menuju hkum responsif
I.
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
Konfigurasi Politik
Secara historis dalam perjalanan
dinamika politik di Indonesia ternyata telah terjadi tolak – tarik antara
konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Keduanya
muncul secara bergantian dengan kecenderungan linier di setiap periode. Sejalan
dengan hal tersebut, perkembangan karakter produk hokum memperlihatkan
keterpengaruhan dengan terjadinya tolak – tarik antara produk hokum yang
berkarakter responsive dan konservatif. Semua konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia menjadikan demokrasi sebagai salah satu asasnya, namun tidak semua
konstitusi tersebut mampu melahirkan konfigurasi politik yang demokratis.[1]
Secara lebih rinci perkembangan
konfigurasi politik dari periode ke periode adalah sebagai berikut :
a.
Periode
tahun 1945 – 1959.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada
17 Agustus 1945 terjadi pembalikan arah dalam penampilan konfigurasi politik.
Pada periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung demokratis dan
diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Dalam konfigurasi yang demikian
tampak bahwa partai – partai memainkan peran yang sangat dominan dalam proses
perumusan kebijakan negara melalui wadah konstitusionalnya, yaitu parlemen.
Seiring dengan itu, lembaga eksekutif berada pada posisi yang “kalah kuat”
dibandingkan dengan partai – partai sehingga pemerintah senantiasa jatuh bangun
dan keadaan politik berjalan tidak stabil. Kebebasan pers, bila dibandingkan
dengan periode – periode lainnya dapat dikatakan berjalan dengan sangat baik,
bahkan pada masa inilah peraturan sensor dan pembrendelan yang berlaku sejak
zaman Belanda dicabut secara resmi.[2]
Pada masa ini, pernah berlaku tiga
macam konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Meskipun
demikian konfigurasi politik yang ditampilkan merupakan kualifikasi yang sama,
yaitu konfigurasi politik yang demokratis.[3]
b.
Periode
tahun 1959 – 1966.
Konfigurasi politik yang demokratis
berakhir dengan dikeluarkannya dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang
kemudian dianggap sebagai awal dimulainya periode demokrasi terpimpin. Pada era
demokrasi terpimpin ini konfigurasi politik yang ditampilkan adalah konfigurasi
politik yang otoriter.[4] Di
dalamnya Soekarno menjadi actor utama dalam agenda politik nasional sehingga
pemerintahan Soekarno pada masa ini disebut sebagai rezim otoriter.
Partai politik tidak mempunyai peran
politik yang sangat berarti kecuali Partai Komunis Indonesia. Oleh karena itu
pada era ini terdapat tiga kekuatan politik yang saling memanfaatkan sekaligus
saling bersaing, yaitu Soekarno, Angkatan Darat dan PKI. Akan tetapi kekuatan
terbesar terletak pada Soekarno. Beliau mengatasi lembaga – lembaga
konstitusional, menekan partai – partai dan menutup kebebasan pers sambil
membuat peraturan perundang – undangan yang mengintervensi kewenangan DPR
dengan mengeluarkan berbagai penpres dan perpres.[5]
c.
Periode
1966 – 1998.
Konfigurasi politik otoriter pada
era demokrasi terpimpin berakhir pada tahun 1966 ketika Orde Baru yang
berintikan Angkatan Darat tampil sebagai pemeran utama dan membentuk rezim
baru. Tampilnya ABRI diberi jalan oleh peristiwa G 30 S/PKI yang menyebabkan
PKI dibubarkan setelah keluarnya Supersemar dari Presiden Soeharto dan Soekarno
sendiri tidak dapat mempertahankan jabatannya.[6]
Pada awalnya Orde Baru memulai langkah politiknya dengan langgam agak demokratis
liberal. Tetapi langgam tersebut hanya tampil sementara, yakni selama
pemerintah berusaha membentuk format baru politik Indonesia.
Setelah format baru tersebut
terbentuk melalui UU no. 15 dan UU No. 16 tahun 1969 serta hasil pemilu 1971,
maka langgam system politik mulai bergeser lagi ke arah otoritarian. Dipandang
dari sudut pandang demokrasi politik maka berdasarkan standar konvensional yang
manapun konfigurasi politik Orde Baru bukanlah konfigurasi politik yang
demokratis karena lebih menonjolkan langgam otoritariannya. Tetapi dipandang
dari sudut upayanya untuk membangun ekonomi masyarakat, maka dapat dikatakan
berhasil. Ciri yang dapat dilihat dari pada konfigurasi Orde Baru antara lain :
pertama, system kepartaiannya yang hegemonic, suatu system yang tidak
kompetitif karena yang sangat dominan dan menentukan agenda politik nasional
adalah partai yang mendukung dan didukung dengan kuat oleh pemerintah, yaitu
Golkar. Kedua, peranan eksekutif sangat dominan yang ditandai tindakan –
tindakan intervensionis dan pembentukan jaringan – jaringan korporatis serta
dominannya eksekutif dalam pembentukan berbagai produk hukum. Ketiga,
kebebasan pers yang relative terbatas.
Orde baru diidentifikasi dengan berbagai
perspektif yang pada dasarnya berpijak dari pandangan yang sama bahwa rezim ini
bukan rezim demokratis. Pemerintah orde baru adalah pemerintah yang sangat
otonom dan penetrative. Partai politik pun tidak mandiri. Keputusan keputusan
biang legislasi lebih banyak diwarnai oleh visi politik pemerintah.[7]
B.
Karakter
Produk Hukum
Perkembangan karakter produk hukum
senantiasa dipengaruhi oleh perkembangan konfigurasi politik. Artinya
konfigurasi politik tertentu selalu melahirkan karakter produk hukum yang tertentu
pula. Ketika konfigurasi politik tampil demokratis, maka karakter produk hokum
yang dilahirkan cenderung responsive, sedangkan apabila konfigurasi politik
bergeser ke arah otoriter maka produk hokum yang lahir cenderung
konservatif/ortodoks.
Ada dua jenis karakter produk hokum
dalam perkembangan konfigurasi politik di Indonesia :
a.
Produk
hokum responsive/populistik
Produk hokum responsive/populistik
adalah produk hokum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan
masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi
penuh kelompok – kelompok social atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya
bersifat responsive terhadap tuntutan – tuntutan kelompok social atau individu
dalam masyarakat.[8]
b.
Produk
hokum konservatif/ortodoks/elitis
Produk hokum yang isinya lebih
mencerminkan visi social elite politik, lebih mencerminkan keinginan
pemerintah, bersifat positivis instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana
ideology dan program Negara. Hokum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan –
tuntutan kelompok maupun individu dalam masyarakat.[9]
Untuk mengkualifikasi apakah suatu
produk hokum responsive atau konservatif, indicator yang dipakai adalah proses
pembuatan hokum, sifat fungsi hokum, dan kemungkinan penafsiran atas sebuah
produk hokum.
Produk hokum yang berkarakter
responsive, maka proses pembuatannya bersifat partisipatif, yaitu membuka
partisipasi masyarakat sebanyak – banyaknya melalui kelompok – kelompok social
dan individu dalam masyarakat. Sedangkan proses pembuatan hokum yang
berkarakter ortodoks bersifat sentralistik yakni lebih didominasi oleh lembaga
Negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.
Dilihat dari fungsinya maka hokum
yang berkarakter responsive bersifat aspiratif, yakni memuat materi – materi
yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat. Sedangkan
hokum yang ortodoks bersifat positivis-instrumentalis, yakni memuat materi yang
lebih merefleksikan visi social dan politik pemegang kekuasaan. Dapat juga
dikatakan lebih memuat materi yang merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan
kepentingan program pemerintah.
Jika dilihat dari segi penafsiran
maka produk hokum responsive biasanya sedikit memberi peluang bagi pemerintah
untuk menafsirkan sendiri melalui peraturan pelaksanaan dan peluang tersebut
hanya untuk hal – hal yang benar – benar bersifat teknis. Sedangkan produk
hokum ortodoks memberi peluang yang luas bagi pemerintah untuk membuat berbagai
interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak
dari pemerintah.[10]
Berdasarkan uraian diatas maka
perkembangan konfigurasi politik selama beberapa periode melahirkan karakter
produk hokum yang berbeda – beda, meskipun menganut asas yang sama. Secara
lebih spesifik perkembangan karakter produk hokum tersebut adalah sebagai
berikut[11] :
No.
|
Periode
|
Konfigurasi Politik
|
Kecenderungan Karakter
Produk Hukum
|
||
Pemilu
|
Pemda
|
Agraria
|
|||
1.
|
1945 – 1959 (Demokrasi
Liberal)
|
Demokratis
|
Responsif
|
Responsif
|
Responsif
|
2.
|
1959 – 1966 (Demokarsi
Terpimpin)
|
Otoriter
|
-
|
Ortodoks / Konservatif /
elitis
|
Responsif (dengan alasan
tertentu)
|
3.
|
1966 – 1998 (Orde baru)
|
Otoriter
|
Ortodoks / konservatif/
elitis
|
Ortodoks / Konservatif /
elitis
|
Ortodoks / Konservatif /
elitis (parsial)
|
C.
Menuju
Konfigurasi Politik Demokratis - Responsif
Sebagaimana
telah disebutkan diatas bahwa pola hubungan politik yang akomodatif akan
membuahkan konfigurasi politik yang demokratif yang akan menjadikan posisi
hukum terakomodasi dan melahirkan produk hukum yang responsif dan pola hubungan
yang antagonistik akan membuahkan konfigurasi politik otoriter yang akan
menjadikan posisi hukum termarginal dan melahirkan produk hukum yang
konservatif.[12] Indonesia menganut
gagasan supremasi konstitusi (supremacy of constitution) dan bukan
supremasi parlemen (supremacy of parliament). Konsekuensi dianutnya supremacy
of constitution, semua peraturan perundang - undangan tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Dalam pendekatan Kelsen ‘stufenbau
theory’, hukum positif dikonstruksi berjenjang dan berlapis-lapis,
peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi.[13]
Setelah
era orde baru digantikan dengan era reformasi dan di dalamnya dilakukan
perombakan besar – besaran dengan tujuan membentuk negara yang demokratis, banyak
yang mengira bahwa dengan reformasi itu konfigurasi politik kita kini telah
berubah menjadi demokratis. Padahal kenyataannya tidak. Konfigurasi politik
kita sekarang ini adalah konfigurasi politik oligarkis, yakni suatu konfigurasi
politik yang didominasi kelompok elite yang mengerjakan politik melalui
transaksi-transaksi yang saling memberi keuntungan politik diantara para elite
sendiri.[14] Memang pada awal
reformasi terlihat bahwa konfigurasi politik berubah arah dari otoriter ke
demokratis sehingga berhasil memproduksi berbagai UU yang responsif. Namun,
suasana demokratis itu hanya berlangsung beberapa tahun karena setelah itu
konfigurasi politik berbelok ke arah yang oligarkis.[15]
Harus
dipahami bahwa upaya mengubah hukum menjadi responsif harus didahului dengan
perubahan konfigurasi politik agar menjadi demokratis sebab tidak mungkin hukum
responsif lahir dari politik yang tidak demokratis. Jika dilihat dari logika
politik, maka upaya demokratisasi tersebut tidaklah mudah. Mengingat kekuasaan
presiden yang begitu besar, maka upaya perubahan konfigurasi politik ke arah
yang lebih demokratis sangat dipengaruhi oleh presiden. Yang diperlukan adalah
bagaimana meyakinkan presiden bahwa demokratisasi diperlukan dan tidak akan
merusak tatanan yang selama ini telah dicapai. Selain itu, upaya menguatkan
masyarakat sipil juga diperlukan karena dapat meningkatkan keberdayaan
masyarakat dalam memperjuangkan aspirasinya dan mendorong percepatan demokratisasi.[16]
Konfigurasi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan
kebijaksanaan umum, partisipasi ini dapat ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas
prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan
politik.
Salah
satu langkah yang dapat diambil dalam rangka demokratisasi adalah penciptaan
mekanisme check and balance diantara lembaga – lembaga demokrasi
Pancasila. Dengan adanya mekanisme tersebut maka konfigurasi politik yang
ditandai dengan domonannya eksekutif dan bercorak otoriter – birokratis dapat
digeser ke sisi konfigurasi yang lebih demokratis.[17]
Setiap negara harus berpijak kepada sistem hukum yang
dianut, yang bagi bangsa Indonesia adalah sistem hukum Pancasila. System hokum Pancasila
adalah sistem yang berakar dari budaya bangsa sebagai kaidah penuntun arah
pembangunan hukum untuk mencapai tujuan nasional. Pancasila adalah nilai-nilai
dasar sebagai rambu-rambu pembangunan hukum nasional.
Nilai-
nilai dasar tersebut melahirkan empat kaidah penuntun hukum yang harus
dipedomani dalam pembangunan hukum. Pertama, hukum nasional harus dapat
menjaga integrasi (keutuhan kesatuan) baik ideologi maupun teritori sesuai
dengan tujuan “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Harus dicegah munculnya produk hukum yang berpotensi memecah-belah keutuhan bangsa
dan negara Indonesia.
Kedua, hukum nasional harus dibangun
secara demokratis dan nomokratis dalam arti harus mengundang partisipasi dan
menyerap aspirasi masyarakat luas melalui mekanisme yang fair, transparan dan
akuntabel.
Ketiga, hukum nasional harus mampu menciptakan keadilan
sosial
dalam arti harus mampu memperpendek jurang antara yang kuat dan
yang lemah serta memberi proteksi khusus terhadap golongan yang lemah
dalam berhadapan dengan golongan yang kuat baik dari luar maupun
dari dalam negeri sendiri. Tanpa proteksi khusus dari hukum, golongan
yang lemah pasti akan selalu kalah jika dilepaskan bersaing atau bertarung
secara bebas dengan golongan kuat.[18]
dalam arti harus mampu memperpendek jurang antara yang kuat dan
yang lemah serta memberi proteksi khusus terhadap golongan yang lemah
dalam berhadapan dengan golongan yang kuat baik dari luar maupun
dari dalam negeri sendiri. Tanpa proteksi khusus dari hukum, golongan
yang lemah pasti akan selalu kalah jika dilepaskan bersaing atau bertarung
secara bebas dengan golongan kuat.[18]
Keempat, hukum harus menjamin toleransi beragama yang
berkeadaban antara pemeluknya. Tidak boleh ada pengistimewaan
perlakuan terhadap agama hanya karena didasarkan pada besar dan
kecilnya jumlah pemeluknya. Negara boleh mengatur kehidupan
beragama sebatas pada menjaga ketertiban agar tidak terjadi konflik serta
menfasilitasi agar setiap orang dapat melaksanakan ajaran agamanya
dengan bebas tanpa mengganggu atau diganggu oleh orang lain.[19]
berkeadaban antara pemeluknya. Tidak boleh ada pengistimewaan
perlakuan terhadap agama hanya karena didasarkan pada besar dan
kecilnya jumlah pemeluknya. Negara boleh mengatur kehidupan
beragama sebatas pada menjaga ketertiban agar tidak terjadi konflik serta
menfasilitasi agar setiap orang dapat melaksanakan ajaran agamanya
dengan bebas tanpa mengganggu atau diganggu oleh orang lain.[19]
Perlu
disadari bahwa demokrasi sebagai cara akan menentukan kualitas tujuan yang
dicapai oleh suatu masyarakat. Dalam
pancasila, prinsip demokrasi terungkap dalam sila keempat. System politik
demokratis dengan sendirinya mencakup nilai hidup kemanusiaan yang adil dan
beradab. Kemanusiaan pancasila berporos pada prinsip persamaan umat manusia
(egalitarianisme).[20]
II.
KESIMPULAN
Perkembangan
konfigurasi politik di Indonesia pasca kemerdekaan terbagi ke dalam tiga
periode, yakni periode demokrasi liberal, periode demokrasi terpimpin dan
periode orde baru. Pada masa – masa tersebut, potret politik Indonesia
cenderung berubah – ubah dari satu periode ke periode yang lain, meskipun yang
dianut adalah satu konstitusi. Konfigurasi politik tersebut berupa demokrasi
dan otoriter.
Bagi
masing – masing konfigurasi politik tersebut mampu menghasilkan produk hokum
yang berbeda pula. Pada system demokrasi, produk hokum yang dilahirkan
cenderung berkarakter responsive. Sedangkan pada system politik otoriter
cenderung melahirkan produk hokum yang berkarakter konservatif.
Untuk mewujudkan produk hokum yang responsive,
peka terhadap masyarakat, perlu dilakukan perubahan politik hokum ke arah
demokrasi. Karena hokum yang responsive hanya dapat dicapai apabila system
politik telah demokrasi. Proses demokratisasi bukanlah perkara yang mudah. Yang
perlu dilakukan adalah bagaimana
meyakinkan presiden bahwa demokratisasi diperlukan dan tidak akan merusak
tatanan yang selama ini telah dicapai. Selain itu, upaya menguatkan masyarakat
sipil juga diperlukan karena dapat meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam
memperjuangkan aspirasinya dan mendorong percepatan demokratisasi.
[1] Abdul Halim, Peradilan
Agama Dalam Politik Hokum Di Indonesia, Dari Otoriter Konservatif Menuju
Konfigurasi Demokratis Responsive, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2000,
Hal. 88.
[2] Abdul Halim, Peradilan
Agama Dalam Politik Hokum Di Indonesia, Dari Otoriter Konservatif Menuju
Konfigurasi Demokratis Responsive, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2000,
Hal. 88.
[3] Moh. Mahfud MD,
Hukum Dan Pilar – Pilar Demokrasi, Yogyakarta : Gama Media, 1999, Hal.
157 – 158.
[4] Daniel S. Lev,
Hukum Dan Politik Di Indonesia Kesinambungan Dan Perubahan, Jakarta : LP3ES,
1990, Hal. 384 – 385.
[5] Abdul Halim, Peradilan
Agama Dalam Politik Hokum Di Indonesia, Dari Otoriter Konservatif Menuju
Konfigurasi Demokratis Responsive, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2000,
Hal. 90.
[6] Miftah Thoha, Birokrasi
Dan Politik Di Indonesia, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2003, Hal. 138 –
139.
[7] Moh. Mahfud
MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2001,
Hal. 374 – 375.
[8] Abdul Halim, Peradilan
Agama Dalam Politik Hokum Di Indonesia, Dari Otoriter Konservatif Menuju
Konfigurasi Demokratis Responsive, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2000,
Hal. 19 – 20.
[9] Abdul Halim, Peradilan
Agama Dalam Politik Hokum Di Indonesia, Dari Otoriter Konservatif Menuju
Konfigurasi Demokratis Responsive, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2000,
Hal. 20.
[10] Moh. Mahfud
MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2001,
Hal. 26.
[11] Moh. Mahfud
MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2001,
Hal. 355.
[12] Harun, Perkembangan Hukum Islam Dalam Konfigurasi
Politik Di Indonesia, SUHUF, Vol. 21, No.
2, Nopember 2009, Hal. 156.
[13] Isnawati, Konfigurasi Politik Demokratis Dalam Karakter
Produk Hokum Yang Responsif Di Era Reformasi, Jurnal Socioscientia Kopertis
Wilayah XI Kalimantan, Februari 2012, Volume 4 Nomor 1, Hal. 86.
[14] Isnawati, Konfigurasi Politik Demokratis Dalam Karakter
Produk Hokum Yang Responsif Di Era Reformasi, Jurnal Socioscientia Kopertis
Wilayah XI Kalimantan, Hal. 87
[15] Isnawati, Konfigurasi Politik Demokratis Dalam Karakter
Produk Hokum Yang Responsif Di Era Reformasi, Jurnal Socioscientia Kopertis
Wilayah XI Kalimantan, Hal. 88.
[16] Moh. Mahfud MD,
Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2001,
Hal. 381.
[17] Moh. Mahfud
MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2001,
Hal. 356-357.
[18] Mahfud MD, Capaian Dan Proyeksi Kondisi Hukum
Indonesia, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009, Hal. 292 – 293.
[19] Muhammad Tahir
Azhary, Negara Hukum, Jakarta : Bulan Bintang, 1992, Hal. 69.
[20] Afan Gaffar, Demokratisasi
Politik, Budaya Dan Ekonomi Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta :
Yayasan Paramadina, 1991, Hal. 204 – 205.
Komentar