pasang surut politik islam
I.
PEMBAHASAN
A.
Politik Islam Di Indonesia Pra Kemerdekaan
Pada dekade pertama abad
ke -20 banyak bermunculan organisasi – organisasi kemasyarakatan yang berjuang
untuk menentang kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan. Pada masa itu
Islam memberikan konstribusi yang besar sebagai mata rantai yang menyatukan
rasa persatuan penentangan kolonialisme. Sarekat Islam merupakan gerakan
politik pertama yang berawal dari sebuah organisasi dagang “ Sarekat Dagang
Islam” yang didirikan pada tahun 1911 oleh H. Samanhoedi.
Perubahan SDI menjadi SI
tidak hanya sebatas perubahan nama, akan tetapi yang utama adalah perubahan
orientasi yaitu dari komersial menjadi politik.
Sebagai organisasi politik nasional pertama, hal tersebut tidak hanya
disebabkan tujuan nasionalnya untuk meraih kemerdekaan, akan tetapi juga
disebabkan oleh kemampuannya dalam menghimpun massa. Selama periode awal saja
SI telah berhasil mendapatkan sambutan positif dari masyarakat. Hal tersebut
dikarenakan SI terbuka untuk siapapun tanpa memandang latar belakangnya.[1]
Perkembangan SI yang
semakin membesar ini membahayakan posisi pemerintah kolonial. AWF Idenburg,
Gubernur Jendral menyadari ancaman tersebut. Oleh karena itu, pada bulan Maret
1914, ia hanya memberikan pengakuan kepada cabang SI saja, bukan kepada SI
sebagai kesatuan organisasi. Hal tersebut dimaksudkan untuk memecah SI ke dalam
perserikatan – perserikatan kecil sehingga pimpinan pusat, HOS Tjokroaminoto
akan kehilangan wibawanya di mata cabang – cabangnya. Meskipun kecewa dengan
keputusan tersebut, pimpinan utama segera mencari jalan keluar sampai
terbentuklah Central Sarekat Islam pada Februari 1915.[2]
Akan tetapi pada saat
bersamaan muncul tantangan baru bagi SI yaitu Marxisme yang diketuai oleh
Sneevlet. Pada tahun 1914 kelompok tersebut mendirikan ISDV (Indische Sociaal
Democratische Vereeniging) yang kemudian memasukkan gagasan – gagasan ideologi
ke tubuh SI dengan harapan dapat menguasai massa. SI merupakan sasaran utama
karena merupakan satu – satunya gerakan massa yang terkuat saat itu. [3] Masuknya Marxisme ke dalam SI memancing
perpecahan dan konflik di kalangan pemimpin organisasi. Yang terparah adalah
perbedaan teologis-ideologis masing – masing faksi. Tiga serangkai menyatakan
bahwa Islam adalah landasan ideologi partai tersebut sementara Semaun dan
Darsono menginginkan dihapusnya agama dari politik serta mengorientasikan
kegiatan partai pada prinsip – prinsip Marxis.[4]
Namun pada tahun 1918
Sneevlet diusir dari Indonesia karena kegiatannya dianggap membahayakan
kekuasaan kolonial sebab Marxisme anti terhadap kolonialisme dan kapitalisme.
Pada tahun 1920 ISDV diubah menjadi PKI dengan SI cabang Semarang sebagai
pusat. Namun PKI dengan mudah dihancurkan kolonial karena melakukan
pemberontakan sehingga banyak pemimpinnya yang dibuang dan PKI dinyatakan
sebagai partai terlarang. Sampai tahun 1945 bisa dikatakan bahwa kegiatan PKI
absen dari politik Indonesia, akan tetapi Marxis masih tinggal dalam benak
beberapa intelektual Indonesia.[5]
Kevakuman politik
intelektual segera diisi oleh nasionalisme sekuler yang dipelopori oleh
Soekarno dengan mendirikan Partai Nasional Indonesia yang bertujuan
menyempurnakan kemerdekaan Indonesia, baik ekonomi maupun politik dengan
pemerintahan yang dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada rakyat Indonesia. Sejak
1930 an dan selanjutnya kelompok ini bersama dengan intelektual lain membentuk
cikal bakal gerakan nasionalis di Indonesia. Mereka membangun konfrontasi
ideologis antara para pemimpin dan aktivis politik Islam. Pada awalnya benturan
kedua kelompok ini berkisar seputar masalah watak nasionalisme. Namun setelah
Mohammad Natsir melibatkan diri dalam perseteruan tersebut maka perseteruan itu
menjadi semakin keras yaitu berkembang dalam tema yang semakin luas, tentang
apa yang disebit sebagai negara Indonesia yang merdeka dan modern yang dicita –
citakan.[6]
Menurutnya nasionalisme
harus didasarkan kepada landasan teologis sebagai wujud pengabdian kepada Alloh dan bercorak Islami karena Islamlah yang pertama mendefinisikan
nasionalisme Indonesia. Kemerdekaan harus dipandang sebagai tujuan untuk mencapai ridlo Alloh dan hal tersebut harus dilakukan dengan
menjadikan Islam sebagai hukum di Indonesia.[7]
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa ada tiga ideologi politik
yang bersaing dalam sejarah Indonesia, yaitu Islam, Marxisme dan nasionalisme
sekuler. Oleh karena itu sejak 1930 sampai 1942 tidak ada satupun ideologi
politik yang dominan dalam sejarah Indonesia. Gerakan nasionalis pecah. SI juga
mengalami perpecahan setelah wafatnya HOS Tjokroaminoto pada ahun 1934 dengan
lahirnya Partai Islam Indonesia, Partai Penyadar, sedangkan SI sendiri berubah
menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia.[8]
Pada awal 1940 an polemik
– polemik di atas berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme. Bahkan polemik
tersebut sampai pada masalah yang kursial yaitu hubungan politik antara Islam
dan negara. Soekarno secara tegas menyatakan dukungan pemisahan Islam dan
negara. Menurutnya sejauh umat Islam berpartisipasi dalam panggung politik,
maka pasti kebijakan – kebijakan yang dibuat dipengaruhi nilai – nilai Islam
mengingat posisi Islam sebagai kelompok mayoritas.[9]
Perseteruan kedua kubu
tersebut berlangsung kembali dalam sidang BPUPKI yang membicarakan tentang dasar falsafah ideologi
negara serta hal – hal lain yang berhubungan dengan pembentukan konstitusi.
Perdebatan mengenai dasar negara ini sangatlah tegang dan panas. Ada dua aliran
politik yang muncul, yaitu Islam dan pemisahan agama dan negara. Kelompok Islam
yang dipelopori oleh Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno
Tjokrosujoso, dan A. Wahid Hasyim pada intinya berpandangan bahwa negara harus
didasarkan pada Islam karena posisinya yang begitu mengakar. Sementara pihak
nasionalis yang dipelopori Soekarno, Hatta, dan Soepomo menginginkan pemisahan
antara agama dan negara.[10]
Untuk memperkokoh gagasan
mengenai dekonfessionalisasi tersebut, Soekarno mengusulkan lima asas pokok
yang kemudian dikenal sebagai Pancasila menjadi landasan filosofis, yaitu
nasionalisme, internasionalisme atau peri-kemanusiaan, mufakat atau demokrasi,
kesejahteraan sosial dan ketuhanan.[11] Segera
setelah sidang pertama berakhir, 38 anggota mengadakan pertemuan dan membentuk panitia kecil yang terdiri dari 9 orang, yaitu
Soekarno, Hatta, A. A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, A. Kahar Muzakkir, H. Agus
Salim, Ahmad Soebardjo, A. Wahid Hasjim, dan M. Yamin. Panitia sembilan ini
menyusun sebuah kesepakatan bersama yang intinya mengesahkan Pancasila sebagai
dasar negara dengan penambahan sila ketuhannya dilengkapi dengan “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Karena preambul itu
di tandatangani oleh sembilan orang pada 22 Juni 1945 di Jakarta, maka preambul
tersebut terkenal sebagai Piagam Jakarta ( the Jakarta Charter ).[12]
Hal tersebut berarti bahwa
cita – cita kelompok Islam sampai pada detik ini terakomodasi dan bisa dianggap
sebagai kemenangan umat Islam. Tepat pada 17 Agustus 1945, kelahiran Republik
diawali dengan pernyataan kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Hatta.[13] Namun kemenangan tersebut berubah ketika pada tanggal 18 Agustus 1945 tepat
sehari setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Kelompok nasionalis
dan orang Kristen dari Indonesia bagian Timur keberatan atas tujuh kata dalam
Piagam Jakarta yang menurut mereka akan mengundang diambilnya langkah – langkah
yang diskriminatif.[14] Oleh
karena itu, unsur tersebut harus dihapuskan.
