Anak Dalam Islam
Islam sangat memperhatikan
perlindungan kepada setiap individu, baik perlindungan materi maupun moral.
Islam menjaga semua yang menjadi sandaran manusia, mulai dari kehormatan,
agama, akal, harta benda dan jiwa. Kelima hal tersebut merupakan kebutuhan
dasar manusia yang diberikan oleh Allah dan orang lain haram untuk
mempermainkannya. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kemashlahatan bagi
masing–masing individu, baik di dunia maupun akhirat. Kemashlahatan pokok yang
disepakati tersebut tercakup dalam lima hal, yaitu al kulliyat al khams.[1]
Islam memelihara keturunan dengan
sedemikian rupa karena ketentuan tersebut merupakan hak anak, sehingga anak
dapat terhindar dari berbagai macam penghinaan yang mungkin akan menimpa
dirinya.[2]
Islam menetapkan adanya hubungan keturunan tersebut karena adanya perkawinan
yang sah. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan
dianggap sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum masing–masing agama dan
kepercayaannya.[3]
Dengan adanya perkawinan tersebut, maka jika istri hamil lalu melahirkan anak, tentu
jelas bahwa kehamilan tersebut dari suaminya, sehingga tidak memerlukan
pengakuan maupun pembuktian.
Tujuan utama disyariatkannya
perkawinan adalah untuk memperoleh anak agar keturunan terpelihara. Disamping
itu, upaya memperoleh anak mengandung sarana pendekatan diri kepada Allah. Taqarrub
sebagai upaya memperoleh anak ini meliputi empat aspek, yaitu :
1. Mencari keridhaan Allah
dengan memperoleh anak demi mempertahankan kelangsungan manusia.
2. Mencari keridhaan
Rasulullah dengan memperbanyak umat beliau yang kelak di hari kiamat akan
menjadi kebanggaannya.
3. Mengharapkan berkah dari
doa anak-anak yang shaleh ketika kita meninggal dunia.
Perkawinan yang mengakibatkan
sahnya hubungan keturunan tersebut harus dilengkapi empat syarat, yaitu :
1. Hamilnya istri dari
suaminya tersebut merupakan suatu hal yang mungkin terjadi. Artinya terjadi
hubungan antara suami dan istri tersebut.
2. Istri melahirkan anak tersebut
minimal setelah enam bulan berlalu dari tanggal dilaksanakannya akad nikah. Jumhur
mengatakan bahwa enam bulan merupakan batas minimal masa hamil seorang wanita
berdasarkan Firman Allah dalam Surat al-Ahqaf ayat 15 serta surat Luqman
ayat 14, yaitu :
وَوَصَّيْنَا
الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كرهًا ووَضَعَتْهُ
كُرْهًا و حَمْلُهُ و فِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا
“dan kami memerintahkan kepada manusia supaya
berbuat baik kepada ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan bersusah payah
dan melahirkannya dengan bersusah payah dan hamil serta memeliharanya sampai
disapih selama tiga puluh bulan”.[5]
ووصينا
الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن و فصاله فى عامين
“dan kami memerintahkan supaya manusia itu berbuat
baik kepada ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dalam keadaan lemah bertambah
lemah dan menyapihnya dalam dua tahun”.[6]
3. Istri melahirkan anaknya
dalam masa kurang dari dua tahun sejak tanggal perpisahannya dengan suami. Hal
tersebut karena masa hamil paling lama adalah 2 tahun sebagaimana tertuang
dalam ucapan Aisyah RA :
ما
تزيد المرأة فى الحمل على سنتين قدر ما يتحول ظل عَمُود المَغْزَلِ
“masa hamilnya seorang wanita tidaklah lebih dari
dua tahun. Kira-kira sama dengan masa berubahnya baying-bayang dari alat
pemintal benang”
Anak sebagai penerus keturunan terbagi
menjadi dua, yaitu anak sah dan anak luar nikah. Anak sah sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah.[8]
Anak sah tersebut secara otomatis memiliki hubungan hukum dengan kedua orang
tuanya, baik hubungan nasab, hubungan waris, perwalian maupun hubungan perdata
lainnya. Dengan demikian anak yang dilahirkan diluar kriteria sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang tersebut adalah anak tidak sah.
Lebih jauh lagi, KUH Perdata menyebutkan
bahwa seorang anak yang dibenihkan atau dilahirkan di dalam perkawinan menjadikan
si suami sebagai bapaknya.[9]
Dengan demikian hubungan antara anak dan bapak tersebut adalah hubungan yang
sah. Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan setelah
perkawinan adalah anak sah. Begitu juga jika anak tersebut dibenihkan di luar
perkawinan tapi lahir dalam perkawinan maka anak tersebut sah juga.[10]
Persoalan mengenai kedudukan anak yang lahir diluar
perkawinan yang sah merupakan masalah yang rumit dan sensitif karena menyangkut
aib keluarga. Pokok persoalan yang timbul dalam keluarga adalah menyangkut asal
usul anak yang lahir diluar perkawinan pada hubungan hukum antara anak dengan
ayah biologisnya. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya.[11]
KUH Perdata menyebutkan bahwa anak di luar nikah tersebut terbagi menjadi dua
jenis, yaitu anak yang lahir dari ayah dan ibu yang tidak terdapat larangan
untuk menikah dan anak yang lahir dari ayah dan ibu yang dilarang untuk menikah.
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah perlu mendapatkan pengakuan
oleh ayah maupun ibunya supaya ada hubungan hukum. Bahkan KUH Perdata
menyebutkan bahwa anak di luar nikah tersebut dapat menjadi anak sah apabila
kedua orang tuanya menikah. [12] Setelah kedua orang tuanya menikah, maka
tindakan lebih lanjut adalah pengesahan anak luar nikah tersebut yang kemudian
dicatat dalam akta perkawinan.[13]
Konsekuensi dari asas pengakuan
mutlak tersebut menyebabkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan tersebut
secara hukum tidak memiliki orang tua, baik ayah maupun ibu tanpa adanya
pengakuan dari keduanya.[14]
Hukum Islam mengatur lebih ketat
lagi terkait dengan permasalahan status anak sebagaimana yang disampaikan para
ulama fikih dalam kitab-kitabnya. Konsep anak di luar nikah dalam hukum Islam
selalu bertumpu dengan pembahasan tentang adanya perbuatan zina. Anak di luar nikah adalah anak yang
dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak berada dalam ikatan perkawinan
yang sah dengan pria yang menyetubuhinya.[15] Anak di luar nikah dalam Islam terbagi menjadi
dua bagian, yaitu :
1.
Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan
dalam pernikahan yang sah. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa anak
tersebut dapat dinasabkan dengan bapaknya selama dilahirkan setelah enam bulan
dari akad nikah ibu bapaknya. Dengan demikian, jika anak tersebut
dilahirkan sebelum enam bulan, maka dia dinasabkan kepada ibunya. Sementara Abu
Hanifah mengartikan bahwa anak luar nikah tersebut tetap memiliki nasab dengan
bapaknya.
2.
Anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Anak
tersebut tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya, tidak dapat saling mewarisi
dengan bapaknya serta jika anak tersebut perempuan, maka bapak biologisnya
tidak dapat menjadi wali.[16]
[1] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2011,hal. 226.
[2] Zakariya Ahmad al-Barry, Hukum
Anak – Anak Dalam Islam, Diterjemahkan Oleh Chadidjah Nasution, Jakarta :
Bulan Bintang,1997, hal. 14.
[3] Undang – Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 1 Dan 2, Surabaya : Arkola, Tt.
[4] Al Ghazali, Menyingkap
Hakikat Perkawinan, Diterjemahkan Oleh Muhammad al-Baqir, Bandung :
Karisma, 1992, hal. 24 – 25.
[5] Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, Bandung : Hilal,hal.
504.
[6] Ibid, hal. 412
[7] Zakariya Ahmad al-Barry, Op.Cit,
hal. 16 – 20.
[8] Pasal 42
[9] Pasal 250
[10] Ali Afandi, Hukum
Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian ,Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW), Jakarta : Bina Aksara, 1986, hal. 145.
[11] Kompilasi Hukum Islam Pasal 100.
[12] Ali Afandi, Op. Cit,
hal. 146.
[13] R. Subekti, Ringkasan
Tentang Hukum Keluarga Dan Hukum Waris, Jakarta : Intermasa, 1990, hal. 14.
[14] Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan Mk Tentang Uji Materiil Uu Perkawinan, Jakarta : Prestasi
Pustakaraya, 2012, hal. 107.
[15] Ibid, hal. 70 – 71.
[16] Ibid, hal. 78 – 79.
Komentar