perceraian
I.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Perceraian
Perceraian merupakan suatu
kata yang berasal dari kata cerai yang berarti pisah,
putus hubungan sebagai suami istri.[1] Dalam
bahasa Arab, perceraian disebut dengan tholaq yang merupakan salah satu
lafadz yang diadopsi dari masa Jahiliyyah. Orang – orang Jahiliyyah menggunakan
kata tersebut sebagai ungkapan perpisahan antara suami dan istri. Ketika Islam
datang, Islam tetap menggunakan kata tersebut dengan sedikit perubahan. Tholaq
mempunyai makna asal lepasnya ikatan secara muthlaq, baik secara dhohir seperti
ikatan kuda maupun maknawi seperti ikatan perkawinan. [2]
Ulama mempunyai perbedaan dalam mendefinisikan tholaq. Ulama
Hanafiyah dan Hanabilah mengartikan tholaq sebagai hilangnya ikatan
perkawinan baik yang bisa dirujuk maupun tidak dengan lafadz tholaq
ataupun yang mempunyai makna serupa baik secara jelas dan tegas maupun sindiran
yang dilaksanakan oleh suami ataupun orang yang mempunyai kewenangan untuk itu.
Ketika tholaq yang dijatuhkan tersebut adalah tholaq bain
maka ikatan perkawinan tersebut hilang seketika sehingga ketika suami hendak
kembali kepada istrinya maka dia harus melakukan akad baru dengan mahar yang
baru pula serta harus ada izin dan kerelaan dari mantan istrinya tersebut. Hal
tersebut bisa terjadi manakala tholaq bain tersebut sughro.
Sedangkan apabila tholaq bain tersebut kubro maka suami tidak
dapat menikahi istrinya tersebut kecuali setelah si istri menikah dengan orang
lain. Sedangkan apabila yang dijatuhkan adalah tholaq raj’i maka ikatan
perkawinan tersebut tidak hilang seketika namun setelah habisnya masa ‘iddah
istri. Bagi suami diperkenankan untuk kembali (rujuk) kepada istrinya selama masih
dalam masa ‘iddah tanpa adanya akad dan mahar baru baik istri tersebut
setuju ataupun tidak. Dan ketika masa ‘iddah sang istri telah habis maka
tholaq raj’i tersebut menjadi tholaq bain.[3]
Ulama Malikiyyah
berpendapat bahwa tholaq adalah sifat hukum yang dapat menghilangkan
kehalalan bagi suami untuk dapat bersenang – senang dengan istrinya. Pandangan
tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat yang telah dikemukakan oleh ulama Hanafiyah
dan Hanabilah. Akan tetapi ulama Malikiyah menganggap bahwa suami yang mentholaq
raj’i maka dia boleh mewathi’ istrinya selama masih dalam masa ‘iddah.
Wathi’ tersebut dianggap sebagai rujuk dan tidak disyaratkan adanya lafadz dan
niat.[4]
Ulama Syafi’iyyah
berpendapat bahwa tholaq adalah pelepas ikatan perkawinan dengan lafadz tholaq.
Meskipun demikian tholaq raj’i juga serupa dengan tholaq bain
yakni memutus ikatan perkawinan. Oleh karena itu suami tidak boleh mewathi’
ataupun bersenang – senang terhadap istrinya sebelum rujuk dengan ucapan yang
jelas maupun kinayah. Rujuk tersebut sah tanpa adanya kehendak istri namun
tetap harus dengan adanya ucapan.[5]
Pendapat – pendapat ulama
tersebut tidak jauh berbeda. Mereka sepakat bahwa tholaq adalah pemutus
ikatan perkawinan. Akan tetapi mereka berbeda pendapat terhadap akibat yang
timbul dari putusnya ikatan perkawinan tersebut.
B.
Macam – Macam Perceraian dan Pandangan Ulama Tentang Perceraian
Sebagaimana telah
disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah. Apabila dalam kehidupan berumah tangga
tersebut sudah tidak dapat dipertahankan kembali, maka perkawinan tersebut
dapat diputus. Suatu perkawinan dapat diputus dengan beberapa jalan antara lain
melalui tholaq, kematian, maupun
dengan keputusan pengadilan.
1.
Tholaq
Tholaq sendiri terbagi menjadi beberapa macam, sesuai dengan perkaranya.
-
Jika dilihat berdasarkan cara pelaksanaannya, maka tholaq dibagi menjadi
dua yaitu tholaq sunni dan tholaq bid’i.
-
Jika dilihat berdasarkan dampaknya, maka tholaq dibagi menjadi dua yaitu tholaq
raj’i dan tholaq bain.
-
Jika ditinjau dari waktu berlakunya dampak, maka tholaq terbagi menjadi
tiga yaitu tholaq munajjaz, tholaq mu’allaq dan tholaq
yang dirangkaikan dengan masa depan.
-
Jika ditinjau dari lafalnya, maka tholaq terbagi menjadi dua yaitu tholaq
dengan lafadz yang sharih dan kinayah.
a) Tholaq sunni dan tholaq bid’i
Tholaq sunni adalah tholaq yang
diperbolehkan yaitu tholaq yang berjalan sesuai dengan syariat
(ketentuan agama) dan diterapkan sesuai dengan cara yang dibenarkan syariat.[6] Madzhab Maliki berpendapat bahwa tholaq
sunni adalah tholaq yang memenuhi empat syarat yaitu istri dalam
keadaan suci dari haid dan nifas. Suami tidak pernah menyetubuhinya selama masa
suci itu. Tholaq yang dijatuhkan adalah tholaq satu. Suami tidak
mengikutinya dengan tholaq yang lain sampai selesai masa iddahnya. Kedua
syarat yang pertama disepakati oleh para fuqoha. Namun syarat ketiga
bertentangan dengan Madzhab Syafi’i karena menurut mereka dibolehkan
menggabungkan ketiga tholaq. Sedangkan syarat keempat bertentangan
dengan Madzhab Hanafi karena menurut mereka boleh mentalaq istri yang telah
disetubuhi sebanyak tiga kali pada tiga kali masa suci.[7]
Tholaq bid’i yaitu tholaq yang
menyalahi aturan atau ketentuan agama. Seperti mentholaq istri yang sedang haid
atau nifas, mentholaq istri yang sedang suci namun telah melakukan hubungan
intim dengannya pada masa suci tersebut, ataupun mentholaq istri tiga atau dua
dengan sekali ucapan. Para ulama sepakat bahwa tholaq bid’i berhukum
haram dan pelakunya berdosa. Akan tetapi Jumhur Ulama berpendapat bahwa
tholaqnya sah dengan alasan tholaq bid’i tetap termasuk dalam hitungan
ayat – ayat tholaq serta penjelasan Ibnu Umar sewaktu mentholaq istrinya ketika
haid dan Rasul menyuruh untuk merujukinya. Ini berarti tholaqnya sah.
Sedangkan segolongan lain berpendapat bahwa tholaq bid’i tidak sah
dengan alasan bahwa tholaq bid’i bukan tholaq yang diizinkan oleh Allah
bahkan diperintah untuk meninggalkannya.[8]
b) Tholaq raj’i dan tholaq bain
Tholaq raj’i adalah tholaq yang
masih memberi hak bagi suami untuk merujuk istrinya selama masa ‘iddah tanpa
harus adanya persetujuan dari pihak istri.[9] Pada
saat merujuk istrinya pun tidak diperlukan adanya mahar dan ‘akad baru.
Yang dimaksud dengan tholaq raj’i adalah tholaq yang kesatu dan
kedua sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Al Baqarah : 229,
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xÎô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ ...
Talak (yang
dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik...
Ayat tersebut memberikan pengertian bahwa
ketika masa ‘iddah istri hampir habis,maka suami diperintahkan untuk memilih
antara rujuk kembali kepada istrinya dengan cara yang ma’ruf dengan tanpa
bertujuan untuk menyakitinya ataupun menceraikannya dengan cara yang baik pula.
Ketika masa ‘iddahnya telah habis dan suami belum rujuk dengan istrinya maka
putuslah ikatan perkawinan tersebut dan tholaq raj’i tersebut berubah
menjadi tholaq bain shugra. Sehingga suami tidak berhak rujuk dengan
istrinya tersebut kecuali dengan akad dan mahar baru.[10]
Tholaq bain adalah tholaq yang
menjadikan suami tidak memiliki hak untuk rujuk dengan istrinya.[11] Tholaq
bain sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu tholaq bain shughra
dan tholaq bain kubro. Tholaq bain shughro adalah tholaq yang
memberi peluang bagi suami untuk menikah kembali dengan istrinya yang telah
diceraikan dengan syarat istri dan walinya bersedia serta dengan akad dan mahar
baru. Tholaq yang demikian adalah tholaq yang dijatuhkan sebelum terjadi
persetubuhan, tholaq dengan harta tebusan (khulu’) dan tholaq yang dijatuhkan
oleh Pengadilan.[12]
Sedangkan tholaq bain kubro
adalah tholaq yang tidak lagi memberi peluang bagi suami untuk rujuk dengan
istrinya baik dalam masa ‘iddah maupun setelah habis masa ‘iddah. Tholaq yang
demikian adalah apabila suami telah mentalaq istrinya dengan tiga tholaq.
Apabila suami ini hendak kembali kepada istrinya maka dia harus menunggu istri
tersebut habis masa ‘iddahnya kemudian menikah dengan laki – laki lain dan
telah bersetubuh dengannya pula lalu diceraikan atau ditinggal mati suami
keduanya dan habis masa ‘iddah.[13]
c) Tholaq munajjaz, mu’allaq dan mudhaf
Tholaq munajjaz adalah tholaq yang
diucapkan oleh seorang laki – laki dengan tujuan untuk menceraikan istrinya
saat itu juga. Seperti ucapan “ engkau kutalak”. Tholaq munajjaz ini
langsung berlaku dan menyebabkan terjadi perceraian saat itu juga.
Tholaq mu’allaq adalah tholaq yang
dikaitkan dengan syarat tertentu. Tholaq ini dilakukan dengan cara menjatuhkan
tholaq kepada istri apabila terajadi suatu peristiwa tertentu, baik peristiwa
tersebut menyangkut orang yang menceraikan maupun wanita yang diceraikan atau
bahkan tidak menyangkut keduanya. Contohnya adalah “jika engkau keluar rumah,
maka engkau kucerai”.
Tholaq mudhaf adalah tholak yang
pemberlakuannya dikaitkan dengan masa yang akan datang. Redaksi tholaq ini
disertai waktu sehingga tholaq terjadi dengan waktu yang ditentukan tersebut.
Contohnya “ engkau tercerai pada waktu awal bulan yang akan datang”.[14]
d) Tholaq dengan lafal sharih dan kinayah
Tholaq dapat dijatuhkan dengan menggunakan lafal yang shorih maupun
kinayah. Tholaq dengan lafal shorih adalah tholaq yang diucapkan dengan
menggunakan lafal yang dapat dipahami langsung mengandung arti tholaq saat
diucapkan dan tidak mengandung arti lain. Contohnya adalah pernyataan “anti
tholiq”, “anti muthollaqah”, “thollaqtuki”.
Sedangkan tholaq dengan lafal kinayah adalah lafal yang digunakan
tersebut bersifat bias sehingga dapat bermakna tholaq dan makna lainnya.
Contohnya adalah pernyataan “ sarrahtuki (aku melepaskanmu”.
2. Khulu’
Khulu’ secara bahasa
adalah menghilangkan dan melepaskan. Sedangkan secara fiqih adalah penghilangan
ikatan kepemilikan ikatan pernikahan dengan menyerahkan pengganti kepada pihak
suami.[15]
Praktek khulu’ ini
dibenarkan syariat karena didasarkan pada surat Al Baqarah ayat 229, yaitu :
wur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$ss wr& $yJÉ)ã yrßãm «!$# ( ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz wr& $uKÉ)ã yrßãn «!$# xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3
tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya
Khulu’ boleh dan tidak apa – apa
untuk dilakukan menurut mayoritas ulama karena manusia membutuhkannya akibat
adanya pertikaian dan persengketaan antara suami istri dan tidak ada
keharmonisan pada pasangan. Istri bisa saja membenci suaminya karena perkara –
perkara tertentu dan hal tersebut membuatnya takut tidak dapat melaksanakan hak
Allah untuk mentaati suaminya. Oleh karena itu Islam mengatur jalan untuk
membuatnya terbebas dari ikatan perkawinan dengan cara mengeluarkan hartanya
untuk menebus dirinya dan melepaskannya dari ikatan poerkawinan.[16]
Khulu’ bisa dilakukan pada waktu
apapun baik pada waktu suci maupun masa haid. Khulu’ tidak dapat
dianggap sebagai tholaq meskipun lafal yang digunakan adalah redaksi tholaq.
Selain itu, ‘iddah bagi wanita yang diceraikan dengan khulu’ adalah satu
kali masa haid berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Tsabit ;
خذ الذي لها عليك و خلّ
سبيلها. قال نعم . فأمرها رسول الله أن تعتدّ بحيضة واحدة و تلحق بأهلها
Ambillah miliknya (istri
Tsabit) untukmu dan mudahkanlah urusannya. Lalu ia menjawab baik. Lalu
Rasulallah menyuruh istri tsabit untuk ber’iddah dengan satu kali haid dan
dikembalikan kepada keluarganya. (HR. Nasa’i).[17]
3. Pemisahan oleh pengadilan
Pemisahan akibat putusan
pengadilan adalah untuk membuat istri bisa mengakhiri ikatan perkawinannya
dengan suaminya secara paksa. Abu Hanifah berpendapat bahwa hakim tidak dapat
menjatuhkan talak kepada seorang wanita dengan alasan apapun kecuali alasan
cacat. Sedangkan imam Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal memperbolehkan
seorang wanita menuntut cerai dari hakim karena adanya sebab – sebab tertentu
yaitu :[18]
-
Tidak adanya nafkah
-
Cacat atau kekurangan dari segi seks
-
Perselisihan antara suami istri
-
Talak akibat kesewenang – wenangan (ta’assuf)
-
Pemisahan akibat kepergian suami
-
Talak akibat ditawan
-
Talak akibat ila’
-
Talak akibat li’an
-
Pemisahan akibat dhihar
-
Pemisahan akibat kemurtadan atau masuk Islamnya salah satu pasangan.
C.
Akibat Hukum Perceraian
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa putusnya perkawinan mempunyai
akibat hukum yang harus dijalani oleh masing – masing pihak. Undang – Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 41 menyebutkan bahwa akibat putusnya
perkawinan karena perceraian adalah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak –
anaknya semata – mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak – anak pengadilan memberi keputusan
b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.[19]
Akibat tersebut masih sangat umum dan belum terperinci karena masing –
masing mempunyai akibat yang berbeda baik cerai karena tholaq, khulu’,
li’an maupun karena kematian suami.
a) Akibat thalaq
Bagi istri yang ditalak raj’i suami
boleh merujukinya selama masa ‘iddah. Bahkan selama masa ‘iddah tersebut secara
hukum statusnya masih sebagai istri selain dalam hal persetubuhan. Apabila
salah satunya meninggal, maka yang lain masih berhak menjadi ahli warisnya.
Bekas suami masih wajib memberikan nafkah dan tempat tingga selama masa ‘iddah.
Nasab anak yang dilahirkan oleh istri yang ditalak kepada suami yang mentalak.[20]
Sedang bagi istri yang ditalak bain adalah
putusnya ikatan perkawinan sehingga apabila salah satunya meninggal sebelum
atau setelah habisnya masa ‘iddah mereka tidak berhak mewarisinya.[21]
Apabila seorang wanita diceraikan maka dia
lebih berhak mengasuh anak yang masih kecil daripada ayah selama ia belum
menikah dengan laki – laki lain. Sedangkan jika ia telah menikah lagi maka
ayahnya yang lebih berhak mengasuhnya. Apabila anak tersebut telah beranjak
dewasa maka diberikan hak untuk memilih bersama ayah atau ibunya.[22]
Menurut ketentuan pasal 149 KHI dinyatakan
bahwa putusnya perkawinan karena talak mewajibkan bekas suami :
-
Memberikan mut’ah yang layak kepada
istri, kecuali bekas istri qabla al dukhul
-
Memberi nafkah, maskan dan kiswah
kepada bekas istri selama masa ‘iddah kecuali dalam talak bain atau
istri nusyuz dan tidak hamil
-
Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya
dan separuhnya apabila qabla al dukhul
-
Memberikan biaya hadlonah untuk anak
yang belum mencapai umur 21 tahun[23]
b) Akibat khulu’
Khulu’ menyebabkan jatuh talak ba’in meskipun
dengan atau tanpa ‘iwadh.[24]
Menurut Jumhur Ulama’, suami apabila telah mengkhulu’ istrinya maka istri itu
bebas, dan semua urusannya terserah padanya. Suami tidak boleh lagi merujuk
istrinya karena istri telah memberikan hartanya untuk membebaskannya dari
ikatan perkawinan.[25]
c) Akibat li’an
Jika terjadi li’an antara suami istri
maka hukuman gugur atas suami istri yang melakukan li’an. Wanita yang
telah mengucapkan li’an tidak boleh dituduh telah melakukan perbuatan
zina. Wajib dilakukan pemisahan antara keduanya dan bagi keduanya haram untuk
bersatu kembali selama – lamanya. Wanita yang telah mengucapkan li’an
berhak menerima maharnya dan suami tidak boleh mengambilnya, akan tetapi wanita
tersebut tidak berhak mendapatkan tempat tinggal maupun nafkah. Li’an
juga menyebabkan hilangnya nasab anak kepada suami dan nasabnya disandarkan
kepada ibunya.
Hal tersebut berimplikasi kepada tidak adanya
hak pewarisan dan kewajiban memberi nafkah. Anak tersebut berhak saling
mewarisi kepada ibunya.[26]
d) Akibat kematian suami
Apabila suami meninggal, maka istri harus
menjalani masa tunggu. Istri tersebut berhak mewarisi harta peninggalan suami
dan berkewajiban memelihara anak – anaknya. Kompilasi hukum islam menyatakan
bahwa apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebih lama. Setelah itu baru kemudian harta peninggalan
tersebut dibagi menurut ketentuan pembagian warisan.[27]
II.
KESIMPULAN
Perceraian merupakan suatu kata yang berasal dari kata cerai yang berarti pisah,
putus hubungan sebagai suami istri. Dalam bahasa Arab, perceraian disebut
dengan tholaq makna asal lepasnya ikatan secara muthlaq, baik secara
dhohir seperti ikatan kuda maupun maknawi seperti ikatan perkawinan. Sedangkan
menurut istilah adalah melepas ikatan pernikahan pada saat itu juga atau pada
masa yang akan datang setelah ‘iddah dengan ucapan tertentu.
Hal yang dapat memutus perkawinan menurut UU
No. 1 Tahun 1974 adalah perceraian baik tholaq maupun khulu’, kematian dan
putusan Pengadilan Agama. Putusnya perkawinan karena ketiga hal tersebut
mempunyai akibat atau dampak masing – masing baik bagi suami, istri maupun anak
yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
[2] Ahmad Al Ghundur, Al Tholaq Fi Al Syari’ah Al Islamiyyah Wa Al Qanun,
Mesir : Dar Al Ma’arif, 1967, Hal. 32.
[3] Ahmad Al Ghundur, Al Tholaq Fi Al Syari’ah Al Islamiyyah Wa Al Qanun,
Mesir : Dar Al Ma’arif, 1967, Hal. 33.
[4] Ahmad Al Ghundur, Al Tholaq Fi Al Syari’ah Al Islamiyyah Wa Al Qanun,
Mesir : Dar Al Ma’arif, 1967, Hal. 33.
[5] Ahmad Al Ghundur, Al Tholaq Fi Al Syari’ah Al Islamiyyah Wa Al Qanun,
Mesir : Dar Al Ma’arif, 1967, Hal. 34.
[6] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Penerj.
Asep Sobari, Jakarta : Al I’tishom Cahaya Umat, 2012, Hal. 767.
[7] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam, Penerj. Abdul Hayyie Al Kattani Dkk,
Depok : Gema Insani, 2011, Hal. 376.
[10] Ali Hasbullah, Al Furqah Baina Al Zaujain Wa Ma Yata’alaq Biha Min
‘Iddah Wa Nasab, Mesir : Dar Al Fikr Al ‘Araby, 1968, Hal. 94.
[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Penerj. Masykur Ab.
Dkk, Jakarta : Lentera, 2007, Hal. 452.
[12] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam, Penerj. Abdul Hayyie Al Kattani Dkk,
Depok : Gema Insani, 2011, Hal. 379.
[13] Ali Hasbullah, Al Furqah Baina Al Zaujain Wa Ma Yata’alaq Biha Min
‘Iddah Wa Nasab, Mesir : Dar Al Fikr Al ‘Araby, 1968, Hal. 96-97.
[14] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Penerj.
Asep Sobari, Jakarta : Al I’tishom Cahaya Umat, 2012, Hal. 780 – 781.
[15] Ali Hasbullah, Al Furqah Baina Al Zaujain Wa Ma Yata’alaq
Biha Min ‘Iddah Wa Nasab, Mesir : Dar Al Fikr Al ‘Araby, 1968, Hal. 87-88.
[16] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam, Penerj. Abdul Hayyie Al Kattani Dkk,
Depok : Gema Insani, 2011, Hal. 419.
[18] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Penerj. Masykur Ab.
Dkk, Jakarta : Lentera, 2007, Hal. 490.
[20] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Penerj.
Asep Sobari, Jakarta : Al I’tishom Cahaya Umat, 2012, Hal. 775.
[22] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Penerj.
Asep Sobari, Jakarta : Al I’tishom Cahaya Umat, 2012, Hal. 786-787.
[24] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam, Penerj. Abdul Hayyie Al Kattani Dkk,
Depok : Gema Insani, 2011, Hal. 439.
[26] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Penerj.
Asep Sobari, Jakarta : Al I’tishom Cahaya Umat, 2012, Hal. 800-803. Wahbah, Hal. 501 - 503
Komentar