makalah nikah hamil
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Dewasa ini, perkembangan informasi, teknologi dan komunikasi
memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat luas, termasuk di dalamnya
adalah remaja. Dampak tersebut akan menjadi positif apabila digunakan dengan
sebagaimana mestinya. Namun, apabila digunakan tidak sesuai dengan tempat yang
seharusnya, hal itu justru akan dapat menjerumuskan mereka ke dalam hal yang
buruk. Maraknya pergaulan yang tanpa kendali seringkali menjadikan para remaja
terjerumus. Begitu juga kebiasaan yang sudah terkontaminasi dengan adat luar.
Dapat diambil contoh, pada masa dahulu, masyarakat Indonesia sangat tabu dengan
pacaran. Namun, sekarang ini hal tersebut bukanlah masalah besar. Justru orang
akan menganggap orang lain “aneh” maupun “kuper’ (istilah saat ini) apabila
tidak pacaran. Kebebasan yang tanpa batas itulah yang menyebabkan berbagai
jenis kejahatan, anarkhisme, kebrutalan dan kenakalan remaja saat ini. Sehingga
hal – hal yang tidak seharusnya terjadi pun tidak dapat di elakkan. Banyak
praktik aborsi di sana – sini hanya untuk menghilangkan jejak terjadinya
kehamilan di luar nikah. Bagi mereka yang tidak mau menanggung dosa lebih
banyak lagi, mau tidak mau harus menikahkan anaknya.
Namun adanya ketetapan dari pemerintah mengenai kawin hamil sering
menimbulkan pemahaman yang salah kaprah. Ketetapan tersebut seringkali dianggap
sebagai sebuah legalitas. Masyarakat banyak yang menganggap bahwa tidak menjadi
masalah melakukan hubungan intim di luar nikah, toh pada akhirnya mereka tetap
diperbolehkan menikah meskipun sudah keadaan hamil. Padahal maksud dari adanya
ketetapan tersebut adalah untuk melindungi anak- anak yang tidak berdosa yang
harus menanggung kesalahan orang tuanya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah definisi
perkawinan ?
2.
Bagaimana
pelaksanaan perkawinan dalam keadaan wanita sedang hamil ?
3.
Bagaimana
status anak yang lahir karena perzinaan?
II.
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI
PERKAWINAN
Perkawinan atau yang dalam bahasa Arab disebut pernikahan adalah
suatu akad yang mengandung diperbolehkannya wathi’ (hubungan badan) dengan
lafadz nikah atau tazwij atau terjemahannya.[1]
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian adalah yang disebutkan dalam pasal 1 Undang –
Undang Perkawinan tahun1974.[2]
Perkawinan disebut sebagai ikatan lahir batin, karena perkawinan
bukanlah hal yang dapat dianggap sebagai permainan. Perkawinan memiliki
tanggungjawab yang amat besar. Didalamnya terdapat perjanjian antara suami dan
istri yang masing – masing memikul kewajiban dan hak yang harus dijalankan.
Substansi yang terkandung didalamnya adalah menaati perintah Alloh dan
Rasul-Nya, yaitu mendatangkan kemashlahatan baik bagi pelaku perkawinan itu
sendiri (suami istri), anak cucu, kerabat maupun masyarakat. Oleh karena itu,
perkawinan bukan hanya kebutuhan internal antara kedua belah pihak, akan tetapi
juga faktor eksternal yang melibatkan banyak pihak.
Sebagai suatu perjanjian yang suci ia mengandung pengertian adanya
kemauan bebas antara kedua pasangan sehingga tidak ada unsure paksaan. Ia
mengikatkan tali perjanjian atas nama Alloh bahwa kedua mempelai bermaksud
membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Hal ini sesuai dengan
firman Alloh dalam surat An Nisa’ ayat 21 :
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu
telah bergaul dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri – istri)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.[3]
Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa
perkawinan mitsaqan menurut hukum islam adalah akad yang sangat kuat
atau gholiidan untuk mentaati perintah Alloh dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Oleh karena itu, baik pihak laki – laki atau pihak perempuan
yang mengikatkan perjanjian itu memiliki kebebasan penuh untuk menyatakan
bersedia atau tidak. Perjanjian tersebut dinyatakan dalam ijab qabul yang harus
diucapkan dalam satu majelis.[4]
Untuk mewujudkan cita – cita tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar
dalam ajaran – ajaran Al Qur an dan As Sunnah, namun juga berkaitan dengan
hukum suatu negara. Sehingga perkawinan baru dinyatakan sah apabila
dilaksanakan sesuai hukum Alloh hukum negara.[5]
B.
PERKAWINAN
DALAM KEADAAN WANITA SEDANG HAMIL
Perkawinan merupakan salah satu perbuatan yang disyari’atkan Islam
untuk mengikat pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom
sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Islam telah mengatur
masalah perkawinan dengan sangat rinci, dan itu ditunjukkan dalam syarat dan
ketentuan yang harus dipenuhi dalam perkawinan. Meskipun demikian, lembaga
perkawinan tetap menghadapi tantangan, bahkan bisa terancam eksistensinya
ketika dihadapkan pada problem sosial tentang masalah kehamilan yang terjadi di
luar nikah. Problem ini menjadi semakin bertambah rumit ketika dalam kehidupan
sosial dewasa ini ternyata kasus ini banyak terjadi di kalangan masyarakat.
Kasus ini tidak hanya menyangkut perbuatan zina dari para pelaku dan hukuman
hudud atas perbuatannya, melainkan juga menyangkut status dan nasib hidup bayi
yang ada dalam kandungannya.[6]
Apabila di prosentase, kemungkinan lebih banyak orang yang menikah karena
masalah hamil di luar nikah dibandingkan dengan pernikahan yang normal.
Kawin hamil sendiri adalah perkawinan yang dilaksanakan karena
mempelai wanita pada saat melangsungkan perkawinan tersebut dalam keadaan hamil
(pernikahan karena hamil di luar ikatan pernikahan yang sah). Dalam menjawab
permasalahan ini, para ulama berbeda pendapat, yaitu ;
1.
Para Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa zina tidak memiliki kewajiban ber iddah, baik
wanita tersebut hamil atau tidak. Sama halnya wanita tersebut mempunyai suami
atau tidak. Apabila dia mempunyai suami, maka halal bagi suaminya untk
menyetubuhinya secara langsung. Dan jika dia tidak mempunyai suami, maka boleh
bagi laki – laki yang berzina dengannya atau orang lain untuk menikahinya, baik
dia hamil atau tidak. Hanya saja, menyetubuhinya dalam keadaan hamil berhukum
makruh sampai dia melahirkan.
2.
Jika wanita yang
di zinai tidak hamil, maka laki – laki yang berzina dengannya atau laki – laki
lain boleh menikahinya, dan dia tidak wajib ber iddah. Pendapat ini di sepakati
di kalangan Madzhab Hanafi. Jika yang menikahinya adalah laki – laki yang
berzina dengannya, maka dia boleh menyetubuhinya dan anak adalah milik laki –
laki tersebut jika lahir enam bulan setelah pernikahan. Namun jika dilahirkan
sebelum enam bulan, maka dia bukan anaknya dan tidak mendapat warisan darinya.
Sedangkan
jika wanita yang dizinai hamil, maka menurut Abu Hanifah, dia boleh dinikahi
namun tidak boleh disetubuhi sampai melahirkan. Sedangkan Abu Yusuf dan Zafar dari
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa jika wanita yang berzina hamil, maka dia tidak
boleh dinikahi.
3.
Wanita yang
berzina tidak boleh dinikahi dan dia wajib beriddah dengan waktu yang
ditetapkan jika dia tidak hamil, dan dengan melahirkan kandungan jika dia hamil.
Jika ia memiliki suami, maka suaminya tidak boleh menyetubuhinya sampai
iddahnya habis. Ini adalah pendapat Rabi’ah, Ats Tsauri, Al Auza’i dan Ishaq dari
kalangan Madzhab Maliki dan Hanbali. Para ulama Madzhab Hanbali memberikan
syarat lain bagi bolehnya menikahi wanita yang berzina yaitu taubat dari zina.[7]
Dalam fikih madzhab Indonesia yang terangkum dalam Kompilasi Hukum
Islam, masalah ini dijawab dalam pasal 53 yaitu:
1.
Seorang wanita
hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.
Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3.
Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang
wanita yang hamil di luar ikatan perkawinan yang sah dapat dinikahkan dengan
pria yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak dalam kandungannya.
Perkawinan tersebut terus berlaku selama tidak ada perceraian sehingga
perkawinan yang telah dilaksanakan tersebut tidak perlu diulang kembali meskipun
setelah kelahiran anaknya.
Dasar yang dipakai pertimbangan oleh Kompilasi Hukum Islam dalam
menetapkan perkawinan wanita hamil adalah surat An Nur ayat 3 yang berbunyi :
ٱلزَّانِى لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ
عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kebolehan perempuan hamil menikah
dengan laki – laki yang menghamilinya adalah suatu pengecualian, sehingga laki
– laki yang menghamilinya adalah yang tepat menjadi suaminya. Ayat tersebut
juga menerangkan bahwa haram bagi laki – laki mukmin yang baik untuk
mengawininya. [8]
Hal tersebut bertujuan untuk menjaga kehormatan laki – laki yang beriman.
C.
STATUS ANAK
Islam
secara tegas telah menyatakan tenang larangan mendekati zina. Larangan tersebut
diberlakukan karena efek dari zina adalah mengarah pada pengkaburan keturunan. Termasuk
dalam kategori jalan pengkaburan tersebut adalah pengabsahan anak melalui nikah
hamil. Hal ini karena tidak semua yang menikahi wanita itu adalah laki – laki
yang menghamilinya. Kalaupun yang menikahi itu adalah yang menghamilinya, namun
konsepsi[9] janin itu terjadi sebelum pernikahannya,
sehingga anak tersebut tetap dianggap anak zina.[10]
Dalam
konsep Islam, definisi anak sah itu didasarkan pada saat terjadinya konsepsi
janin dalam rahim ibunya. Konsepsi tersebut terjadi setelah pernikahan ayah dan
ibunya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak sah adalah anak yang lahir
sebagai akibat dari adanya pernikahan.[11] Para
ulama memberikan batasan kelahiran minimal 6 bulan setelah pernikahan. Hal ini
merujuk pada dua ayat al quran :
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun [1181]. Bersyukurlah kepadaKu
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.(Luqman : 14)
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua
orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh
bulan,.(Al Ahqaaf : 15)
Definisi tersebut secara otomatis mengecualikan bahwa semua anak
yang lahir diluar pernikahan adalah anak tidak sah (anak zina). Termasuk dalam
pengertian ini adalah anak yang dilahirkan dalam pernikahan, namun konsepsi
janin terjadi sebelum pernikahan.
Konsep Islam ini berbeda dengan konsep yang ditawarkan oleh Kompilasi
Hukum Islam dan Undang – Undang Perkawinan. Dalam KHI pasal 99 disebutkan anak
yang sah adalah:
a.
Anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b.
Hasil pembuahan
suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Rumusan tersebut senada dengan rumusan Undang – Undang Perkawinan pasal
42 yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari kedua rumusan senada tersebut dapat
ditarik pengertian bahwa anak sah adalah anak yang lahir “dalam perkawinan” dan
anak yang lahir sebagai “akibat perkawinan”.
Pengertian pertama (dalam perkawinan) memberikan implikasi bahwa
semua anak yang lahir dalam perkawinan, baik proses terjadinya konsepsi janin
itu sebelum atau setelah pernikahan dianggap sebagai anak yang sah. Dengan
demikian, anak yang dilahirkan dari perbuatan zina dapat dianggap sebagai anak
sah apabila kelahirannya terjadi dalam sebuah pernikahan.[12]
Sedangkan pengertian yang kedua (sebagai akibat perkawinan) memberikan
pengertian bahwa anak yang sah adalah anak yang memang benar – benar dibenihkan
oleh ayah dan ibunya dalam ikatan pernikahan. Anak yang menjadi akibat dari
perkawinan adalah anak yang sejak awal konsepsinya sebagai janin dalam
kandungan ibunya terjadi setelah ayah dan ibunya terikat pernikahan. Kelahiran
anak yang merupakan akibat perkawinan tidak hanya terjadi dalam perkawinan
saja, tapi boleh jadi kelahiran itu terjadi setelah adanya pernikahan.[13]
Maksud dari pernyataan kelahiran setelah pernikahan adalah kelahiran yang
terjadi pada saat ayah dan ibunya sudah tidak terikat pernikahan. Hal tersebut
dikarenakan perceraian keduanya atau ayahnya meninggal namun konsepsi janin
terjadi dalam pernikahan tersebut. Konsep ini sejalan dengan konsep yang
ditawarkan oleh Islam.
Dalam ajaran Islam, anak sah itu memiliki hubungan keperdataan
dengan orang tuanya, baik ayah maupun ibunya. Hubungan tersebut berlanjut
sampai kakek atau nenek dari kedua orangtuanya dalam garis lurus ke atas. Akan
tetapi bagi anak zina (anak luar nikah) hanya mempunyai hubungan keperdataan pada ibu
dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan rumusan KHI pasal 100 dan UUP pasal
43.[14]
III.
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya
perkawinan sebagaimana yang di sebutkan dalam UUP adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita untuk membentuk sebuah keluarga yang tentram
berdasarkan aturan agama dan negara. Fenomena yang terjadi saat ini yakni
terjadinya pernikahan pasca kehamilan menimbulkan banyak pendapat dikalangan
ulama fiqh. Namun Indonesia sebagai negara hukum mengatur masalah – masalah
yang berkaitan dengan perkawinan dalam formulasi hukum tersendiri, termasuk di
dalamnya masalah kawin hamil dalam UUP dan KHI. Terjadinya perkawinan setelah
terjadi kehamilan memberikan dampak terhadap pemberian status kepada anak yang
dilahirkan, karena keputusan KHI dan UUP menyatakan bahwa anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan pada ibu dan keluarga
ibunya.
IV.
PENUTUP
Demikianlah makalah studi kasus ini kami
buat, kami yakin masih banyak kesalahan yang terdapat dalam penulisan makalah
ini karena memang itu adalah keterbatasan kami dan tidak ada manusia yang
sempurna, hanya Dialah Yang Maha
Sempurna. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun selalu kami nantikan demi
perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfa’at, bagi penulis
khususnya serta bagi para pembaca pada umumnya. Amin ya Robb al ‘alamin.
[1] Sayyid Ahmad
Bin Umar Al Syathiry Al ‘Alawy Al Husainy Al Tarimy, Al Yaqut An Nafis Fi
Madzhabi Ibni Idris, Surabaya : Al Hidayah, Hal.141.
[2] Undang –
Undang Perkawinan Di Indonesia, Surabaya : Arkola, Hal.5.
[3] Al Quran dan
Terjemahannya, Bandung : Diponegoro,2004, Hal. 81.
[4] Beni Ahmad
Saebani,Fiqh Munakahat 1, Bandung : Pustaka Setia, 2009, Cet. VI, Hal.
18.
[5] Undang –
Undang Perkawinan Pasal 2.
[6]
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/123456789/2277, 11 Juni 2013.
[7] Yahya
Abdurrahman Al Khatib, Fikih Wanita Hamil, Penerjemah Mujahidin
Muhayyan, Jakarta: Qisthi Press, Cet. 4, 2009, Hal. 87-88.
[8] H.Zainuddin
Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika,2006, Hal.
45-46.
[9] Masa awal
kehamilan yang ditandai oleh pertemuan sel telur dengan sperma yang akan
membentuk janin di dalam rahim seorang
wanita.
[10] Musthafa Rahman,
Anak Luar Nikah Status Dan Implikasi Hukumnya, Jakarta: Atmaja,2003, Hal.
25.
[11] Musthafa Rahman,
Hal. 45-54.
[12] Musthafa Rahman,
Hal. 54-62.
[13] Musthafa Rahman,
Hal. 56.
[14] KHI Pasal 100 menyebutkan
bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya. dan UUP
Pasal 43 (1) menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Komentar
LAYANAN KONSUMEN: 089 503 576 556
PIN BBM: 2A8BB82B
jual obat aborsi manjur
obat aborsi manjur
jual obat aborsi
obat aborsi ampuh'
obat aborsi tuntas