Karena itu Hatta
menyarankan agar dibuat persesuaian untuk memodifikasi dasar ideologi dan
konstitusi negara. Berkat dorongan tersebut, kelompok Islam bersepakat untuk
menghapus unsur formalistik Islam. Sementara itu sebagai gantinya unsur teologi
monoteistik dimasukkan kedalam sila pertama Pancasila menjadi “ Ketuhanan Yang
Maha Esa”. [15]
B.
Politik Islam Di Indonesia Masa Revolusi
Indonesia berada dalam masa revolusi kurang
lebih selama lima tahun (1945 – 1950). Pada
era ini pemikiran bangsa Indonesia terbagi menjadi nasionalis sekuler dan
nasionalis Islam.[16] Selama periode ini tidak ada hambatan serius
yang menghalangi hubungan politik antara arus utama pemimpin dan aktivis Islam
dengan kelompok nasionalis. Perdebatan yang berkaitan dengan corak Islam dan
negara dihentikan. Mereka lebih mengerahkan segala kemampuan mereka untuk
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan mencegah Belanda kembali
berkuasa.
Kedua kelompok tersebut mampu mengembangkan
hubungan politik yang harmonis. Kelompok nasionalis memegang kendali
kepemimpinan. Sementara itu, pasca diserahkannya kemerdekaan dari pihak Belanda
kepada Indonesia, kelompok Islam mulai memperlihatkan kekuatannya dalam
perpolitikan nasional. Pada November 1945 melalui Masyumi, Islam berhasil
menarik jumlah pengikut yang besar.[17] Partai
ini mendapat dukungan yang luar biasa dari para ulama, modernis, tradisionalis,
serta pemimpin – pemimpin umat Jawa – Madura maupun luar Jawa. Bahkan dukungan
terbesar terhadap Masyumi diberikan oleh NU dan Muhammadiyah.[18]
Akan tetapi persatuan tersebut tidak
berlangsung lama. Pada tahun 1952 NU memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi
partai politik yang berdiri sendiri. Peristiwa itu tentu mengguncang Masyumi
karena NU merupakan kelompok dengan jumlah anggota yang cukup besar. Diantara
sebab –sebab yang melatarbelakangi keluarnya NU adalah konflik antara
konservatisme Islam dengan modernisme Islam di dunia politik. NU merasa
diperlakukan tidak adil oleh dominasi golongan dan perorangan yang memiliki
kedudukan kuat dalam struktur organisasi yang berlaku. Berubahnya jam’iyyah NU
menjadi organisasi politik mempunyai dampak yang cukup besar atas pola
kepemimpinan politik Islam yang selama ini dikuasai oleh kelompok modernis.[19]
Selain itu perlu dicatat bahwa sebagai entitas
politik yang bersatu, Indonesia saat itu masih sangat lemah. Indonesia belum
mampu melakukan kontrol sosial serta belum efektif dalam mendistribusikan
sumber – sumber. Hal – hal tersebut menimbulkan gejolak sosial-politik yang
amat merepotkan kepemimpinan. Sebagai contoh adalah terjadinya pemberontakan
Darul Islam, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia serta Perjuangan
Semesta Alam.
Sebagian besar diakibatkan ketidakmampuan
pemerintah untuk merebut loyalitas masyarakat. Di Jawa Barat, DI timbul karena
ketidaksetujuan Kartosuwirjo terhadap pemimpin Republik. Beliau sangat kecewa
terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya
kembalinya Belanda ke Indonesia. Sehingga ia menarik diri dari aktifitas
politik negara. Ketika terjadi Aksi Polisionil Belanda pertama (1947),
Kartosuwirjo menyerukan jihad melawan pasukan Belanda dengan menolak perjanjian
Renville. Bahkan sebagai respons terhadap dibentuknya negara boneka Pasundan,
ia memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia.
Dengan dilancarkannya Aksi Polisionil Belanda
yang kedua (1948), Indonesia benar – benar berada dalam kondisi krisis secara
teritorial dan politik. Menghadapi situasi ini, Kartoswirjo semakin bersemangat
menyeru jihad serta memproklamasikan berdirinya negara Islam bahkan diseluruh
wilayah Indonesia.[20]
Menyusul kemudian pemberontakan yang terjadi di Sulawesi selatan dan Aceh yang
semakin menampakkan lemahnya Indonesia. Upaya – upaya negosiasi dilakukan
sampai pada akhir 1950-an Aceh diakui sebagai daerah istimewa yang otonom.
Terlepas dari pemberontakan – pemberontakan
tersebut, hubungan politik antara Islam dan negara tetap baik. Dengan
dimasukkannya pernyataan monoteistik dalam Pancasila, maka sudah dipandang
bahwa Indonesia adalah negara Islam. Namun hubungan baik tersebut tidak
berlangsung lama. Kesepakatan ideologis yang terbentuk sehari setelah
proklamasi kemerdekaan dibangun di atas landasan yang rentan sehingga para
elite politik negara terlibat perdebatan – perdebatan ideologis-politis
mengenai bentuk negara dan bentuk konstitusionalnya. Pemicu pada masa tersebut
berkisar soal pemilihan umum dan majelis Konstituante.
C.
Politik Islam Di Indonesia Masa Konstituante
Pemilihan umum akhirnya terlaksana pada tanggal 15 Desember 1955 dan
Presiden Soekarno melantik Konstituante pada tanggal 10 november 1956. Dalam
pemilu, partai – partai Islam meraih 230 kursi sementara partai lainnya meraih
286 kursi. Berdasarkan hasil tersebut, Islam semakin nyata tidak terwakili
secara layak. Mungkin hanya Piagam Jakarta yang mampu mewakili kelompok Islam.[21]
Perlu diketahui bahwa pemilu sedianya dilaksanakan pada tahun 1946.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tertundanya pemilu yang paling penting adalah
ketakutan para elite negara dan partai terutama yang berasal dari kelompok
nasionalis bahwa pesta demokrasi tersebut akan mengancam hubungan politik
antara Islam dan negara. Ketakutan akan kemungkinan kelompok Islam memenangkan
pemilu menyebabkan para pemimpin politik kelompok nasionalis meninjau kembali
penyelenggaraan pemilu. Salah satu pilihan yang paling pas saat itu adalah
menunda sampai posisi pendukung Pancasila lebih kuat. Pada tahun 1953, ketika
berpidato di Amuntai, Soekarno mengingatkan betapa pentingnya mempertahankan
Indonesia sebagai negara kesatuan nasional. Sudah dapat dipastikan bahwa
kelompok Islam terganggu dengan pidato tersebut. Mereka menilai bahwa apa yang
dilakukannya tidak demokratis dan tidak konstitusional. Sementara itu kelompok
PNI mendukung pidato Soekarno. Mereka menganggap pidato tersebut didasarkan
pada hak prerogatif sebagai Presiden.[22]
Situasi tersebut memberikan kesan kepada Majelis Konstituante ketika
memulainya kerjanya pada November 1956. Pada mulanya terdapat tiga usul yang
diajukan sebagai dasar negara, yaitu Pancasila. Islam dan Sosial Ekonomi. Usul
yang pertama didukung oleh PNI, PKI, Parkindo, Partai Katolik, PSI, IPKI, dan
banyak partai kecil lainnya. Usul yang kedua didukung oleh Masyumi, NU, PSII,
Perti, dan empat partai kecil lainnya. Usul yang ketiga didukung oleh Partai
Buruh dab Partai Murba. Namun dikarenakan kelompok yang mendukung usul yang
ketiga ini sangat kecil (9 anggota) maka Majelis Konstituante membagi fokusnya
pada dua usul yang pertama, yakni Islam dan Pancasila.[23]
Kenyataan bahwa kelompok Islam hanya menguasai 43,5 % kursi di parlemen
membuat mereka ragu untuk terus mendesakkan Islam sebagai dasar ideologi
negara. Secara keagamaan, mereka dibebani kewajiban transedental untuk
menghadirkan watak holistik Islam. Secara politis, meskipun kekuatan mereka
dalam pemilu tidak menghasilkan kesuksesan ideologis, namun mereka tetap harus
membuktikan janji – janji yang telah mereka buat dalam kampanye.
Pada tahun 1950 sampai 1959 dikenal sebagai dekade demokrasi konstitusional
yang beroprasi berdasarkan UUD 1950. Oleh karena itu tugas Majelis Konstituante
adalah menyusun sebuah rancangan konstitusi yang permanen untuk menggantikan Undang – Undang Dasar Sementara 1950.[24]
Dalam rangka legal-konstitusional inilah para anggota Majelis konstitante
terlibat perdebatan – perdebatan yang sengit. Majelis Konstituante akhirnya
dapat menyelesaikan sebagian besar tugasnya selama dua setengah tahun (November
1956 – Juni 1959). Majelis Konstituante dapat menyelesaikan 90 % tugasnya,
termasuk membuat ketetapan seputar hak – hak asasi manusia, prinsip – prinsip
kebijakan negara, dan bentuk pemerintahan yang seluruhnya dianggap sebagai
unsur substantif konstitusi.
Perdebatan mengenai dasar negara tidak berjalan selancar masalah – maslah
diatas. Bahkan Majelis Konstituante terjebak dalam jalan buntu. Perdebatannya
tidak mengenal kompromi dan memperparah perpecahan di antara partai – partai
yang terlibat. Pertentangan paling sengit terjadi antara para pendukung aliran
ideologi Islam dengan Pancasila.
Kelompok Islam kembali menyatakan aspirasi – aspirasi ideologi politik yang
telah mereka kemukakan pada masa prakemerdekaan, yaitu mendirikan negara yang
berdasarkan Islam. Dipimpin oleh M. Natsir, Kasman Singodimedjo, Zaenal Abidin,
Isa Anshari, KH. Masjkur, mereka kokoh mempertahankan watak Islam yang holistik.[25]
Mereka percaya bahwa Islam mengatur setiap aspek kehidupan. Mereka memandang
bahwa Pancasila adalah ideologi sekuler tanpa sumber keagamaan yang pasti.
Meskipun sila pertama menyebutkan unsur keTuhanan, namun perumusannya tidak
didasarkan pada keilahian Tuhan, tapi keharusan sosiologis. Oleh karena itu
mereka menolak Pancasila.
Tanggapan pendukung Pancasila tidak kalah sengitnya. Mereka menolak bahwa
Pancasila adalah konsep yang netral apalagi ideologi sekuler. Kenyataan bahwa
Pancasila mengandung sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” serta negara mencakup pula
badan – badan keagamaan merupakan indikasi bahwa Pancasila tidak didasarkan
pada ideologi sekuler. Beberapa tokoh nasionalis menganggap bahwa Pancasila
merupakan kesepakatan bersama. Sementara itu, mereka menolak gagasan mengenai
Islam sebagai dasar negara berdasarkan kesulitan untuk menerapkannya karena
masyarakat Indonesia heterogen secara sosial – keagamaan. Kalangan lain menolak
Islam dengan alasan bahwa mereka khawatir jikalau hukum – hukum Islam akan diterapkan
ke seluruh warga negara.
Dengan kuatnya pendirian – pendirian tersebut sudah dapat dipastikan bahwa
sulit terjadinya kompromi. Bahkan konflik itu tetap berlanjut meskipun kelompok
Islam telah mundur dari tuntutan mereka untuk menjadikan Islam sebagai dasar
negara dan hanya menuntut penegasan kembali Piagam Jakarta. Dilihat dari segi
kekuatan elektoral mereka, tidak satupun partai yang memiliki suara yang
diperlukan (2/3 suara) untuk menggolkan preferensi ideologis mereka. Majelis
Konstituante melaksanakan voting mengenai Piagam Jakarta sebanyak dua kali.
Hasilnya adalah 268:210 dan 265:201 menolak Piagam Jakarta. Sementara itu usul
untuk kembali ke UUD 1945 juga tidak mendapat dukungan yang berarti dimana
hasil voting selama tiga kali adalah 269, 264 dan 263 mendukung dan 199, 204,
dan 203 menentang kembali ke UUD 1945.[26]
Semua perkembangan tersebut mendorong Presiden Soekarno dengan dukungan para
tentara untuk mengeluarkan dekrit presiden yang menyatakan kembali ke UUD 1945
dan membubarkan Majelis Konstituante.[27]
Dalam dekritnya, Presiden Soekarno masih menyebutkan bahwa piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1945 dimana pelaksanaan syari’ah Islam bagi pemeluk Islam
diakui secara konstitusional, menjadi jiwa dan merupakan satu kesatuan dengan
seluruh batang tubuh UUD 1945. Sehingga ide untuk melaksanakan prinsip –
prinsip syariah tidak lenyap dari konstitusi Republik Indonesia. Hal tersebut
memberi tantangan bagi masyarakat Muslim untuk memikirkan kembali hukum – hukum
syariah tradisional berdasarkan pemahaman terhadap Al Quran. Karena berhasil
atau gagalnya umat Islam di Indonesia merumuskan kembali hukum – hukum Islam
akan mempengaruhi masa depan Islam.
II.
KESIMPULAN
Islam telah datang ke
Indonesia jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda. Oleh karena itu tidak dapat
dipungkiri bahwa ajaran – ajarannya telah banyak dipahami oleh para pemeluknya.
Akan tetapi menjelang kemerdekaan terdapat perbedaan ideologis yang sangat
berarti untuk menentukan konsep dasar ideologi negara. Sebagian kelompok
menganggap bahwa negara harus didasarkan pada Islam karena mayoritas masyarakat
di Indonesia adalah masyarakat yang memeluk agama Islam. Sementara itu kelompok
lain menganggap bahwa Indonesia bukanlah negara yang homogen, oleh karena tidak
tepat apabila Islam dijadikan dasar negara. Perdebatan tersebut berlangsung
alot bahkan sampai kemerdekaan Indonesia sampai pada akhirnya disepakati bahwa
Pancasila sebagai dasar negara dan Piagam Jakarta sebagai preambul UUD 1945.
Perbedaan prinsip diatas
tetap berlanjut bahkan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Sampai pada akhirnya dibentuk Majelis Konstituante yang bertugas untuk menyusun konsep
konstitusi negara pada November 1956. Dalam sidang Majelis Konstituante pun
perdebatan – perdebatan alot masih terjadi terutama dari kubu kelompok Islam
dan kelompok pendukung Pancasila sampai sidang menemui jalan buntu. Akhirnya pada
tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan dekrit yang menegaskan kembali ke UUD 1945
serta pembubaran Konstituante.
[1] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam
Dan Masalah Kenegaraan, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, Hal.
79-80.
[2] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam
Dan Masalah Kenegaraan, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, Hal.
82-83.
[3] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam
Dan Masalah Kenegaraan, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, Hal.
85-87.
[4] Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, Hal.66 – 68.
[5] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam
Dan Masalah Kenegaraan, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, Hal 87-88.
[6] Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, Hal. 70-72.
[7] Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, Hal. 73.
[8] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam
Dan Masalah Kenegaraan, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, Hal. 91-92.
[9] Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, Hal. 75-77.
[10] Moh. Mahfud
MD, Hukum Dan Pilar – Pilar Demokrasi, Yogyakarta : Gama Media, 1999,
Hal. 55. Lihat Pula Bahtiar Effendy, Hal. 85.
[11] Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Dan Sejarah
Konsesus Nasional Antara Nasionalis Islam Dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945-1959, Jakarta : CV. Rajawali, 1986, Hal. 17.
[12] Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Dan Sejarah
Konsesus Nasional Antara Nasionalis Islam Dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945-1959, Jakarta : CV. Rajawali, 1986, Hal.
30-32.
[13] Afan Gaffar, Politik
Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000,
Hal. 53.
[14] Sukamto,Dinamika Politik Islam Di Indonesia : Dari Masa Orde
Baru Sampai Masa Reformasi, Bandung: Enlightenment, 2008, Hal. 11.
[15] Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, Hal. 90.
[16] Http://Ejournal.Unisba.Ac.Id/Index.Php/Mimbar/Article/View/93, Diakses Pada
18 Oktober 2014, 09 : 53 WIB.
[17] Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, Hal. 92.
[18] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam
Dan Masalah Kenegaraan, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, Hal. 112.
[19] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam
Dan Masalah Kenegaraan, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, Hal.
115-119.
[20] Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, Hal. 96-97.
[21] Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Dan Sejarah
Konsesus Nasional Antara Nasionalis Islam Dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945-1959, Jakarta : CV. Rajawali, 1986, Hal. 74.
[22] Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, Hal. 103 – 104.
[23] Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Dan Sejarah
Konsesus Nasional Antara Nasionalis Islam Dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945-1959, Jakarta : CV. Rajawali, 1986, Hal.
85-86.
[24] Martin
Hutabarat Dkk, Hukum Dan Politik Indonesia Tinjauan Analitis Dekrit
Presiden Dan Otonomi Daerah, Jakarta
: Pustaka Sinar Harapan, 1996, Hal. 23.
[25]Http://Surwandono.Staff.Umy.Ac.Id/2010/06/23/Files/2010/06/Sejarah-Politik-Umat-Islam-Indonesia.Doc, Diakses Pada
17 Oktober 2014, 10 : 04 WIB.
[26] Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, Hal. 106-110.
Keterangan Lebih Lengkap Lihat Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Dan Sejarah
Konsesus Nasional Antara Nasionalis Islam Dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945-1959.
[27] Daniel S Lev, Hukum
Dan Politik Di Indonesia Kesinambungan Dan Perubahan, Jakarta : LP3ES,
1990, Hal. 521.
Komentar