebagai dasar sebagai penetapan status anak yang
lahir di luar perkawinan yang sah.
Selain itu, Pengadilan
Agama merupakan pengadilan khusus yang hanya berlaku bagi orang Islam di Indonesia.
Sebagai Pengadilan Islam, sudah tentu penetapan dan kebijakan yang dikeluarkan
haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, yaitu segala kebijakan
yang dikeluarkan harus sesuai dengan nas al-Quran dan Hadits sebagai sumber
hukum utama. Oleh karena itu, penulis sangat setuju dengan fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI dimana penisbatan anak luar kawin atau anak hasil zina
hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya, tidak dengan lelaki yang menyebabkan
kelahirannya serta mewajibkan kepada bapak biologisnya untuk mencukupi
kebutuhan hidup anak tersebut sebagai bentuk tanggungjawab bapak biologis atas
perbuatannya. Menurut penulis, fatwa tersebut telah sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah serta bertujuan untuk menjaga dan memberikan
perlindungan terhadap hak-hak anak yang pada umumnya tidak didapatkan oleh anak
luar kawin.
و الله أعلم بالصواب
[1] Siska Lis Sulistiani, Kedudukan
Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam,
Bandung : Refika Aditama, 2015, h. 16.
[2] Alimuddin, Pembuktian
Anak Dalam Hukum Acara Peradilan Agama, Bandung : Nuansa Aulia, 2014, h.
7-8.
[3] Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[4] Pasal 14 Kompilasi Hukum
Islam
[5] Ahmad Rofiq, Hukum
Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2013, h. 177.
[6] Alimuddin, Pembuktian
Anak Dalam Hukum Acara Peradilan Agama, h. 39-43.
[7] Pasal 49 (1) dan (2) Undang-Undang
RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[8] Diambil dari berkas
Pengadilan Agama Magetan Register Nomor 0106/Pdt.P/2015/PA.Mgt pada riset
tanggal 10 Februari 2016.
[9] Pasal 42 UU Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974.
[10] Siska Lis Sulistiani,
Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Dan
Hukum Islam, h. 19.
[11] Alimuddin, Pembuktian
Anak Dalam Hukum Acara Peradilan Agama, h. 77.
[12] Pasal 43 UU Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974.
[13] Pasal 100 Kompilasi Hukum
Islam.
[14] M. Anshary, Kedudukan
Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Nasional, Bandung :
Mandar Maju, 2014, h. 62.
[15] Andy Hartanto, Hukum
Waris Kedudukan Dan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Burgerlijk Wetboek Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi, Surabaya : Laksbang Justitia Surabaya, 2015,
h. 37.
[16] M. Anshary, Kedudukan
Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 59.
[17] Pasal 272 KUHPerdata
[18] M. Anshary, Kedudukan
Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 59.
[21] Abdu al-Rahman al-Jaziry, Kitab
al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz 5, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2003, h. 54.
[22] Hasanain Muhammad Makhluf,
al-Mawaris Fi al-Syari’at al-Islamiyyah, Mesir : Matba’ah al-Madany,
1976, h. 196.
[23] Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal
al-Syakhsiyyah, Beirut : Dar al-Fikr, 1957, h. 455.
[24] Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawaris Fi
al-Syari’at al-Islamiyyah, h. 196. Lihat juga dalam Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardy
al-Bashry, al-Hawi al-Kabir Fi Fiqhi Madzhabi al-Imam al-Syafi’i, Beirut
: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 162.
[25] Abdu al-Rahman bin Muhammad bin Qasim al-‘Ashimy al-Najdy al-Hanbaly, Majmu’
Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyyah, Riyadh : Dar al-Kutub
al-‘Alamy, 1991, h, 112-113.
[26] Al-Imam al-‘Allamah Muhammad
bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukany, Nail al-Authar Min Asrari Muntaqa
al-Akhbar, Beirut : Dar al-Kutub al-Araby, 1173, h. 378.
[27] Imam an-Nawawi, Syarah
Shahih Muslim, Penerj. Darwis, dkk, Jakarta : Darus Sunnah Press, 2013, h.
193.
[28] Al-Imam al-‘Allamah
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukany, Nail al-Authar Min Asrari
Muntaqa al-Akhbar, h. 378.
[29] Ibid, h. 378-379. Lihat juga Imam Nawawi, Syarah
Shahih Muslim, h. 193.
[30] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardy al-Bashry, al-Hawi
al-Kabir Fi Fiqhi Madzhabi al-Imam al-Syafi’i, Beirut : Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, h. 162.
[31] Ahmad Husni, Al-Ahkam Al-Syar’iyyah Fi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah ‘Ala
Madzhab Al-Imam Al-A’dham Abi Hanifah Al-Nu’man, h. 52 dan 54.
[32] Malik bin Anas,
al-Mudawwanah al-Kubra, Beirut : Dar Shadir, tt, h. 346.
[33] Abdullah bin Ahmad bin
Qudamah, al-Mughny Fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibany, Beirut
: Dar al-Fikr, 1405, h. 130.
[35] Yesi Aswita, Hak-Hak Anak Korban Perkawinan Di Luar Nikah (Analisis Hukum Islam dan
Keputusan Mahkamah Konstitusi), Jurnal Al-Mizan Volume
I (I), Januari-Desember 2013, h. 21-22.
[36] Ketentuan dalam Fatwa MUI
Nomor 11 Tahun 2012.
[37] Hasil wawancara dengan Bapak Drs, M. Daim Khoiri, SH., M.Hum. (Hakim
PA Trenggalek yang sebelumnya merupakan Hakim PA Magetan yang mengadili perkara
tersebut) pada tanggal 16 April 2016.
[39] Alimuddin, Pembuktian
Anak Dalam Hukum Acara Peradilan Agama, h. 17.
[40] Pasal 66 UU Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974.
Komentar