peradilan agama



I.                   PEMBAHASAN
A.    Peradilan Agama Sebelum Pemerintahan Kolonial Belanda
Sejarah perkembangan lembaga peradilan agama di Indonesia begitu panjang, penuh lika – liku dan sarat akan muatan politis. Eksistensi dan kewenangannya pun dari waktu ke waktu berubah tergantung siapakah penguasa dalam waktu tersebut. Sebagaimana telah diketahui bahwa sebelum kedatangan Islam ke Indonesia, telah ada dua peradilan yaitu Peradilan Pradata yang tugas dan kewenangannya mengurusi dan menangani perkara yang menjadi urusan raja yang umumnya berupa perkara yang membahayakan mahkota, keamanan dan ketertiban negara. Peradilan Pradata dipimpin langsung oleh raja.
Yang kedua adalah Peradilan Padu yang tugas dan wewenangnya mengurusi dan menangani perkara yang bukan urusan raja. Peradilan Padu dipimpin oleh pejabat negara yang disebut dengan jaksa. Hal yang ditangani seperti halnya terjadi perselisihan antar rakyat yang tidak bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan.[1]
Dengan masuknya Islam ke Indonesia sekitar abad ke – 7 Masehi, maka mulailah para penduduk menunaikan ketentuan – ketentuan keagamaan berdasarkan Islam. Dengan tersebarnya Islam di beberapa wilayah di Indonesia sehingga hukum Islam mulai dapat diterima dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari – hari. Penerapan hukum Islam tidak hanya sebatas ibadah – ibadah tertentu saja, namun juga diterapkan dalam masalah – masalah muamalah, munakahat dan ‘uqubat. Penerapan hukum Islam tersebut diselesaikan melalui Peradilan Agama yang dikenal dalam 3 periode, yaitu :
1.      Periode tahkim
Pada periode ini, masyarakat masih tergolong masyarakat yang sederhana yang terdiri dari kelompok – kelompok masyarakat yang dipimpin oleh Kepala Adat. Apabila terjadi benturan – benturan tentang hal – hal dan kepentingan pribadi, mereka menyerahkan permasalahannya kepada pemuka agama atau yang dianggap ahli agama.
2.      Periode ahlil hilli wal aqdi
Periode ini telah terbentuk masyarakat yang terorganisir namun masih primitif tapi sudah ada kepala masyarakat dan seorang yang menjadi Qadli atau Hakim Peradilan Agama. Qadli menerapkan hukum Islam dalam menyelesaikan masalah – masalah tersebut. Pada periode ini, ajaran – ajaran Islam sudah mulai menggeser ajaran – ajaran Hindu dalam hal penyelesaian masalah pribadi.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram, pengaruh Islam masuk dalam sistem peradilan yang sebelumnya dipengaruhi ajaran Hindu. Setelah cukup maju, peradilan pradata diubah menjadi peradilan surambi. Pemimpin pengadilan meskipun masih tetap di tangan sultan, namun dalam praktiknya telah beralih ke tangan penghulu yang didampingi beberapa ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota majelis.
3.      Periode tahuliyah
Pada periode ini sudah tampak adanya pemisahan kekuasaan karena adanya pengaruh trias politica yang memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kewenangan mengadili diserahkan pada yudikatif. Misalnya di daerah Minangkabau dimana wewenang pemerintahan dipegang oleh Pucuk Nagari (Wali Nagari) sedangkan wewenang mengadili berada di tangan Qadli.[2]

B.     Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan
Pada abad XVI (1596 M) VOC/KOMPENI (organisasi perusahaan dagang Belanda) merapat di Pelabuhan Banten, Jawa Barat, untuk berdagang. Akan tetapi ternyata organisasi tersebut mempunyai fungsi lain yaitu sebagai badan pemerintahan. Pada awalnya mereka ingin menerapkan hukum yang mereka bawa dari negaranya, akan tetapi hal tersebut tidak berjalan efektif sehingga penduduk pribumi dibiarkan menjalankan kebiasaab mereka sebelumnya. Oleh karena itu, pada tahun 1642, kewarisan bagi orang Islam Indonesia didasarkan pada hukum waris Islam.
Karena badan-badan peradilan yang dibentuknya tidak efektif maka VOC/KOMPENI meminta D.W. Freijer untuk menyusun “Compendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam”, yang selanjutnya hasil kerjanya itu disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam pada saat itu, lalu digunakan oleh lembaga-lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya. Bahkan Lodwijk Willem Christian Van Den Berg berpendapat bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Menurutnya, orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan. Pendapat Van Den Berg ini dikenal dengan teori receptio in complexu. Selain Berg, Mr. Scholten Van Old Haarlem menulis sebuah nota kepada pemerintahan Hindia Belanda yang isinya antara lain “Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan seperti perlawanan bumiputera jika agamanya dilanggar, maka harus dibiarkan mereka tetap menerapkan hukum agama dan adat istiadat mereka.
Pada tahun 1823 Gubernur Jenderal (Belanda) mengeluarkan resolusi No. 12 Tahun 1823 tanggal 3 Juni 1823 tentang peresmian Pengadilan Agama Palembang. Selanjutnya Pemerintah Belanda mengeluarkan Stb.1835 No. 58 yang di dalamnya dinyatakan tentang wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura untuk memutuskan perselisihan tentang perkara perkawinan dan pembagian harta benda dan sebagainya yang harus diputuskan menurut hukum syara’ Islam.[3]
Bisa jadi pendapat Scholten tersebut mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mendorong pendirian Peradilan Agama di Jawa dan Madura pada 1 Agustus 1882. Kelahiran tersebut berdasarkan keputusan Raja Belanda, Raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Saatsblad 1882 No. 152 dan dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1882, dimuat dalam Staatsblad No. 153. Oleh karena dalam Staatsblad No. 152 tersebut tidak menjelaskan wewenang Pengadilan Agama, maka pengadilan menetapkan sendiri perkara – perkara yang dipandang masuk dalam lingkungannya yang berhubungan dengan hukum – hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf.[4]
Pada tahun 1909 Pemerintah mengeluarkan Stb.1926 No. 128 dan pada tahun 1926 mengeluarkan Stb.1926 No. 232, yang mengubah pelaksanaan Stb. 1882 No. 152, dan hal itu menimbulkan kekecewaan di kalangan ahli hukum dan umat Islam. Di samping itu, keadaan demikian membangkitkan semangat usaha untuk melakukan perubahan, dan pada tahun 1931 – dengan Ordonansi tanggal 31 Januari 1931– dalam Stb.1931 No. 53 ditetapkan Peraturan tentang 3 Pokok Ketentuan, yaitu : 1) Perubahan Raad Agama menjadi Penghulu Gerecht yang terdiri dari dua penasehat dan satu panitera, 2) dengan kekuasaan pada perkara yang berkaitan dengan nikah, talak, dan rujuk. Perkara hadlanah, wakaf, dan lain-lain, dicabut dan diserahkan kepada Landraad, 3) ada tambahan acara pada Pengadilan Agama, dan 4) Pembentukan Mahkamah Islam Tinggi sebagai pengadilan banding.
Stb. 1937 No. 116 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal dengan Keputusan No. 9 tanggal 19 Pebruari 1937, dan mulai berlaku 1 April 1937, merupakan penambahan beberapa pasal dalam Stb. 1882 No. 152, yang sekaligus mempersempit kewenangan Pengadilan Agama, karena di samping perkara hadalnah, wakaf, dan lain-lain, hal-hal yang berkaitan dengan tuntutan pembayaran uang atau penyerahan harta benda yang berhubungan dengan perkara nikah, talak, dan rujuk pun ikut dicabut pula. Dan mulai 1 Januari 1938 – berdasarkan Stb. 1937 No. 610 – diadakan sebuah Mahkamah Islam Tinggi (Hof Voor Islamietische Zaken) dengan aturan pelaksanaannya berupa penambahan atas Pasal 7 Stb. 1882 No. 152, yaitu dari Pasal 7 b sampai dengan 7 m. Akan tetapi semua protes masyarakat tidak diperhatikan sehinga Stb. 1882 No. 152 dengan segala perubahannya tetap berlaku di Jawa dan Madura. Menurut Achmad Roestandi, penggerak di belakang usaha-usaha perubahan terhadap wewenang Pengadilan Agama melalui Staatsblaad 1937 No. 116 adalah pendukung hukum adat yang dipelopori oleh Ter Haar. Mereka berdalih bahwa dalam kenyataannya pengaruh Islam tidak mendalam pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga di Jawa dan di tempat-tempat lain di Indonesia.Pengaruh-pengaruh itulah yang mengakibatkan wewenang Pengadilan Agama dalam bidang waris diserahkan kepada Pengadilan Negeri.
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan pula Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan dan Timur melalui Stb. 1937 No. 638 dan 639, dengan sebutan Kerapatan Qadli (untuk tingkat pertama) dan Kerapatan Qadli Besar (untuk tingkat banding), dengan kompetensinya sebagaimana pada Pasal 3 Stb. Tersebut di atas yang pada dasarnya sama dengan bunyi Pasal 2a Stb. 1882 No. 152 di atas. [5]
Pada masa pendudukan Jepang, kebijakan pertama yang dilakukan Jepang adalah semua peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Kebijakan kedua adalah pada tanggal 29 April 1942 menetapkan Undang – Undang No. 14 Tahun 1942 yang menjelaskan bahwa susunan peradilan sipil di Jawa dan Madura masih tetap berlaku. Hanya saja nama dan sebutannya disesuaikan dengan bahasa Jepang. Pengadilan Agama berubah nama menjadi “Sooryo Hooin”, dan Mahkamah Islam Tinggi (sekarang PTA) berubah menjadi ”Kaikyoo Kootoo Hooin”.[6]
Pada masa ini Peradilan Agama sempat terancam karena adanya pertentangan antara tokoh nasional. Golongan Islam menginginkan tetap mempertahankan Peradilan Agama dan pemulihan kewenangan Peradilan Agama di bidang kewarisan, sedangkan golongan nasionalis menginginkan agar Peradilan Agama dihapuskan. PA semakin terancam karena akan dihapus setelah Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Anyo Kaigi Jimushitsu) memberikan pertimbangan kepada pemerintah Jepang.[7] Namun dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, maka Dewan Pertimbangan Agung buatan Jepang itu mati dengan sendirinya dan Peradilan Agama tetap eksis.[8]

C.    Peradilan Agama Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, atas usul Menteri Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama dengan ketetapan pemerintah Nomor 5/SD/1946. Pada masa juga perlu dicermati antara lain :
1.      Keluarnya UU No.22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk menggantikan Ordonansi yang dahulu.
2.      Keluarnya Penetapan Menteri Agama No. 6 Tahun 1947 tentang Penetapan Formasi Pengadilan Agama terpisah dari Penghulu Kabupaten.
3.      Keluarnya UU No. 19 Tahun 1948 – yang tidak pernah berlaku – yang isinya antara lain dihapusnya Pengadilan Agama dan wewenangnya dimasukkan ke Pengadilan Negeri dengan hakim dan dua orang ahli agama Islam.
4.      Keputusan Recomba Jawa Barat No. Rec. Wj. 229/72/1948 dan peraturan yang tercantum dalam Javassche Courant 1946 No. 32 dan 39 Tahun 1948 No. 25, dan 1949 No. 29 dan 65 menentukan bahwa daerah – daerah yang dikuasai sekutu dan Belanda, instansi yang dinamakan Priesterraad diubah menjadi Penghoeloe Gerecht. Disamping itu juga dibentuk Majelis Ulama yang bertindak sebagai Pengadilan Banding mengimbangi Mahkamah Islam Tinggi.
Dengan penyerahan kedaulatan 27 Desember 1946 oleh Belanda kepada Indonesia kemudian terbentuk NKRI pada Agustus 1950, maka berdasarkan pasal 192 UUD RIS dan pasal 142 UUDS RI, semua peraturan darurat dihapuskan dan tetap berlaku Stb 1882 No. 152 jo. Stb 1937 No. 116 dan No. 610 untuk Jawa Madura dan Stb 1937 No. 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.[9]
Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Darurat (UUDr) Nomor 1 Tahun 1951, Pemerintah menegaskan pendiriannya untuk tetap mempertahankan Peradilan Agama, menghapus Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Darurat di atas, pada tahun 1957 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa – Madura dan Kalimantan Selatan – Timur, dengan kompetensi sebagai berikut:
“Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam, dan perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam, yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, maskawin, tempat kediaman (maskan), mut’ah, dan sebagainya, hadlanah, perkara waris-malwaris, wakaf, hibah, shadaqah, baitulmal, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu. Demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku.”[10]
Pada tahun 1970 pemerintah lebih mempertegas keberadaan Peradilan Agama dengan dikeluarkannya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Seluruh badan peradilan disejajarkan posisinya dan berinduk pada Mahkamah Agung. Akan tetapi dalam kenyataannya Pengadilan Agama masih memerlukan pengakuan dan pengesahan dari Pengadilan Negeri, bahkan Pengadilan Negeri dapat meninjau putusan dari Pengadilan Agama tersebut. Sekalipun Tahun 1974 lahir UU No. 1 tentang Perkawinan, seluruh keputusan Pengadilan Agama tetap harus meminta pengukuhan eksekusi dari Pengadilan Negeri.
Pada tahun 1980 lahir Keputusan Menteri Agama No. 6 Tahun 1980 tentang penyeragaman nama lembaga dengan sebutan Pengadilan Agama. Karapatan Qadli Besar di Kalimantan Selatan dan Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura disebut Pengadilan Tinggi Agama dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Pada tanggal 29 Desember 1989, rancangan UU peradilan agama disahkan menjadi UU No. 7 tahun 1989. Dengan UU ini semakin mempertegas kedudukan Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman yang mandiri.[11]
Meskipun Pengadilan Agama telah lahir tahun 1882, akan tetapi dalam mengambil keputusan untuk suatu perkara para hakim belum mempunyai dasar berpijak yang seragam. Oleh karena itu, Busthanul Arifin mengemukakan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam. Dengan kerja keras seluruh anggota tim, maka keluarlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam. [12]
D.    Kewenangan Peradilan Agama
1.      Kewenangan Absolut
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu yaitu orang – orang Islam .[13]
Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq dan sedekah. Akan tetapi ketentuan tersebut dirubah dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2006.
Kewenangan Peradilan Agama secara spesifik diatur dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, yaitu :
a.       Bidang  perkawinan
b.      Bidang hukum waris
c.       Wasiat
d.      Wakaf [14]
e.       Zakat [15]
f.       Infaq
g.      Ekonomi syariah
Kewenangan lain yang ada dalam Peradilan Agama adalah apabila muncul sengketa berupa hak milik dan hak keperdataan lainnya pada perkara – perkara yang ditangani seperti kewarisan, wakaf, harta bersama dan lain – lain sepanjang sengketa hak itu di kalangan orang – orang Islam sendiri. Kemudian berdasarkan pasal 52 A UU No. 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa Pengadilan Agama juga berwenang dalam menentukan istbat rukyat hilal.[16]
2.      KEWENANGAN RELATIF
Kewenangan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama.
Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi :
a.       Gugatan diajukan ke paengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui, maka di pengadilan dimana tergugat bertempat tinggal.
b.      Apabila tergugat lebih dari satu orang, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman salah satu tergugat.
c.       Apabila tempat kediaman tergugat atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau tergugat tidak dikenal maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat.
d.      Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tersebut.
e.       Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.
Untuk menentukan kewenangan relatif dalam perkara permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam perkara – perkara tertentu ditentukan sebagai berikut :
a.       Permohonan izin poligami diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon
b.      Permohonan dispensasi kawin diajukan oleh orang tua yang bersangkutan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
c.       Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.
d.      Permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau tenpat tinggal suami atau istri.
Kewenangan relatif pada Pengadilan Agama terdapat beberapa pengecualian sebagai berikut :
a.       Permohonan cerai talak
-          Apabila suami yang mengajukan permohonan cerai talak maka yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri.
-          Suami dapat mengajukan permohonan cerai talak ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami apabila istri secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.
-          Apabila istri bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami.
-          Apabila keduanya bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat
b.      Perkara cerai gugat
-          Pengadilan Agama yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman istri.
-          Apabila istri secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami maka perkara diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami
-          Apabila istri bertempat kediaman di luat negeri maka yang berhak adalah pengadilan yang meliputi kediaman suami
-          Apabila keduanya bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat[17]

II.                KESIMPULAN
Peradilan Agama telah mengalami metamorfose dari zaman sebelum kedatangan penjajah sampai sekarang. Perkembangan sejarah yang sangat panjang tersebut menjadi gambaran bahwa Pengadilan Agama sebagai pengadilan yang memberikan keadilan bagi umat Islam diakui di Indonesia. Sejarah perkembangan Peradilan Agama digambarkan dalam tiga kurun waktu yaitu :
a.       Masa pra kolonial
b.      Masa penjajahan
c.       Masa kemerdekaan
Kompetensi yang dimiliki dari sekedar memutus perkara kekeluargaan seperti perkawinan dan waris serta wasiat berkembang sampai munculnya UU No. 3 Tahun 2006 menjadi :
d.      Bidang  perkawinan
e.       Bidang hukum waris
f.       Wasiat
g.      Wakaf [18]
h.      Zakat [19]
i.        Infaq
j.        Ekonomi syariah


[1] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008, Hal. 258 – 259.
[2] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama Di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, Hal. 3-7.
[3] http://wigunaharis.wordpress.com/2012/08/27/sejarah-peradilan-agama/. Di akses pada 09 Mei 2014, 15.10.
[4] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008, hal. 263.
[5] http://wigunaharis.wordpress.com/2012/08/27/sejarah-peradilan-agama/. Di akses pada 09 Mei 2014, 15.10.
[6] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama Di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004,  hal. 11-12.
[7] Pertimbangan tersebut berbunyi : dalam negara baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebagai pengadilan istimewa. Untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli agama.
[8] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008, hal. 266 – 267. Abd. Hal. 12.
[9] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008,  hal. 267 – 270.
[10] http://wigunaharis.wordpress.com/2012/08/27/sejarah-peradilan-agama/. Di akses pada 09 Mei 2014, 15.10.
[11] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008,  Hal. 271 – 273.
[12] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008,  Hal. 274.
[13] http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/kewenangan-peradilan-agama-di-indonesia.html
[14] Hukum materiilnya didasarkan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Kompilasi Hukum Islam Buku 1, 2 dan 3.
[15] Secara materiil telah diatur dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
[16] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008,  Hal. 343 – 347.
[17] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama Di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004,  Hal. 87 – 91.
[18] Hukum materiilnya didasarkan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Kompilasi Hukum Islam Buku 1, 2 dan 3.
[19] Secara materiil telah diatur dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ringkasan Nahwu

kaidah ghoiru asasiyah

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA