HUBUNGAN PERDATA ANAK LUAR NIKAH DENGAN ORANG TUA
IMPLIKASI HUKUM DARI
PENGAKUAN ANAK DI LUAR NIKAH
Setiap
peristiwa hukum yang terjadi selalu mempunyai akibat hukum bagi pelaku maupun
objek hukum. Begitu juga terhadap perubahan status anak dari anak luar kawin
menjadi anak sah, tentu akan memberikan perubahan bagi anak tersebut menurut
hukum. Penetapan tersebut apabila dianalisis akan menimbulkan hak dan kewajiban
baru antara anak dengan bapak biologisnya.
Dalam UUP pasal
43 (1) disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[1] Istilah
hubungan perdata dalam undang-undang tersebut mempunyai arti yang sangat umum
dan dapat mengundang pemahaman yang multi tafsir. Mempunyai hubungan perdata
dalam KUHPerdata mengandung arti adanya hubungan memberi pengayoman, memberi
nafkah, pendidikan, jaminan hidup, biaya hidup, serta tercakup pula di dalamnya
hubungan nasab yang berakibat pada adanya hubungan saling mewarisi antara anak
luar kawin dengan bapak biologisnya, bapak biologis berhak menjadi wali nikah
serta anak dapat menggunakan nama bapaknya. Begitu juga dengan ketentuan pasal
43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya dimana makna
hubungan perdata dalam undang-undang tersebut termasuk adanya hubungan nasab
dan hubungan perdata lainnya.[3]
Dalam beberapa
rumusan pasal undang-undang disebutkan hak dan kewajiban antara anak dan orang
tua yang berlaku secara timbal balik antara keduanya. Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”.[4]
Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa “sesuai dengan penghasilannya
suami menanggung nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri, biaya rumah
tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak serta biaya
pendidikan bagi anak.[5]
Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau
bekas istri yang masih dalam iddah”. [6]
Dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa “kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orang tua putus”.[7]
Sementara itu,
dalam hukum Islam ditegaskan bahwa anak sah berhak mendapatkan hak dari kedua
orang tuanya, yaitu hak rodlo’ah, hak pemeliharaan, hak perwalian, hak
nasab, hak nafkah dan hak waris. Masalah rodlo’ah telah dijelaskan dalam
al-Quran secara detail dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةُ بِوَلَدِهَا وَلاَ
مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا
فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ
أَرَدْتُمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا
سَلَّمْتُم مَّآ اتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya :
Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada
Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.[8]
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa ibu
dianjurkan untuk menyusui anaknya secara sempurna, yaitu dua tahun. Selain itu,
ayat tersebut juga mengindikasikan bahwa orang tua wajib memenuhi kewajibannya
menurut kadar kemampuan mereka. Apabila anak disusukan kepada wanita lain, maka
ayah bertanggungjawab untuk membayar perempuan yang menyusui secara ma’ruf.[9]
Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa semua biaya penyusuan anak
dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia,
maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah
kepada ayahnya atau walinya. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun,
dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan
ayah dan ibunya.[10]
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung
jawab kedua orang tua dan hendaknya dilakukan bersama-sama dan tolong menolong
antara suami istri dalam memelihara anak dan mengantarkannya hingga dewasa.[11]
Pemeliharaan anak harus dipahami secara luas sehingga orang tua tidak hanya
memenuhi kewajiban materiil saja, namun juga memperhatikan untuk memberikan
kasih sayang, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain yang turut membantu
perkembangan kepribadian anak. Cakupan pemeliharaan anak juga dijelaskan dalam
surat Luqman ayat 12 - 19 yang menjelaskan tentang pokok-pokok nasehat Luqman
kepada anaknya sebagai berikut :
- 1. Senantiasa bersyukur kepada Allah atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah.
- 2. Agar tidak menyekutukan Allah karena merupakan kezaliman yang besar dan tidak akan diampuni oleh-Nya.
- 3. Berbuat baik kepada orang tua sebagai bukti kesyukuran anak.
- 4. Mempergauli orang tua secara baik meskipun orang tua memaksa untuk berbuat syirik ataupun kemaksiatan lainnya.
- 5. Senantiasa berbuat baik karena akan mendapat pahala dari Allah.
- 6. Menaati perintah Allah dengan menegakkan sholata, mengajak kebaikan, mencegah kemungkaran, dan bersabar menghadapi segala cobaan.
- 7. Tidak sombong dan angkuh.
- 8. Sederhana dalam bersikap, bertutur kata dan bertingkah laku.[12]
Tugas lain dari orang tua adalah perwalian, yaitu
tugas yang dibebankan kepada orang tua atau orang yang ditunjuk pengadilan
untuk melaksanakan tanggung jawab terhadap seorang anak. Jangkauan perwalian
ini mencakup beberapa aspek hukum anak, yaitu yang berhubungan dengan diri dan
harta anak.[13]
Kompilasi Hukum Islam menentukan pengaturan tentang perwalian dalam pasal 107
sebagai berikut :
(1)
perwalian hanya terhadap anak yang belum
mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian
meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
(3) Bila
wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka
Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai
wali atas permohonan kerabat tersebut.
(4) Wali
sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.[14]
Apabila anak tersebut adalah anak perempuan, maka
anak membutuhkan wali ketika akan melaksanakan perkawinan karena wali merupakan
rukun nikah sebagaimana yang telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu
: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Orang yang bertindak
sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim dan akil baligh. Wali nikah
terdiri dari wali nasab dan wali hakim.[15] Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali
nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau
tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali
hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama
tentang wali tersebut”.[16]
Adapun mengenai hak waris bagi anak, telah
disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 (a) bahwa “hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing”.[17]
Selanjutnya dalam pasal 171 (c) juga disebutkan bahwa “ahli waris adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris”.[18]
Dari ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang dapat menjadi
ahli waris bagi pewaris hanyalah karena mempunyai hubungan darah (nasab) dan
hubungan perkawinan. Suami istri dapat saling mewarisi karena adanya hubungan
perkawinan antara mereka dan anak dan orang tua dapat saling mewarisi karena
adanya hubungan nasab.
Sementara masalah nafkah anak telah diterangkan
dalam undang-undang perkawinan sebagai berikut. Pasal 45 (1) menentukan bahwa “Kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”.
Selanjutnya pasal 49 (2) juga menyebutkan bahwa “Meskipun orang tua dicabut
kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan
kepada anak tersebut”. Ketentuan
yang lebih tegas disebutkan dalam pasal 41 yaitu “Bapak yang bertanggung
jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;
bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”.
Semua hal yang telah diuraikan tersebut diatas
adalah hak yang didapat oleh seorang anak yang berstatus sebagai anak sah,
yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah sebagaimana
ketentuan undang-undang. Sedangkan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah
tidak dapat memiliki hak-hak tersebut diatas dari bapak biologisnya karena
tidak adanya hubungan perdata dengan bapak biologisnya. Hubungan keperdataan
anak luar kawin hanya terbatas kepada ibu dan keluarga ibunya sehingga hak-hak
yang didapat hanya dari jalur ibu dan keluarga ibunya saja. Akan tetapi yang
menjadi permasalahan disini adalah bagaimana dengan hak keperdataan anak luar
kawin yang telah mendapat pengakuan serta disahkan oleh pengadilan. Penulis
berpendapat bahwa hak keperdataan tersebut haruslah dipisahkan agar dapat
diketahui manakah hak yang yang dapat dimiliki oleh anak tersebut dan mana yang
tidak.
Menurut penulis, anak tersebut dapat menerima hak
keperdataan dengan bapak biologisnya terbatas pada tugas-tugas dalam memberi
nafkah, biaya hidup, menjamin kesehatan, biaya pendidikan, tugas mengayomi dan
tugas lainnya sepanjang hal tersebut tidak berhubungan dengan nasab. Sedangkan
hak-hak yang menyangkut hubungan nasab, maka tidak dapat dikaitkan dengan bapak
biologisnya, karena hubungan nasab anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang
sah hanya kepada ibu dan keluarga ibunya. Akibat dari adanya hubungan nasab
tersebut maka timbul hak dan kewajiban antara orang yang mempunyai hubungan
ansab, yaitu hak saling mewarisi, hak menjadi wali nikah bagi anak perempuan,
hak untuk menggunakan nama bapak di belakang namanya.
Oleh karena
anak yang dilahirkan diluar perkawinan tidak memiliki hubungan nasab dengan
bapak biologisnya maka anak tersebut tidak mempunyai hubungan saling mewaris
dengan bapaknya karena terlahir dari pembuahan di luar perkawinan yang sah. Ia
hanya berhak mewaris dengan ibu dan keluarga ibunya.[19]
Prinsip tersebut ditegaskan dalam surat an-Nisa ayat 11 sebagai berikut :
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ
فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَاتَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ
وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ
فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمَّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى
بِهَآ أَوْدَيْنٍ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَتَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya :
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.[20]
Meskipun anak luar kawin tidak mendapat warisan
dari bapaknya, namun ia dimungkinkan untuk mendapatkan wasiat wajibah
dari harta bapaknya. Kemungkinan tersebut dapat dianalogikan dari putusan MA Nomor
368 K/AG/1995 dan 51 K/AG/1999 yang memberikan sebagian harta warisan pewaris
kepada ahli waris nonmuslim dengan jalan wasiat wajibah. Hal tersebut
dilakukan untuk memberikan keadilan bagi ahli waris nonmuslim yang menurut
hukum islam tidak mendapat warisan dari pewaris karena bukan merupakan ahli
waris. Begitu juga dengan anak luar kawin, karena tidak adanya hubungan nasab
dengan bapak biologisnya maka ia tidak bisa saling mewaris. Namun berdasarkan
keputusan MA tersebut dimungkinkan baginya untuk mendapatkan bagian dari harta
warisan bapaknya dengan jalan wasiat wajibah.[21]
Seorang anak luar kawin juga tidak bisa
menjadikan bapak biologisnya sebagai wali nikah ketika anak tersebut perempuan
karena tidak adanya hubungan nasab antara keduanya. Dalam fiqh Islam disebutkan
bahwa wali nikah itu harus seorang laki-laki dari garis kerabat laki-laki.
Artinya wali nikah tidak bisa berasal dari garis ibu, namun harus dari garis
bapak. Oleh karena itu, apabila anak perempuan tersebut hendak menikah maka
wali yang menikahkannya adalah wali hakim.[22]
Bahkan Imam Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa seorang laki-laki boleh
mengawini anak perempuan, saudara perempuan, cucu perempuan dan keponakan
perempuan hasil perbuatan zina. Mereka berpendapat bahwa wanita-wanita tersebut
tidak mempunyai kaitan nasab secara syar’i dengannya sehingga mereka
tidak haram untuk dinikahi sebagaimana wanita asing lainnya.[23]
Akan tetapi Jumhur Ulama berpendapat bahwa meskipun anak luar kawin tidak
mempunyai hubungan nasab dengan bapak biologisnya, namun mereka tidak boleh
menikah. Mereka beragumentasi bahwa anak zina adalah tetap anak dalam
pengertian bahasa dan tradisi sehingga haram baginya dan bapak biologisnya
hal-hal yang diharamkan atas bapak dan anak.[24]
Dalam ilmu kedokteran juga disebutkan bahwa
pernikahan sedarah atau dalam bahasa kedokteran disebut consanguineous marriage dapat memberikan dampak yang buruk bagi anak yang
dilahirkan. Salah satu bahaya yang bisa timbul dari pernikahan sedarah adalah
sulit untuk mencegah terjadinya penyakit yang terkait dengan gen buruk orangtua
pada anak-anaknya kelak. Lieberman menuturkan pernikahan dengan saudara kandung
atau saudara yang sangat dekat bisa meningkatkan kemungkinan mendapatkan dua
salinan gen yang merugikan, dibandingkan jika menikah dengan orang yang berasal
dari luar keluarga. Hal ini disebabkan masing-masing orang membawa salinan gen
yang buruk dan tidak ada gen normal yang dapat menggantikannya, sehingga pasti
ada beberapa masalah yang nantinya bisa menyebabkan anak memiliki waktu hidup
pendek.[25]
Jika orang tua tidak memiliki hubungan kerabat,
maka resiko bagi mereka untuk memiliki anak dengan cacat lahir atau
keterbelakangan mental berada antara 2% dan 3%. Sementara apabila orang tua
memiliki hubungan sebagai sepupu pertama maka resiko tersebut meningkat sedikit
lebih tinggi antara 5% sampai 6%.[26]
Derajat keparahan perkawinan sedarah tergantung
dengan tingkat kedekatan keluarga. Semakin dekat ikatan keluarga, semakin
memperbesar kesempatan mendapat keturunan yang memiliki gen resesif
(kemungkinan besar cacat). Semakin dekat hubungan keluarga, terdapat gen-gen
penyusun individu yang semakin mirip. Apabila dalam satu keluarga terdapat gen
resesif (gen yang lemah)kemudian anggota keluarga tersebut melakukan perkawinan
sedarah, maka kemungkinan besar persentase munculnya gen resesif semakin besar.[27]
[1] Pasal 43 UU Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974.
[4] Pasal 26 (1) UU Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
[5] Pasal 80 (4) Kompilasi
Hukum Islam.
[6] Pasal 81 (1) Kompilasi
Hukum Islam.
[7] Pasal 45 UU Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974.
[9] Ahmad Rofiq, Hukum
Perdata Islam Di Indonesia, h. 190-191.
[10] Pasal 104 Kompilasi Hukum
Islam.
[11] Ahmad Rofiq, Hukum
Perdata Islam Di Indonesia, h. 189.
[12] Ahmad Rofiq, Hukum
Perdata Islam Di Indonesia, h. 192-195.
[13] M. Anshary, Kedudukan
Anak Dalam Perspektif
Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 53.
[14] Pasal 107 Kompilasi Hukum
Islam.
[15] Pasal 20 dan 21 Kompilasi
Hukum Islam.
[16] Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam.
[17] Pasal 171 Kompilasi Hukum
Islam.
[18] Pasal 171 Kompilasi Hukum
Islam.
[19] M. Anshary, Kedudukan
Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 86.
Lihat juga Al-Imam al-‘Allamah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukany, Nail
al-Authar Min Asrari Muntaqa al-Akhbar, h. 133 dan Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab : Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali,
Penerj. Masykur A.B. dkk., Jakarta : lentera, 2007, h. 396.
[21] M. Anshary, Kedudukan
Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 88-89.
[22] M. Anshary, Kedudukan
Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 82-83.
[23] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab : Ja’fari, Hanafi,
Maliki, Syafi’i, Hanbali, h, 397. Lihat juga dalam Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, al-Mughny Fi Fiqh
al-Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibany h. 485 dan Abdu al-Rahman bin Muhammad bin Qasim al-‘Ashimy
al-Najdy al-Hanbaly, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyyah,
h. 135.
[24] Ibid, h. 397.
[25] http://health.detik.com/read/2010/05/31/121514/1366564/763/risiko-yang-timbul-dari-pernikahan- sedarah, diakses pada 19 April 2016, 07:47 WIB.
[26] Diambil dari jurnal
kesehatan NSW Government, When Parents Are Related-Consanguinity, Centre
for Genetic Education, edisi 30 September 2015.
[27]http://gpyudha0305.blogspot.co.id/2011/10/dampak-negatif-perkawinan-sedarah.html, diakses pada 19 April 2016, 08:12 WIB. Lihat
juga dalam jurnal Perspectives, Genetic Counselling and Customary
Consanguineous Marriage, vol. 3, Maret 2002.
Komentar