lembaga zakat dan wakaf
I.
PEMBAHASAN
A. Peran Baitul Maal
Lembaga baitul maal merupakan lembaga pertama
yang bergerak dalam bidang bisnis dan social yang dibangun oleh Nabi. Berdirinya lembaga ini diawali dengan cekcok para sahabat Nabi SAW
dalam pembagian harta rampasan Perang Badar. Saat itu para shahabat berselisih
paham mengenai cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT
yang menjelaskan hal tersebut. Allah
menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya
sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan
wewenang kepada Rasulullah untuk membagikannya sesuai pertimbangan
beliau mengenai kemaslahatan kaum muslimin.[1]
Pada
masa Rasulullah ini, Baitul Maal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak
(al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa
pendapatan maupun pengeluaran. Lembaga ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan. Mekanisme pengelolaan baitul maal ini tidak hanya untuk
kepentingan umat Islam, namun juga untuk melindungi kepentingan kafir dzimmi.
Hal ini merupakan gebrakan baru, mengingat sebelumnya pajak dan pungutan
masyarakat dikumpulkan oleh penguasa dan diberikan kepada para raja.
Kehadiran lembaga ini merupakan reformasi yang
besar. Dana – dana umat, baik dari dana social, sedekah, dam, zakat, jizyah dan
lain sebagainya dikumpulkan melalui lembaga ini dan disalurkan untuk
kepentingan umat. Nabi memberikan arahan – arahan mengenai pemungutan dan
pendistribusian kekayaan Negara. Lembaga baitul maal diindikasikan sebagai
lembaga kesucian dan bertanggungjawab terhadap setiap sen uang yang terkumpul
dan pendistribusiannya.[2]
Rasul berperan langsung sebagai penyeimbang
kegiatan muamalat, baik ekonomi, social maupun politik. Rasul sering menegur
dan melarang kegiatan bisnis yang merusak harga dan mendzolimi. Sepeninggal
rasul, tradisi tersebut dilanjutkan oleh Khalifah. Pada masa Abu bakar,
kebiasaan memungut zakat terus ditingkatkan. Bahkan pada masa ini sempat
terjadi peperangan antara sahabat dan para pembangkang zakat.
Lembaga baitul maal semakin mapan pada masa
Umar. Khalifah meningkatkan basis pengumpulan zakat serta sumber – sumber
lainnya. Sitem administrasi pun sudah mulai dilakukan penertiban. Umar memiliki
kepedulian yang besar terhadap kemakmuran rakyatnya. Pada masa ini juga mulai
dilakukan penertiban gaji dan pajak tanah.
Kekayaan negara makin melimpah ketika pemerintahan dipegang
oleh Usman bin Affan RA. Selama 12 tahun memimpin umat Islam, Usman berhasil
melakukan ekspansi ke Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, Transoxania, dan
Tabaristan. Ia juga sukses membangun armada laut yang kuat di bawah komando
Muawiyah. Inilah angkatan laut Islam yang menguasai laut Mediterania. Baitul
mal yang dikelola Ustman mampu membiayai angkatan laut tersebut.
Kantor pusat baitul mal kemudian dipindahkan oleh khalifah
keempat, Ali bin Abi Thalib RA, dari Madinah ke Kufah. Ali menganggarkan dana
bantuan kepada kaum Muslimin yang membutuhkan. Disebutkan oleh Ibnu Katsir, Ali
juga mendapatkan jatah dari baitul mal berupa kain yang hanya bisa menutupi
tubuh sampai separuh kakinya. Dan konon, kain itu banyak tambalan di beberapa
bagiannya.[3]
Lembaga
keuangan baitul maal telah berfungsi sangat baik. Para pemimpin Islam mampu
mengentaskan kemiskinan umat dan membangun system moneter Islami. [4]
Pada masa Muawiyah, system keuangan Negara
masih mengikuti system yang telah diterapkan sebelumnya[5].
Disamping itu keberhasilan Muawiyah menaklukkan Byzantium dan Imperium Sassani
(Parsi) menjadikan kemakmuran rakyat menjadi sangat melimpah. Pada masa Bani
Abbasiyah merupakan masa keemasan umat Islam. Stabilitas politik serta
kemakmuran ekonomi menjadikan kemajuan peradaban pada masa ini. Para pemimpin
pada masa ini mendapat sebutan yang indah sebagai wakil Tuhan.
Dalam sektor ekonomi terjadi kemajuan yang
pesat, baik dalam bidang moneter maupun fiscal. Hal tersebut ditandai dengan
meluasnya fungsi baitul maal yang tidak hanya berperan dalam lalu lintas
keungan, namun sekaligus sebagai pengatur kebijakan moneter. Pada masa ini
telah terjadi kebijakan untuk membuat standar uang bagi kaum muslim. Disamping
itu, berbagai riset dan pengembangan ilmu pengetahuan juga banyak didanai oleh
baitu maal.
Pada masa keruntuhan Bani Abbasiyah, baitul
maal masih berfungsi secara maksimal. Bahkan keuangan Islam mengalami
kestabilan terus menerus. Standar mata uang emas dan perak menjadi kekuatan
kestabilan ekonomi Negara. Namun pemerintahan Islam tidak berlangsung lama.
Serbuan tentara Tartar Mongol telah meruntuhkan sendi – sendi pemerintahan.
Setelah pemerintahan berhasil ditaklukkan maka otomatis system politik dan
ekonomi mengacu kepada kebijakan colonial Mongol. Oleh karena itu, pada masa
ini keberadaan baitul maal sudah tidak dikenal lagi.[6]
B.
Lembaga
Amil Zakat
Zakat merupakan harta yang wajib
dikeluarkan oleh muzaki sesuai dengan
ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Mustahiq
adalah orang atau entitas yang berhak menerima zakat.
Secara sosial, zakat berfungsi sebagai
lembaga jaminan sosial (Qardhawi, 1987, dalam Dahlia Herliyani, 2005). Dengan
menggunakan lembaga zakat, maka kelompok lemah dan kekurangan tidak akan lagi
merasa khawatir terhadap kelangsungan
hidup yang mereka jalani. Hal ini terjadi karena dengan adanya substansi zakat
merupakan mekanisme yang menjamin kelangsungan hidup mereka ditengah
masyarakat, sehingga mereka merasa hidup ditengah masyarakat yang beradab,
memiliki nurani, kepedulian, dan juga tradisi saling menolong.
Selain itu, secra ekonomi, zakat juga
berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mengentaskan kemiskinan, pemerataan pendapatan dan mempersempit kesenjangan yang terjadi
antara kelompok kaya dan miskin. Zakat juga dapat mempengaruhi kemampuan sebuah
komunitas politik dan menjalankan kelangsungan hidupnya.
Dengan adanya berbagai implikasi sosial
dan ekonomi diatas, maka zakat dapat membentuk integrasi sosial yang kukub
serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Dua kondisi terakhir ini sangat
diperlukan bagi kelangsungan hidup suatu negara. Dikalangan umat islam timbul
berbagai pendapat berkaitan dengan
masalah distribusi zakat. Karena zakat termasuk masalah ibadah, maka
pendistribusiannya bisa dilakukan secara individual. Pandangan ini terjadi
karena para ulama mengkhawatirkan jika pengelolaan zakat diserahkan kepada
pemerintah , maka besar kemungkinan dana zakat dapat diselewengkan oleh meraka
yang tidak berhak fan daan zakat tidak dapat digunakan secara atau dimanfaatkan secara optimal untuk
mengatasi berbagai problem sosial seperti kemiskinan.
Menurut Yusuf Qardhawi, kalau setiap umat islam berpegang
pada syariah maka pengeluaran zakat harus dibayarkan sepenuhnya kepada amil.
Pendapat ini sesuai dengan sabda Nabi melalui riwayat Jabir ibn Atik yang
menerangkan : “Jika mereka (amil) adil, maka pujilah mereka. Dan jika mereka
curang, maka merekalah yang memikul dosanya. Kesempurnaan zakat tergantung pada
keridlaan mereka.”
Selain juga terdapat beberapa alasan
yang menegaskan bahwa pendistribusian zakat harus dilakukan melalui lembaga
amil zakat, yaitu :[7]
1. Dalam
rangka menjamin ketaatan pembayaran.
2. Menghilangkan
rasa rikuh dan canggung yang mungkin dialami oleh mustahiq ketika berhubungan dengan muzaki (orang yang berzakat).
3. Untuk
mengefesienkan dan mengefektifkan pengalokasian dana zakat.
4. Alasan
caesoropapisme yang menyatakan
ketidakterpisahan antara agama dan negara, karena zakat juga termasuk urusan
negara.
Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur
berdasarkan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang lalu
diikuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 dan keputusan
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Lembaga Pengelola zakat
haruslah bersifat :
1. Independen.
Dengan dikelola secara independen artinya lembaga ini tidak mempunyai
ketergantungan kepada orang-orang tertentu atau lembaga lain.
2. Netral.
Karena didanai oleh masyarakat, berarti lembaga ini adalah milik masyarakat,
sehingga dalam menjalankan aktivitasnya lembaga tidak boleh hanya menguntungkan
golongan tertentu saja.
3. Tidak
berpolitik (praktis). Lembaga jangan sampai terjebak dalam kegiatan politik praktis.
4. Tidak
bersifat diskriminatif. Kekayaan dan kemiskinan bersifat universal.
Struktur organisasi lembaga pengelola
zakat, terutama yang berbentuk lembaga amil zakat yang milik swasta atau
masyarakat biasanya mengacu pada UU Yayasan.[8]
Anies Basalamah, 1995 mengklasifikasikan donasi yang dikumpulkan dalam Lembaga
Amil Zakat menjadi tiga bentuk, yaitu:[9]
1. Shodaqoh
yang tidak dimaksudkan oleh pemberinya untuk tujuan tertentu.
2. Shodaqoh
yang dimaksudkan oleh pemberinya untuk diberikan dengan tujuan tertentu atau
diberikan kepada penerima tertentu.
3. Zakat,
yang dapat digolongkan sebagai dana yang terbatas penggunaannya (restricted
funds) karena ia dibatasi oleh siapa atau dari sumber mana zakat ini berasal
dan kepada siapa saja zakat ini disalurkan.
Sesuai dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pada Bab III Organisasi
Pengelolaan Zakat pasal 6 (1) : “Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil
zakat yang dibentuk oleh pemerintah”.
C.
Golongan
Yang Berhak Menerima Zakat
Al Quran menjelaskan bahwa orang – orang yang berhak menerima zakat
adalah delapan orang sebagaimana yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60
sebagai berikut :
$yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pkön=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Delapan
orang yang berhak tersebut adalah :
1.
Faqir, yaitu orang yang mempunyai harta sedikit yang hanya cukup untuk
hidup.
2.
Miskin, yaitu orang yang tidak mempunyai harta (orang yang tidak punya).
Baik faqir maupun miskin keduanya membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup yang layak. Akan tetapi keadaan orang miskin lebih buruk daripada orang –
orang fakir.
3.
Amil, yaitu orang yang bertugas mengumpulkan zakat.[10]
Mereka melakukan pengelolaan terhadap zakat, mulai dari mengumpulkan zakat,
menentukan siapa yang berhak, mencari mereka, maupun membagi dan mengantarkan
kepada mereka.[11]
4.
Al
muallafah qulubuhum, yaitu mereka
adalah kaum yang dikehendaki agar hatinya cenderung atau tetap kepada Islam,
menghentikan kejahatannya kepada kaum muslim, atau diharapkan memberi manfaat
dalam melindungi muslimin. Mereka terbagi menjadi tiga golongan, yaitu ;
-
Kaum
kafir yang diharapkan akan beriman dengan membujuk hatinya.
-
Kaum
yang keislamannya masih lemah. Dengan pemberian ini diharapkan keislaman dan
keimanannya menjadi kuat.
-
Kaum
muslim yang berjaga – jaga di pelabuhan dan perbatasan negeri musuh. Mereka
diberi sedekah dengan harapan dapat melindungi kaum muslimin apabila musuh
menyerang mereka.
