hadis wakaf



I.                   PEMBAHASAN
A.    Hadits tentang Wakaf
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثنَا يَزِيْدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما قَالَ أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطٌّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِى بِهِ قَالَ "إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا" فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوْهَبُ وَلاَ يُوْرَثُ، فِى الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِى سَبِيْلِ اللهِ وَالضَيْفِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَلاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالمَعْرُوْفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيْقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيْهِ .
Telah  bercerita  kepada  kami  Musaddad telah  bercerita  kepada  kami  Yazid bin Zurai' telah  bercerita  kepada  kami  Ibnu  'Aun  dari  Nafi'  dari  Ibnu  'Umar  radliallahu  'anhuma berkata;  'Umar  mendapatkan  harta  berupa  tanah  di  Khaibar  lalu  dia  menemui  Nabi shallallahu  'alaihi  wasallam  dan  berkata:  "Aku  mendapatkan  harta  dan  belum  pernah  aku mendapatkan  harta  yang  lebih  berharga  darinya.  Bagaimana  Tuan  memerintahkan  aku tentangnya?" Beliau bersabda: "Jika kamu mau, kamu pelihara pohon-pohonnya lalu kamu shadaqahkan  (hasil)  nya".  Maka  'Umar  menshadaqahkannya,  dimana  tidak  dijual pepohonannya  tidak  juga  dihibahkannya  dan  juga  tidak  diwariskannya,  (namun  dia menshadaqahkan  hartanya  itu)  untuk  para  fakir,  kerabat,.  untuk  membebaskan  budak,  fii sabilillah  (di  jalan  Allah),  untuk  menjamu  tamu  dan  ibnu  sabil.  Dan  tidak  dosa  bagi  orang yang  mengurusnya  untuk  memakan  darinya  dengan  cara  yang  ma'ruf  (benar)  dan  untuk memberi makan teman-temannya asal bukan untuk maksud menimbunnya.[1]
Hadits tersebut merupakan hadits yang menjelaskan tentang peristiwa wakaf pada masa Rasulullah. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa wakaf pertama dalam Islam. Umar RA yang pada waktu itu mendapatkan tanah dari peperangan Khaibar kebingungan sehingga bertanya kepada Nabi tentang apa yang harus dilakukan. Nabi menjawab “Jika kamu mau, kamu pelihara pohon-pohonnya lalu kamu shadaqahkan  (hasil)  nya”.  Lalu Umar mewakafkan tanah tersebut dengan tidak menjual, menghibahkan maupun mewariskan tanah tersebut. Hadis tersebut mengandung beberapa pesan antara lain :
1.      Hadis ini menunjukkan keabsahan wakaf, dan bahwa ia bertentangan dengan kejelekan – kejelekan jahiliyyah. Keabsahannya juga ditunjukkan oleh ijma’ umat Islam mengenai keabsahan masjid dan pengairan.
2.      Harta wakaf tidak boleh dihibahkan, dijual dan diwariskan.
3.      Syarat – syarat pemberi wakaf itu hukumnya sah.
4.      Keutamaan wakaf.
5.      Keutamaan menginfakkan harta yang dicintai.[2]
B.     Penjelasan Tentang Wakaf
Wakaf secara bahasa berarti berhenti, berasal dari kata waqafa – yaqifu- waqfan – wuqufan yang merupakan lawan dari istamarra.[3] Kata wakaf juga sama dengan kata ahbasa sebagaimana lafadz habbasa wa ahbasa al mal yang berarti dia mewakafkan harta. Wakaf juga dikenal dalam ilmu tajwid yang bermakna menghentikan bacaan, baik seterusnya maupun hanya untuk sekedar mengambil nafas sementara. Bahkan wakaf juga dikaitkan dengan wukuf yang berarti berdiam di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah ketika menjalankan ibadah Haji.[4]
Secara istilah, wakaf adalah satu bentuk penyerahan milik kepada seseorang maupun lembaga sosial dimana hak kepemilikan tetap berada pada pemberi wakaf (wakif), namun hasilnya dimanfaatkan untuk fakir miskin. Definisi lain menyatakan bahwa wakaf adalah seseorang mengikrarkan peralihan hak miliknya secara tetap kepada seseorang yang boleh mengelola benda yang diwakafkan untuk manfaat sosial (rumah yatim, pendidikan, rumah sakit, dan sebagainya).[5]
Wakaf, sebagaimana diuraikan di atas, adalah merupakan perbuatan hukum, yang untuk sah pelaksanaannya harus memenuhi rukun dan syarat-syarat yang ditetapkan.  Rukun Wakaf ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).[6]
Masing-masing rukun ini mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi. Seperti syarat rukun pertama, yaitu waqif, harus merdeka, berakal sehat, dewasa, tidak dilarang melakukan tindakan hukum seperti tidak berada di bawah pengampuan karena boros atau lalai. Rukun kedua, yaitu harta yang diwakafkan, syaratnya antara lain: harta yang diwakafkan harus berupa benda tetap karena wakaf itu untuk selamanya, syarat lainnya seperti: benda yang diwakafkan milik wakif. Sedang untuk rukun ketiga: pihak yang menerima wakaf syaratnya: harus menggunakan barang wakaf tersebut untuk kebaikan karena wakaf adalah amal perbuatan untuk mendekatkan kepada Allah; penerima perorangan/umum harus dapat memiliki harta yang diwakafkan kepadanya; penerima harus orang Islam: penerima wakaf harus untuk kepentingan umum yang tidak ada unsur maksiat. Sementara rukun syarat shighat (ikrar wakaf) adalah: harus munjazah (terjadi seketika/selesai). Maksudnya, shighat itu menunjukkan terjadi dan terlaksananya wakaf seketika setelah ijab diucapkan atau ditulis. Tidak diikuti syarat batil yang dapat merusak hakekat wakaf. Tidak diikuti batas waktu tertentu. [7]

C.    Pandangan Tentang Wakaf Tunai
Wakaf uang yang merupakan terjemahan dari istilah cash waqf, gagasan A. Manan yang populer di Bangladesh didefinisikan oleh Departemen Agama sebagai wakaf yang dilakukan seseorang, sekelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang. Oleh karena itu wakaf tunai merupakan salah satu bentuk wakaf yang diserahkan oleh wakif dalam bentuk uang tunai. Definisi tersebut sesuai dengan yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI tentang wakaf uang[8].
الوقف هو حبس مال يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه بقطع فى رقبته على مصرف مباح موجود
Wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyapnya bendanya ataupun pokoknya dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan atau mewariskannya) untuk disalurkan hasilnya pada sesuatu yang mubah yang ada.
Dalam definisi tersebut dapat diketahui bahwa wakaf tidak hanya terbatas pada benda yang tetap wujudnya, namun bisa juga berupa benda yang tetap nilai atau pokoknya. Uang merupakan benda yang tetap pokoknya, oleh karena itu definisi MUI tersebut merupakan legitimasi terhadap diperbolehkannya wakaf uang.[9]
Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi masalah wakaf uang ini. Perbedaan tersebut antara lain :
1.      Imam az Zuhri menyatakan bahwa wakaf uang boleh dengan cara menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha yang kemudian hasilnya disalurkan kepada mauquf ‘alaih (pengelola).
2.      Madzhab Hanafi, sebagaimana yang disampaikan Wahbah Az Zuhaily juga membolehkan wakaf uang sebagai pengecualian berdasarkan istihsan bil ‘urf.[10] Hal tersebut karena hukum yang didasarkan pada ‘urf mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.[11]
3.      Madzhab Syafi’i berpandangan bahwa wakaf uang tidak diperbolehkan karena dinar dan dirham akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya.
4.      Imam Maliki memandang bahwa “keabadian” tersebut lebih kepada sifat dasar barang yang diwakafkan baik aset tetap maupun aset bergerak.
5.      Abu Tsaur mengatakan bahwa Imam Syafi’i juga membolehkan wakaf uang sebagaimana yang ditulis oleh al Mawardi (Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham).
6.      MUI juga mengeluarkan fatwa mengenai diperbolehkannya wakaf uang. Termasuk di dalamnya adalah surat – surat berharga. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal – hal yang dibolehkan secara syar’i.[12]
Wakaf merupakan semangat Islam untuk membantu kesejahteraan umatnya. Tujuan dari adanya wakaf adalah hasil dari manfaat wakaf yang diusahakan. Oleh karena itu, inti dari ajaran wakaf adalah agar harta wakaf itu tidak hanya dipendam tanpa hasil yang akan dinikmati oleh mauquf ‘alaih. Semakin banyak hasil dari harta wakaf yang dapat dinikmati orang, tentu akan semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada pihak wakif. Berdasarkan hal tersebut, sudah menjadi kewajiban bagi nadzir untuk mengembangkan harta wakaf tersebut secara produktif.[13]
Semangat tersebut tertulis secara eksplisit dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jama’ah selain al Bukhari dan Ibn Majah dari Abu Hurairah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا مَاتَ اَلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالَحٍ يَدْعُو لَهُ )
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada orang meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (yang mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan untuknya."[14]
Hadis tersebut menjelaskan bahwa amal seseorang itu putus bila dia meninggal dunia. Begitu juga terputus pahalanya kecuali dalam tiga perkara tersebut yang akan terus mengalir pahalanya bahkan setelah dia meninggal dunia. Para ulama mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan amal tersebut berasal dari jerih payahnya sendiri. Doa anak yang sholih akan sampai kepada kedua orang tuanya, begitu juga ilmu yang ditinggalkan dari kegiatan mengajar dan sedekah jariyah yaitu wakaf.
Prof. Dr. M. A. Mannan, seorang ekonom Bangladesh memiliki pemikiran tentang wakaf tunai. Paling tidak ada 4 manfaat utama yang diperoleh dari wakaf tunai yaitu :
1.      Wakaf tunai bisa bervariasi jumlahnya, sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas bisa memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu.
2.      Melalui wakaf uang, aset – aset wakaf yang berupa tanah – tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.
3.      Dana wakaf juga bisa digunakan untuk membantu sebagian lembaga – lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya terkadang kembang – kempis dan menggaji civitas akademika.
4.      Pada gilirannya, Insya Allah umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan pendidikan tanpa harus tergantung pada anggaran dana APBN yang semakin lama semakin terbatas.[15]
Selain itu, wakaf juga mempunyai banyak keutamaan sebagaimana disebutkan dalam Al Quran dan al Sunnah. Diantaranya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Wakaf menanamkan sifat zuhud dan melatih menolong kepentingan orang lain.
2.      Menghidupkan lembaga – lembaga sosial maupun keagamaan demi syi’ar Islam dan keunggulan kaum muslimin.
3.      Menanamkan kesadaran bahwa didalam setiap harta benda meski telah menjadi milik sah, namun mempunyai fungsi sosial.
4.      Wakaf menyadarkan seseorang bahwa kehidupan akhirat memerlukan persiapan yang cukup. Wakaf adalah tindakan hukum yang menjanjikan pahala yang berkesinambungan.
Demikianlah beberapa keutamaan wakaf dan masih banyak keutamaan lainnya.[16]

II.                KESIMPULAN
Rukun Wakaf ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah). syarat rukun pertama, yaitu waqif, harus merdeka, berakal sehat, dewasa. Syarat rukun yang kedua antara lain: harta yang diwakafkan harus berupa benda tetap, benda yang diwakafkan milik wakif. Sedang syarat rukun yang ketiga: harus menggunakan barang wakaf tersebut untuk kebaikan; penerima harus orang Islam. Sementara rukun syarat shighat (ikrar wakaf) adalah: harus munjazah (terjadi seketika/selesai).
Wakaf sangat dianjurkan dalam syariat Islam karena mempunyai pengaruh yang amat besar, terutama dalam perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umat manusia. Seiring dengan berkembangnya zaman dan roda perekonomian serta ilmu pengetahuan dan teknologi, objek wakaf tidak hanya dibatasi pada benda – benda tidak bergerak. Para ulama mulai melirik tentang pengelolaan wakaf tunai, dimana didalamnya juga terkandung berbagai jenis maslahah, sehingga tiap kalangan bisa menyisihkan sedikit hartanya untuk wakaf tanpa harus menunggu menjadi kaya terlebih dahulu.


[1] Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim Bin Al Mughirah Al Bukhary, Al Jami’u Al Shahih (Shahih Al Bukhari), Natata Ebook Compiler : Natata Software, 2002, Hadits No. 2811.
[2] Imam An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Penj, Misbah, Jakarta : Pustakaazzam, 2011, Hal. 227.
[3] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, Hal.1576.
[4] Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat, Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007, Hal. 29.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadits – Hadits Hukum 3, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2011, Hal. 486-487.
[8] Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 menyebutkan wakaf uang adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian uang miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
[9] Sudirman Hasan, Wakaf Uang Perspektif Fiqih, Hukum Positif dan Manajemen, Malang : UIN Maliki Press, 2011, hal. 20-22.
[10] Argumen ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah Bin Mas’ud yang berbunyi فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن، وما رأوا سيئا فهو عند الله سيئ
[11] Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu 10, Penj, Abdul Hayyie Al Kattani Dkk, Jakarta : Gema Insani kerjasama dengan Darulfikir Kuala Lumpur, 2011, hal. 279.
[12] Sudirman Hasan, Wakaf Uang Perspektif Fiqih, Hukum Positif dan Manajemen, Malang : UIN Maliki Press, 2011, 30.
[13] Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah,Edt., Wakaf Tunai – Inovasi Finansial Islam Peluang Dan Tantangan Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, Jakarta : PSTTI-UI, 2006, Hal. 94-95.
[14] Muhammad Bin Ismail Al Amir Ash Shan’ani, Subul As Salam Syarah Bulughul Maram, Jakarta : Darus Sunnah Press, 2013, Hal. 540.
[15] Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf Dan Kesejahteraan Umat, Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007, Hal. 79-80.
[16] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Pt Raja Grafindo Persada, 1997, Hal. 487.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA

ringkasan Nahwu