kaidah - kaidah tafsir part I
KAIDAH – KAIDAH TAFSIR
Disusun oleh :
Miftakul
Khoiriyah (122111135)
Zuhrul Anam (122111136)
Susilo Wario (122111140)
FAKULTAS
SYARIAH DAN EKONOMI
ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
PENDAHULUAN
Al Quran sebagai pedoman manusia mengandung
keindahan dan kehebatan yang sangat luar biasa. Ia disusun dengan bahasa yang
sangat indah. Kandungan sastranya yang begitu tinggi membuat orang – orang
tidak mampu menandingi kehebatannya. Disamping itu, Al Quran merupakan rujukan
dari semua tingkah laku (akhlak) Nabi SAW. Meskipun demikian, karena
kehebatannya yang luar biasa itulah, terkadang terdapat masalah – masalah yang
belum begitu jelas. Oleh karena itu diperlukan penafsiran terhadap ayat – ayat
Al Quan tersebut. Akan tetapi, untuk menghindari terjadinya penafsiran
–penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud dari kandungan Al Quran tersebut,
sehingga dibentuklah kaidah – kaidah sebagai pedoman bagi seorang mufassir
untuk menafsirkan. Dengan makalah singkat ini, kami berusaha menyampaikan untuk
bersama – sama belajar tentang kaidah – kaidah tersebut. Dengan demikian Al
Quran tidak akan kehilangan eksistensinya sebagai kalam Alloh.
II.
RUMUSAN MASALAH
Sistematika pembahasan materi ini kami susun
sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah – kaidah tafsir ?
2. Bagaimana penjelasan dari kaidah – kaidah tafsir tersebut ?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah – Kaidah Tafsir
Kaidah – kaidah tafsir (qawaid al tafsir)
terdiri dari dua kata, yakni qawaid dan tafsir. Qawaid
adalah bentuk jama’ dari qa’idah yang berarti dasar, alas, pondamen,
peraturan, kaidah. [1] Para
ahli tafsir memberikan istilah :
حكم كلي يتعرف به على احكام جزئياته
hukum/aturan yang bersifat menyeluruh/ umum yang dengan aturan – aturan
yang umum itu bisa dikenali hukum –
hukum juz’i.[2]
Sedangkan kata tafsir merupakan mashdar
dari lafadz fassara yang berarti menerangkan, menjelaskan, memberi komentar, menampakkan, memerinci. [3]
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan lafadz tafsir tersebut.
Namun pada dasarnya tafsir adalah rangkaian penjelasan dari suatu
pembicaraan atau teks (Al Quran).
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa qawaid
al tafsir adalah pedoman – pedoman yang disusun ulama’ dengan kajian yang
mendalam untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam memahami makna – makna Al
Quran, hukum – hukum dan petunjuk yang terkandung di dalamnya.[4]
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, MA. SH. dengan mengutip pendapat Khalid Utsman
al Sabt menyebutkan bahwa qawaid al tafsir adalah :
الأحكام الكلية التى يتوصل بها إلى استنباط معانى القران
العظيم ومعرفة كيفية الإستفاد منها
Rangkaian aturan yang bersifat umum yang mengantarkan seseorang untuk
mengistinbatkan makna – makna Al Quran dan mengenali cara memperoleh atau
menghasilkan pemahaman itu sendiri.
B. Penjelasan Kaidah – Kaidah Tafsir
Kaidah digunakan untuk menjadi acuan seseorang -dalam hal ini para
mufassir- untuk menentukan atau menjelaskan suatu kajian. Dalam bidang
penafsiran Al Quran sendiri, terdapat kaidah – kaidah yang harus diperhatikan
oleh para mufassir. Dengan adanya kaidah – kaidah tersebut diharapkan ayat –
ayat Al Quran dapat dipahami dengan baik. Adapun kaidah – kaidah tersebut
antara lain :
1. Kaidah Bahasa
Al Quran diturunkan menggunakan bahasa Arab. Meskipun
demikian, tidak semua orang Arab mampu memahami bahasa Al Quran sehingga
diperlukan penjelasan – penjelasan yang lain. Begitu juga dengan orang – orang
yang bukan berasal dari bangsa Arab. Oleh karena itu diperlukan adanya pedoman
(terkait kebahasaan) bagi seseorang yang hendak menafsirkan Al Quran. Diantara
kaidah – kaidah kebahasaan itu antara lain:
a. Dhomir
Dalam kaidah ini terdapat beberapa aturan,
antara lain:
-
Pada dasarnya dhomir digunakan untuk
mempersingkat perkataan tanpa merubah maknanya. Dhomir ini berfungsi
menggantikan penyebutan kata – kata yang banyak dan tidak mengubah makna yang
dimaksud. Sebagai contoh
إِنَّ
الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ
وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ
وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّآئِمِينَ وَالصَّآئِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ
وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أّعَدَّ اللهُ
لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا {35}
Dhomir “hum” pada ayat tersebut
menggantikan setidaknya 20 kata pada ayat tersebut. Kalau tidak menggunakan
dhomir, tentu kata – kata tersebut harus diulang lagi. [5]
-
Dhomir harus mempunyai marji’ untuk
tempat kembalinya. Sebagai contoh وَنَادَى نُوحُ ابْنَهُ , Dhomir pada lafadz ibnahu
kembali pada Nuh.[6]
-
Menurut asalnya dhomir itu kembali pada lafadz
yang paling dekat dengannya. Sebagai contoh :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ
عَدُوًّا شَيَاطِينَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ , يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ
شَآءَ رَبُّكَ مَافَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَايَفْتَرُونَ
Dhomir hum pada lafadz بَعْضُهُمْ tersebut kembali pada
lafadz شَيَاطِينَ
اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ yang lebih dekat.[7]
b. Pengulangan kata benda
Pengulangan sebuah kalimat isim mempunyai
empat kategori dan masing – masing mempunyai pengertian makna yang berbeda –
beda. Keempat kemungkinan tersebut adalah[8]
:
1. Ma’rifah – ma’rifah
Para ulama’ tafsir menyatakan bahwa kedua
kalimat tersebut bermakna sama (menunjuk satu objek). Seperti contoh :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ *
صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
.....
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْرًا * إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْرًا
إِنَّآ
أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
* أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ
الْخَالِصُ ,,,,,
2. Nakiroh – nakiroh
Pengulangan nakiroh dengan nakiroh merupakan
kebalikan dari ma’rifah dengan ma’rifah. Yang dimaksud adalah apabila ada
pengulangan dengan jenis ini maka kata yang kedua berbeda maknanya dengan kata
yang pertama, meskipun bentuk dan bacaannya sama dengan yang pertama. Seperti
contoh :
اللهُ
الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ
قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً
Ketiga lafadz ضَعْفٍ tersebut mempunyai arti yang berbeda. Kata yang pertama berarti
“nuthfah/sperma”, kata yang kedua “ masa kanak – kanak” dan kata yang ketiga
“masa tua”.
3. Nakiroh – ma’rifah
Pola kalimat seperti ini tidak jauh berbeda
pemahamannya dengan pola kalimat yang pertama, yakni antara kedua kalimat yang
sama tersebut meruju’ pada makna yang sama pula. Sebagai contoh lafadz رسول yang pertama dan yang kedua pada ayat :
كَمَآأَرْسَلْنَآ
إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولاً * فَعَصَى
فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلاً
menunjukkan pengertian yang sama, yakni Nabi Musa AS.
4. Ma’rifah – nakiroh
Jika lafadz yang pertama ma’rifah sedangkan
lafadz yang kedua nakiroh, maka dilihat bagaimana qarinahnya. Apabila qarinah
tersebut menunjukkan pemahaman yang berbeda maka pemahaman kedua kata tersebut
berbeda dan apabila menunjukkan pemahaman yang sama maka pemahaman kedua kata
tersebut sama. Sebagai contoh pola pertama :
وَيَوْمَ
تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَالَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ
كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ.
Lafadz السَّاعَةُ yang pertama bermakna “hari kiamat” sedangkan
yang kedua berarti “ saat, masa didunia”. Contoh pola yang kedua:
وَلَقَدْ
ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآنِ مِن كُلِّ مَثَلٍ لَّعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ {27} قُرْآَناً عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَّعَلَّهُمْ
يَتَّقُونَ.
Lafadz pada ayat tersebut mempunyai pengertian yang sama.
c. Kosakata yang terlihat bersinonim
Dalam Al Quran banyak sekali dijumpai
pemakaian kata yang lahirnya tampak bersinonim, namun masing – masing kata
tersebut mempunyai konotasi yang berbeda. Diantara kata – kata tersebut adalah
:
· وَالَّذِينَ
يَصِلُونَ مَآأَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ
سُوءَ الْحِسَابِ
(الرعد:21)
· يَعْمَلُونَ لَهُ
مَايَشَآءُ (
سبأ : 13) يَخَافُونَ
رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَايُؤْمَرُونَ (النحل:50)
Kata Khasyyah dan khauf pada
contoh pertama secara lughowi bermakna hampir sama. Namun konteks dari
lafadz khasyyah dalam Al Quran adalah rasa takut yang disertai dengan
hormat dan mengagungkan, sedangkan khauf
adalah rasa takut yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut.
Dalam contoh kedua, lafadz ‘amila
berkonotasi pada pekerjaan yang dilakukan dalam kurun waktu yang relatif lama.
Sedangkan lafadz fa’ala menggambarkan suatu perbuatan yang dilakukan
dalam waktu yang relatif singkat.[9]
d. Pertanyaan dan jawaban
Pada dasarnya sebuah jawaban harus sesuai
dengan pertanyaannya. Namun Al Quran memiliki pola tersendiri dalam menjawab
suatu pertanyaan. Pola dalam Al Quran itu antara lain[10]:
-
Terkadang jawaban itu menyimpang dari apa yang
dikehendaki oleh pertanyaan. Hal tersebut sebagai peringatan bahwa jawaban itu
yang seharusnya ditanyakan. Contoh: يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ
هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ.
Pertanyaan tersebut berkaitan dengan kondisi bulan yang pada awalnya kecil dan
tipis dari malam ke malam bertambah besar sampai purnama, lalu mengecil lagi
terus menerus sampai kembali seperti semula. Namun jawaban yang diberikan
berupa fungsi / hikmah dari bulan yaitu sebagai sarana untuk mengetahui waktu
dan musim haji.
-
Terkadang
jawaban itu lebih umum dari yang dari yang ditanyakan karena memang hal
tersebut dianggap perlu. Seperti contoh :
قُلْ
مَن يُنَجِّيكُم مِّنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضُرُّعًا
وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ *
قُلِ اللهُ يُنَجِّيكُم مِّنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنتُمْ تُشْرِكُونَ *
-
Terkadang
jawaban itu lebih sempit dari yang ditanyakan. Contoh :
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ايَاتُنَا
بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لاَيَرْجُونَ لِقَآئَنَا ائْتِ بِقُرْآنٍ غَيْرِ هَذَآ
أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَايَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِن تِلْقَآئى نَفْسِي
e. Khitob kalimat isim dan fi’il
Khitob dengan menggunakan kalimat isim berbeda konotasi
dengan khitob yang menggunakan kalimat fi’il. Kata benda (jumlah ismiyyah)
mengandung makna tetap dan terus menerus tanpa terputus (tsubut wa istimrar).
Sedangkan kata kerja (jumlah fi’liyyah) menunjukkan arti baru dan
temporal (tajaddud wa huduts). Sebagai contoh :
إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ
ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Alloh disebut dengan ar Razzaq, karena
sifat itu tetap dan tidak berubah – ubah, sedangkan pekerjaannya menggunakan
lafadz yarzuqu. Hal tersebut menggambarkan bahwa pekerjaan itu terjadi
berulang – ulang dan berkesinambungan.
هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ
يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ
2. Kaidah Quraniyyah
Kaidah quraniyah ialah penafsiran
al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran. Beberapa kaidah yang
lazim digunakan dalam menjelaskan kaidah quraniyah antara lain sebagai berikut:
a) (suatu ibarat ayat di ambil dari umumnya lafal, bukan dari khususnya sebab
turunnya) ﺍﻠﻌﺑﺮﺓﺑﻌﻤﻭﻢﺍﻠﻠﻔﻅﻻﺑﺧﺻﻭﺺﺍﻠﺴﺑﺐ
Maksudnya yaitu jika satu nas
menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain
menerapkan nas tersebut, sekalipun nas tersebut turun untuk menanggapi suatu
peristiwa tertentu. Kaidah ini di pegang oleh mayoritas ulama dengan
argumentasinya yang bervariatif. Misalnya pada Q.S. Al-Maidah: 38 :
ﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻕﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻗﺔﻓﺎﻗﻄﻌﻭﺍﺍﻳﺩﻳﻬﻣﺎﺟﺯﺍﺀﺑﻣﺎﻛﺴﺑﺎﻧﻜﺎﻻﻣﻦﺍﷲﻭﺍﷲﻋﺯﻴﺯﺤﻜﻴﻢ
Artinya:
”
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
Dalam menanggapi ayat tersebut jumhur ulama terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Menerapkan langsung hukum tersebut tanpa memandang latar
belakang dan sabab al-nuzul. Maksudnya yaitu Allah swt Maha Perkasa dan Maha
Bijaksana, maka Ia memerintahkan memotong tangan pencuri dan menetapkan sanksi
kepada orang-orang yang melampaui batas sebagai hukum, takdir, dan ganjaran
bagi mereka.
b. Mengetahui sebab nuzulnya kemudian menganalisa unsur-unsur yang
melingkupinya, baik kualitas peristiwa, pelaku, tempat, maupun waktunya.
Maksudnya yaitu Allah Maha Bijaksana maka apabila orang tersebut bertaubat dan
kembali ke jalan Allah, maka Allah akan mengampuni dan mengasihinya. Maka
demikian pula hendaknya kita sebagai manusia juga bisa memaafkan orang
tersebut.
b) Kandungan suatu ayat yang memiliki keterkaitan dengan
nama Allah.
Dalam al-Qur’an Allah menutup ayat dengan al-asma’
al-husna yang mana tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa hukum yang
disebutkan dalam ayat itu memiliki keterkaitan dengan nama Allah yang mulia.
Kaidah ini sangat mendalam dan penting karena semua ayat –ayat yang berhubungan
dengan syari’at dan perintah serta tatanan etika bersumber dari nama dan
sifat-sifat tersebut dan berkaitan dengannya. Misalnya adalah firman Allah Q.S.
al-Baqarah: 29 :
Artinya: “……Lalu dijadikan-Nya tujuh hari dan Dia maha mengetahui sesuatu”.
(Q.S. al-Baqarah:29)
Allah
menjelaskan cakupan pengetahuan-Nya yang sangat luas setelah Ia menciptakan
langit dan bumi. Hal ini menunjukkan betapa Allah Maha Mengetahui tentang alam
dan Ia Maha Bijaksana karena telah menghamparkan-Nya untuk hamba-Nya serta Ia
telah memastikan penciptaan-Nya dengan sempurna.
c) Kaidah yang bertalian dengan muhkamat dan
mutasyabihat.
Artinya: “Muhkam adalah ayat yang menunjukkan
kejelasan terhadap maknanya tanpa ada
kesamaran padanya(ayat tersebut). Mutasabih adalah ayat yang samar (dalam
penunjukannya yang rajih) terhadap maknanya ”.
Adapun firman Allah Q.S. Ali Imran: 7:
Artinya:”Dialah (Allah) yang menurunkan
al-Kitab(al-Qur’an) kepada kalian. Di antara (sisi)-Nya terdapat ayat-ayat muhkamat.
Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an, dan yang lain adalah ayat-ayat mutasyabihat……..(Q.S.
Ali Imran:7) ”
[2] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu – Ilmu Al Quran 2, Jakarta : Penerbit
Pustaka Firdaus, 2001, hal. 162-163.
[5] Syaikh Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Quran, Penerjemah
Aunur Rafiq El Mazni, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2008, hal. 241. Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011,
hal. 291-292.
[6] Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, hal. 63. Keterangan lebih
lengkap bisa dilihat di Mabahits Fi Ulumil Quran (Syaikh Manna’
Qaththan) dan Wawasan Baru Ilmu Tafsir hal. 292-295.
[7] Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, hal. 63. Nashruddin Baidan,
Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hal. 295-296.
[8] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hal. 302-308. Syaikh
Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al Quran, hal. 247-248.
[9] Syaikh Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Quran, hal. 251.
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 317-320.
[10] Syaikh Manna’ Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Quran, hal. 252-253.
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, hal. 66-67. Nashruddin Baidan, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir, hal. 326-330.
Komentar