Abu Hanifah mengatakan bahwa bagian orang – orang tersebut telah
terputus dengan dijayakannya Islam oleh Alloh. Hal tersebut didasarkan pada
tindakan Umar yang tidak memberi seorang musyrik yang meminta harta, lalu Umar
membacakan ayat[12]
:
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4
Artinya : dan katakanlah: "kebenaran itu datangnya dari
tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
6.
Gharimin, yakni mereka yang dililit hutang sehingga tidak mampu
membayarnya, walaupun yang bersangkutan memiliki kecukupan untuk kebutuhan hidup.
Mereka yang berhak menerima adalah mereka yang menggunakan hutang tersebut
bukan untuk berfoya – foya apalagi untuk kedurhakaan.[14]
7.
Fi Sabilillah, yaitu orang – orang yang berperang dan mempersiapkan dirinya
untuk berjihad. Termasuk dalam hal ini adalah seluruh kebaikan untuk
kemaslahatan umum kaum muslimin yang karenanya luruslah urusan agama dan
Negara.
8.
Ibnu
sabil, yakni orang yang jauh dari
negerinya dalam suatu perjalanan dan sulit baginya untuk memperoleh sebagian
harta, meskipun dia kaya di negeri asalnya, namun fakir dalam perjalanannya.[15]
D.
Lembaga
Wakaf
1)
Pengertian
Wakaf
Secara
etimologi, kata wakaf berasal dari kata waqafa-yaqifu-waqfan, yang
mempunyai arti berdiri tegak, menahan. Imam Hanafi memaknai wakaf sebagai
sedekah yang kedudukannya seperti ‘ariyah (pinjam meminjam). Dalam ariyah
benda ada ditangan peminjam sebagai pihak yang mengambil manfaat dari benda
sewa sedangkan dalam benda wakaf sebaliknya, wakif tetap memilikinya namun
tidak boleh mengambil manfaat dari benda tersebut, hanya memanfaatkan
sedekahnya saja.
Adapun Imam
Malik menyatakan, wakaf merupakan perbuatan wakif yang menyerahkan manfaat
asset wakafnya, baik berupa hasil atau sewa, dengan sighat dalam jangka waktu
yang dikehendaki oleh wakif. Pendapat Imam Hanafi dan Imam Malik tersebut tidak
sepenuhnya sesuai dengan pendapat Jumhur ulama. Menurut mereka adalah menahan
suatu benda yang dapat dimanfaatkan, sementara ‘ain asset tetap, tidak hilang
atau tidak kurang, karena diambil benefitnya sepanjang penggunaan harta yang
diperbolehkan menurut hukum islam.
Dari definisi
wakaf yang telah disebutkan, yang disebut dengan wakaf adalah penyerahan aktiva
seseorang atau badan hukum sebagai manifestasi kepatuhan terhadap agama dengan
menggunakan manfaat benda wakaf untuk kepentingan umat, sedangkan subtansi
aktivanya kekal dan tidak berkurang serta harta telah beralih hak kepemilikan
menjadi milik Allah swt.[16]
Sedangkan pengertian wakaf menurut Kompilasi
Hukum Islam adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.[17]
Jumhur Ulama
selain Imam Hanifah menyatakan, rukun wakaf terdiri dari wakif, maukuf bih,
maukuf ‘alaih, dan sighat. Adapun menurut Imam Hanifah, apabila sighat telah
diucapkan suatu perbuatan wakaf sah secara hukum karena beliau berpendapat
unsure rukun hanya berupa pengucapan sighat.
PP No.28 tahun
1977 dan inpres No.1 tahun 1991 menyatakan, selain mengharuskan keberadaan
empat rukun wakaf tersebut, PP juga menentukan kehadiran nadzir, saksi, dan
PPAIW dalam ikatan wakaf. Selain rukun, wujud amal jariyah berupa wakaf akan
dianggap sah oleh hukum apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Wakif (orang/pemilik benda wakaf). Wakif menurut PP
No.28 tahun 1977 pasal 1 ayat 2 adalah satu orang, sekelompok atau badan hukum
yang mewakafkan tanahnya.
2.
Maukuf
bih (harta yang diwakafkan). KHI pasal
215 menyatakan, maukuf bih adalah semua benda baik benda bergerak atau tidak
bergerak, yang memiliki daya tahan tidak hanya sekali pakai dan bernilai
menurut ajaran islam.
3.
Maukuf
‘alaih (sasaran wakaf). Sasaran wakaf dapat ditujukan kepada wakaf khairi dan
wakaf ahli. Wakaf khairi adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum
seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Adapun wakaf ahli atau wakaf
dzurri adalah wakaf yang diperuntukkan kepada orang tertentu.
4.
Sighat
dalam PP No.28 tahun 1977 pasal 1 ayat 3 merupakan pernyataan kehendak wakif
untuk mewakafkan tanah miliknya. Para ulama Imam Madzab sepakat sighat dalam
wakaf harus dinyatakan secara jelas maupun kinayah, tertulis atau tersirat.
5.
Nadzir
(pengelola wakaf) PP No.28 tahun 1977 menyatakan nadzir merupakan sekelompak
orang atau badan hukum yang mememgang amanat untuk memelihara dan mengurus
harta wakaf sesuai dengan tujuannya.[18]
2)
Lembaga
Wakaf
Wakaf di beberapa
Negara telah mengalami perkembangan yang dikelola oleh lembaga tertentu.
Misalnya, wakaf di Turki dikelola oleh Direktorat Jenderal Wakaf dan ada pula
yang dikelola oleh mutawalli, di Pakistan pengelolaan wakaf dibawah
Departemen Awqaf di setiap provinsi, di Bangladesh pengelolaan wakaf dikelola
oleh Kantor Administrasi Wakaf dan Yayasan/Komite wakaf yang tidak terdaftar
pada kantor administrasi wakaf kementerian agama Bangladesh, dan di Indonesia
sendiri wakaf dikelola oleh BWI.
Di Indonesia,
bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya dalam wakaf tanah.
Kondisi ini tentu berkaitan dengan peraturan pemerintah yang selama ini hanya
menetapkan objek wakaf dalam bentuk tanah dan ketentuan nadzir pun berupa
nadzir tanah milik. Sementara masyarakat yang sebagian besar berada dalam
kategori hidup tidak mampu belum dapat berpartisipasi dalam kegiatan wakaf
karena keterbatasan dana yang mereka miliki. Bahkan banyak harta wakaf yang
tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal apalagi untuk mengembangkannya. Di
Indonesia sendiri sedikit sekali nadzir yang sukses dalam mengelola wakaf,
misalnya Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Badan Wakaf UII, dan sebagainya.
Menurut
Nasution, kondisi wakaf diperkirakan dilatarbelakangi karena tingkat pendidikan
nadzir yang relative rendah dan kurang dibekali ilmu mengelola wakaf dengan
baik sehingga terjadi mis-management, dan kurang mampu melihat peluang
untuk memperdayakan harta wakaf. Meskipun wakaf telah memainkan peran penting
sepanjang sejarah islam, namun lembaga wakaf belum dapat mengatasi berbagai
masalah umat. Oleh karena itu, sampai saat ini belum ada Negara islam yang
dikategorikan Negara maju.
Dalam wakaf
dana jumlah besar yang diperoleh dari wakaf uang tentu harus dimanage secara
benar dan transparan. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Amir Radjab Batubara
tentang lembaga wakaf nasional dan alternative menghindari KKN. Beberapa
alternative kelembagaan yang harus dilibatkan adalah institusi independen
dirjen wakaf seperti di Mesir atau lembaga wakaf nasional yang berstatus swasta
atau semi pemerintah, yang penting lembaga tersebut dibentuk oleh nadzir
ditingkat masyarakat. Badan wakaf nasional itu terdiri dari berbagai para ahli
dari berbagai disiplin ilmu dan para cendekiawan lain yang memiliki perhatian
terhadap pengelolaan wakaf. Selain itu, lembaga ini harus mempunyai prioritas
yang besar , sehingga semua dana wakaf diserahkan ke Negara, baik wakaf lama
atau wakaf baru.[19]
Adapun tujuan
dari kepengurusan wakaf, antara lain:
1.
Meningkatkan
kelayakan produksi harta wakaf sehingga mencapai target ideal untuk memberi
manfaat yang besar
2.
Melindungi
pokok-pokok harta wakaf dengan mengadakan pemeliharaan dan penjagaan yang
baikdalam menginvestasikan harta wakaf
3.
Melaksanakan
tugas distribusi hasil wakaf dengan baik kepada tujuan wakaf yang telah ditentukan
4.
Berpegang
teguh pada syarat-syarat wakif, baik itu berkenaan dengan jenis investasi dan
tujuan maupun dengan tujuan wakaf
5.
Memeberikan
penjelasan kepada para dermawan dan mendorong mereka untuk melakukan wakaf
baru.[20]
II.
KESIMPULAN
Lembaga
keuangan Baitul maal telah berdiri semenjak masa Nabi dan bertugas mengelola
dana – dana social, baik yang wajib maupun tidak seperti zakat, wakaf, infaq,
shodaqoh, jizyah dan lain sebagainya. Keberadaannya senantiasa berkembang dan
mengalami kemajuan sampai pada masa – masa sesudahnya. Akan tetapi keberadaan
baitul maal mulai tergeser semenjak kedatangan tentara Mongol yang menjajah
Negara – Negara Islam.
Lembaga
amil zakat di Indonesia bertugas melakukan pengelolaan zakat, baik
mengumpulkan, menentukan mustahiq, mengantarkan zakat kepada yang berhak
berdasarkan ketentuan syariat dan peraturan perundang – undangan. Begitu halnya
dengan lembaga wakaf yang bertugas mengelola harta wakaf serta mentashorufkan
manfaat kepada yang berhak.
[1] http://griyatabunganakhirat.com/sejarah-baitul-maal-dari-masa-ke-masa.html, diakses pada
26 Nopember 2014, 08 : 41 WIB.
[2] Muhammad
Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), Yogyakarta : UII Press,
2004, Hal. 56 – 57.
[3]
http://baitulmal-tamiang.blogspot.com/baitul-mal-di-masa-rasulullah-saw-dan.html, diakses pada
26 Nopember 2014, 08 : 24 WIB.
[4] Ibid,
hal. 58 – 61.
[5] Yakni memberlakukan pajak tanah dan pajak
kepala kepada para kafir dzimmi serta zakat kepada para penduduk muslim. Namun
pada masa Muawiyah ini terjadi perubahan kebijakan atas pajak tanah, dimana
semua warga wajib membayar pajak tanah. Sementara pajak kepala hanya berlaku
bagi warga non muslim.
[6] Ibid,
hal. 62 – 65.
[7] Nurul Huda dan
Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hlm.305
[8] Nurul Huda dan
Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hlm.307
[9] Osmad
Muthaher, Akuntansi Perbankan Syariah, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm.184
[10] Muhammad ‘Ali
Al Shobuni, Shofwah At Tafasir, Beirut : Dar Al Fikr, Hal. 543.
[11] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al Mishbah Pesan, Kesan Dan Keserasian Al Quran,
Tangerang : Lentera Hati, 2005, Hal. 631.
[12] Ahmad Mustafa Al
Maragi, Tafsir Al Maragi, Penerj. Hery Noer Aly Dkk, Semarang : Thoha
Putra, 1992, Hal. 242 – 243.
[13] Muhammad ‘Ali
Al Shobuni, Loc.Cit.
[14] M. Quraish
Shihab, Op.Cit, Hal. 633.
[15] Ahmad Mustafa Al
Maragi, Op.cit, Hal. 245.
[16] Nurul Huda dan Muhamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis,
Jakarta: Kencana Prenada Media grup, 2010, cetakan pertama, hal 308-311
[17] Kompilasi
Hukum Islam, pasal 1.
[19] Ibid,
hal.321-325.
[20] Mundzir Qahaf,
Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Khalifa, 2000, cetakan pertama, hal.321-322.
Komentar