HUBUNGAN PERDATA ANAK LUAR NIKAH DENGAN ORANG TUA

IMPLIKASI HUKUM DARI PENGAKUAN ANAK DI LUAR NIKAH

Setiap peristiwa hukum yang terjadi selalu mempunyai akibat hukum bagi pelaku maupun objek hukum. Begitu juga terhadap perubahan status anak dari anak luar kawin menjadi anak sah, tentu akan memberikan perubahan bagi anak tersebut menurut hukum. Penetapan tersebut apabila dianalisis akan menimbulkan hak dan kewajiban baru antara anak dengan bapak biologisnya.
Dalam UUP pasal 43 (1) disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[1] Istilah hubungan perdata dalam undang-undang tersebut mempunyai arti yang sangat umum dan dapat mengundang pemahaman yang multi tafsir. Mempunyai hubungan perdata dalam KUHPerdata mengandung arti adanya hubungan memberi pengayoman, memberi nafkah, pendidikan, jaminan hidup, biaya hidup, serta tercakup pula di dalamnya hubungan nasab yang berakibat pada adanya hubungan saling mewarisi antara anak luar kawin dengan bapak biologisnya, bapak biologis berhak menjadi wali nikah serta anak dapat menggunakan nama bapaknya. Begitu juga dengan ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa anak  yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya dimana makna hubungan perdata dalam undang-undang tersebut termasuk adanya hubungan nasab dan hubungan perdata lainnya.[3]
Dalam beberapa rumusan pasal undang-undang disebutkan hak dan kewajiban antara anak dan orang tua yang berlaku secara timbal balik antara keduanya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”.[4] Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa “sesuai dengan penghasilannya suami menanggung nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak serta biaya pendidikan bagi anak.[5] Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam iddah”. [6] Dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa “kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”.[7]
Sementara itu, dalam hukum Islam ditegaskan bahwa anak sah berhak mendapatkan hak dari kedua orang tuanya, yaitu hak rodlo’ah, hak pemeliharaan, hak perwalian, hak nasab, hak nafkah dan hak waris. Masalah rodlo’ah telah dijelaskan dalam al-Quran secara detail dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةُ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ اتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.[8]

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa ibu dianjurkan untuk menyusui anaknya secara sempurna, yaitu dua tahun. Selain itu, ayat tersebut juga mengindikasikan bahwa orang tua wajib memenuhi kewajibannya menurut kadar kemampuan mereka. Apabila anak disusukan kepada wanita lain, maka ayah bertanggungjawab untuk membayar perempuan yang menyusui secara ma’ruf.[9] Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.[10]
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua dan hendaknya dilakukan bersama-sama dan tolong menolong antara suami istri dalam memelihara anak dan mengantarkannya hingga dewasa.[11] Pemeliharaan anak harus dipahami secara luas sehingga orang tua tidak hanya memenuhi kewajiban materiil saja, namun juga memperhatikan untuk memberikan kasih sayang, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain yang turut membantu perkembangan kepribadian anak. Cakupan pemeliharaan anak juga dijelaskan dalam surat Luqman ayat 12 - 19 yang menjelaskan tentang pokok-pokok nasehat Luqman kepada anaknya sebagai berikut :
  • 1.         Senantiasa bersyukur kepada Allah atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah.
  • 2.         Agar tidak menyekutukan Allah karena merupakan kezaliman yang besar dan tidak akan diampuni oleh-Nya.
  • 3.         Berbuat baik kepada orang tua sebagai bukti kesyukuran anak.
  • 4.         Mempergauli orang tua secara baik meskipun orang tua memaksa untuk berbuat syirik ataupun kemaksiatan lainnya.
  • 5.         Senantiasa berbuat baik karena akan mendapat pahala dari Allah.
  • 6.         Menaati perintah Allah dengan menegakkan sholata, mengajak kebaikan, mencegah kemungkaran, dan bersabar menghadapi segala cobaan.
  • 7.         Tidak sombong dan angkuh.
  • 8.         Sederhana dalam bersikap, bertutur kata dan bertingkah laku.[12]

Tugas lain dari orang tua adalah perwalian, yaitu tugas yang dibebankan kepada orang tua atau orang yang ditunjuk pengadilan untuk melaksanakan tanggung jawab terhadap seorang anak. Jangkauan perwalian ini mencakup beberapa aspek hukum anak, yaitu yang berhubungan dengan diri dan harta anak.[13] Kompilasi Hukum Islam menentukan pengaturan tentang perwalian dalam pasal 107 sebagai berikut :
(1)      perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 
(2)      Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
(3)      Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
(4)      Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.[14] 

Apabila anak tersebut adalah anak perempuan, maka anak membutuhkan wali ketika akan melaksanakan perkawinan karena wali merupakan rukun nikah sebagaimana yang telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu : “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Orang yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim dan akil baligh.  Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim.[15]  Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.   Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut”.[16]
Adapun mengenai hak waris bagi anak, telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 (a) bahwa “hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”.[17] Selanjutnya dalam pasal 171 (c) juga disebutkan bahwa “ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.[18] Dari ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang dapat menjadi ahli waris bagi pewaris hanyalah karena mempunyai hubungan darah (nasab) dan hubungan perkawinan. Suami istri dapat saling mewarisi karena adanya hubungan perkawinan antara mereka dan anak dan orang tua dapat saling mewarisi karena adanya hubungan nasab.
Sementara masalah nafkah anak telah diterangkan dalam undang-undang perkawinan sebagai berikut. Pasal 45 (1) menentukan bahwa “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Selanjutnya pasal 49 (2) juga menyebutkan bahwa “Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut”.  Ketentuan yang lebih tegas disebutkan dalam pasal 41 yaitu “Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”.
Semua hal yang telah diuraikan tersebut diatas adalah hak yang didapat oleh seorang anak yang berstatus sebagai anak sah, yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah sebagaimana ketentuan undang-undang. Sedangkan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah tidak dapat memiliki hak-hak tersebut diatas dari bapak biologisnya karena tidak adanya hubungan perdata dengan bapak biologisnya. Hubungan keperdataan anak luar kawin hanya terbatas kepada ibu dan keluarga ibunya sehingga hak-hak yang didapat hanya dari jalur ibu dan keluarga ibunya saja. Akan tetapi yang menjadi permasalahan disini adalah bagaimana dengan hak keperdataan anak luar kawin yang telah mendapat pengakuan serta disahkan oleh pengadilan. Penulis berpendapat bahwa hak keperdataan tersebut haruslah dipisahkan agar dapat diketahui manakah hak yang yang dapat dimiliki oleh anak tersebut dan mana yang tidak.
Menurut penulis, anak tersebut dapat menerima hak keperdataan dengan bapak biologisnya terbatas pada tugas-tugas dalam memberi nafkah, biaya hidup, menjamin kesehatan, biaya pendidikan, tugas mengayomi dan tugas lainnya sepanjang hal tersebut tidak berhubungan dengan nasab. Sedangkan hak-hak yang menyangkut hubungan nasab, maka tidak dapat dikaitkan dengan bapak biologisnya, karena hubungan nasab anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya kepada ibu dan keluarga ibunya. Akibat dari adanya hubungan nasab tersebut maka timbul hak dan kewajiban antara orang yang mempunyai hubungan ansab, yaitu hak saling mewarisi, hak menjadi wali nikah bagi anak perempuan, hak untuk menggunakan nama bapak di belakang namanya.
Oleh karena anak yang dilahirkan diluar perkawinan tidak memiliki hubungan nasab dengan bapak biologisnya maka anak tersebut tidak mempunyai hubungan saling mewaris dengan bapaknya karena terlahir dari pembuahan di luar perkawinan yang sah. Ia hanya berhak mewaris dengan ibu dan keluarga ibunya.[19] Prinsip tersebut ditegaskan dalam surat an-Nisa ayat 11 sebagai berikut :
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَاتَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمَّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْدَيْنٍ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَتَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[20]

