urf dan urgensinya
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Para
ulama’ telah sepakat bahwa
segala tindakan manusia, baik
berupa ucapan maupun
perbuatan, dalam hal ibadah maupun
mu’amalah, berupa
tindakan pidana maupun
perdata, masalah akad ataupun
pengelolaan, dalam syariat Islam
semuanya masuk dalam wilayah hukum.
Hukum – hukum itu sebagian
ada yang dijelaskan
oleh al Qur an
dan as Sunnah
dan sebagian tidak. Tetapi
syariat Islam telah
menetapkan dalil dan tanda
- tanda tentang hukum
yang dijelaskan oleh
keduanya, sehingga seorang
mujtahid dengan dalil dan
tanda - tanda
hukum itu dapat
menetapkan dan menjelaskan
hukum - hukum
yang tidak dijelaskan
tersebut dan terbentuklah ilmu
fikh.[1]
Dalil yang
dapat diambil sebagai hukum syariat yang
sebangsa perbuatan itu ada
empat yaitu al Quran, as Sunnah, al Ijma’ dan Qiyas. Namun segala sesuatu
yang telah menjadi suatu
kebiasaan dan kesepakatan serta diakui
kebenarannya juga tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Apalagi hal tersebut
mengandung unsur mashlahah. Oleh
karena itu para
ulama’ juga memberikan pertimbangan
terkait kebiasaan yang berlaku
tersebut dengan memberikan
batasan - batasan yang
sesuai dengan kaidah
- kaidah yang terkandung dalam
al Quran
dan as Sunnah. Namun ‘urf juga
tidak bisa selamanya dipakai dalam konteks yang
sama dikarenakan perkembangan zaman yang
selalu mengalami perubahan
dari masa ke
masa (taghoyyurul ahkam bitaghoyyuril azminah
wal amkinah).
B. RUMUSAN
MASALAH
Sebelum makalah ini kami susun, terlebih dahulu kami rumuskan
masalah dalam pembahasan ini sebagai
berikut:
1. Apakah definisi ‘urf
?
2. Bagaimana pandangan ulama’ mengenai ‘urf, adat dan
ijma’?
3. Bagaimana
pembagian ‘urf ?
4. Bagaimana kehujjahan ‘urf ?
5. Bagaimana relevansi ‘urf ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI ‘URF
Menurut ulama fikih ‘urf
merupakan bagian dari dalil -
dalil syar’i, sehingga
‘urf sering dijadikan
sebagai dasar hukum
untuk beberapa cabang hukum fikih,
khususnya hal - hal
yang berkenaan dengan
sumpah, nadzar dan tholak.[2]
Secara etimologi, kata ‘urf berasal dari lafadz ‘arofa,ya’rifu,
‘urfan yang berarti mengenal atau mengerti.[3]
Seringpula diartikan al ma’ruf yang berarti yang dikenal atau yang
dianggap baik.
Sedangkan secara terminologi, para ulama’ dan ilmuan menyebutkan
dengan redaksi yang berbeda – beda.
Dalam kitab Ushul
al Fiqh Al Islamiy
disebutkan bahwa ‘urf
adalah sesuatu yang telah
menjadi kebiasaan manusia dan
dijalankan baik berupa pekerjaan atau
perkataan yang diketahui
keumumannya.[4]
العرف هو ما اعتاده الناس و ساروا عليه من كل فعل شاع
او لفظ تعارفوا إطلاقه
Ustadz Abdul Wahab Khollaf memberikan definisi bahwa
‘urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh masyarakat dan telah
dijalankan baik hal itu berupa ucapan, perbuatan ataupun larangan. [5]
من قول او فعل او ترك ما تعارفه الناس و ساروا عليه
Nasrun Rusli menyebutkan bahwa ‘urf
ialah sesuatu yang
telah dibiasakan oleh manusia
dan mereka telah menjalaninya dalam berbagai aspek
kehidupan .[6] Satria Efendi
mengungkapkan sebagaimana yang
dikemukakan oleh Abdul
Karim Zaidan , istilah
‘urf berarti
:
ما
ألفه المجتمع و اعتاده و سار في حياته من اقوال أو فعل
yakni sesuatu yang sudah
tidak asing lagi
bagi suatu masyarakat
karena telah menjadi kebiasaan
dan menyatu dengan kehidupan
mereka baik berupa perbuatan
atau perkataan.[7]
Dari berbagai
pandangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ‘urf adalah sesuatu (ma)
yang telah mentradisi dan diakui dikalangan masyarakat baik berupa ucapan atau
perbuatan, baik atau buruk.
B.
‘URF, ADAT DAN
IJMA’
Dalam disiplin/literature ilmu Ushul Fiqh, pengertian adat (al-‘âdah)
dan ‘urf mempunyai peranan
yang cukup signifikan. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang
diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Kata ‘urf berasal dari
kata ‘araf yang mempunyai derivasi kata al-ma‘rûf yang berarti
sesuatu yang dikenal/diketahui. Sedangkan kata adat berasal dari kata ‘âd yang
mempunyai derivasi kata al-‘âdah yang berarti sesuatu yang diulang-ulang
(kebiasaan).[8]
Ulama berbeda pandangan mengenai ‘urf dan ‘adah. Menurut Ustadz Abdul Wahab Khollaf, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan ‘adah. Adat perbuatan, seperti kebiasaan
umat manusia dalam
melakukan jual beli dengan
tukar - menukar secara langsung, dengan hanya
menerima barang dan menyerahkan
harga tanpa bentuk ucapan akad. Adat
ucapan, seperti kebiasaan manusia menyebut al walad
sebagai anak laki - laki, bukan
anak perempuan, tidak mengucapkan
daging untuk ikan.
Adat terbentuk dari
kebiasaan manusia menurut derajat
mereka, secara umum
maupun tertentu.[9]
Begitu juga halnya dengan Dr. Wahbah Zuhaily, beliau menyebutkan bahwa ‘urf
dan adat adalah sinonim dengan mengutip pendapat Abdulloh bin Ahmad an Nasfy dan syarah at
Tahrir.[10]
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa adat merupakan sebuah kecenderungan
baik berupa ucapan maupun perbuatan pada suatu obyek yang terulang – ulang baik
dilakukan oleh pribadi maupun kelompok. Sedangkan ‘urf adalah sebuah kebiasaan
yang telah melekat pada jiwa – jiwa manusia dan bisa diterima oleh akal.[11]
Dari berbagai pandangan diatas, penyusun lebih condong kepada pendapat yang
menyebutkan bahwa ‘urf dan adat bukan sinonim. Adat menyimpan
makna yang lebih umum daripada ‘urf karena didalamnya tercakup kebiasaan
individu maupun kelompok (mayoritas). Sedangkan ‘urf hanya berkenaan dengan perkara yang telah
disepakati/dijalankan oleh masyarakat.
Kemudian bagaimana pandangan tentang ‘urf dan ijma’?
Secara sepintas,
kita akan melihat seolah – olah ada persamaan
antara ijma’ dan ‘urf, karena keduanya
sama – sama ditetapkan dan
tidak ada yang menyalahinya.
Perbedaannya adalah dalam ijma’ ada suatu
peristiwa atau kejadian yang perlu
ditetapkan hukumnya. Oleh
karena itu para mujtahid membahas
dan menyatakan pendapatnya, ternyata
pendapatnya tersebut sama
(disepakati) oleh mujtahid yang lain.
Sedang ‘urf adalah
telah terjadinya peristiwa
atau kejadian, kemudian beberapa
orang anggota masyarakat menetapkan pendapat
dan melaksanakannya. Hal ini
dipandang baik pula oleh anggota
masyarakat yang lain, lalu merekapun mengerjakannya. Karena frekuensi
pengerjaan yang sering
sehingga lama kelamaan
menjadi hukum yang tidak
tertulis yang telah
berlaku diantara mereka. Pada
ijma’, masyarakat melaksanakan
suatu pendapat karena
para mujtahid telah
menyepakatinya, sedangkan ‘urf,
masyarakat mengerjakannya karena
telah menjadi kebiasaan dan memandang baik.[12] Dr. Wahbah az Zuhaily menyebutkan
bahwa ijma’ terbentuk
karena kesepakatan mujtahid
ummat, sedangkan dalam ‘urf tidak
disyaratkan adanya kesepakatan,
akan tetapi cukup
dilakukan oleh orang banyak
baik umum ataupun
khusus.[13]
إن الإجماع مبناه اتفاق مجتهدى الأمة , اما العرف فلا يشترط
فيه الإتفاق وانما يكفى فيه سلوك الأكثرية بما فيهم العـوام و الخواص
C. MACAM -
MACAM ‘URF
‘Urf dapat
dibagi menjadi beberapa
bagian, baik dalam segi
sifatnya, diterima atau
tidaknya dan segi
ruang lingkupnya. Dalam
segi sifatnya, ‘urf
terbagi atas:
a. ‘Urf Qauly,
ialah ‘urf yang
berupa perkataan, seperti
perkataan walad, menurut bahasa
berarti anak, termasuk
didalamnya anak laki -
laki dan anak
perempuan. Tetapi dalam
percakapan sehari – hari biasa diartikan
dengan anak laki - laki
saja. Begitu juga
dengan lahmun (daging),
menurut bahasa berarti
daging, termasuk didalamnya
segala macam daging, seperti daging
binatang darat dan
daging ikan. Tetapi dalam percakapan sehari
– hari hanya berarti daging binatang darat saja, tidak termasuk didalamnya binatang air.[14]
b. ‘Urf
‘amaly, yakni ‘urf yang berupa perbuatan. Seperti kebiasaan jual
– beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighot
akad jual – beli. Padahal menurut syara’, shighot
jual – beli itu merupakan salah satu
rukun jual – beli. Tetapi
karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dalam melakukan jual – beli tanpa adanya shighot, dan tidak terjadi hal – hal
yang tidak diinginkan, maka syara’ memperbolehkannya.[15]
‘Urf
dalam segi diterima atau tidak dibagi atas:
a.
‘Urf shohih,
ما تعارفه
الناس ولا يخالف دليلا شرعيا و لا يحـل محرما و لا يبطل واجبا[16], yakni
segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan orang
– orang pada umumnya, tidak bertentangan dengan syara’ serta tidak menghalalkan
yang haram dan tidak
mengharamkan yang halal. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan
akad nikah, hal ini dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat
dan tidak bertentangan dengan syara’.
Begitu juga kebiasaan memberikan nafkah bagi anak istri. Dalam memberikan
nafkah tidak ditentukan berapa besar kadar nafkah yang harus diberikan. Akan
tetapi ini dilihat dari bagaimana kebiasaan yang berlaku pada umumnya dalam
suatu masyarakat seberapa besar nafkah yang harus diberikan serta disesuaikan
dengan kemampuan suami. Ini adalah aplikasi daripada ayat dari surat Al Baqoroh
ayat 233:
artinya : “Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.[17]
b. ‘Urf fasid,ما تعارفه الناس ولكـنه
يخالف الشرع او يحل المحرم او يبطل الواجب,[18] yakni segala sesuatu yang telah diketahui oleh
masyarakat, tidak baik dan tidak diterima karena bertentangan dengan syara’.
Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah
patung atau sebuah tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima,
karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.[19]
Sedangkan
‘urf ditinjau dari segi ruang lingkupnya terbagi atas:
a. ‘Urf
‘am (adat kebiasaan umum), ما يتعارفه غالبية أهل البلدان فى وقت من الأوقات,[20]
yakni adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di satu masa. Seperti adat
kebiasaan yang berlaku di beberapa negeri dalam memakai ungkapan “ engkau telah
haram aku gauli “ kepada istrinya sebagai ungkapan dari pernyataan menjatuhkan talak,
serta kebiasaan menyewa kamar mandi tanpa menentukan secara pasti lamanya mandi
dan berapa kadar air yang digunakan.[21]
b. ‘Urf
khos (adat kebiasaan khusus), ما يتعارفه أهل بلدة او إقليم او طائفة معينة من
الناس,[22]
yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu. Seperti
kebiasaan masyarakat Iraq dalam menggunakn kata ad dabbah hanya kepada kuda, dan menganggap catatan jual beli yang
ada dipihak penjual sebagai bukti yang sah dalam masalah utang piutang.[23]
D. KEHUJJAHAN ‘URF
Para
ulama sepakat menolak ‘urf fasid
(adat kebiasaan yang salah) untuk dijadikan landasan hukum karena sudah jelas
bahwa ‘urf fasid itu menyalahi apa
yang telah ditetapkan oleh syara’ serta dapat merusak
hukum syara’. Pembicaraan selanjutnya adalah tentang ‘urf shohih. Menurut hasil penelitian al
Tayyib Khudari al Sayyid, guru besar Ushul Fiqh di Universitas al Azhar Mesir
dalam karyanya al Ijtihad fi ma la nassa
fih, bahwa madzhab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai
landasan hukum adalah kalangan Hanafiyyah dan kalangan Malikiyyah dan
selanjutnya oleh kalangan Hanabillah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya pada
prinsipnya madzhab – madzhab besar fiqh tersebut sepakat menerima adat istiadat
sebagai landasan pembentukan hukum meskipun dalam jumlah dan rinciannya
terdapat perbedaan diantara madzhab – madzhab tersebut, sehingga ‘urf
dimasukkan dalam kelompok dalil – dalil yang diperselisihkan dikalangan
ulama.[24]
‘Urf
mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan, antara lain:
1. Berdasarkan
ayat dari surat al A’raf ayat 199;
خذ العـفـو وأمر بالعرف و اعـرض عن الجاهلين
Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (‘urf) serta
berpalinglah dari orang – orang yang bodoh.
Kata ‘urf
disini, dimana umat
manusia disuruh mengerjakannya, oleh para ulama ushul fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah
menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut dipahami
sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik dan telah
menjadi tradisi masyarakat.
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن و ما رآه
المسلمون سيئا فهو عند الله سيئ.
2. Pada
dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau
tradisi yang baik selama tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan
Sunnah Rasululloh. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang
telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan
dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Sebagaimana adat kebiasaan yang
diakui, kerja sama dengan cara berbagi untung (al mudarabah). Praktik seperti ini sudah berkembang dikalangan
bangsa Arab sebelum Islam.
Berdasarkan kenyataan ini, para ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang
baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum bilamana memenuhi beberapa
persyaratan.
Adapun
syarat – syarat ‘urf dapat dijadikan landasan hukum adalah sebagai
berikut :
1. ‘Urf
itu harus termasuk ‘urf
yang shohih dalam arti tidak
bertentangan dengan ajaran Al Quran dan Sunnah Rasulullah, misalnya, kebiasaan
disatu negeri bahwa sah mengembalikan harta amanah kepada istri atau anak dari
pihak pembeli atau pemilik amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan
pegangan jika terjadi tuntutan dari pihak pemilik harta itu sendiri.
2. ‘Urf
itu harus bersifat umum,
dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negeri itu.
3. ‘Urf
itu harus sudah ada
ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu.
Misalnya, seseorang yang mewakafkan hasil kebunnya kepada ulama, sedangkan yang
disebut ulama waktu itu adalah hanya orang yang mempunyai pengetahuan agama
tanpa adanya persyaratan harus memiliki ijazah, maka kata ulama dalam
pernyataan wakaf itu harus diartikan dengan pengertiannya yang sudah dikenal
pada waktu itu, bukan dengan pengertian ulama yang menjadi popular kemudian setelah
ikrar wakaf terjadi.
4. Tidak
ada ketegasan dari pihak – pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf
tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak
terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan
itu, bukan ‘urf.
Misalnya adat yang berlaku dalam suatu masyarakat, seorang istri belum boleh
dibawa oleh suami pindah dari rumah orang tuanya apabila suami belum melunasi
maharnya, namun
ketika berakad kedua belah pihak telah sepakat bahwa sang istri sudah boleh dibawa
oleh suaminya tanpa adanya persyaratan terlebih dahulu melunasi maharnya. Dalam
masalah ini, yang dianggap berlaku adalah kesepakatan itu, bukan adat yang
berlaku dalam masyarakat tersebut.[25]
E.
KERELEVANAN ‘URF
Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum, memberi peluang
lebih luas bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab disamping banyak masalah –
masalah yang tidak tertampung oleh metode – metode lainnya, juga ada kaidah
yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid
berdasarkan ‘urf, akan berubah bilamana ‘urf tersebut berubah.
Inilah yang dimaksud oleh para ulama bahwa tidak diingkari adanya perubahan
hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat “ تغير الأحكام بتغير الأزمان
و الأمكنة “ .
Maksudnya adalah, hukum yang pada mulanya dibentuk berdasarkan adat istiadat
yang baik, hukum itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.[26]
Misalnya sifat adil adalah syarat diterimanya kesaksian seseorang berdasarkan
firman Alloh dalam surat at Tholaq ayat 2,
وأشهدوا ذوى عدل منكم وأقيموا الشهادة لله
...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil
diantara kamu.[27]
Ayat tersebut berbicara tentang keadilan bagi seseorang yang hendak merujuk
istrinya yang telah ditalak tiga kali. Syarat kesaksian yang diterima seperti
yang tercantum dalam ayat tersebut adalah bersifat adil, yaitu suatu sifat yang
dimiliki oleh seseorang yang mampu membawanya untuk menaati agama Alloh dan
menjaga harga diri.
Dalam setiap daerah ataupun peradaban, kadar bagi sifat adil ini memiliki perbedaan
antara satu tempat dengan tempat lain, dan dalam suatu masa ke masa yang lain.
Misalnya didaerah A, ukuran adil ditentukan dengan selalu berbuat baik, di
daerah B ditentukan dengan tidak pernah berbohong sedang di daerah C, kadar
tersebut ditentukan dengan seringnya beribadah. Hal inilah yang dimaksud dengan
perbedaan ‘urf tersebut.
Hukum Islam hendaklah mempertimbangkan perbedaan pandangan tersebut.
Demikian juga dalam memahami ayat – ayat yang bersifat global, perlu
mempertimbangkan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku disuatu tempat.
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Salah satu sumber yang dipakai untuk penetapan hukum adalah ‘urf. ‘Urf
adalah sesuatu yang telah menjadi tradisi dan disepakati dalam masyarakat. Para
ulama berbeda pendapat tentang ‘urf dan adat. Sebagian ulama
menyatakan bahwa keduanya adalah sinonim dan sebagian lain menyatakan berbeda.
Sedangkan ‘urf dan ijma’ para ulama sepakat bahwa keduanya
berbeda.Namun tidak semua ulama’ sepakat menggunakan ‘urf sebagai acuan sehingga perlu ditetapkan syarat – syarat agar ‘urf
dapat dijadikan landasan hukum antara lain:
1.
Harus berupa ‘urf
yang shohih
2.
Bersifat umum
3.
Sudah ada ketika
terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf.
4.
Tidak ada ketegasan
yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut.
‘Urf juga dapat berubah dikarenakan perubahan zaman
dan tempatnya. Oleh karena itu para mujtahid perlu memperhatikan
pandangan tersebut sebelum menetapkan suatu hukum agar hukum itu bisa diterima
masyarakat secara umum.
II.
SARAN
Demikianlah makalah ini kami buat, kami yakin masih banyak kesalahan yang
terdapat dalam penulisan makalah ini karena memang itu adalah keterbatasan kami
dan tidak ada manusia yang sempurna, hanya Dialah Yang Maha Sempurna. Untuk itu, saran dan kritik
yang membangun selalu kami nantikan demi perbaikan makalah ini selanjutnya.
Semoga makalah ini bermanfa’at, bagi penulis khususnya serta bagi para pembaca
pada umumnya. Amin ya Robb al ‘alamin.
[1] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih
(Kaidah Hukum Islam),Penerj.:
Faiz el Muttaqin,(Jakarta: Pustaka
Amani,2003),hal.
1.
[2] Wahbah al Zuhaily, Ushul
al Fiqh al Islamy, (Damaskus: Dar al Fikri,1986), hal. 828.
[6] Nasrun Rusli, Konsep
Ijtihad al Syaukani
Relevansinya bagi Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia,(Ciputat: PT. Logos
Wacana Ilmu,1999), hal
34.
[7] Satria Effendi
M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana
Pernada Media Group, 2009), hal. 153.
[9] Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih
(Kaidah Hukum Islam),Penerj.:
Faiz el Muttaqin,(Jakarta: Pustaka Amani,2003), hal. 117.
[11] Ibnu Husnan
Manshur, Al Tsamarot Al Mardliyah Bisyarhi Al Faroidu Al Bahiyyah, (Jombang:
Pustaka Al Mardliyyah,2008), hal. 84-85.
[12] A.Hanafi,Op.cit,
hal. 150.
[13] Wahbah al
Zuhaily, Ushul al Fiqh al
Islamy, (Damaskus: Dar al
Fikri,1986),hal.829.
[14] A. Hanafi, Ushul
Fikih, (Jakarta:
Wijaya,1959), hal. 151.
[15] Idem, hal. 151.
[16] Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Ushul al Fiqh, (__: Majlis al A’la
al Indunisiy li ad Da’wah al Islamiyyah,1986),hal. 89.
[19] A. Hanafi, Ushul
Fikih, (Jakarta: Wijaya,1959), hal.
151.
[21] Satria Effendi
M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana
Pernada Media Group, 2009),hal. 154.
[25] Idem,hal. 156 – 157.
Komentar