Sejarah Peradaban Islam : Dinasti Syafawi
I.
PENDAHULUAN
Setelah
Khalifah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan
politik Islam mengalami penurunan secara drastis. Wilayah kekuasaannya terbagi
menjadi beberapa kerajaan kecil yang saling memerangi satu sama lain.
Peninggalan budaya pun ikut hancur akibat serangan tentara Mongol.
Peradaban Islam
kembali muncul setelah berkembangnya tiga kerajaan besar, yaitu Usmani di
Turki, Mughal di India dan Syafawi di Persia. Di masa tiga kerajaan ini mulai
terlihat beberapa kemajuan setelah tidur panjang beberapa abad lamanya.
Kemajuan tersebut dapat dilihat dalam bentuk literature dan arsitek. Meskipun
demikian, perhatian terhadap ilmu pengetahuan masih kurang.
Syafawi
merupakan salah satu dari ketiga kerajaan Islam yang dikategorikan sebagai
kerajaan besar di akhir masa sejarah Islam klasik dan di masa pertengahan.
Kekhilafan berpusat di Persia ( Iran ). Nama Syafawi diambil dari nama pemimpin
tarekat yaitu Safi al Din. Kekhilafan ini adalah penganut ajaran Syi’ah Itsna
Asyriyah yang dijadikan sebagai dasar – dasar doktrin Islam (madzhab Negara)
bagi pemerintahan Iran sampai sekarang.
II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan, penulis mencoba merumuskan permasalahan
yang menjadi focus kajian ini sebagai berikut :
A.
Bagaimana awal mula munculnya Dinasti
Syafawi ?
B.
Bagaimana
perkembangan dan kemajuan
peradaban masa
Dinasti Syafawi ?
C.
Bagaimana kemunduran dan runtuhnya Dinasti Syafawi?
III.
PEMBAHASAN
A.
Awal Mula Munculnya Dinasti Syafawi
Awalnya,
Dinasti Safawi muncul dari sebuah gerakan Tarekat Safawiyah yang berdiri di
Ardabila, sebuah kota di Azerbaijan. Nama tarekat ini diambil dari nama
pendirinya, yaitu Ishaq Saefudin atau Safi al-Din (1252-1334 M)[1],
dan nama itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik.
Bahkan, nama ini terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan
kerajaan. Kerajaan Safawi berdiri ketika Kerajaan Usmani mencapai puncak
kejayaannya. Ia merupakan keturunan dari Imam Syi’ah yang keenam, yaitu Musa
al-Kazhim. Gurunya yang sekaligus menjadi mertuanya bernama Syekh Taj al-Din
Ibrahim Zahidi (1216-1301 M), dikenal dengan julukan Zahid al-Gilani karena
ketekunannya menjalankan ilmu tasawuf.
Safi al-Din
mendirikan Tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan mertuanya yang
wafat tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama.
Awalnya, gerakan tasawuf ini memerangi orang-orang yang ingkar dan golongan
bid’ah. Dalam perkembangannya, gerakan ini bersifat lokal berubah menjadi
gerakan keagamaan yang mempunyai pengaruh besar di Persia, Syiria dan Anatolia.
Di negeri-negeri yang berada diluar Ardabil inilah, Safi al-Din menempatkan
seorang wakil yang diberi gelar khalifah untuk memimpin muridnya didaerah
masing-masing.
Secara nyata,
Tarekat Safawiyah berubah menjadi gerakan politik pada dekade 1447-1501 M.
Gerakan ini dimotori oleh Juneid (1447-1501 M). Setelah itu, Dinasti Safawi
memperluas gerakannya dengan menambah kegiatan politik pada kegiatan keagamaan.
Perluasan kegiatan ini ternyata menimbulkan konflik antara Juneid dengan
kekuatan politik yang ada di Persia pada waktu itu, misalnya konflik dengan
kerajaan Kara Koyunlu,salah satu bangsa Turki yang berkuasa diwilayah itu yang
bermadzab Sunni dibawah kekuasaan Usmani. Karena konflik tersebut, maka ia
mengalami kekalahan dan diasingkan ke suatu tempat. Selama berada di
pengasingan, Juneid tidak tinggal diam. Ia menghimpun kekuatan dan beraliansi
secara politik dengan Uzun Hasan. Bahkan ia berhasil mempersunting salah
seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Juneid mencoba merebut
Ardabil, tetapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia berusaha merebut Circasia, namun
lagi-lagi gagal, bahkan ia terbunuh dalam pertempuran tentara Sirwan.
Ketika
meninggal, Juneid meninggalkan seorang putra yang bernama Haidar dan ia diasuh
oleh Uzun Hasan. Karena ia masih muda, maka kepemimpinan Safawi diserahkan pada
saat ia sudah dewasa, yaitu pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan Uzun
Hasan semakin erat setelah ia menikahi salah seorang putri Uzun Hasan. Dari
perkawinan itu lahirlah Ismail, yang kemudian hari menjadi pendiri yang
sesungguhnya di kerajaan Safawi di Persia.
Kemenangan
AK-Koyunlu terhadap Kara Koyunlu pada tahun 1476 M, membuat gerakan militer
Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai saingan oleh AK-Koyunlu
dalam meraih kekuasaan. Padahal sebelumnya mereka adalah sekutu. Oleh karena
itu Ak Koyunlu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti
Safawi. Ketika Safawi menyerang
Circassia dan pasukan Sirwan, Ak Koyunlu mengirim bantuan militer untuk
membantu Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan terbunuh dalam peperangan
tersebut. Haidar meninggalkan tiga orang putra, yaitu Ali, Ibrahim, dan Ismail.
Sepeninggalnya,
kepemimpinan Dinasti Safawi dilanjutkan oleh Ali. Ali didesak untuk menuntut
balas dendam atas kematian ayahnya, terutama terhadap Ak Koyunlu. Tetapi,
Ya’kub, pemimpin Ak Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama kedua
saudaranya, Ibrahim dan Ismail beserta ibunya, selama empat tahun (1489-1493
M). Namun mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota Ak Koyunlu, dengan
syarat mau membantu memerangi saudara sepupunya. Setelah saudara sepupu Rustam
dikalahkan, Ali beserta ibunya kembali ke Ardabil. Akan tetapi, tidak lama
kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara pada tahun 1494
M dan Ali terbunuh dalam serangan ini.
Ketika Ali
meninggal, adiknya yang bernama Ismail baru berusia 7 tahun. Namun ia tetap
dipercaya untuk memimpin gerakan Safawi. Selama 5 tahun, Ismail beserta
pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan
dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, dan Anatolia. Pasukan ini dinamai
Qizilbash (baret merah). Dibawah kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M,
pasukan Qizilbash menyerang dan berhasil mengalahkan Ak Koyunlu di Sharur,
dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukan Tabriz,
ibukota Ak Koyunlu dan berhasil merebut serta mendudukinya. Dikota inilah
Ismail memproklamirkan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut
sebagai Ismail I.[2]
Ismail I berkuasa selama lebih kurang 23 tahun (1501-1524 M). Pada sepuluh
tahun pertama ia berhasil memperluas kekuasaannya. Ia dapat menghancurkan
sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di
Nazardaran , Gurgan, dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M), Baghdad dan
daerah barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M), dan Khurasan (1510 M).
Tidak sampai
disitu, ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap menguasai
daerah-daerah lainnya, seperti Turki Usmani. Pada saat perluasan daerah di
Turki Usmani terjadilah peperangan pada tahun 1514 M di Chaldiran, dekat Tabriz
yang dipimpin oleh Sultan Salim dan Ismail mengalami kekalahan. Kekalahan
tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya,
kehidupan Ismail I berubah. Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan
hura-hura dan berburu. Kondisi memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah
raja Safawi kelima, Abbas I naik tahta (1588-1628 M). Pada masa kepemimpinan, Abbas
I berhasil membuat kerajaan safawi kuat kembali. Ia memusatkan perhatiannya ke
luar dengan berusaha merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang.
Pada masa Abbas I inilah merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi.[3]
Pada masa ini, kemajuan ilmu politik dan ekonomi maju pesat. Kebudayaan dan
kesenian dapat disejajarkan dengan peradaban – peradaban agung di belahan dunia
lainnya. Di sisi lain filsafat dan puisi juga mendapatkan ruang yang terbuka.
Selain itu, kota Qum telah menjadi pusat kebudayaan dan penelitian Madzhab
Syi’ah terbesar saat itu. Lembaga – lembaga pendidikan Syi’ah juga berkembang
dengan baik. Sekolah Khan di Siraj merupakan sekolah yang terkenal dengan tokoh
pengajarnya Mulla Shadra.[4]
Berikut
raja-raja yang pernah memerintah Dinasti Safawi:
1.
Safi
al-Din (1252-1334 M)
2.
Sadar
al-Din Musa (1334-1399 M)
3.
Khawaja
Ali (1399-1427 M)
4.
Ibrahim
(1427-1447 M)
5.
Juneid
(1447-1460 M)
6.
Haidar
(1460-1494 M)
7.
Ali
(1494-1501 M)
8.
Ismail
(1501-1524 M)
9.
Tahmasp
I (1524-1576 M)
10.
Ismail
II (1576-1577 M)
11.
Muhammad
Khudabanda (1577-1587 M)
12.
Abbas
I (1588-1628 M)
13.
Safi
Mirza (1628-1642 M)
14.
Abbas
II (1642-1667 M)
15.
Sulaiman
(1667-1694 M)
16.
Husen
(1694-1722 M)
17.
Tahmasp
II (1722-1732 M)
18.
Abbas
III (1732-1736 M).[5]
B.
Kemajuan Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Syafawi
Ketika Dinasti Syafawi dipimpin oleh Ismail, Dinasti ini berhasil
mengembangkan wilayah kekuasaan sampai ke daerah Nazandaran, Gurgan, Yazd,
Diyar Bakr, Baghdad, Sirwan, dan Khurasan hingga meliputi daerah fortile
crescent. Puncak keemasan Dinasti Syafawi terjadi pada masa pemerintahan
Abbas I[6]. Kejayaan
tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut :
a)
Bidang
politik dan pemerintahan
Kemajuan di bidang politik disini
adalah terwujudnya integritas wilayah Negara yang luas, yang dikawal oleh suatu
angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat
serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik internasional.
Syah Abbas I juga berhasil membangun
angkatan bersenjata yang kuat, besar dan modern. Inti satuan militer ini
direkrut dari bekas tawanan perang bekas orang – orang Kristen di Georgia dan
Circhasia yang dibawa ke Persia. Mereka dibina dengan pendidikan militer dan
dipersenjatai secara modern. Angkatan tersebut dipimpin oleh Allahwardi Khan.[7] Selain
itu, Syah Abbas juga mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu
stabilitas Negara dan berhasil merebut kembali wilayah – wilayah yang pernah
direbut oleh kerajaan lain pada masa raja – raja sebelumnya.[8]
b)
Bidang
ekonomi
Dinasti Syafawi juga mengalami
kemajuan di bidang industry dan perdagangan. Hal tersebut dibuktikan dengan
dikuasainya Hurmuz, kota pelabuhan sebagai jalur perdagangan antara Timur dan
Barat, yang biasanya diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis. Dengan
dikuasainya Hurmuz membuat perekonomian Syafawi semakin membaik. Sektor
perdagangan akhirnya menjadi salah satu andalan sumber perekonomian Syafawi di
samping pertanian yang mengandalkan kesuburan wilayah Bulan Sabit Subur (fortile
crescent). [9]
c)
Bidang
ilmu pengetahuan, filsafat dan seni
Dalam sejarah, bangsa Persi dikenal
sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu
pengetahuan. Tradisi tersebut terus berlanjut sampai pada masa Dinasti Syafawi.
Para ilmuwan dan filosuf yang terkenal pada masa ini antara lain Bahauddin al
Syaerazi (ahli berbagai macam ilmu), Sadr al din al Syaerazi atau Mulla Shadra
(seorang filosuf yang menulis al hikmah al muta’aliyah dan asfar al
arba’ah) serta Muhammad Baqir bin Muhammad Damad (filsuf, ahli sejarah,
teolog, dan pernah mengadakan penelitian mengenai kehidupan lebah).[10]
d)
Bidang
arsitektur bangunan dan seni
Para penguasa telah berhasil
menjadikan Isfahan menjadi kota kerajaan yang indah dan memiliki bangunan –
bangunan besar dan megah, seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan raksasa
di atas Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga dihiasi dengan
taman – taman wisata yang ditata sedemikian indahnya. Ketika Abbas I wafat, di
Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian
umum.
Kemajuan di bidang seni dapat
dilihat dari gaya arsitektur bangunan – bangunan sebagaimana terlihat pada
masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan masjid Lutfullah yang dibangun tahun
1603 M.[11]
Unsur seni lainnya terlihat dalam bentuk kerajinan tangan , keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode,
tembikar, dan benda seni lainnya.[12]
C.
Kemunduran dan Runtuhnya Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Syafawi
Kemunduran Dinasti Syafawi mulai terlihat semenjak meninggalnya
Abbas I. Secara berturut – turut Syafawi dipimpin oleh enam raja yang
kepemimpinannya lemah serta berperangai buruk. Keenam raja tersebut adalah Safi
Mirza, Abbas II, Sulaiman, Husen, Tahmasp II dan Abbas III. Pada masa itu,
Syafawi tidak semakin berkembang, namun semakin menunjukkan kemunduran yang
akhirnya membawa pada kehancuran.[13]
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
a.
Ketegangan
dan konflik dengan Turki Usmani yang disebabkan oleh perbedaan madzhab antara
keduanya, dimana Turki Usmani beraliran Sunni serta Syafawi beraliran Syi’ah.
b.
Keadaan
para sultan yang lemah dan tidak efektif memimpin.[14]
c.
Melemahnya
semangat pasukan budak – budak yang direkrut oleh Abbas I.
d.
Dekadensi
moral khususnya di lingkungan istana. Sulaiman, selain pemabuk juga menyenangi
kehidupan malam bersama harem – haremnya. Bahkan selama tujuh tahun ia tidak
menyempatkan diri untuk mengurus pemerintahan. Begitu pula sultan Husen.[15]
e.
Seringnya
terjadi konflik intern akibat perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.[16]
Pada saat Syafawi dipimpin oleh Husein, ia memberikan kekuasaan
yang besar terhadap ulama’ Syi’ah sehingga mereka sering memaksakan fatwanya
kepada penganut Sunni. Hal tersebut menimbulkan kemarahan Sunni Afghanistan
yang mengakibatkan pemberontakan sehingga Syafawi jatuh di tangan penguasa
Afghanistan, Mir Mahmud pada tahun 1722 M.[17]
dengan dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, Tahmasp II (putera Husein)
memproklamirkan diri sebagai raja dan berkuasa atas Persia yang berpusat di
Astarabad. Tahun 1726 M Tahmasp II bekerjasama dengan Nadhir Khan dan suku
Afshar untuk mengusir bangsa Afghan. Asyraf yang berkuasa di Isfahan saat itu
berhasil dikalahkan oleh pasukan Nadhir Khan pada tahun 1729 M. dengan demikian
dinasti Syafawi kembali berkuasa. Namun tahun 1732 M Tahmasp II dipecat oleh
Nadhir Khan dan digantikan oleh Abbas III. Pada 8 Maret 1736 Nadhir Khan
mengangkat dirinya sebagai raja. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti
Syafawi di Persia.[18]
IV.
KESIMPULAN
Nama Syafawi
diambil dari nama seorang pendiri tarekat yaitu Ishaq Saefudin atau Safi al-Din
(lahir tahun 1252 M di Ardabil). Tarekat Safawiyah berubah menjadi gerakan
politik pada dekade 1447-1501 M. Gerakan ini dimotori oleh Juneid. Tahun 1501
M, Ismail dan pasukan Qizilbash menyerang Ak Koyunlu dan berhasil merebut
Tabriz. Di kota ini Ismail memproklamirkan diri sebagai raja Syafawi yang
pertama serta menjadikan Syi’ah Itsna Asyriyah sebagai madzhab negara. Ia
berkuasa selama 23 tahun (1501 – 1524). Pada masa ini, ia berhasil
menghancurkan sisa kekuatan Ak Koyunlu serta menguasai Nazandaran, Gurgan,
Yazd, Diyar Bakr, Baghdad, Sirwan dan Khurasan hingga bagian timur Fortile
Crescent.
Kejayaan
Dinasti Syafawi terjadi saat dipimpin oleh raja kelima, Abbas I (1588 – 1628).
Kemajuan Dinasti Syafawi tidak hanya dalam bidang politik dan pemerintahan
saja, namun dalam bidang lain juga antara lain bidang ekonomi, bidang ilmu
pengetahuan, filsafat dan sains, bidang arsitektur dan seni. Kemunduran Dinasti
Syafawi mulai terlihat semenjak meninggalnya Abbas I, yaitu ketika dipimpin
oleh enam raja yang kepemimpinannya lemah serta berperangai buruk.
V.
PENUTUP
Demikianlah uraian yang dapat
penulis sampaikan dalam makalah ini. Sebagai manusia biasa, tentunya makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para
pembaca sangat penulis nantikan demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan
datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
[1] Akbar S.
Ahmed, Citra Muslim : Tinjauan Sejarah Dan Sosiologi, Jakarta : Penerbit
Erlangga, Tt, Hal. 76.
[2] Abdul Syukur
al Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Terlengkap, Yogyakarta: Saufa, 2014, Cet
I, Hal. 373-376.
[3] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam;Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994, Cet II, Hal.141-143
[4] M. Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book
Publisher, 2007, Hal. 308.
[5] Abdul Syukur
al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Terlengkap, Hal. 377.
[6] Ibid,
hal. 378.
[7] Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban Di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar – Akar Sejarah, Social, Politik
Dan Budaya Umat Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2004, Hal. 174 –
175.
[8] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam;Dirasah Islamiyah II, hal. 143.
[9] Moh. Nurhakim,
Jatuhnya Sebuah Tamadun: Menyingkap Sejarah Kegemilangan Dan Kehancuran
Imperium Khalifah Islam, Jakarta : Kemenag RI, Dirjen Pendidikan Islam,
Direktorat PTI, 2012, Hal. 157.
[10] Ibid,
hal. 158. Lihat juga Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban…, hal. 176 –
177.
[11] Abdul Syukur
Al Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Terlengkap, Hal. 379.
[12] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam;Dirasah Islamiyah II, Hal. 145.
[14] Safi Mirza
adalah seorang pemimpin yang lemah serta tidak bersikap bijak terhadap para
pembesar kerajaan. Pada masa ini kota Qondahar berhasil direbut oleh kerajaan
Mughal sementara Baghdad diduduki oleh kerajaan Usmani. Abbas II adalah raja
yang gemar minum minuman keras hingga membuatnya sakit dan meninggal dunia.
Meskipun demikian, kota Qondahar berhasil direbut kembali. Kemudian Sulaiman
adalah pemabuk serta bersikap kasar terhadap para pembesar, sehingga rakyat
acuh terhadapnya. Ia diganti oleh Shah Husein yang alim. Namun ia memberi
otoritas yang berlebihan kepada para ulama Syi’ah sehingga mereka memaksakan
fatwanya kepada pengikut Sunni.
[15] Moh. Nurhakim,
Jatuhnya Sebuah Tamadun…, Hal. 158 – 159.
[17] Pemberontakan
pertama terjadi pada tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays dan berhasil
merebut Qandahar. Pemberontakan yang lain terjadi di Herat dan berhasil
menduduki Mashad. Setelah pergantian pemimpin oleh Mir Mahmud, ia menyatukan
pasukannya dengan pasukan Ardabil dan berusaha memperluas wilayah kekuasaan.
Berdasarkan desakannya, Husein mengangkatnya sebagai Gubernur Qandahar. Tahun
1721 M ia dapat merebut Kirman. Tidak lama kemudian ia mengepung Isfahan dan
pada tahun 1722 M Husein menyerah.
[18] Ibid, Hal.
157 – 158.
Komentar