Meskipun anak luar kawin tidak mendapat warisan dari bapaknya, namun ia dimungkinkan untuk mendapatkan wasiat wajibah dari harta bapaknya. Kemungkinan tersebut dapat dianalogikan dari putusan MA Nomor 368 K/AG/1995 dan 51 K/AG/1999 yang memberikan sebagian harta warisan pewaris kepada ahli waris nonmuslim dengan jalan wasiat wajibah. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan keadilan bagi ahli waris nonmuslim yang menurut hukum islam tidak mendapat warisan dari pewaris karena bukan merupakan ahli waris. Begitu juga dengan anak luar kawin, karena tidak adanya hubungan nasab dengan bapak biologisnya maka ia tidak bisa saling mewaris. Namun berdasarkan keputusan MA tersebut dimungkinkan baginya untuk mendapatkan bagian dari harta warisan bapaknya dengan jalan wasiat wajibah.[21]
Seorang anak luar kawin juga tidak bisa menjadikan bapak biologisnya sebagai wali nikah ketika anak tersebut perempuan karena tidak adanya hubungan nasab antara keduanya. Dalam fiqh Islam disebutkan bahwa wali nikah itu harus seorang laki-laki dari garis kerabat laki-laki. Artinya wali nikah tidak bisa berasal dari garis ibu, namun harus dari garis bapak. Oleh karena itu, apabila anak perempuan tersebut hendak menikah maka wali yang menikahkannya adalah wali hakim.[22] Bahkan Imam Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa seorang laki-laki boleh mengawini anak perempuan, saudara perempuan, cucu perempuan dan keponakan perempuan hasil perbuatan zina. Mereka berpendapat bahwa wanita-wanita tersebut tidak mempunyai kaitan nasab secara syar’i dengannya sehingga mereka tidak haram untuk dinikahi sebagaimana wanita asing lainnya.[23] Akan tetapi Jumhur Ulama berpendapat bahwa meskipun anak luar kawin tidak mempunyai hubungan nasab dengan bapak biologisnya, namun mereka tidak boleh menikah. Mereka beragumentasi bahwa anak zina adalah tetap anak dalam pengertian bahasa dan tradisi sehingga haram baginya dan bapak biologisnya hal-hal yang diharamkan atas bapak dan anak.[24]
Dalam ilmu kedokteran juga disebutkan bahwa pernikahan sedarah atau dalam bahasa kedokteran disebut consanguineous marriage dapat memberikan dampak yang buruk bagi anak yang dilahirkan. Salah satu bahaya yang bisa timbul dari pernikahan sedarah adalah sulit untuk mencegah terjadinya penyakit yang terkait dengan gen buruk orangtua pada anak-anaknya kelak. Lieberman menuturkan pernikahan dengan saudara kandung atau saudara yang sangat dekat bisa meningkatkan kemungkinan mendapatkan dua salinan gen yang merugikan, dibandingkan jika menikah dengan orang yang berasal dari luar keluarga. Hal ini disebabkan masing-masing orang membawa salinan gen yang buruk dan tidak ada gen normal yang dapat menggantikannya, sehingga pasti ada beberapa masalah yang nantinya bisa menyebabkan anak memiliki waktu hidup pendek.[25]
Jika orang tua tidak memiliki hubungan kerabat, maka resiko bagi mereka untuk memiliki anak dengan cacat lahir atau keterbelakangan mental berada antara 2% dan 3%. Sementara apabila orang tua memiliki hubungan sebagai sepupu pertama maka resiko tersebut meningkat sedikit lebih tinggi antara 5% sampai 6%.[26]  Derajat keparahan perkawinan sedarah tergantung dengan tingkat kedekatan keluarga. Semakin dekat ikatan keluarga, semakin memperbesar kesempatan mendapat keturunan yang memiliki gen resesif (kemungkinan besar cacat). Semakin dekat hubungan keluarga, terdapat gen-gen penyusun individu yang semakin mirip. Apabila dalam satu keluarga terdapat gen resesif (gen yang lemah)kemudian anggota keluarga tersebut melakukan perkawinan sedarah, maka kemungkinan besar persentase munculnya gen resesif semakin besar.[27]



[1] Pasal 43 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
[3] M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam  Perspektif  Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 74-75.
[4] Pasal 26 (1) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
[5] Pasal 80 (4) Kompilasi Hukum Islam.
[6] Pasal 81 (1) Kompilasi Hukum Islam.
[7] Pasal 45 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
[8] Surat al-Baqarah ayat 233. Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h. 37.
[9] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 190-191.
[10] Pasal 104 Kompilasi Hukum Islam.
[11] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 189.
[12] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 192-195.
[13] M. Anshary, Kedudukan Anak  Dalam  Perspektif  Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 53.
[14] Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam.
[15] Pasal 20 dan 21 Kompilasi Hukum Islam.
[16] Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam.
[17] Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam.
[18] Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam.
[19] M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam  Perspektif  Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 86. Lihat juga Al-Imam al-‘Allamah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukany, Nail al-Authar Min Asrari Muntaqa al-Akhbar, h. 133 dan Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab : Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Penerj. Masykur A.B. dkk., Jakarta : lentera, 2007, h. 396.
[20] An-Nisa 11, Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h. 78.
[21] M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam  Perspektif  Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 88-89.
[22] M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam  Perspektif  Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h. 82-83.
[23] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab : Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, h, 397. Lihat juga dalam Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, al-Mughny Fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibany h.  485 dan Abdu al-Rahman bin Muhammad bin Qasim al-‘Ashimy al-Najdy al-Hanbaly, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyyah, h. 135.
[24] Ibid, h. 397.
[26] Diambil dari jurnal kesehatan NSW Government, When Parents Are Related-Consanguinity, Centre for Genetic Education, edisi 30 September 2015.
[27]http://gpyudha0305.blogspot.co.id/2011/10/dampak-negatif-perkawinan-sedarah.html, diakses pada 19 April 2016, 08:12 WIB. Lihat juga dalam jurnal Perspectives, Genetic Counselling and Customary Consanguineous Marriage, vol. 3, Maret 2002.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

ringkasan Nahwu

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA