RESOLUSI KONFLIK : BERBAGAI MODEL DAN STRATEGI

Memahami Konflik dan Kekerasan
Konflik dan kekerasan merupakan fenomena yang bisa kita lihat hampir setiap saat. Konfllik dan kekerasan bisa saja terjadi dimanapun dan melanda komunitas manapun. Oleh karena itu hal-hal umum dan spesifik dari konflik harus diketahui, sehingga jalan keluar yang umum dan spesifik dapat kita temukan. Pengertian kekerasan dibagi menjadi dua, yaitu pengertian kekerasan dalam arti sempit dan kekerasan dalam arti luas. Pengertian kekerasan dalam arti sempit dengan memfokuskan arti kekerasan dalam hubungannya dengan kekerasan politik. Sedangkan kekerasan dalam arti luas diajukan oleh Johan Galtung yang mendefinsikan kekerasan sebagai sesuatu yang menyebabkan orang tidak bisa mengaktualisasikan diri secara wajar.
Mohtar Mas’ud membuat dua kategori kekerasan yaitu jenis kekerasan langsung atau personal, dan kekerasan tidak langsung atau kekerasan struktural. Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan oleh satu atau sekelompok aktor kepada pihak lain, sedang kekerasan tidak langsung merupakan suatu yang sudah terbangun dalam struktur.
Untuk lebih memahami fenomena kekerasan dan berusaha untuk mencari solusi damai memerlukan pemahaman yang komprehensif terhadap fenomena konflik dan kerusuhan. Dari perspektif historis, kerusuhan dan kekerasan pada dasarnya merupakan gejala sejarah yang hampir sepanjang masa dapat dijumpai. Gejala kerusuhan yang sering muncul dalam proses sejarah umumnya terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami krisis sebagai akibat dari proses perubahan yang mendesak baik pada bidang sosial, ekonomi, politik dan kultural yang sering menyebabkan timbulnya situasi krisis sehingga menimbulkan protes terhadap ancaman yang ditimbulkannya yang bisa muncul dalam bentuk kerusuhan.
Fenomena tersebut juga dapat dilihat dari perspektif modernisasi. Sumber meningkatnya fenomena kekerasan akhir-akhir ini ada dalam transformasi sebagian besar masyarakat dunia dari masyarakat yang sangat kuat dikuasi oleh struktur interaksi sosial yang tebal dan berskala kecil menuju masyarakat yang didominasi oleh struktur interaksi sosial yang tipis dan berskala besar. Ada tiga proses penting melalui proses modernisasi yang membawa implikasi kerusuhan dan kekerasan. Pertama, disintegrasi yang dialami oleh semakin banyak masyarakat dunia. Kedua meningkatnya kecenderungan masyarakat untuk menjawab dinamika perubahan itu melalui proses destrukturisasi dan proses dekulturasi. Ketiga, sebagai akibat dari keduanya berkembang situasi “atomie” dan “anomie” yang menghasilkan ketidakpastian, frustasi, rasa takut, disorientasi dan hilangnya makna hidup pada tingkat kehidupan pribadi.
Kekerasan juga bisa dilihat dari perspektif konflik elit. Konflik elit merupakan wujud dari konflik politik yang sebenarnya adalah wujud dari perjuangan untuk memperoleh, mempertahankan dan memperbesar kekuasaan. Tarik menarik kepentingan politik elit itu di satu sisi bisa memberikan kontribusi bagi proses demokratisasi, namun juga bisa memunculkan pengkotakan masyarakat yang akibatnya cenderung menimbulkan kekerasan kolektif.
Sementara para sosiolog memfokuskan perhatian pada aspek-aspek sosiologi dan kebudayaan dan para psikolog melihat fenomena kekerasan dari aspek kejiawaan manusia. Kekerasan terjadi melalui dua jalur cold calculated violence, dan hot reactive violence. Dalam cold calaculated violence, kekerasan dijadikan alat untuk mencapai tujuan, dan pada umumnya tujuan politik. Dalam hot reactive violence, terdapat kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun. Oleh karena itu kejadian sekecil apapun yang dilakukan oleh lawan yang dianggap tidak berkenan di hati mereka, akan menimbulkan reaksi kekerasan yang hebat dan kejam. Secara umum baik kekerasan yang muncul baik melalui jalur pertama maupun jalur kedua ataupun lainnya diakibatkan oleh dan berakar pada gangguan kognitif. Problem kognitif itu disebabkan oleh adanya penonjolan egoisme dan individualisme.
Resolusi Konflik dan Kekerasan
Kekerasan tidak berakar pada satu segi kehidupan manusia. Unsur-unsur psikologis, kultural, sosial, ekonomi dan politik turut melahirkan konflik sosial dan kekerasan. Oleh sebab itu, sulit ditemukan metode yang menyatakan secara tegas bahwa konflik dan kekerasan dapat dihilangkan dari kehidupan manusia. Sehingga muncul dua kelompok dalam memberikan alternative pengelolaan konflik. Kaum pasifis seperti Erasmus of Rotteram, Emeric Cruce, William Penn, John Belers, dan Abbe de Saint-Piere berpendapat bahwa penggunaan instrumen kekerasan merupakan alternatif solusi masalah-masalah sosial yang selalu dihadapi umat manusia. Sedangkan kalangan konstruksionis berpendapat bahwa kekerasan sesungguhnya dapat dilenyapkan dalam perjalanan peradaban manusia. Tubagus Aruf Faturahman menawarkan lima model regulasi konflik, yaitu :
1.      Partisi, yaitu pemisahan secara tegas antara satu etnis dengan etnis lain. Model ini jarang sekali digunakan dan hal ini hanya dimungkinkan apabila sebuah etnis benar-benar hidup terpisah dari garis demarkasi negara.
2.      Dominasi, yaitu satu dominasi etnis terhadap etnis lain, biasanya melalui kekerasan atau tindakan diskriminatif. Model ini mendasarkan pada asumsi kekerasan sebagai alternatif mengakhirin kekerasan lebih lanjut.
3.      Proses asimilasi. Model ini adalah bentuk halus dan maju dari model kedua yang dilakukan secara alami.
4.      Konsolidasi. Model ini mengakui eksistensi setiap perbedaan yang ada dan mencoba untuk mengharmonikan perbedaan - perbedaan itu. Dalam model ini kelompok mayoritas bukan pihak yang menentukan dalam berbagai hal, tetapi berbagai ketentuan diputuskan berdasarkan konensus dan kompromi.
5.      Pengakuan terhadap semua etnis, tetapi tidak memiliki keterkaitan dengan hal - hal yang sifatnya politis. Negara berusaha mengakomodasikan dan mengekspresikan berbagai perbedaan yang ada dan menganggap semua etnis yang ada memiliki posisi yang sama dan diperlakukan secara adil.
Galtung menawarkan tiga model lain yaitu peace keeping, peace building, dan peace making. Model peace keeping (operasi keamanan) yang melibatkan aparat keamanan dan militer perlu diterapkan guna meredam konflik dan menghindarkan penularan konflik terhadap kelompok lain. Peace building adalah strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Sedangkan peace making adalah upaya negosiasi antara kelompok - kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan.
Model Kerangka Kerja
Akhir tahun 1960-an, Johan Galtung menawarkan model konflik yang mencakup konflik simetris dan konflik asimetris. Konflik dapat dilihat sebagai segitiga vertikal Contradiction (C) Attitude (A) dan Behavior (B). Tiga komponen itu harus dihadirkan secara bersama-sama dalam melihat konflik secara menyeluruh. Galtung melihat konflik sebagai sebuah proses dinamis dimana struktur, sikap dan perilaku terus menerus merubah dan mempengaruhi satu sama lain. Para pihak yang terlibat dalam konflik kemudian membentuk berbagai struktur untuk mencapai kepentingan mereka. Mereka mengembangkan sikap permusuhan dan perilaku konfliktual. Oleh sebab itu, untuk menghentikan kekerasan langsung dengan merubah perilaku konflik. Untuk menghentikan kekerasan struktural dengan melakukan merubah kontradiksi stuktural dan ketidak adilan. Sedangkan untuk merubah kekerasan kultural adalah dengan merubah berbagai sikap.
Eskalasi dan Deeskalasi Konflik
Model eskalasi konflik menggambarkan bagaimana konflik berpindah dari satu tahap ketahap lain yang membentuk kurvaa normal eskalasi dan deeskalasi konflik. Tahap perubahan itu dimulai dari perbedaan yang merupakan bagian dari seluruh perkembangan sosial, berkembang melalui bibit-bibit kontradiksi yang mungkin tampak atau bersifat laten, naik lagi melalui proses polarisasi dimana antar para pihak mulai tampak saling bertentangan dan puncaknya adalah pecahnya kekerasan langsung ataupun perang.
Selain itu, Rombston menawarkan hourglass model yang menggambarkan spektrum konflik, tahap dan repons dalam resolusi konflik. Model ini menunjukkan adanya penyempitan ruang politik yang menandai eskalasi konflik dan perluasan ruang politik pada deeskalasi konflik. Penanganan konflik (conflict settlement) berkaitan dengan negosiasi ataupun mediasi diantara pihak-pihak utama yang saling bertentangan dengan tujuan utama untuk menemukan kesepakatan yang dapat diterima dan saling menguntungkan. Penahanan konflik (conflict containment) meliputi peace keeping preventif, pembatasan peran dan penjagaan perdamaian paska gencatan sejata.
Berbagai Pendekatan Terhadap Konflik
Konflik merupakan sesuatu yang instrinsik dan aspek perubahan sosial yang tidak dapat dihindari. Salah satu bentuk kebiasaan yang tipikal dalam merespon konflik adalah prioritas yang berlebihan dalam mempertahankan kepentingan kita sendiri. Oleh sebab itu disini ditawarkan lima pendekatan terhadap konflik yang dibedakan berdasarkan perbedaan tinggi rendahnya perhatian terhadap diri sendiri dan orang lain.

Pertama apabila seseorang memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap dirinya dan memiliki perhatian yang rendah terhadap orang lain (cotending style). Kedua, gaya yang lebih memperhatikan kepentingan orang orang lain ketimbang kepentingan diri sendiri (yield style). Ketiga, model penghindaran (avoid style), yaitu model yang memiliki perhatian yang sangat rendah tehadap kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Keempat, keseimbangan dalam memperhatikan kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain yang membawa kepada sikap akomodatif dan kompromis. Kelima, perhatian yang tinggi terhadap kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Hal ini berimplikasi pada penegasan terhadap kepentingan sendiri tetapi secara seimbang sadar akan aspirasi dan kebutuhan orang lain, untuk kemudian memunculkan energi untuk mencari problem solving yang kreatif sebagai jalan keluar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ringkasan Nahwu

kaidah ghoiru asasiyah

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA