hukum acara arbitrase

       I.            PENDAHULUAN
Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya. Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase.
Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999 yaitu “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga.Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan.Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.[1]

    II.            RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, penulis mencoba merumuskan permasalahan yang menjadi focus kajian ini sebagai berikut :
A.    Bagaimana pengertian arbitrase?
B.     Apa syarat penunjukan arbiter ?
C.     Bagaimana prosedur beracara dalam arbitrase ?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Arbitrase
Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat.[2]
UU No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[3]Sedangkan BLACK’S Law Dictionary berkata, bahwa : Arbitration, The reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispuite who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at which both perties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation “.SUBEKTI mengatakan bahwa Arbitrase  adalah penyelesaian suatu perselisihan oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat Pengadilan.
Prasyarat yang utama bagi suatu proses arbitrase ialah kewajiban pada para pihak membuat suatu kesepakatan tertulis atau perjanjian arbitrase (arbitration clause/agreement) dan kemudian menyepakati hukum dan tata cara bagaimana mereka akan mengakhiri  penyelesaian. Di luar arbitrase biasanya bilamana timbul sengketa, para pihak minta seorang pengacara, melalui suatu surat kuasa kepadanya kemudian melibatkan pengadilan mencoba menyelesaikan sengketa yang telah terjadi atau bisa saja berusaha menyelesaikan sendiri secara langsung.[4]
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.[5]
B.     Pengangkatan Arbiter
Yang juga sangat penting ialah memilih arbiter yang tepat kompeten, jujur dan memiliki integritas bukan saja pribadinya akan tetapi juga kemampuan dan keahliannya dibidang Hukum Arbitrase dan kemudian tentang inti sengketa yang dihadapinya. Jumlah arbiter yang akan dipilih tergantung dari keinginan pihak, bisa satu ( tunggal ), bisa lebih, misalnya 3 orang, satu dipilih masing-masing oleh para pihak dan yang ketiga oleh mereka bersama sehingga dengan demikian dicapai jumlah yang ganjil. Dan andaikata para pihak tidak memilih  dapat saja diserahkan kepada Lembaga Arbitrase ( seperti BANI ) yang dicantumkan didalam perjanjiannya.
Hak dan kewajiban arbiter :
1.      Ia harus independen dan menunjukkan sikap tidak memihak, terbuka maupun tertutup ( walaupun ia dipilih oleh salah satu pihak yang bersengketa bukan berarti ia mewakili atau harus membela pihak yang memilihnya ).
2.      Harus menyampaikan kepada para pihak dan tentunya kepada lembaga atau institusi dimana ia terdaftar agar setiap fakta dan keadaan yang mungkin akan menimbulkan keragu-raguan atas independensi dan ketidakpihakannya yang mungkin timbul didalam ucapan maupun pikiran para pihak yang bersengketa.
3.      Terikat  untuk menerapkan tata cara secara wajar ( equitable ) menghargai dan menghormati prinsip perlakuan yang tidak memihak dan menghormati hak-hak para pihak untuk didengar.
4.      Menyelesaikan dan memberi putusan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan sesuai jangka waktu  yang telah ditetapkan.
5.      Memelihara konfidensialitas para pihak juga setelah diterbitkan keputusannya.
6.      Selama pemeriksaan ia berhak  memperoleh kerja sama yang jujur dan terbuka dari para pihak.
7.      Ia tidak bisa dituntut karena proses arbitrase atau isi putusannya, kecuali terbukti melakukan pelanggaran pidana.[6]
UU menyebutkan bahwa yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat:
a.       cakap melakukan tindakan hukum;
b.      berumur paling rendah 35 tahun;
c.       tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
d.      tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
e.       memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya  tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.[7]
C.    Hukum Acara Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan diberlakukannya RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering) tahun 1847. Semula arbitrase diatur dalam pasal 615 – 651 RV, namun setelah dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ketentuan tersebut sudah tidak diberlakukan lagi.[8] Arbitrase mempunyai karakteristik sebagai berikut :
-            Merupakan cara penyelesaian sengketa secara prifat atau di luar pengadilan
-            Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak
-            Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin akan terjadi atau telah terjadi
-            Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter) yang berwenang mengambil sengketa
-            Sifat putusannya adalah final dan mengikat.[9]
Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara dalam arbitrase tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan perkara perdata.Hukum acara yang berlaku dalam pemeriksaan arbitrase diatur dalam pasal 27 sampai 51 UU No. 30 Tahun 1999. Para pihak diberi kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan perkara yang mereka kehendaki. Kehendak tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang – Undang. Terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam Undang – Undang dalam proses pemeriksaan perkara, diantaranya :
-             Pemeriksaan dilakukan secara tertutup
-             Menggunakan bahasa Indonesia
-             Mendengar para pihak
-             Bebas menentukan arbiter dan ketentuan beracara
-             Pemeriksaan harus secara tertulis
-             Pemeriksaan harus selesai paling lama 180 hari.[10]
Secara lebih rinci, prosedur beracara dalam arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
-            Persetujuan arbitrase harus dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani para pihak yang bersengketa.
-            Jumlah arbiter harus ganjil.
-            Pengajuan permohonan arbitrase harus secara tertulis dengan cara menyampaikan surat tuntutan kepada arbiter yang memut sekurang – krangnya nama lengkap an tempat tinggal, uraian singkat tentang duduk perkara, da nisi tuntutan yang jelas.
-            Salinan surat tuntutan tersebut disampaikan kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban secara tertulis dalam waktu paling lama 14 hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut. Bersamaan dengan itu, arbiter memerintahkan para pihak untuk hadir di muka sidang paling lama 14 hari sejak dikeluarkannya perintah.
-            Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat juga melalui lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
-            Pemeriksaan arbitrase harus dilakukan secara tertulis terkecuali disetujui oleh para pihak. Semua pemeriksaan dilakukan secara tertutup.
-            Dalam sidang pertama, arbiter terlebih dahulu mengusahakan damai kepada para pihak. Bila berhasil, maka arbiter membuat akta perdamaian dan memerintahkan untuk memenuhi perdamaian tersebut. Bila tidak berhasil, maka pemeriksaan sengketa dilanjutkan.
-            Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu 180 hari sejak majelis arbitrase dibentuk dan dapat diperpanjang dengan persetujuan para pihak.
-            Atas perintah arbiter atau permintaan para pihak dapat diminta keterangan dari para saksi atau saksi ahli.
-            Putusan arbiter diambil berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. Putusan tersebut harus diucapkan paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup.
-            Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.
-            Selanjutnya putusan tersebut didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dengan diberikan catatan dan tanda tangan dibagian akhir oleh Panitia PN dan arbiter yang menyerahkan.
Selain hukum acara yang diatur dalam UU tersebut, setiap lembaga arbitrase mempunyai ketentuan beracara sendiri.Berikut prosedur beracara di berbagai lembaga arbitrase yang ada yang dapat digunakan sebagai komparasi. Prosedur beracara di BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Peraturan Prosedur Arbitrase adalah sebagai berikut :
1.         Permohonan arbitrase
Sebelum memulai arbitrase, terlebih dahulu diajukan surat permohonan arbitrase yang didaftarkan dalam register BANI. Surat itu harus memuat :
a.          nama lengkap dan tempat tinggal kedua belah pihak
b.          uraian singkat tentang duduk perkaranya
c.          apa yang dituntut
Selain itu, pada surat tersebut harus dilampirkan salinan naskah atau akta perjanjian yang secara khusus menyerahkan pemutusan yang memuat klausul arbitrase. Apabila surat permohonan tersebut diajukan oleh kuasa dari para pihak, maka surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut harus dilampirkan.Pemohon dapat menunjuk seorang arbiter atau menyerahkan kepada Ketua BANI.
2.         Tempat Arbitrase
Secara umum, apabila para pihak tidak menentukan tempat berlangsungnya sidang, maka hal itu akan ditentukan oleh aturan arbitrase yang dipilih oleh para pihak.
3.         Hukum dan bahasa pengantar
Para pihak dapat menyepakati hukum apa yang akan dipakai sebagai ketentuan dalam memutus sengketa serta bahasa apa yang akan digunakan sebagai bahan komunikasi antara para pihak.
4.         Pemilihan arbiter
Pada asasnya, cara pengangkatan arbiter ditentukan oleh para pihak sendiri. Namun apabila para pihak tidak menentukan arbiter, maka Ketua BANI akan menunjuk arbiter untuk menangani sengketa tersebut. Penunjukan arbiter tersebut harus dilakukan secara tertulis.
5.         Kewenangan arbitrase
Apabila para pihak telah sepakat dalam perjanjian untuk menyelesaikan sengketa di arbitrase, maka sengketa tersebut harus diselesaikan di forum arbitrase.PN wajib menolak perkara dan tidak campur tangan dalam perkara yang dalam perjanjiannya sudah menyatakan arbitrase sebagai forum penyelesaian persengketaan.
6.         Putusan arbitrase
Arbiter mengambil keputusan berdasarkan ketentuan hukum, keadilan dan kepatutan yang disepakati oleh para pihak.Suatu putusan arbitrase harus ditetapkan jangka waktu pelaksanaannya serta tidak boleh dipublikasikan.Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.
7.         Biaya arbitrase
Arbiter memiliki hak dan kebijaksanaan penetapan jumlah biaya untuk penyelesaian sengketa.Biaya tersebut meliputi honorarium arbiter, biaya perjalanan dan lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter, biaya saksi atau saksi ahli dan biaya administrasi.Biaya tersebut dibebankan kepada pihak yang kalah.Namun apabila permohonan hanya dikabulkan sebagian, maka biaya dibebankan kepada para pihak secara seimbang.[11]
Selain BANI, BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) juga mempunyai tata cara pemeriksaan yang hampir sama dengan UU No. 30 Tahun 1999, yaitu :
-            Mulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase oleh sekretaris dalam register BASYARNAS yang harus memuat nama lengkap dan tempat tinggal para pihak, uraian singkat duduk perkara dan apa yang dituntut (petitum). Dalam surat permohonan tersebut harus dilampirkan salinan dari naskah kesepakatan yang secara khusus menyerahkan pemutusan sengketa kepada BASYARNAS.
-            Apabila perjanjian yang menyerahkan pemutusan kepada BASYARNAS dianggap telah mencukupi, maka Ketua BASYARNAS akan segera menetapkan arbiter yang akan memeriksa perkara tersebut.
-            Arbiter tersebut memerintahkan untuk mengirim salinan permohonan kepada termohon serta perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dengan memberikan jawaban selambat – lambatnya dalam waktu 30 hari. Setelah itu, arbiter memerintahkan mengirim salinan jawaban kepada pemohon serta memerintahkan para pihak untuk menghadap di muka sidang pada tanggal yang ditetapkan dalam kurun waktu 14 hari setelah dikeluarkannya perintah itu.
-            Pada prinsipnya, pemeriksaan arbitrase dilakukan secara langsung dan tertulis, namun atas kesepakatan para pihak pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan. Tahap pemeriksaan terdiri atas tanya jawab (replik – duplik), pembuktian dan tahap putusan. Baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun additional claim akan diperiksa dan diputus oleh arbiter bersama – sama dan sekaligus dalam satu putusan.
-            Arbiter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian diantara para pihak. Bila usaha tersebut berhasil, maka arbiter membuat akta perdamaian dan memerintahkan kepada para pihak untuk menaatinya. Namun apabila usaha tersebut gagal, maka pemeriksaan sengketa dilanjutkan.
-            Seluruh proses pemeriksaan sampai dengan diucapkannya putusan dilaksanakan dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak perintah pertama kepada para pihak untuk menghadiri sidang pertama.
-            Bila pemeriksaan telah dianggap cukup, arbiter menutup pemeriksaan dan menetapkan hari untuk mengucapkan putusan. Putusan diucapkan dihadapan para pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara patut namun ada pihak yang tidak hadir maka putusan tetap diucapkan.
-            Dalam putusan tersebut harus memuat alasan – alasan serta diputus berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono). Setiap putusan harus dimulai dengan “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” dan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.[12]
Disamping institusional yang bersifat nasional sebagaimana disebutkan diatas, terdapat pula arbitrase institusional internasional, antara lain The International Centre For Settlement Of Investment Disputes(ICSID), United Nations Commission On International Trade Law(UNCITRAL) dan Court Arbitration Of The International Chamber Of Commerce(ICC).
Prosedur arbitrase dari ketiga lembaga arbitrase tersebut hampir sama satu sama lain, yaitu :
-            Adanya pengajuan permohonan (claim) secara tertulis dari pihak pemohon (claimant). UNCITRAL menentukan bahwa setiap gugatan harus dilampiri dengan salinan akta perjanjian dan salinan perjanjian arbitrase apabila klausula arbitrase tidak tercantum dalam perjanjian pokok.
-            Permohonan harus didaftarkan terlebih dahulu kepada sekretaris jendral lembaga terkait, kemudian salinan permohonan disampaikan kepada termohon (responden) disertai perintah untuk memberikan jawaban. Jawaban tersebut disampaikan kepada claimant dalam jangka waktu 45 hari.
-            Pemeriksaan dilakukan secara tertutup, mulai dari pemeriksaan sampai tahap putusan.
-            Putusan arbitrase diambil berdasarkan aturan hukum yang disepakati oleh kedua belah pihak. Apabila para pihak tidak menentukan aturan hukum, maka arbiter menentukan putusan berdasarkan aturan hukum dari Negara peserta konvensi.
-            System pengambilan keputusan menganut system “party arbitrase” yaitu system mayoritas dalam pengambilan keputusan (ICSID). Putusan harus memuat uraian dasar – dasar pertimbangan dan amar putusan serta dapat melampirkan pendapat – pendapat arbiter.
-            UNCITRAL berbeda versi dalam pengambilan keputusan, dimana keputusan diambil dengan didasarkan pada 2 sistem yang digabung secara “prioritas” yang berskala “alternatif”, yaitu prioritas pertama mendasarkan pada system mayoritas, apabila tidak tercapai, putusan dapat diambil dengan system umpire, dimana ketua majelis arbitrase dapat memutus sendiri atas nama mahkamah arbitrase.
-            Putusan tersebut harus memuat pertimbangan yang cukup serta memenuhi syarat formal diantaranya putusan harus dalam bentuk tertulis, ditandatangani, mencantumkan tanggal dan tempat dijatuhkannya putusan serta mencantumkan putusan sela yang pernah diambil.
-            Putusan bersifat final and binding, artinya putusan tersebut langsung menjadi putusan tingkat pertama dan terakhir serta mengikat para pihak. Terhapa putusan tersebut tertutup upaya banding dan kasasi.[13]

 IV.            KESIMPULAN
Pada dasarnya prosedur beracara di badan arbitrase hampir sama dengan prosedur beracara dalam perkara perdata. Para pihak diberi kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan perkara yang mereka kehendaki. Kehendak tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang – Undang. Terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam Undang – Undang dalam proses pemeriksaan perkara, diantaranya :
-             Pemeriksaan dilakukan secara tertutup
-             Menggunakan bahasa Indonesia
-             Mendengar para pihak
-             Bebas menentukan arbiter dan ketentuan beracara
-             Pemeriksaan harus secara tertulis
-             Pemeriksaan harus selesai paling lama 180 hari.
-             Putusan bersifat final dan mengikat

    V.            PENUTUP
            Demikianlah uraian yang dapat penulis sampaikan dalam makalah ini.Sebagai manusia biasa, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis nantikan demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.



[3]Pasal 1 (1) Undang – Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[5] http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/klausul-arbitrase-dan-pengadilan_18.html.
[7]Pasal 12 (1 dan 2) UU No. 30 Tahun 1999.
         [8]Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Yogyakarta : Gama Media, 2008. Hal. 107 – 108.
           [9]Ibid, Hal. 111.
           [10]Ibid, Hal.Hal 135 – 136.
        [11]Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia Dan Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, Hal. 50 – 62.
           [12]Bambang Sutiyoso, Op.Cit.  Hal. 142 – 146.
           [13]Ibid, Hal. 150 – 155.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ringkasan Nahwu

kaidah ghoiru asasiyah

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA