perceraian



       I.            PEMBAHASAN
A.    Definisi Perceraian
Perceraian merupakan suatu kata yang berasal dari kata cerai yang berarti  pisah, putus hubungan sebagai suami istri.[1] Dalam bahasa Arab, perceraian disebut dengan tholaq yang merupakan salah satu lafadz yang diadopsi dari masa Jahiliyyah. Orang – orang Jahiliyyah menggunakan kata tersebut sebagai ungkapan perpisahan antara suami dan istri. Ketika Islam datang, Islam tetap menggunakan kata tersebut dengan sedikit perubahan. Tholaq mempunyai makna asal lepasnya ikatan secara muthlaq, baik secara dhohir seperti ikatan kuda maupun maknawi seperti ikatan perkawinan. [2]
Ulama mempunyai perbedaan dalam mendefinisikan tholaq. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengartikan tholaq sebagai hilangnya ikatan perkawinan baik yang bisa dirujuk maupun tidak dengan lafadz tholaq ataupun yang mempunyai makna serupa baik secara jelas dan tegas maupun sindiran yang dilaksanakan oleh suami ataupun orang yang mempunyai kewenangan untuk itu.
Ketika tholaq yang dijatuhkan tersebut adalah tholaq bain maka ikatan perkawinan tersebut hilang seketika sehingga ketika suami hendak kembali kepada istrinya maka dia harus melakukan akad baru dengan mahar yang baru pula serta harus ada izin dan kerelaan dari mantan istrinya tersebut. Hal tersebut bisa terjadi manakala tholaq bain tersebut sughro. Sedangkan apabila tholaq bain tersebut kubro maka suami tidak dapat menikahi istrinya tersebut kecuali setelah si istri menikah dengan orang lain. Sedangkan apabila yang dijatuhkan adalah tholaq raj’i maka ikatan perkawinan tersebut tidak hilang seketika namun setelah habisnya masa ‘iddah istri. Bagi suami diperkenankan untuk kembali (rujuk) kepada istrinya selama masih dalam masa ‘iddah tanpa adanya akad dan mahar baru baik istri tersebut setuju ataupun tidak. Dan ketika masa ‘iddah sang istri telah habis maka tholaq raj’i tersebut menjadi tholaq bain.[3]
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa tholaq adalah sifat hukum yang dapat menghilangkan kehalalan bagi suami untuk dapat bersenang – senang dengan istrinya. Pandangan tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat yang telah dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Akan tetapi ulama Malikiyah menganggap bahwa suami yang mentholaq raj’i maka dia boleh mewathi’ istrinya selama masih dalam masa ‘iddah. Wathi’ tersebut dianggap sebagai rujuk dan tidak disyaratkan adanya lafadz dan niat.[4]
Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa tholaq adalah pelepas ikatan perkawinan dengan lafadz tholaq. Meskipun demikian tholaq raj’i juga serupa dengan tholaq bain yakni memutus ikatan perkawinan. Oleh karena itu suami tidak boleh mewathi’ ataupun bersenang – senang terhadap istrinya sebelum rujuk dengan ucapan yang jelas maupun kinayah. Rujuk tersebut sah tanpa adanya kehendak istri namun tetap harus dengan adanya ucapan.[5]
Pendapat – pendapat ulama tersebut tidak jauh berbeda. Mereka sepakat bahwa tholaq adalah pemutus ikatan perkawinan. Akan tetapi mereka berbeda pendapat terhadap akibat yang timbul dari putusnya ikatan perkawinan tersebut.

B.     Macam – Macam Perceraian dan Pandangan Ulama Tentang Perceraian
Sebagaimana telah disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Apabila dalam kehidupan berumah tangga tersebut sudah tidak dapat dipertahankan kembali, maka perkawinan tersebut dapat diputus. Suatu perkawinan dapat diputus dengan beberapa jalan antara lain melalui tholaq,  kematian, maupun dengan keputusan pengadilan.
1.      Tholaq
Tholaq sendiri terbagi menjadi beberapa macam, sesuai dengan perkaranya.
-          Jika dilihat berdasarkan cara pelaksanaannya, maka tholaq dibagi menjadi dua yaitu tholaq sunni dan tholaq bid’i.
-          Jika dilihat berdasarkan dampaknya, maka tholaq dibagi menjadi dua yaitu tholaq raj’i dan tholaq bain.
-          Jika ditinjau dari waktu berlakunya dampak, maka tholaq terbagi menjadi tiga yaitu tholaq munajjaz, tholaq mu’allaq dan tholaq yang dirangkaikan dengan masa depan.
-          Jika ditinjau dari lafalnya, maka tholaq terbagi menjadi dua yaitu tholaq dengan lafadz yang sharih dan kinayah.
a)      Tholaq sunni dan tholaq bid’i
Tholaq sunni adalah tholaq yang diperbolehkan yaitu tholaq yang berjalan sesuai dengan syariat (ketentuan agama) dan diterapkan sesuai dengan cara yang dibenarkan syariat.[6]  Madzhab Maliki berpendapat bahwa tholaq sunni adalah tholaq yang memenuhi empat syarat yaitu istri dalam keadaan suci dari haid dan nifas. Suami tidak pernah menyetubuhinya selama masa suci itu. Tholaq yang dijatuhkan adalah tholaq satu. Suami tidak mengikutinya dengan tholaq yang lain sampai selesai masa iddahnya. Kedua syarat yang pertama disepakati oleh para fuqoha. Namun syarat ketiga bertentangan dengan Madzhab Syafi’i karena menurut mereka dibolehkan menggabungkan ketiga tholaq. Sedangkan syarat keempat bertentangan dengan Madzhab Hanafi karena menurut mereka boleh mentalaq istri yang telah disetubuhi sebanyak tiga kali pada tiga kali masa suci.[7]
Tholaq bid’i yaitu tholaq yang menyalahi aturan atau ketentuan agama. Seperti mentholaq istri yang sedang haid atau nifas, mentholaq istri yang sedang suci namun telah melakukan hubungan intim dengannya pada masa suci tersebut, ataupun mentholaq istri tiga atau dua dengan sekali ucapan. Para ulama sepakat bahwa tholaq bid’i berhukum haram dan pelakunya berdosa. Akan tetapi Jumhur Ulama berpendapat bahwa tholaqnya sah dengan alasan tholaq bid’i tetap termasuk dalam hitungan ayat – ayat tholaq serta penjelasan Ibnu Umar sewaktu mentholaq istrinya ketika haid dan Rasul menyuruh untuk merujukinya. Ini berarti tholaqnya sah.
Sedangkan segolongan lain berpendapat bahwa tholaq bid’i tidak sah dengan alasan bahwa tholaq bid’i bukan tholaq yang diizinkan oleh Allah bahkan diperintah untuk meninggalkannya.[8]
b)      Tholaq raj’i dan tholaq bain
Tholaq raj’i adalah tholaq yang masih memberi hak bagi suami untuk merujuk istrinya selama masa ‘iddah tanpa harus adanya persetujuan dari pihak istri.[9] Pada saat merujuk istrinya pun tidak diperlukan adanya mahar dan ‘akad baru.
Yang dimaksud dengan tholaq raj’i adalah tholaq yang kesatu dan kedua sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Al Baqarah : 229,
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ ...
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik...

Ayat tersebut memberikan pengertian bahwa ketika masa ‘iddah istri hampir habis,maka suami diperintahkan untuk memilih antara rujuk kembali kepada istrinya dengan cara yang ma’ruf dengan tanpa bertujuan untuk menyakitinya ataupun menceraikannya dengan cara yang baik pula. Ketika masa ‘iddahnya telah habis dan suami belum rujuk dengan istrinya maka putuslah ikatan perkawinan tersebut dan tholaq raj’i tersebut berubah menjadi tholaq bain shugra. Sehingga suami tidak berhak rujuk dengan istrinya tersebut kecuali dengan akad dan mahar baru.[10]
Tholaq bain adalah tholaq yang menjadikan suami tidak memiliki hak untuk rujuk dengan istrinya.[11] Tholaq bain sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu tholaq bain shughra dan tholaq bain kubro. Tholaq bain shughro adalah tholaq yang memberi peluang bagi suami untuk menikah kembali dengan istrinya yang telah diceraikan dengan syarat istri dan walinya bersedia serta dengan akad dan mahar baru. Tholaq yang demikian adalah tholaq yang dijatuhkan sebelum terjadi persetubuhan, tholaq dengan harta tebusan (khulu’) dan tholaq yang dijatuhkan oleh Pengadilan.[12]
Sedangkan tholaq bain kubro adalah tholaq yang tidak lagi memberi peluang bagi suami untuk rujuk dengan istrinya baik dalam masa ‘iddah maupun setelah habis masa ‘iddah. Tholaq yang demikian adalah apabila suami telah mentalaq istrinya dengan tiga tholaq. Apabila suami ini hendak kembali kepada istrinya maka dia harus menunggu istri tersebut habis masa ‘iddahnya kemudian menikah dengan laki – laki lain dan telah bersetubuh dengannya pula lalu diceraikan atau ditinggal mati suami keduanya dan habis masa ‘iddah.[13]
c)      Tholaq munajjaz, mu’allaq dan mudhaf
Tholaq munajjaz adalah tholaq yang diucapkan oleh seorang laki – laki dengan tujuan untuk menceraikan istrinya saat itu juga. Seperti ucapan “ engkau kutalak”. Tholaq munajjaz ini langsung berlaku dan menyebabkan terjadi perceraian saat itu juga.
Tholaq mu’allaq adalah tholaq yang dikaitkan dengan syarat tertentu. Tholaq ini dilakukan dengan cara menjatuhkan tholaq kepada istri apabila terajadi suatu peristiwa tertentu, baik peristiwa tersebut menyangkut orang yang menceraikan maupun wanita yang diceraikan atau bahkan tidak menyangkut keduanya. Contohnya adalah “jika engkau keluar rumah, maka engkau kucerai”.
Tholaq mudhaf adalah tholak yang pemberlakuannya dikaitkan dengan masa yang akan datang. Redaksi tholaq ini disertai waktu sehingga tholaq terjadi dengan waktu yang ditentukan tersebut. Contohnya “ engkau tercerai pada waktu awal bulan yang akan datang”.[14]
d)     Tholaq dengan lafal sharih dan kinayah
Tholaq dapat dijatuhkan dengan menggunakan lafal yang shorih maupun kinayah. Tholaq dengan lafal shorih adalah tholaq yang diucapkan dengan menggunakan lafal yang dapat dipahami langsung mengandung arti tholaq saat diucapkan dan tidak mengandung arti lain. Contohnya adalah pernyataan “anti tholiq”, “anti muthollaqah”, “thollaqtuki”.
Sedangkan tholaq dengan lafal kinayah adalah lafal yang digunakan tersebut bersifat bias sehingga dapat bermakna tholaq dan makna lainnya. Contohnya adalah pernyataan “ sarrahtuki (aku melepaskanmu”.
2.      Khulu’
Khulu’ secara bahasa adalah menghilangkan dan melepaskan. Sedangkan secara fiqih adalah penghilangan ikatan kepemilikan ikatan pernikahan dengan menyerahkan pengganti kepada pihak suami.[15]
Praktek khulu’ ini dibenarkan syariat karena didasarkan pada surat Al Baqarah ayat 229, yaitu :
Ÿwur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$sƒs žwr& $yJŠÉ)ムyŠrßãm «!$# ( ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uKÉ)ムyŠrßãn «!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3
tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya

Khulu’ boleh dan tidak apa – apa untuk dilakukan menurut mayoritas ulama karena manusia membutuhkannya akibat adanya pertikaian dan persengketaan antara suami istri dan tidak ada keharmonisan pada pasangan. Istri bisa saja membenci suaminya karena perkara – perkara tertentu dan hal tersebut membuatnya takut tidak dapat melaksanakan hak Allah untuk mentaati suaminya. Oleh karena itu Islam mengatur jalan untuk membuatnya terbebas dari ikatan perkawinan dengan cara mengeluarkan hartanya untuk menebus dirinya dan melepaskannya dari ikatan poerkawinan.[16]
Khulu’ bisa dilakukan pada waktu apapun baik pada waktu suci maupun masa haid. Khulu’ tidak dapat dianggap sebagai tholaq meskipun lafal yang digunakan adalah redaksi tholaq. Selain itu, ‘iddah bagi wanita yang diceraikan dengan khulu’ adalah satu kali masa haid berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Tsabit ;
خذ الذي لها عليك و خلّ سبيلها. قال نعم . فأمرها رسول الله أن تعتدّ بحيضة واحدة و تلحق بأهلها
Ambillah miliknya (istri Tsabit) untukmu dan mudahkanlah urusannya. Lalu ia menjawab baik. Lalu Rasulallah menyuruh istri tsabit untuk ber’iddah dengan satu kali haid dan dikembalikan kepada keluarganya. (HR. Nasa’i).[17]

3.      Pemisahan oleh pengadilan
Pemisahan akibat putusan pengadilan adalah untuk membuat istri bisa mengakhiri ikatan perkawinannya dengan suaminya secara paksa. Abu Hanifah berpendapat bahwa hakim tidak dapat menjatuhkan talak kepada seorang wanita dengan alasan apapun kecuali alasan cacat. Sedangkan imam Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal memperbolehkan seorang wanita menuntut cerai dari hakim karena adanya sebab – sebab tertentu yaitu :[18]
-          Tidak adanya nafkah
-          Cacat atau kekurangan dari segi seks
-          Perselisihan antara suami istri
-          Talak akibat kesewenang – wenangan (ta’assuf)
-          Pemisahan akibat kepergian suami
-          Talak akibat ditawan
-          Talak akibat ila’
-          Talak akibat li’an
-          Pemisahan akibat dhihar
-          Pemisahan akibat kemurtadan atau masuk Islamnya salah satu pasangan.

C.     Akibat Hukum Perceraian
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa putusnya perkawinan mempunyai akibat hukum yang harus dijalani oleh masing – masing pihak. Undang – Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 41 menyebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :
a.       Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak – anaknya semata – mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak – anak pengadilan memberi keputusan
b.      Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.[19]
Akibat tersebut masih sangat umum dan belum terperinci karena masing – masing mempunyai akibat yang berbeda baik cerai karena tholaq, khulu’, li’an maupun karena kematian suami.
a)      Akibat thalaq
Bagi istri yang ditalak raj’i suami boleh merujukinya selama masa ‘iddah. Bahkan selama masa ‘iddah tersebut secara hukum statusnya masih sebagai istri selain dalam hal persetubuhan. Apabila salah satunya meninggal, maka yang lain masih berhak menjadi ahli warisnya. Bekas suami masih wajib memberikan nafkah dan tempat tingga selama masa ‘iddah. Nasab anak yang dilahirkan oleh istri yang ditalak kepada suami yang mentalak.[20]
Sedang bagi istri yang ditalak bain adalah putusnya ikatan perkawinan sehingga apabila salah satunya meninggal sebelum atau setelah habisnya masa ‘iddah mereka tidak berhak mewarisinya.[21]
Apabila seorang wanita diceraikan maka dia lebih berhak mengasuh anak yang masih kecil daripada ayah selama ia belum menikah dengan laki – laki lain. Sedangkan jika ia telah menikah lagi maka ayahnya yang lebih berhak mengasuhnya. Apabila anak tersebut telah beranjak dewasa maka diberikan hak untuk memilih bersama ayah atau ibunya.[22]
Menurut ketentuan pasal 149 KHI dinyatakan bahwa putusnya perkawinan karena talak mewajibkan bekas suami :
-          Memberikan mut’ah yang layak kepada istri, kecuali bekas istri qabla al dukhul
-          Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama masa ‘iddah kecuali dalam talak bain atau istri nusyuz dan tidak hamil
-          Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuhnya apabila qabla al dukhul
-          Memberikan biaya hadlonah untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun[23]
b)      Akibat khulu’
Khulu’ menyebabkan jatuh talak ba’in meskipun dengan atau tanpa ‘iwadh.[24] Menurut Jumhur Ulama’, suami apabila telah mengkhulu’ istrinya maka istri itu bebas, dan semua urusannya terserah padanya. Suami tidak boleh lagi merujuk istrinya karena istri telah memberikan hartanya untuk membebaskannya dari ikatan perkawinan.[25]
c)      Akibat li’an
Jika terjadi li’an antara suami istri maka hukuman gugur atas suami istri yang melakukan li’an. Wanita yang telah mengucapkan li’an tidak boleh dituduh telah melakukan perbuatan zina. Wajib dilakukan pemisahan antara keduanya dan bagi keduanya haram untuk bersatu kembali selama – lamanya. Wanita yang telah mengucapkan li’an berhak menerima maharnya dan suami tidak boleh mengambilnya, akan tetapi wanita tersebut tidak berhak mendapatkan tempat tinggal maupun nafkah. Li’an juga menyebabkan hilangnya nasab anak kepada suami dan nasabnya disandarkan kepada ibunya.
Hal tersebut berimplikasi kepada tidak adanya hak pewarisan dan kewajiban memberi nafkah. Anak tersebut berhak saling mewarisi kepada ibunya.[26]
d)     Akibat kematian suami
Apabila suami meninggal, maka istri harus menjalani masa tunggu. Istri tersebut berhak mewarisi harta peninggalan suami dan berkewajiban memelihara anak – anaknya. Kompilasi hukum islam menyatakan bahwa apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Setelah itu baru kemudian harta peninggalan tersebut dibagi menurut ketentuan pembagian warisan.[27]

    II.            KESIMPULAN
Perceraian merupakan suatu kata yang berasal dari kata cerai yang berarti  pisah, putus hubungan sebagai suami istri. Dalam bahasa Arab, perceraian disebut dengan tholaq makna asal lepasnya ikatan secara muthlaq, baik secara dhohir seperti ikatan kuda maupun maknawi seperti ikatan perkawinan. Sedangkan menurut istilah adalah melepas ikatan pernikahan pada saat itu juga atau pada masa yang akan datang setelah ‘iddah dengan ucapan tertentu.
Hal yang dapat memutus perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah perceraian baik tholaq maupun khulu’, kematian dan putusan Pengadilan Agama. Putusnya perkawinan karena ketiga hal tersebut mempunyai akibat atau dampak masing – masing baik bagi suami, istri maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.


[1] Http://Ebsoft.Web.Id , Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline V1.1.
[2] Ahmad Al Ghundur, Al Tholaq Fi Al Syari’ah Al Islamiyyah Wa Al Qanun, Mesir : Dar Al Ma’arif, 1967, Hal. 32.
[3] Ahmad Al Ghundur, Al Tholaq Fi Al Syari’ah Al Islamiyyah Wa Al Qanun, Mesir : Dar Al Ma’arif, 1967, Hal. 33.
[4] Ahmad Al Ghundur, Al Tholaq Fi Al Syari’ah Al Islamiyyah Wa Al Qanun, Mesir : Dar Al Ma’arif, 1967, Hal. 33.
[5] Ahmad Al Ghundur, Al Tholaq Fi Al Syari’ah Al Islamiyyah Wa Al Qanun, Mesir : Dar Al Ma’arif, 1967, Hal. 34.
[6] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Penerj. Asep Sobari, Jakarta : Al I’tishom Cahaya Umat, 2012, Hal. 767.
[7] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam, Penerj. Abdul Hayyie Al Kattani Dkk, Depok : Gema Insani, 2011, Hal. 376.
[8] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerj. Moh. Tholib, Tamblong: PT Alma’arif, 1980, Hal. 44-45.
[9] Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid, Semarang : Asy Syifa, , Hal. 476.
[10] Ali Hasbullah, Al Furqah Baina Al Zaujain Wa Ma Yata’alaq Biha Min ‘Iddah Wa Nasab, Mesir : Dar Al Fikr Al ‘Araby, 1968, Hal. 94.
[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Penerj. Masykur Ab. Dkk, Jakarta : Lentera, 2007, Hal. 452.
[12] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam, Penerj. Abdul Hayyie Al Kattani Dkk, Depok : Gema Insani, 2011, Hal. 379.
[13] Ali Hasbullah, Al Furqah Baina Al Zaujain Wa Ma Yata’alaq Biha Min ‘Iddah Wa Nasab, Mesir : Dar Al Fikr Al ‘Araby, 1968,  Hal. 96-97.
[14] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Penerj. Asep Sobari, Jakarta : Al I’tishom Cahaya Umat, 2012, Hal. 780 – 781.
[15] Ali Hasbullah, Al Furqah Baina Al Zaujain Wa Ma Yata’alaq Biha Min ‘Iddah Wa Nasab, Mesir : Dar Al Fikr Al ‘Araby, 1968,  Hal. 87-88.
[16] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam, Penerj. Abdul Hayyie Al Kattani Dkk, Depok : Gema Insani, 2011, Hal. 419.
[17] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerj. Moh. Tholib, Tamblong: PT Alma’arif, 1980, Hal. 103-112.
[18] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Penerj. Masykur Ab. Dkk, Jakarta : Lentera, 2007, Hal. 490.
[19] Undang – Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Surabaya : Arkola, Hal. 18.
[20] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Penerj. Asep Sobari, Jakarta : Al I’tishom Cahaya Umat, 2012, Hal. 775.
[21] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerj. Moh. Tholib, Tamblong: PT Alma’arif, 1980, Hal. 67.
[22] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Penerj. Asep Sobari, Jakarta : Al I’tishom Cahaya Umat, 2012, Hal. 786-787.
[23] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 1997, Hal. 283.
[24] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam, Penerj. Abdul Hayyie Al Kattani Dkk, Depok : Gema Insani, 2011, Hal. 439.
[25] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 1997,  Hal. 291.
[26] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Penerj. Asep Sobari, Jakarta : Al I’tishom Cahaya Umat, 2012,  Hal. 800-803. Wahbah, Hal. 501 - 503
[27] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 1997, Hal. 292.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ringkasan Nahwu

kaidah ghoiru asasiyah

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA