Thoriqoh yang berkembang di Indonesia

I.         PENDAHULUAN
Kajian tasawuf  tidak dapat dipisahkan dengan kajian terhadap pelaksanaan di lapangan, yakni praktik ubudiyah dan mu’amalah dalam kerangka thariqah. Garis yang menyambung sejak masa Nabi sampai syaikh thariqah yang masih hidup saat ini adalah silsilah dan merupakan ciri khas yang terdapat dalam kajian ilmu tasawuf sehingga ajaran dan praktik keagamaan dianggap benar dan survive.
Keanekaragaman thariqah yang menyebar di seluruh dunia Islam ini, baik yang melalui perdagangan maupun politik tidaklah menjadikan lupa terhadap misi utama tasawuf dan thariqah, yaitu mendekatkan diri kepada Alloh. Kehadirannya bagaikan oase di tengah padang nan tandus bagi mereka yang bosan akan hingar – bingar kehidupan yang sama sekali tidak memberikan kepuasan jiwa.
Dalam penyebarannya di Indonesia, Islam datang harus melewati jalan, rentang waktu serta corak pemikiran yang panjang, di mulai dari Islam datang di pelabuhan-pelabuhan, diperkenalkan, dikembangkan, dimantapkan, dan diperbaharui. Islam yang datang ke Indonesia dengan transportasi laut harus menyusuri pantai Laut Merah, negeri Yaman, Hadramaut, Gujarat, Pulau Seylon, mungkin Teluk Benggala, selanjutnya sampai Patani-Thiland Selatan, baru sampai perlak. Dari Perlak menyusuri Banten, Gresik terus ke timur melalui Mataram (Lombok) ke Maluku[1].
Selanjutnya, jaringan hubungan seperti itu terus berlanjut timbale balik dari abad kea bad, generasi ke generasi, mula-mula berupa jaringan perdagangan, berlanjut kepada jaringan ulama’ sebagaimana disebutkan oleh Azyamurdi Azra, selanjutnya kepada jaringan tasawuf-tarekat sehingga perubahan apapun yang terjadi di pusat Islam Timur Tengah akan sangat mempengaruhi keadaan Islam di Indonesia[2]. 

II.      RUMUSAN MASALAH
1.    Apa pengertian thariqah?
2.    Apa tujuan thariqah?
3.    Bagaimana kedudukan thariqah?
4.    Apa thariqah yang berkembang di Indonesia?
5.    Bagaimana tatacara pelaksanaan thariqah?
6.    Apakah pengembangan akhlak dan tasawuf diperlukan?

III.   PEMBAHASAN
A.  Pengertian Thariqah
Perkataan tarekat secara harfiyah berasal dari bahasa arab ath Thariq (الطريق) yang berarti “jalan”. Dalam kamus Arab-Indonesia karya Prof. H. Mahmud Yunus, dijelaskan bahwa Thariqah ( طرائق, طريقة) mempunyai arti perjalanan hidup, hal, madzhab atau metode. Dalam hal ini, tarekat (Thariqah) berarti jalan atau madzhab atau metode yang ditempuh oleh para sufi untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan menaati ajaran-ajaranNya.
Dalam redaksi lain diterangkan bahwa pengertian thariqah dapat di bagi menjadi dua bagian :
a.       Thariqah berarti jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang telah ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi. Guru – guru yang memberikan petunjuk dan sekaligus sebagai pimpinan dinamakan mursyid.[3] Thariqah dalam pengertian ini berkedudukan sebagai amaliyah.
b.      Thariqah juga berarti organisasi yang tumbuh yang mencakup masalah sekitar metode sufi. Seorang pengikut akan memperoleh kemajuan – kemajuan dengan mengikuti sederet amalan – amalan berdasarkan tingkat pengikut thariqah. Dari sekedar pengikut biasa, lambat laun menjadi murid, selanjutnya menjadi khalifah dan pada akhirnya menjadi guru yang mandiri (mursyid).[4]
B.  Tujuan Thariqah
Sebagaimana yang dikatakan Syekh Najmuddin Kubro yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Abubakar Aceh bahwa syariat itu adalah uraian, thariqah adalah pelaksanaan, hakikat merupakan keadaan dan ma’rifat adalah tujuan pokok, yakni mengenal Alloh dengan sebenar – benarnya.[5]
Beberapa pakar teologi merinci tujuan-tujuan dari thoriqoh (tarekat) antara lain :
1.      Dengan melihat sisi pengamalan, tujuan tarekat berarti mengadakan latihan (riyadhah) dan berjuang melawan nafsu (mujahadah), membersihkan berdiri dari sifat-sifat yang tercela dan diisi dengan sifat-sifat yang terpuji dengan melalui perbaikan budi dalam berbagai segi.
2.      Dari sisi tadzakkur, tujuan tarekat mewujudkan rasa ingat kepada Allah Dzat Yang Maha Besar dan Maha Kuasa atas segalanya dengan melalui jalan mengamalkan wirid dan dzikir yang dibarengi dengan tafakur secara terus menerus.
3.      Tujuan tarekat terakhir, mencapai tingkat ma’rifat, hal ini apabila semua amalnya didasari akan keikhlasan dan ketaatan kepada Allah, sehingga akan dapat diketahui segala rahasia dibalik tabir cahaya Allah dan Rasul-Nya secara terang benderang.[6]

C.  KEDUDUKAN THARIQAH
Dalam Ilmu Tasawuf, syari’at itu merupakan peraturan, thoriqoh(tarekat) merupakan pelaksanaan, hakikat merupakan keadaan dan ma’rifat merupakan tujuan yang terakhir.[7]
Thariqah merupakan semacam keluarga besar, dan semua anggotanya menganggap diri mereka bersaudara satu sama lain. Maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam tarekat tidak hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah.
Adapun fungsi dari thariqoh adalah sebagai media unntuk membersihkan hati dari sifat-sifat yang rendah dan menghiasi dengan sifat-sifat yang terpuji. Orang yang masuk thoriqoh dengan niat sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka hukumnya fardhu ‘ain. Hal ini seperti hadits Rosululloh SAW yang artinya:”Menuntut ilmu diwajibkan bagi orang muslim”. Akan tetapi jika masuk thoriqoh dengan tujuan dzikir dan wirid, maka termasuk sunnnah Rosululloh SAW[8].
Jadi, jelaslah betapa pentingnya kedudukan thariqoh dalam mendalami syari’at Islam. Selain itu, juga sebagai pendekatan dalam rangka taqorrub kepada Alloh SWT.
D.  THARIQAH YANG BERKEMBANG DI INDONESIA
a.    Thariqoh Qodiriyah
Qadiriyah adalah nama thariqah yang diambil dari nama pendirinya yaitu Abdul Qadir Jilani yang terkenal dengan sebutan Syeikh Abdul Qadir Jilani Al Ghawts atau Quthb Al Auliya’. Beliau lahir di desa Naif kota Gilan, sebuah wilayah yang terletak di timur laut Baghdad tahun 470 H/1077 M dan wafat tahun 561 H/1166 M. Ibunya bernama Fathimah Binti Abdullah Al Sama’i Al Husyainy dan ayahnya bernama Abu Shalih. Jauh sebelum kelahirannya, ayahnya bermimpi bertemu Nabi diiringi para sahabat, mujahidin, imam dan wali. Nabi bersabda bahwa Alloh akan memberinya anak laki – laki yang akan mendapat pangkat yang tinggi dalam kewalian.[9]
Ajaran Syaikh Abdul Qadir Jilani tidak jauh berbeda dengan ajaran pokok islam, terutama ahlussunnah wal jama’ah. Beliau sangat menekankan tauhid dan akhlak terpuji. Dalam pandangannya, kehidupan yang termulia adalah kehidupan orang – orang yang sepenuhnya membaktikan diri kepada Alloh semata. Beliau selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia dengan cara taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha dan jujur.[10]
b.   Thariqah Syadiliyah
Thariqah ini didirikan oleh Ali Bin Abdullah Bin Abdul Jabbar Abu Al Hasan Al Syadzily. Silsilah keturunannya adalah Ali Bin Abdullah Bin Abd Jabbar Bin Yusuf Bin Ward Bin Batthal Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Isa Bin Muhammad Bin Hasan Bin ‘Ali Bin Abi Thalib. Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa beliau bernasab pada Husein Bin Ali Bin Abi Thalib. Beliau dilahirkan di desa Ghumara, di utara Maroko pada tahun 573 H. Ada yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 591 H/583 H/593 H. Beliau memiliki dua guru spiritual yaitu Abu Abdillah M Ibn Kharazim dan Abd Al Salam Ibn Masyisy. Keduanya adalah murid Abu Madyan.[11]
Ajaran dari thariqah ini diantaranya adalah ;
-  Tidak menganjurkan kepada murid – muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka.
-  Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat islam.
-  Zuhud tidak harus menjauhi dunia karena hakikatnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Alloh.
-  Tidak ada larangan bagi salik untuk kaya asalkan hatinya tidak bergantung pada hartanya.
-  Merespons apa yang sedang terjadi dalam masyarakat.
-  Latihan – latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai ketentuan Alloh.
-  Dalam kaitannya dengan ma’rifat, terdapat dua cara. Pertama mawahib, yaitu Alloh memberikan dengan tanpa usaha dan Dia memilih sendiri,orang – orang yang akan diberi anugrah tersebut. Kedua, makasib, yaitu ma’rifat akan diperoleh dengan usaha yang sangat keras, seperti riyadloh, mulazamah zikr, mulazamah wudlu’, puasa, shalat sunnah dan lain sebagainya.
c.    Thariqah Naqsyabandiyah
Pendirinya adalah Muhammad Baha’ Al Din Al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi, dilahirkan di desa Qashrul Arifah pada tahun 717 H/1318 M. Beliau belajar tasawuf kepada Baba Al Samasi pada usia 18 tahun kemudian belajar ilmu thariqah kepada seorang quthb di Nasaf yaitu Amir Sayyid Kulal Al Bukhari. Beliau sangat memperhatikan latihan moral dan spiritual murid – muridnya dan tidak suka jika mereka memiliki niat yang jelek.[12]
Ciri menonjol dari thariqah ini adalah pertama, diikutinya syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari. Kedua, upaya yang serius dalam mempengaruhi kehidupan dan pemikiran penguasa serta mendekatkan negara pada agama.[13]
d.   Thariqah khalwatiyah
Nama Khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi dan pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf Al Makassari Al Khalwati (tabarruk kepada Muhammad Al Khalwati Al Khawarizmi). Beliau berguru dan mendapat ijazah dari Syaikh Abu Al Barakah Ayyub Bin Ahmad Bin Ayyub Al Khalwati al Quraisy dan mendapat gelar Taj Al Khalwati. Menurut sejarah, beliau dilahirkan tahun 1037/1627 di Tallo dan meninggal pada tahun 1111/1699 M dikuburkan di Faure. Ibunya bernama Aminah Putri Gallarang Moncongloe. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini, yaitu tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Saman. Dalam berdzikir, Tarekat Khalwatiyah Yusuf dengan cara sirr sedangkan Khalwatiyah Saman melalkukannya dengan keras.[14]
Konsep utama tasawuf al Makasari adalah pemurnian kepercayaan (aqidah) pada keesaan Alloh. Dalam thariqah ini terdapat unsur – unsur sebagaimana thariqah lain yaitu latihan ruhani dengan penyucian jiwa, zuhud, taat beragama dan menghilangkan sifat jelek serta mengisi dengan sifat baik.[15]
e.    Thariqah Syattariyah
Nama Syattariyah dinisbahkan kepada Syaikh Abd Allah Al Syaththari. Silsilah thariqah ini terhubung pada Abu Yazid Al ‘Isyqi yang terhubung lagi dengan Abu Yazid Al Bustami dan Imam Ja’far Al Shadiq.
Ajaran thariqah ini salah satunya adalah yang disebut dengan al asyqal al syaththari (amalan – amalan kaum syathari) yang hanya diketahui melalui penjelasan guru (syaikh). Gerbang pertama yang harus dilalui seseorang untuk masuk thariqah adalah baiat dan talqin. Talqin adalah calon murid terlebih dahulu menginap di suatu tempat yang telah ditentukan oleh gurunya selama 3 malam dalam keadaan dawamul wudlu’. Setiap malamnya dia harus melakukan amalan – malan yang telah ditentukan. Setelah menjalani talqin, ia menempuh baiat yaitu ungkapan kesetiaan dan penyerahan diri dari seorang murid secara khusus kepada syaikhnya.[16]
f.     Thariqah Sammaniyah
Thariqah ini didirikan oleh Muhammad Bin Abd Al Karim Al Madani Al Syafi’i Al Samman (1130 - 1189 H / 1718 – 1775 M). Beliau belajar ke banyak orang guru tidak hanya ilmu tasawuf saja, namun ilmu – ilmu Islam yang lainnya. Beliau belajar berbagai jenis thariqah antara lain thariqah Khalwatiyah dari Musthafa Bin Kamal Al Din Al Bakri, Muhammad Bin Salim Al Hifnawi dan Muhammad Al Kurdi, Thariqah Naqsyabandiyah, Qadiriyah dan Syadziliyah. Dari berbagai ajaran tarekat tersebut, beliau meraciknya sehingga melahirkan satu nama yaitu Thariqah Sammaniyah.[17]
Ajaran thariqah ini adalah mengenai wihdatul wujud, tawassul, nur muhammad, insan kamil, dan syatahat.
g.    Thariqah Tijaniyah
Thariqah ini didirikan oleh Syaikh Ahmad Bin Muhammad Al Tijani (1150 – 1230 H/1737 – 1815 M) lahir di ‘Ain Madi, Aljazair Selatan dan meninggal di Fez Maroko. Silsilah beliau adalah Sayyid Ahmad Bin Muhammad Bin Al Mukhtar Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Salim Bin Al ‘Idl Bin Salim Bin Ahmad Bin ‘Ali Bin Ishaq Bin Zain Al Abidin Bin Ahmad Bin Abi Thalib, dari Garis Fathimah Binti Muhammad Saw.[18]
Thariqah Tijaniyah memiliki aturan – aturan yang harus ditegakkan oleh pengamalnya yang terdiri dari syarat – syarat dan tata krama terhadap guru, diri sendiri dan sesama ikhwan. Syarat – syaratnya terbagi kedalam dua bentuk yakni syarat kamaliyah dan syarat lazimah yang kedua – duanya terbagi kedalam dua bagian yaitu berhubungan dengan pribadi murid dan berhubungan dengan wirid.[19]
h.   Thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah
Thariqah ini merupakan gabungan dari Thariqah Qadiriyah dan Naqsyabandiyah dan didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (1802 – 1872) karena beliau adalah seorang syaikh dari kedua thariqah dan mengajarkan dalam satu versi.[20] Beliau menerangkan tentang tiga syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang sedang menuju Alloh, yaitu dzikir diam dalam mengingat, merasa selalu diawasi Alloh, dan pengabdian kepada syaikh. Thariqah ini berkembang sangat pesat di sebagian besar wilayah di Nusantara.[21]
E.  TATACARA PELAKSANAAN THARIQAH
Thariqat merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. maka orang yang menjalankan tariqhat tersebut harus menjalankan tata cara pelaksanaan thariqat, antara lain :
  1. Dengan berdzikir, yaitu agar selalu ingat kepada Allah dalam hati secara menyebutkan namanya dengan lisan, zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati, agar ucapan dan perbuatan tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
  2. Ratib, yaitu mengucapkan lafad La Illaha Illallah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
  3. Musik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumental) seperti memukul rebana.
  4. Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan tertentu untuk menimbulkan kehidmatan.
  5. Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir tertentu.[22]
F.   PERLUNYA PENGEMBANGAN AKHLAK DAN TASAWUF
Pada zaman modern saat ini penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak dikendalikan oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab seperti sikap hidup seseorang yang hanya mengutamakan materi, hanya ingin menikmati kesenangan dan kelezatan syahwat, atau bahkan hanya percaya pada rumusan-rumusan pengetahuan berdasarkan pengalaman dan penghayatan saja. Oleh karena itu, menurut Hussein Nashr, salah satu yang sungguh-sungguh memperjuangkan akhlak tasawuf, untuk mengatasi masalah-masalah tersebut perlunya cara untuk mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf.[23]
Paham sufisme saat ini sudah menyebar luas di kalangan masyarakat termasuk di masyarakat Barat karena mereka merasa batinnya sudah mulai kekeringan. Menurut Komaruddin Hidayat, ada tiga tujuan mengapa paham sufisme perlu disebarluaskan di masyarakat setempat, yaitu : pertama, untuk ikut berperan dalam menyelamatkan manusia dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual. Kedua, memperkenalkan pemahaman tentang aspek kerahasiaan Islam, baik terhadap masyarakat Islam maupun masyarakat yang mulai melupakan Islam. Ketiga, untuk memberikan penegasan terhadap masyarakat bahwa sesungguhnya aspek kerahasiaan Islam contohnya sufisme adalah jantungnya ajaran Islam.
Penggunaan tasawuf dapat mengatasi berbagai masalah moral yang telah disebutkan diatas yang sekiranya memiliki batas-batas terhadap tasawuf karena telah dipandang sebagai penyebab lemahnya daya juang di kalangan umat Islam. Ajaran tasawuf menurut paham mistisisme bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Sikap ini sangat diperlukan oleh masyarakat modern yang mengalami jiwa terpecah untuk penerapan dalam merespon berbagai masalah yang dihadapi.
Kemampuan berhubungan dengan Tuhan ini dapat menggabungkan seluruh ilmu pengetahuan untuk menyadarkan seseorang bahwa segala sesuatu itu bersumber dari Allah SWT. Dengan cara ini, antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya saling berhubunganyang memiliki tujuan yang sama yaitu mengarah kepada Tuhan.
Tasawuf juga mengajarkan manusia agar memiliki ketajaman batin dan ketulusan budi pekerti yang selalu mengutamakan kepentingan kemanusiaan untuk setiap masalah yang dihadapinya agar terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk menurut agama. Sedangkan ajaran tawakkal pada Tuhan menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh, yaitu orang yang selalu menyerahkan segala urusannya kepada Tuhan.
Dalam tasawuf, ada yang disebut ajaran uzlah yaitu usaha seseorang untuk mengasingkan diri dari tipu daya keduniaan. Ini berguna untuk membebaskan manusia dari perangkap kehidupan yang memperbudaknya. Lain dari hal uzlah, sikap materialistik sudah merajalela dalam kehidupan sehari-hari yang dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan meninggalkan kenikmatan duniawi.
Dengan adanya kemajuan ilmu dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan sesuatu yang dapat menghancurkan martabat manusia, maka dari itu untuk menyelamatkannya perlu tasawuf dalam akhlak mulia. Dunia sekarang ini bersepakat bahwa sains harus dilandasi etika dan etika itu harus bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadist. Akan tetapi, masalah yang dihadapi masyarakat modern saat ini adalah mereka yang kehilangan masa depannya, merasa kesunyian dan kehampaan jiwa dikehidupannya. Untuk itu, ajaran tasawuf yang penting yaitu ibadah, dzikir dan taubat agar ia amsih tetap mempunyai harapan bahagia di akhirat kelak.
Maka dari itu, akhlak tasawuf harus dijadikan alternatif yang sangat penting dalam mengatasi problematika kehidupan di masayarakat modern saat ini yang sesungguhnya memiliki potensi untuk menghancurkan martabat manusia.[24]

IV.   KESIMPULAN
Thariqah berarti jalan atau madzhab atau metode yang ditempuh oleh para sufi untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan menaati ajaran-ajaranNya. Thariqoh juga sebagai media untuk membersihkan hati dari sifat-sifat yang rendah dan menghiasi dengan sifat-sifat yang terpuji. Thariqah yang berkembang di Indonesia sangatlah banyak, seperti thariqoh qadiriyah, syadziliyah,naqsyabandiyah dan lain sebagainya. Tatacara pelaksanaan thariqah adalah dengan tetap menjalankan syariat, serta melakukan mujahadah dan riyadloh sehingga hati menjadi tenang. Akhlak tasawuf harus dijadikan alternatif yang sangat penting dalam mengatasi problematika kehidupan di masayarakat modern saat ini yang sesungguhnya memiliki potensi untuk menghancurkan martabat manusia.
V.      PENUTUP
Dalam penyampaian makalah ini, pastinya ada kekurangan-kekurangan yang merupakan kelemahan kami sebagai insan biasa. Maka dari itu, kami harapkan saran dan kritikannya yang bersifat membangun dengan tujuan agar dapat menjadi yang lebih baik untuk kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA
-          Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani,1985.
-          Sri Mulyati, Et.Al., Mengenal Dan Memahami Tarekat - Tarekat Muktabaroh Di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004.
-          Drs. H. Abuddin Nata, M.A. Akhlak Tasawuf. Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta. Cetakan ketiga, Maret 2000.
-          Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, et al., Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005,
-          Prof.Dr.H.Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo, Ramadhani, cet. XIII, 1996,
-          K.H.A. Aziz Masyhuri, Permasalahan Thariqoh: Hasil Kesepakatan Mukhtamar & Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqoh Al- Mu’tabarah Nahdlatul Ulama(1957-2005M), Surabaya, Khalista, 2006, cet. I, hal.2.


[1] Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, et al., Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005, hal. 5
[2] Ibid, hal. 6          
[3] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani,1985, Hal. 67.
[4] Sri Mulyati, Et.Al., Mengenal Dan Memahami Tarekat -  Tarekat Muktabaroh Di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, Hal. 8.
[5] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani,1985,hal. 73.
[6] http://www.referensimakalah.com/2012/11/tujuan-dan-fungsi-tarekat.html
[7]Prof.Dr.H.Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo, Ramadhani, cet. XIII, 1996, hal. 68  
[8]K.H.A. Aziz Masyhuri, Permasalahan Thariqoh: Hasil Kesepakatan Mukhtamar & Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqoh Al- Mu’tabarah Nahdlatul Ulama(1957-2005M), Surabaya, Khalista, 2006, cet. I, hal.2.
[9] Sri mulyati, op.cit. hal. 26.
[10] Sri Mulyati, hal. 36-43.
[11] Sri Mulyati, hal.57-59.
[12] Sri Mulyati, hal 89-91.
[13] Sri Mulyati, hal. 91 – 92.
[14] Sri Mulyati, hal. 115-120.
[15] Sri Mulyati,hal. 131.
[16] Keterangan lebih lengkap di hal. 174-180.
[17] Sri Mulyati, hal.182-184.
[18] Sri Mulyati, hal. 217.
[19] Sri Mulyati, hal. 222 dan hal. 248-252.
[20] Sri Mulyati, hal. 253.
[21] Ibid, hal. 258-289.
[22]http://hendrakomara.wordpress.com/2011/05/08/makalah-tarekat
[23]  Drs. H. Abuddin Nata, M.A. Akhlak Tasawuf. Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta. Cetakan ketiga, Maret 2000. Hal 288.

[24] Drs. H. Abuddin Nata, M.A. Akhlak Tasawuf. Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta. Cetakan ketiga, Maret 2000. Hal 293-300.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA

ringkasan Nahwu