Hukum Acara Arbitrase
I.
PEMBAHASAN
A.
Hukum Acara Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu alternative penyelesaian sengketa di
luar pengadilan yang diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan
diberlakukannya RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering) tahun
1847. Semula arbitrase diatur dalam pasal 615 – 651 RV, namun setelah
dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa ketentuan tersebut sudah tidak diberlakukan lagi.[1]
Arbitrase mempunyai karakteristik sebagai berikut :
-
Merupakan
cara penyelesaian sengketa secara prifat atau di luar pengadilan
-
Atas
dasar perjanjian tertulis dari para pihak
-
Untuk
mengantisipasi sengketa yang mungkin akan terjadi atau telah terjadi
-
Dengan
melibatkan pihak ketiga (arbiter) yang berwenang mengambil sengketa
-
Sifat
putusannya adalah final dan mengikat.[2]
Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara dalam arbitrase tidak jauh
berbeda dengan proses pemeriksaan perkara perdata. Hukum acara yang berlaku
dalam pemeriksaan arbitrase diatur dalam pasal 27 sampai 51 UU No. 30 Tahun
1999. Para pihak diberi kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses
pemeriksaan perkara yang mereka kehendaki. Kehendak tersebut harus disebutkan secara
tegas dan tertulis serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang –
Undang. Terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam Undang – Undang dalam
proses pemeriksaan perkara, diantaranya :
-
Pemeriksaan
dilakukan secara tertutup
-
Menggunakan
bahasa Indonesia
-
Mendengar
para pihak
-
Bebas
menentukan arbiter dan ketentuan beracara
-
Pemeriksaan
harus secara tertulis
-
Pemeriksaan
harus selesai paling lama 180 hari.[3]
Secara lebih rinci, prosedur beracara dalam arbitrase menurut UU
No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
-
Persetujuan
arbitrase harus dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani para pihak yang
bersengketa.
-
Jumlah
arbiter harus ganjil.
-
Pengajuan
permohonan arbitrase harus secara tertulis dengan cara menyampaikan surat
tuntutan kepada arbiter yang memut sekurang – krangnya nama lengkap an tempat
tinggal, uraian singkat tentang duduk perkara, da nisi tuntutan yang jelas.
-
Salinan
surat tuntutan tersebut disampaikan kepada termohon dengan disertai perintah
bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban secara tertulis dalam
waktu paling lama 14 hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut.
Bersamaan dengan itu, arbiter memerintahkan para pihak untuk hadir di muka
sidang paling lama 14 hari sejak dikeluarkannya perintah.
-
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dapat juga melalui lembaga arbitrase nasional atau
internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
-
Pemeriksaan
arbitrase harus dilakukan secara tertulis terkecuali disetujui oleh para pihak.
Semua pemeriksaan dilakukan secara tertutup.
-
Dalam
sidang pertama, arbiter terlebih dahulu mengusahakan damai kepada para pihak.
Bila berhasil, maka arbiter membuat akta perdamaian dan memerintahkan untuk
memenuhi perdamaian tersebut. Bila tidak berhasil, maka pemeriksaan sengketa
dilanjutkan.
-
Pemeriksaan
atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu 180 hari sejak majelis arbitrase
dibentuk dan dapat diperpanjang dengan persetujuan para pihak.
-
Atas
perintah arbiter atau permintaan para pihak dapat diminta keterangan dari para
saksi atau saksi ahli.
-
Putusan
arbiter diambil berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan
kepatutan. Putusan tersebut harus diucapkan paling lama 30 hari setelah
pemeriksaan ditutup.
-
Putusan
arbitrase bersifat final dan mengikat.
-
Selanjutnya
putusan tersebut didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat
dengan diberikan catatan dan tanda tangan dibagian akhir oleh Panitia PN dan
arbiter yang menyerahkan.
Selain hukum acara yang diatur dalam UU tersebut, setiap lembaga
arbitrase mempunyai ketentuan beracara sendiri. Berikut prosedur beracara di
berbagai lembaga arbitrase yang ada yang dapat digunakan sebagai komparasi.
Prosedur beracara di BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang diatur
dalam Anggaran Dasar dan Peraturan Prosedur Arbitrase adalah sebagai berikut :
1.
Permohonan
arbitrase
Sebelum
memulai arbitrase, terlebih dahulu diajukan surat permohonan arbitrase yang
didaftarkan dalam register BANI. Surat itu harus memuat :
a.
nama
lengkap dan tempat tinggal kedua belah pihak
b.
uraian
singkat tentang duduk perkaranya
c.
apa
yang dituntut
Selain
itu, pada surat tersebut harus dilampirkan salinan naskah atau akta perjanjian
yang secara khusus menyerahkan pemutusan yang memuat klausul arbitrase. Apabila
surat permohonan tersebut diajukan oleh kuasa dari para pihak, maka surat kuasa
khusus untuk mengajukan permohonan tersebut harus dilampirkan. Pemohon dapat
menunjuk seorang arbiter atau menyerahkan kepada Ketua BANI.
2.
Tempat
Arbitrase
Secara
umum, apabila para pihak tidak menentukan tempat berlangsungnya sidang, maka
hal itu akan ditentukan oleh aturan arbitrase yang dipilih oleh para pihak.
3.
Hukum
dan bahasa pengantar
Para
pihak dapat menyepakati hukum apa yang akan dipakai sebagai ketentuan dalam
memutus sengketa serta bahasa apa yang akan digunakan sebagai bahan komunikasi
antara para pihak.
4.
Pemilihan
arbiter
Pada
asasnya, cara pengangkatan arbiter ditentukan oleh para pihak sendiri. Namun
apabila para pihak tidak menentukan arbiter, maka Ketua BANI akan menunjuk
arbiter untuk menangani sengketa tersebut. Penunjukan arbiter tersebut harus
dilakukan secara tertulis.
5.
Kewenangan
arbitrase
Apabila
para pihak telah sepakat dalam perjanjian untuk menyelesaikan sengketa di
arbitrase, maka sengketa tersebut harus diselesaikan di forum arbitrase. PN
wajib menolak perkara dan tidak campur tangan dalam perkara yang dalam
perjanjiannya sudah menyatakan arbitrase sebagai forum penyelesaian
persengketaan.
6.
Putusan
arbitrase
Arbiter
mengambil keputusan berdasarkan ketentuan hukum, keadilan dan kepatutan yang
disepakati oleh para pihak. Suatu putusan arbitrase harus ditetapkan jangka
waktu pelaksanaannya serta tidak boleh dipublikasikan. Putusan arbitrase
bersifat final dan mengikat.
7.
Biaya
arbitrase
Arbiter
memiliki hak dan kebijaksanaan penetapan jumlah biaya untuk penyelesaian
sengketa. Biaya tersebut meliputi honorarium arbiter, biaya perjalanan dan
lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter, biaya saksi atau saksi ahli dan biaya
administrasi. Biaya tersebut dibebankan kepada pihak yang kalah. Namun apabila
permohonan hanya dikabulkan sebagian, maka biaya dibebankan kepada para pihak
secara seimbang.[4]
Selain BANI,
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) juga mempunyai tata cara
pemeriksaan yang hampir sama dengan UU No. 30 Tahun 1999, yaitu :
-
Mulai
dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase oleh
sekretaris dalam register BASYARNAS yang harus memuat nama lengkap dan tempat
tinggal para pihak, uraian singkat duduk perkara dan apa yang dituntut
(petitum). Dalam surat permohonan tersebut harus dilampirkan salinan dari
naskah kesepakatan yang secara khusus menyerahkan pemutusan sengketa kepada
BASYARNAS.
-
Apabila
perjanjian yang menyerahkan pemutusan kepada BASYARNAS dianggap telah mencukupi,
maka Ketua BASYARNAS akan segera menetapkan arbiter yang akan memeriksa perkara
tersebut.
-
Arbiter
tersebut memerintahkan untuk mengirim salinan permohonan kepada termohon serta
perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dengan memberikan jawaban
selambat – lambatnya dalam waktu 30 hari. Setelah itu, arbiter memerintahkan
mengirim salinan jawaban kepada pemohon serta memerintahkan para pihak untuk
menghadap di muka sidang pada tanggal yang ditetapkan dalam kurun waktu 14 hari
setelah dikeluarkannya perintah itu.
-
Pada
prinsipnya, pemeriksaan arbitrase dilakukan secara langsung dan tertulis, namun
atas kesepakatan para pihak pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan. Tahap
pemeriksaan terdiri atas tanya jawab (replik – duplik), pembuktian dan
tahap putusan. Baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun additional claim akan
diperiksa dan diputus oleh arbiter bersama – sama dan sekaligus dalam satu
putusan.
-
Arbiter
terlebih dahulu mengusahakan perdamaian diantara para pihak. Bila usaha
tersebut berhasil, maka arbiter membuat akta perdamaian dan memerintahkan
kepada para pihak untuk menaatinya. Namun apabila usaha tersebut gagal, maka
pemeriksaan sengketa dilanjutkan.
-
Seluruh
proses pemeriksaan sampai dengan diucapkannya putusan dilaksanakan dalam jangka
waktu 6 bulan terhitung sejak perintah pertama kepada para pihak untuk
menghadiri sidang pertama.
-
Bila
pemeriksaan telah dianggap cukup, arbiter menutup pemeriksaan dan menetapkan
hari untuk mengucapkan putusan. Putusan diucapkan dihadapan para pihak. Bila para
pihak telah dipanggil secara patut namun ada pihak yang tidak hadir maka
putusan tetap diucapkan.
-
Dalam
putusan tersebut harus memuat alasan – alasan serta diputus berdasarkan
keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono). Setiap putusan harus dimulai
dengan “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” dan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”.[5]
Disamping
institusional yang bersifat nasional sebagaimana disebutkan diatas, terdapat
pula arbitrase institusional internasional, antara lain The International
Centre For Settlement Of Investment Disputes (ICSID), United
Nations Commission On International Trade Law (UNCITRAL) dan Court
Arbitration Of The International Chamber Of Commerce (ICC).
Prosedur
arbitrase dari ketiga lembaga arbitrase tersebut hampir sama satu sama lain,
yaitu :
-
Adanya
pengajuan permohonan (claim) secara tertulis dari pihak pemohon (claimant).
UNCITRAL menentukan bahwa setiap gugatan harus dilampiri dengan salinan akta
perjanjian dan salinan perjanjian arbitrase apabila klausula arbitrase tidak tercantum
dalam perjanjian pokok.
-
Permohonan
harus didaftarkan terlebih dahulu kepada sekretaris jendral lembaga terkait,
kemudian salinan permohonan disampaikan kepada termohon (responden)
disertai perintah untuk memberikan jawaban. Jawaban tersebut disampaikan kepada
claimant dalam jangka waktu 45 hari.
-
Pemeriksaan
dilakukan secara tertutup, mulai dari pemeriksaan sampai tahap putusan.
-
Putusan
arbitrase diambil berdasarkan aturan hukum yang disepakati oleh kedua belah
pihak. Apabila para pihak tidak menentukan aturan hukum, maka arbiter
menentukan putusan berdasarkan aturan hukum dari Negara peserta konvensi.
-
System
pengambilan keputusan menganut system “party arbitrase” yaitu system mayoritas
dalam pengambilan keputusan (ICSID). Putusan harus memuat uraian dasar – dasar
pertimbangan dan amar putusan serta dapat melampirkan pendapat – pendapat
arbiter.
-
UNCITRAL
berbeda versi dalam pengambilan keputusan, dimana keputusan diambil dengan
didasarkan pada 2 sistem yang digabung secara “prioritas” yang berskala “alternatif”,
yaitu prioritas pertama mendasarkan pada system mayoritas, apabila tidak
tercapai, putusan dapat diambil dengan system umpire, dimana ketua majelis
arbitrase dapat memutus sendiri atas nama mahkamah arbitrase.
-
Putusan
tersebut harus memuat pertimbangan yang cukup serta memenuhi syarat formal
diantaranya putusan harus dalam bentuk tertulis, ditandatangani, mencantumkan
tanggal dan tempat dijatuhkannya putusan serta mencantumkan putusan sela yang
pernah diambil.
-
Putusan
bersifat final and binding, artinya putusan tersebut langsung menjadi
putusan tingkat pertama dan terakhir serta mengikat para pihak. Terhapa putusan
tersebut tertutup upaya banding dan kasasi.[6]
II.
KESIMPULAN
Pada dasarnya prosedur beracara di badan arbitrase hampir sama
dengan prosedur beracara dalam perkara perdata. Para pihak diberi kebebasan
untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan perkara yang mereka
kehendaki. Kehendak tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis serta
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang – Undang. Terdapat beberapa
hal penting yang diatur dalam Undang – Undang dalam proses pemeriksaan perkara,
diantaranya :
-
Pemeriksaan
dilakukan secara tertutup
-
Menggunakan
bahasa Indonesia
-
Mendengar
para pihak
-
Bebas
menentukan arbiter dan ketentuan beracara
-
Pemeriksaan
harus secara tertulis
-
Pemeriksaan
harus selesai paling lama 180 hari.
-
Putusan
bersifat final dan mengikat
Komentar