lembaga zakat dan wakaf



       I.            PEMBAHASAN
A.    Peran Baitul Maal
Lembaga baitul maal merupakan lembaga pertama yang bergerak dalam bidang bisnis dan social yang dibangun oleh Nabi. Berdirinya lembaga ini diawali dengan cekcok para sahabat Nabi SAW dalam pembagian harta rampasan Perang Badar. Saat itu para shahabat berselisih paham mengenai cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT yang menjelaskan hal tersebut.  Allah menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan wewenang kepada Rasulullah  untuk membagikannya sesuai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum muslimin.[1]
Pada masa Rasulullah ini, Baitul Maal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Lembaga ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan. Mekanisme pengelolaan baitul maal ini tidak hanya untuk kepentingan umat Islam, namun juga untuk melindungi kepentingan kafir dzimmi. Hal ini merupakan gebrakan baru, mengingat sebelumnya pajak dan pungutan masyarakat dikumpulkan oleh penguasa dan diberikan kepada para raja.
Kehadiran lembaga ini merupakan reformasi yang besar. Dana – dana umat, baik dari dana social, sedekah, dam, zakat, jizyah dan lain sebagainya dikumpulkan melalui lembaga ini dan disalurkan untuk kepentingan umat. Nabi memberikan arahan – arahan mengenai pemungutan dan pendistribusian kekayaan Negara. Lembaga baitul maal diindikasikan sebagai lembaga kesucian dan bertanggungjawab terhadap setiap sen uang yang terkumpul dan pendistribusiannya.[2]
Rasul berperan langsung sebagai penyeimbang kegiatan muamalat, baik ekonomi, social maupun politik. Rasul sering menegur dan melarang kegiatan bisnis yang merusak harga dan mendzolimi. Sepeninggal rasul, tradisi tersebut dilanjutkan oleh Khalifah. Pada masa Abu bakar, kebiasaan memungut zakat terus ditingkatkan. Bahkan pada masa ini sempat terjadi peperangan antara sahabat dan para pembangkang zakat.
Lembaga baitul maal semakin mapan pada masa Umar. Khalifah meningkatkan basis pengumpulan zakat serta sumber – sumber lainnya. Sitem administrasi pun sudah mulai dilakukan penertiban. Umar memiliki kepedulian yang besar terhadap kemakmuran rakyatnya. Pada masa ini juga mulai dilakukan penertiban gaji dan pajak tanah.
Kekayaan negara makin melimpah ketika pemerintahan dipegang oleh Usman bin Affan RA. Selama 12 tahun memimpin umat Islam, Usman berhasil melakukan ekspansi ke Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, Transoxania, dan Tabaristan. Ia juga sukses membangun armada laut yang kuat di bawah komando Muawiyah. Inilah angkatan laut Islam yang menguasai laut Mediterania. Baitul mal yang dikelola Ustman mampu membiayai angkatan laut tersebut.
Kantor pusat baitul mal kemudian dipindahkan oleh khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib RA, dari Madinah ke Kufah. Ali menganggarkan dana bantuan kepada kaum Muslimin yang membutuhkan. Disebutkan oleh Ibnu Katsir, Ali juga mendapatkan jatah dari baitul mal berupa kain yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separuh kakinya. Dan konon, kain itu banyak tambalan di beberapa bagiannya.[3] Lembaga keuangan baitul maal telah berfungsi sangat baik. Para pemimpin Islam mampu mengentaskan kemiskinan umat dan membangun system moneter Islami. [4]
Pada masa Muawiyah, system keuangan Negara masih mengikuti system yang telah diterapkan sebelumnya[5]. Disamping itu keberhasilan Muawiyah menaklukkan Byzantium dan Imperium Sassani (Parsi) menjadikan kemakmuran rakyat menjadi sangat melimpah. Pada masa Bani Abbasiyah merupakan masa keemasan umat Islam. Stabilitas politik serta kemakmuran ekonomi menjadikan kemajuan peradaban pada masa ini. Para pemimpin pada masa ini mendapat sebutan yang indah sebagai wakil Tuhan.
Dalam sektor ekonomi terjadi kemajuan yang pesat, baik dalam bidang moneter maupun fiscal. Hal tersebut ditandai dengan meluasnya fungsi baitul maal yang tidak hanya berperan dalam lalu lintas keungan, namun sekaligus sebagai pengatur kebijakan moneter. Pada masa ini telah terjadi kebijakan untuk membuat standar uang bagi kaum muslim. Disamping itu, berbagai riset dan pengembangan ilmu pengetahuan juga banyak didanai oleh baitu maal.
Pada masa keruntuhan Bani Abbasiyah, baitul maal masih berfungsi secara maksimal. Bahkan keuangan Islam mengalami kestabilan terus menerus. Standar mata uang emas dan perak menjadi kekuatan kestabilan ekonomi Negara. Namun pemerintahan Islam tidak berlangsung lama. Serbuan tentara Tartar Mongol telah meruntuhkan sendi – sendi pemerintahan. Setelah pemerintahan berhasil ditaklukkan maka otomatis system politik dan ekonomi mengacu kepada kebijakan colonial Mongol. Oleh karena itu, pada masa ini keberadaan baitul maal sudah tidak dikenal lagi.[6]

B.     Lembaga Amil Zakat
Zakat merupakan harta yang wajib dikeluarkan oleh muzaki sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Mustahiq adalah orang atau entitas yang berhak menerima zakat.
Secara sosial, zakat berfungsi sebagai lembaga jaminan sosial (Qardhawi, 1987, dalam Dahlia Herliyani, 2005). Dengan menggunakan lembaga zakat, maka kelompok lemah dan kekurangan tidak akan lagi merasa khawatir  terhadap kelangsungan hidup yang mereka jalani. Hal ini terjadi karena dengan adanya substansi zakat merupakan mekanisme yang menjamin kelangsungan hidup mereka ditengah masyarakat, sehingga mereka merasa hidup ditengah masyarakat yang beradab, memiliki nurani, kepedulian, dan juga tradisi saling menolong.
Selain itu, secra ekonomi, zakat juga berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mengentaskan  kemiskinan, pemerataan pendapatan  dan mempersempit kesenjangan yang terjadi antara kelompok kaya dan miskin. Zakat juga dapat mempengaruhi kemampuan sebuah komunitas politik dan menjalankan kelangsungan hidupnya.
Dengan adanya berbagai implikasi sosial dan ekonomi diatas, maka zakat dapat membentuk integrasi sosial yang kukub serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Dua kondisi terakhir ini sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup suatu negara. Dikalangan umat islam timbul berbagai pendapat berkaitan  dengan masalah distribusi zakat. Karena zakat termasuk masalah ibadah, maka pendistribusiannya bisa dilakukan secara individual. Pandangan ini terjadi karena para ulama mengkhawatirkan jika pengelolaan zakat diserahkan kepada pemerintah , maka besar kemungkinan dana zakat dapat diselewengkan oleh meraka yang tidak berhak fan daan zakat tidak dapat digunakan secara  atau dimanfaatkan secara optimal untuk mengatasi berbagai problem sosial seperti kemiskinan.
Menurut Yusuf  Qardhawi, kalau setiap umat islam berpegang pada syariah maka pengeluaran zakat harus dibayarkan sepenuhnya kepada amil. Pendapat ini sesuai dengan sabda Nabi melalui riwayat Jabir ibn Atik yang menerangkan : “Jika mereka (amil) adil, maka pujilah mereka. Dan jika mereka curang, maka merekalah yang memikul dosanya. Kesempurnaan zakat tergantung pada keridlaan mereka.”
Selain juga terdapat beberapa alasan yang menegaskan bahwa pendistribusian zakat harus dilakukan melalui lembaga amil zakat, yaitu :[7]
1.      Dalam rangka menjamin ketaatan pembayaran.
2.      Menghilangkan rasa rikuh dan canggung yang mungkin dialami oleh mustahiq ketika berhubungan dengan muzaki (orang yang berzakat).
3.      Untuk mengefesienkan dan mengefektifkan pengalokasian dana zakat.
4.      Alasan caesoropapisme yang menyatakan ketidakterpisahan antara agama dan negara, karena zakat juga termasuk urusan negara.
Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang lalu diikuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 dan keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Lembaga Pengelola zakat haruslah bersifat :
1.      Independen. Dengan dikelola secara independen artinya lembaga ini tidak mempunyai ketergantungan kepada orang-orang tertentu atau lembaga lain.
2.      Netral. Karena didanai oleh masyarakat, berarti lembaga ini adalah milik masyarakat, sehingga dalam menjalankan aktivitasnya lembaga tidak boleh hanya menguntungkan golongan tertentu saja.
3.      Tidak berpolitik (praktis). Lembaga jangan sampai terjebak dalam kegiatan politik praktis.
4.      Tidak bersifat diskriminatif. Kekayaan dan kemiskinan bersifat universal.
Struktur organisasi lembaga pengelola zakat, terutama yang berbentuk lembaga amil zakat yang milik swasta atau masyarakat biasanya mengacu pada UU Yayasan.[8] Anies Basalamah, 1995 mengklasifikasikan donasi yang dikumpulkan dalam Lembaga Amil Zakat menjadi tiga bentuk, yaitu:[9]
1.      Shodaqoh yang tidak dimaksudkan oleh pemberinya untuk tujuan tertentu.
2.      Shodaqoh yang dimaksudkan oleh pemberinya untuk diberikan dengan tujuan tertentu atau diberikan kepada penerima tertentu.
3.      Zakat, yang dapat digolongkan sebagai dana yang terbatas penggunaannya (restricted funds) karena ia dibatasi oleh siapa atau dari sumber mana zakat ini berasal dan kepada siapa saja zakat ini disalurkan.
Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pada Bab III Organisasi Pengelolaan Zakat pasal 6 (1) : “Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah”.
C.     Golongan Yang Berhak Menerima Zakat
Al Quran menjelaskan bahwa orang – orang yang berhak menerima zakat adalah delapan orang sebagaimana yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60 sebagai berikut :
$yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ  
Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Delapan orang yang berhak tersebut adalah :
1.      Faqir, yaitu orang yang mempunyai harta sedikit yang hanya cukup untuk hidup.
2.      Miskin, yaitu orang yang tidak mempunyai harta (orang yang tidak punya). Baik faqir maupun miskin keduanya membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Akan tetapi keadaan orang miskin lebih buruk daripada orang – orang fakir.
3.      Amil, yaitu orang yang bertugas mengumpulkan zakat.[10] Mereka melakukan pengelolaan terhadap zakat, mulai dari mengumpulkan zakat, menentukan siapa yang berhak, mencari mereka, maupun membagi dan mengantarkan kepada mereka.[11]
4.      Al muallafah qulubuhum, yaitu mereka adalah kaum yang dikehendaki agar hatinya cenderung atau tetap kepada Islam, menghentikan kejahatannya kepada kaum muslim, atau diharapkan memberi manfaat dalam melindungi muslimin. Mereka terbagi menjadi tiga golongan, yaitu ;
-          Kaum kafir yang diharapkan akan beriman dengan membujuk hatinya.
-          Kaum yang keislamannya masih lemah. Dengan pemberian ini diharapkan keislaman dan keimanannya menjadi kuat.
-          Kaum muslim yang berjaga – jaga di pelabuhan dan perbatasan negeri musuh. Mereka diberi sedekah dengan harapan dapat melindungi kaum muslimin apabila musuh menyerang mereka.
Abu Hanifah mengatakan bahwa bagian orang – orang tersebut telah terputus dengan dijayakannya Islam oleh Alloh. Hal tersebut didasarkan pada tindakan Umar yang tidak memberi seorang musyrik yang meminta harta, lalu Umar membacakan ayat[12] :
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4
Artinya : dan katakanlah: "kebenaran itu datangnya dari tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
5.      Ar riqob,  yaitu berinfak untuk memerdekakan budak sehingga mereka terbebas dari perbudakan.[13]
6.      Gharimin, yakni mereka yang dililit hutang sehingga tidak mampu membayarnya, walaupun yang bersangkutan memiliki kecukupan untuk kebutuhan hidup. Mereka yang berhak menerima adalah mereka yang menggunakan hutang tersebut bukan untuk berfoya – foya apalagi untuk kedurhakaan.[14]
7.      Fi Sabilillah, yaitu orang – orang yang berperang dan mempersiapkan dirinya untuk berjihad. Termasuk dalam hal ini adalah seluruh kebaikan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin yang karenanya luruslah urusan agama dan Negara.
8.      Ibnu sabil, yakni orang yang jauh dari negerinya dalam suatu perjalanan dan sulit baginya untuk memperoleh sebagian harta, meskipun dia kaya di negeri asalnya, namun fakir dalam perjalanannya.[15]

D.    Lembaga Wakaf
1)      Pengertian Wakaf
Secara etimologi, kata wakaf berasal dari kata waqafa-yaqifu-waqfan, yang mempunyai arti berdiri tegak, menahan. Imam Hanafi memaknai wakaf sebagai sedekah yang kedudukannya seperti ‘ariyah (pinjam meminjam). Dalam ariyah benda ada ditangan peminjam sebagai pihak yang mengambil manfaat dari benda sewa sedangkan dalam benda wakaf sebaliknya, wakif tetap memilikinya namun tidak boleh mengambil manfaat dari benda tersebut, hanya memanfaatkan sedekahnya saja.
Adapun Imam Malik menyatakan, wakaf merupakan perbuatan wakif yang menyerahkan manfaat asset wakafnya, baik berupa hasil atau sewa, dengan sighat dalam jangka waktu yang dikehendaki oleh wakif. Pendapat Imam Hanafi dan Imam Malik tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan pendapat Jumhur ulama. Menurut mereka adalah menahan suatu benda yang dapat dimanfaatkan, sementara ‘ain asset tetap, tidak hilang atau tidak kurang, karena diambil benefitnya sepanjang penggunaan harta yang diperbolehkan menurut hukum islam.
Dari definisi wakaf yang telah disebutkan, yang disebut dengan wakaf adalah penyerahan aktiva seseorang atau badan hukum sebagai manifestasi kepatuhan terhadap agama dengan menggunakan manfaat benda wakaf untuk kepentingan umat, sedangkan subtansi aktivanya kekal dan tidak berkurang serta harta telah beralih hak kepemilikan menjadi milik Allah swt.[16]
 Sedangkan pengertian wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya  atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.[17]
Jumhur Ulama selain Imam Hanifah menyatakan, rukun wakaf terdiri dari wakif, maukuf bih, maukuf ‘alaih, dan sighat. Adapun menurut Imam Hanifah, apabila sighat telah diucapkan suatu perbuatan wakaf sah secara hukum karena beliau berpendapat unsure rukun hanya berupa pengucapan sighat.
PP No.28 tahun 1977 dan inpres No.1 tahun 1991 menyatakan, selain mengharuskan keberadaan empat rukun wakaf tersebut, PP juga menentukan kehadiran nadzir, saksi, dan PPAIW dalam ikatan wakaf. Selain rukun, wujud amal jariyah berupa wakaf akan dianggap sah oleh hukum apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.      Wakif  (orang/pemilik benda wakaf). Wakif menurut PP No.28 tahun 1977 pasal 1 ayat 2 adalah satu orang, sekelompok atau badan hukum yang mewakafkan tanahnya.
2.      Maukuf  bih (harta yang diwakafkan). KHI pasal 215 menyatakan, maukuf bih adalah semua benda baik benda bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran islam.
3.      Maukuf ‘alaih (sasaran wakaf). Sasaran wakaf dapat ditujukan kepada wakaf khairi dan wakaf ahli. Wakaf khairi adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Adapun wakaf ahli atau wakaf dzurri adalah wakaf yang diperuntukkan kepada orang tertentu.
4.      Sighat dalam PP No.28 tahun 1977 pasal 1 ayat 3 merupakan pernyataan kehendak wakif untuk mewakafkan tanah miliknya. Para ulama Imam Madzab sepakat sighat dalam wakaf harus dinyatakan secara jelas maupun kinayah, tertulis atau tersirat.
5.      Nadzir (pengelola wakaf) PP No.28 tahun 1977 menyatakan nadzir merupakan sekelompak orang atau badan hukum yang mememgang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan tujuannya.[18]

2)      Lembaga Wakaf
Wakaf di beberapa Negara telah mengalami perkembangan yang dikelola oleh lembaga tertentu. Misalnya, wakaf di Turki dikelola oleh Direktorat Jenderal Wakaf dan ada pula yang dikelola oleh mutawalli, di Pakistan pengelolaan wakaf dibawah Departemen Awqaf di setiap provinsi, di Bangladesh pengelolaan wakaf dikelola oleh Kantor Administrasi Wakaf dan Yayasan/Komite wakaf yang tidak terdaftar pada kantor administrasi wakaf kementerian agama Bangladesh, dan di Indonesia sendiri wakaf dikelola oleh BWI.
Di Indonesia, bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya dalam wakaf tanah. Kondisi ini tentu berkaitan dengan peraturan pemerintah yang selama ini hanya menetapkan objek wakaf dalam bentuk tanah dan ketentuan nadzir pun berupa nadzir tanah milik. Sementara masyarakat yang sebagian besar berada dalam kategori hidup tidak mampu belum dapat berpartisipasi dalam kegiatan wakaf karena keterbatasan dana yang mereka miliki. Bahkan banyak harta wakaf yang tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal apalagi untuk mengembangkannya. Di Indonesia sendiri sedikit sekali nadzir yang sukses dalam mengelola wakaf, misalnya Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Badan Wakaf UII, dan sebagainya.
Menurut Nasution, kondisi wakaf diperkirakan dilatarbelakangi karena tingkat pendidikan nadzir yang relative rendah dan kurang dibekali ilmu mengelola wakaf dengan baik sehingga terjadi mis-management, dan kurang mampu melihat peluang untuk memperdayakan harta wakaf. Meskipun wakaf telah memainkan peran penting sepanjang sejarah islam, namun lembaga wakaf belum dapat mengatasi berbagai masalah umat. Oleh karena itu, sampai saat ini belum ada Negara islam yang dikategorikan Negara maju.
Dalam wakaf dana jumlah besar yang diperoleh dari wakaf uang tentu harus dimanage secara benar dan transparan. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Amir Radjab Batubara tentang lembaga wakaf nasional dan alternative menghindari KKN. Beberapa alternative kelembagaan yang harus dilibatkan adalah institusi independen dirjen wakaf seperti di Mesir atau lembaga wakaf nasional yang berstatus swasta atau semi pemerintah, yang penting lembaga tersebut dibentuk oleh nadzir ditingkat masyarakat. Badan wakaf nasional itu terdiri dari berbagai para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan para cendekiawan lain yang memiliki perhatian terhadap pengelolaan wakaf. Selain itu, lembaga ini harus mempunyai prioritas yang besar , sehingga semua dana wakaf diserahkan ke Negara, baik wakaf lama atau wakaf baru.[19]
Adapun tujuan dari kepengurusan wakaf, antara lain:
1.      Meningkatkan kelayakan produksi harta wakaf sehingga mencapai target ideal untuk memberi manfaat yang besar
2.      Melindungi pokok-pokok harta wakaf dengan mengadakan pemeliharaan dan penjagaan yang baikdalam menginvestasikan harta wakaf
3.      Melaksanakan tugas distribusi hasil wakaf dengan baik kepada tujuan wakaf yang telah ditentukan
4.      Berpegang teguh pada syarat-syarat wakif, baik itu berkenaan dengan jenis investasi dan tujuan maupun dengan tujuan wakaf
5.      Memeberikan penjelasan kepada para dermawan dan mendorong mereka untuk melakukan wakaf baru.[20]    

    II.            KESIMPULAN
Lembaga keuangan Baitul maal telah berdiri semenjak masa Nabi dan bertugas mengelola dana – dana social, baik yang wajib maupun tidak seperti zakat, wakaf, infaq, shodaqoh, jizyah dan lain sebagainya. Keberadaannya senantiasa berkembang dan mengalami kemajuan sampai pada masa – masa sesudahnya. Akan tetapi keberadaan baitul maal mulai tergeser semenjak kedatangan tentara Mongol yang menjajah Negara – Negara Islam.
Lembaga amil zakat di Indonesia bertugas melakukan pengelolaan zakat, baik mengumpulkan, menentukan mustahiq, mengantarkan zakat kepada yang berhak berdasarkan ketentuan syariat dan peraturan perundang – undangan. Begitu halnya dengan lembaga wakaf yang bertugas mengelola harta wakaf serta mentashorufkan manfaat kepada yang berhak.


[2] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), Yogyakarta : UII Press, 2004, Hal. 56 – 57.
[4] Ibid, hal. 58 – 61.
[5]  Yakni memberlakukan pajak tanah dan pajak kepala kepada para kafir dzimmi serta zakat kepada para penduduk muslim. Namun pada masa Muawiyah ini terjadi perubahan kebijakan atas pajak tanah, dimana semua warga wajib membayar pajak tanah. Sementara pajak kepala hanya berlaku bagi warga non muslim.
[6] Ibid, hal. 62 – 65.
[7] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.305
[8] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.307
[9] Osmad Muthaher, Akuntansi Perbankan Syariah, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm.184
[10] Muhammad ‘Ali Al Shobuni, Shofwah At Tafasir, Beirut : Dar Al Fikr, Hal. 543.
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah Pesan, Kesan Dan Keserasian Al Quran, Tangerang : Lentera Hati, 2005, Hal. 631.
[12] Ahmad Mustafa Al Maragi, Tafsir Al Maragi, Penerj. Hery Noer Aly Dkk, Semarang : Thoha Putra, 1992, Hal. 242 – 243.
[13] Muhammad ‘Ali Al Shobuni, Loc.Cit.
[14] M. Quraish Shihab, Op.Cit, Hal. 633.
[15] Ahmad Mustafa Al Maragi, Op.cit, Hal. 245.
[16] Nurul Huda dan Muhamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis, Jakarta: Kencana Prenada Media grup, 2010, cetakan pertama, hal 308-311
[17] Kompilasi Hukum Islam, pasal 1.
[18] Nurul Huda dan Muhamad Heykal, Op.Cit, hal. 311-313.
[19] Ibid, hal.321-325.
[20] Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Khalifa, 2000,  cetakan pertama, hal.321-322.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ringkasan Nahwu

kaidah ghoiru asasiyah

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA