leasing



I.                   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Leasing
Istilah leasing berasal dari kata lease dalam bahasa Inggris. Di dalam pasal 1 ayat (1) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Perindustrian dan Perdagangan Nomor : KEP-122/MK/IV/2/1974, Nomor : 32/M/SK/2/1974 dan Nomor : 30/KPB/I/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing telah ditentukan pengertian leasing. Leasing adalah : “Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala, disertai hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai-nilai sisa yang disepakati.”[1]
Adapun Leasing (Sewa Guna Usaha/SGU) menurut KMK No. 1169/KMK.01/1991 adalah “kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.”
Menurut Subekti leasing adalah “perjanjian sewa-menyewa yang telah berkembang di kalangan pengusaha, di mana leasor (pihak yang menyewakan, yang sering merupakan perusahaan leasing) menyewakan suatu perangkat alat perusahaan (mesin-mesin) termasuk servis, pemeliharaan dan lain-lain kepada lessee (penyewa) untuk suatu jangka waktu tertentu.”[2]
Selain itu, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mendefinisikan bahwa leasing adalah “suatu perjanjian di mana si penyewa barang modal (lessee) menyewa barang modal untuk usaha tertentu, untuk jangka waktu tertentu dan sejumlah angsuran tertentu.”[3] Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa leasing (sewa guna usaha) merupakan suatu kontrak atau persetujuan sewa-menyewa yang telah berkembang dari antar pihak (kebanyakan perusahaan) untuk memenuhi kebutuhan suatu usaha dengan jangka waktu dan angsuran tertentu.
Pada umumnya tujuan utama dari perjanjian leasing adalah memperoleh hak untuk memakai benda milik orang lain. Latar belakang tujuan ini adalah berdasarkan berbagai pertimbangan ekonomis berkenaan dengan pilihan-pilihan yang harus dilakukan oleh badan usaha. Apabila suatu badan usaha memerlukan alat-alat produksi atau barang-barang modal, maka pertama kali badan usaha tersebut harus menghadapi pilihan antara lain :
1.      Memperoleh hak untuk memakai suatu benda tanpa sekaligus memperoleh hak milik atas benda tersebut;
2.      Memperoleh hak untuk memakai suatu benda tersebut dengan sekaligus memperoleh hak milik atas benda tersebut.
Pilihan ini harus dilakukan mengingat adanya resiko ekonomis yang terikat pada pemilikan suatu benda. Yang di maksud dengan resiko ekonomis di sini adalah resiko yang berkenaan dengan kemungkinan bertambah atau berkurangnya nilai suatu benda yang dimiliki. Resiko ekonomis dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu :
a.       Akibat pemilikan suatu benda di bidang perpajakan;
b.      Kemungkinan timbulnya repercusie dalam struktur pembiayaan.[4]
Adapun pihak yang terikat dalam perjanjian leasing ini terdiri dari beberapa pihak, yaitu :
1.      Lessor, adalah pihak yang menyewakan barang, dapat terdiri dari beberapa perusahaan. Di sebut juga sebagai investor, owner, dll.
2.      Lessee
Yaitu pihak yang menikmati barang tersebut dengan membayar sewa dan mempunyai hak opsi.
3.      Kreditur(lender)
Dapat di sebut juga Debt Holder atau Loan Participants dalam transaksi leasing. Mereka umumnya terdiri dari Bank, Company, Yayasan, dll.
4.      Supplier
Adalah penjual dan pemilik barang yang disewakan, dapat terdiri dari perusahaan yang berada di dalam negeri atau mempunyai kantor pusat di luar negeri.[5]

B.     Macam-macam Leasing
Dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna (Leasing) ditentukan dua jenis leasing, yaitu:
a)      finance lease (sewa guna usaha dengan hak opsi)
b)      operating lease (sewa guna usaha dengan tanpa hak opsi)
Yang diartikan dengan finance lease adalah kegiatan guna usaha, dimana penyewa guna usaha pada akhir masa kontrak mempunyai hak untuk membeli objek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama (Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan). Ada 3 (tiga) unsur yang tercantum dalam definisi di atas, yaitu:
-        adanya pihak lessor dan lessee;
-        adanya hak opsi;
-        didasarkan atas nilai sisa (residu)
Hak opsi adalah hak yang diberikan kepada lessee untuk membeli objek leasing pada akhir masa kontrak, yang didasarkan pada nilai sisa (residu).
Yang dimaksud dengan operating lease adalah kegiatan sewa guna usaha, dimana penyewa guna usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa (Pasal 1 e Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan). Kegiatan leasing digolongkan sebagai operating lease apabila memenuhi semua kriteria berikut ini.
-        Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang dileasingkan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor.
-        Perjanjian leasing tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee (Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna (Leasing)).[6]

C.    Tata Cara Leasing
Dalam melakukan perjanjian leasing terdapat prosedur dan mekanisme yang harus dijalankan yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut ;
1.      Lesse bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksudkan.
2.      Setelah lesse mengisi formulir permohonan lease, maka dikirimkan kepada lessor disertai dokumen lengkap.
3.      Lessor mengevakuasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui lesse (lama kontrak pembayaran sew lease), setelah ini maka kontrak lease dapat ditandatangani.
4.      Pada saat yang sama, lesse dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang dilease dengan perusahaan asuransi yang disetujui lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama. Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan supplier peralatan tersebut.
5.      Supplier dapat mengirimkan peralatan yang dilease ke lokasi lesse. Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian purna jual.
6.      Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada supplier.
7.      Supplier menyerahkan tanda terima (yang diterima dari lesse), bukti pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada supplier.
8.      Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier.
9.      Lesse membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah dditentukan dalam kontrak lease.[7]

D.    Bentuk Dan Isi Kontrak Leasing
Perjanjian yang dibuat antara lessor dengan lessee disebut lease agrement, dimana didalam perjanjian tersebut memuat kontrak kerja bersyarat antara kedua belah pihak. Dalam pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Guna Usaha (leasing) ditentukan bahwa setiap transaksi sewa guna usaha wajib diikat dalam lease agrement. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat tersebut berbentuk tertulis, baik dalam bentuk akta bawah tangan maupun akta autentik. Isi kontrak yang dibuat secara umum memuat antara lain ;
1)      Jenis transaksi sewa guna usaha
2)      Nama dan alamat masing-masing pihak
3)      Nama, jenis, tipe, dan lokasi pengguanaan barang modal
4)      Harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa guna usaha, angsuran pokok pembiayaan, imbalan jasa sewa guna usaha, nilai sisa, simpanan jaminan, dan ketentuan angsuran atas barang modal yang disewa guna usahakan.
5)      Masa sewa guna usaha
6)      Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa guna usaha yang dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal yang disewa guna usaha dengan hak opsi hilang, rusak, atau tidak berfungsi karena sebab apapun
7)      Opsi bagi penyewa guna usaha dalam hal transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi
8)      Tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa guna usaha.[8]

E.     Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa dalam kontrak leasing dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Namun, di dalam substansi kontrak-kontrak yang distandardisasi oleh lessor, maka tempat penyelesaian sengketa yang timbul antara lessor dan lessee adalah Pengadilan Negeri Pusat.[9]


[1]  Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, Hal. 139.
[2] Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995, Hal. 55.
[3] Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, Hal. 140.
[4] Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, Hal. 141-142.
[5] Djoko Prakoso, Leasing Dan Permasalahannya, Semarang : Dahara Prize, 1996, Hal. 3-4.
[6] Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, Hal. 143-144.
[7] http://bagus-ahmad.blogspot.com/2013/12/makalah-leasing.html, Diakses pada Kamis, 19 Juni 2014, 15 : 04.
[8] Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, Hal. 149.
[9] Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, Hal. 163.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ringkasan Nahwu

kaidah ghoiru asasiyah

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA