memahami hadis dengan baik
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Al Quran, kalam Alloh yang merupakan undang – undang pokok, sumber rujukan
dari segala perundang –undangan serta berbagai hal dalam Islam, seperti ubudiyyah,
mu’amalah, munakahat, diyyat, jinayah, dan lain sebagainya. Al Quran merupakan
karya terbesar sehingga tidak ada satu orangpun didunia ini yang mampu
menandinginya, bahkan untuk sekedar meniru, walaupun dari kalangan cendekiawan
sekalipun. Inilah yang membuktikan keBesaran Penciptanya, Allah Azza wa Jalla.
Meskipun demikian, hal – hal yang terkandung dalam Al Quran tidak semuanya
dijelaskan secara gamblang. Sehingga untuk dapat mengerti makna yang terkandung
didalamnya secara terperinci diperlukan penjelas yang mampu menginterpretasikan
seluruh makna secara jelas. Nabi Muhammad SAW memegang peran penting untuk
menjelaskan serta menyampaikan pelajaran dari Al Quran kepada ummatnya,
sehingga umat tidak salah dalam mengamalkan kandungan tersebut.
Namun setelah Nabi wafat ,banyak bermunculan hadis – hadis palsu dari
kalangan orang – orang di sekitar Arab, sehingga perlu penelitian khusus untuk
dapat membedakan mana hadis yang palsu serta mana yang asli. Terlebih bagi
golongan masyarakat yang hidup pada masa yang jauh setelah masa kenabian dan khulafaur
rasyidin seperti masa sekarang ini. Bagi kita, diperlukan kiat – kiat
khusus untuk dapat memahami As Sunnah yang merupakan pengejawantahan dari Al
Quran itu sendiri, agar kita tidak salah arah dalam memahami dan mengamalkan
apa yang menjadi topik dalam hadis tersebut.
B. RUMUSAN
MASALAH
Sebelum makalah ini dibahas secara menyeluruh, terlebih dahulu kami susun
sistematika rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut
:
1.
Bagaimana
fungsi hadis dalam syari’at?
2.
Bagaimana cara
memahami hadis dengan baik ?
II.
PEMBAHASAN
A. HADIS SEBAGAI SUMBER FIQH DAN DAKWAH
a.
Hadis
di bidang fiqh dan penetapan hukum syari’at
Hadis adalah sumber kedua dalam penetapan hukum – hukum fiqh dan syari’at
setelah Al Quran. Hal itu mengingat bahwa hadis adalah merupakan penjelas bagi Al
Quran. Ia merinci apa yang disebutkan Al Quran secara garis besarnya saja,
serta membatasi apa yang perlu di batasai dan mengkhususkan apa yang disebut
secara umum. Hal yang disepakati adalah bahwa hadis sebagai sumber dalam
penetapan hukum ibadah dan mu’amalah, baik berkaitan dengan
individu, keluarga ataupun negara.
Semua ahli fiqh dari kalangan muslimin yang berasal dari berbagai daerah
mengharuskan berpegang pada As Sunnah sebagai sumber hukum, serta merujuk
kepadanya dalam penetapan hukum. Mengingat As Sunnah sebagai sumber asasi bagi
fiqh, maka para fuqoha’ diharuskan memahami dan mendalami ilmu hadis,
sebagaimana ahli hadis diharuskan memahami fiqh secara baik. Karena pada
umumnya, orang – orang yang berkecimpung dalam bidang fiqh kurang mengetahui
seluk – beluk hadis dengan baik serta tidak mendalami ilmunya, terutama ilmu
yang berkaitan dengan kuat atau lemahnya perawi. Adakalanya mereka berdalil
dengan hadis yang sebetulnya tidak diakui oleh pakar hadis, namun ia tetap
bertengger diantara para fuqoha’ serta dijadikan hujjah bagi
mereka dalam menetapkan suatu hukum.
Sebaliknya, kebanyakan mereka yang mendalami hadis, tidak cukup menguasai
fiqh dan ushul fiqh serta tidak mampu mengeluarkan perbendaharaan pendapatnya.
Padahal masing – masing dari kedua kelompok ini sangat membutuhkan ilmu dari
lainnya untuk menyempurnakan ilmu yang telah dimilikinya. Ulama fiqh harus
cukup menguasai hadis dan ulama ahli hadis juga harus cukup menguasai fiqh
sehingga mereka benar – benar dapat memahami secara sempurna.
b.
Hadis
di bidang dakwah dan penyuluhan keagamaan
Sunnah Nabawiyah –setelah Al Quran- adalah sumber yang tidak akan pernah
habis untuk dikutip oleh para da’i dalam menyampaikan khutbah ataupun
pengajaran. Karena di dalam Sunnah Nabawiyah terdapat berbagai macam petunjuk
serta pelajaran – pelajaran yang dapat diaplikasikan dalam berbagai hal. Hal
itu mengingat bahwa As Sunnah berjalan diatas garis Al Quran serta membentuk
manusia sebagai pribadi yang paripurna.
Namun seyogyanya, seorang da’i perlu memperhatikan hadis yang seperti apa
yang akan mereka sampaikan. Mereka harus memilih hadis – hadis yang shohih,
seperti yang terdapat dalam Shohih Bukhori Muslim serta Hadis Sunan. Mereka
harus berhati – hati ketika menyebutkan suatu hadis yang dijadikan sebagai
dalil. Karena sebagian orang memang sering terkelabuhi oleh kemasyhuran suatu
hadis, padahal hadis tersebut adalah hadis yang dho’if, bahkan terkadang
berupa hadis yang tidak diketahui asalnya.
Cacat yang ada pada banyak penceramah adalah mereka bagai pencari kayu
dimalam hari. Artinya, mereka hanya mengambil sesuatu yang dijumpainya tanpa
memperhatikan kualitas dari apa yang diambil tersebut. Tujuannya tidak lain
adalah agar apa yang disampaikan itu dapat menyentuh perasaan audiens, meskipun
hal itu berasal dari hadis yang dho’if.
Syaikh Yusuf Qardhawi menjelaskan tentang berbagai fakta yang harus
diperhatikan oleh para penceramah, karena pada kenyataannya hal tersebut telah
disalahpahami oleh banyak orang. Fakta – fakta itu adalah :
1.
Penolakan sebagian
ulama terhadap hadis dho’if, meskipun yang berkaitan dengan targhib
dab tarhib.
2.
Tidak diikutinya
persyaratan yang ditetapkan oleh mayoritas ulama ahli hadis tentang pembolehan
periwayatan hadis dho’if.
3.
Larangan
periwayatan hadis dho’if dengan nada pasti.
4.
Hadis – hadis
shohih dan hasan sudah
mencukupi untuk keperluan berceramah.
5.
Menghindari
rusaknya perimbangan antar berbagai amalan.
6.
Periwayatan hadis
dho’if tentang fadhoil al a’mal tidak berarti memberi wewenang bagi
penetapan hukum.
7.
Dua syarat untuk
membolehkan periwayatan hadis dho’if.
-
Hadis tersebut
tidak mengandung hal – hal yang berlebih – lebihan atau dibesar – besarkan
sehingga ditolak oleh akal, syari’at serta bahasa.
-
Hadis tersebut
tidak bertentangan dengan suatu dalil syar’iy lainnya yang lebih kuat.
B. METODE PEMAHAMAN HADIS
Untuk dapat memahami as Sunnah dengan baik, Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi dalam
kitabnya Kaifa Nata’amal ma’a as Sunnah an Nabawiyyah menjelaskan bahwa As Sunnah dapat dipahami
dengan berbagai macam metode, yaitu :
1. Memahami
As Sunnah sesuai petunjuk Al Quran
2. Menggabungkan
hadis – hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
3. Penggabungan
atau pentarjihan antara hadis – hadis yang bertentangan.
4. Memahami
hadis – hadis sesuai latar belakangnya, situasi dan kondisinya, serta tujuannya.
5. Membedakan
antara sarana yang berubah – ubah dan tujuan yang tetap dari setiap hadis.
6. Membedakan
antara fakta dan metafora dalam memahami hadis.
7. Membedakan
antara yang ghoib dan yang nyata.
8. Memastikan
makna kata – kata dalam setiap hadis.
a.
Memahami As Sunnah sesuai dengan
petunjuk Al Quran
Untuk
dapat memahami As Sunnah dengan pemahaman yang benar, jauh dari
penyimpangan, pemalsuan dan penafsiran yang buruk, kita seharusnya memahaminya
sesuai dengan petunjuk Al Quran dalam kerangka yang sudah dipastikan
kebenarannya serta tidak diragukan keadilannya, karena Al Quran adalah ruh dari
eksistensi Islam
dan sebagai konstitusi dasar yang paling pertama dan utama serta menjadi
rujukan seluruh perundang – undangan Islam.
Sedangkan
As Sunnah sendiri adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut,
baik secara teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Oleh karena itu
tidaklah mungkin sesuatu yang merupakan ‘penjelas’ bertentangan dengan ‘apa
yang dijelaskan’ itu sendiri, sehingga penjelasan yang bersumber dari Nabi
selalu berkisar seputar Al Quran. Tidak mungkin ada suatu hadis shahih
yang kandungannya berlawanan dengan ayat – ayat Al Quran yang muhkamat,
yang berisi keterangan – keterangan yang jelas dan pasti. Dan jika ada
pertentangan, maka pasti hadisnya tidak shahih atau pemahaman kita yang
keliru. Kalaupun terdapat perbedaan paham diantara fuqoha’ dalam
menyimpulkan makna hadis, maka yang diutamakan adalah yang didukung dengan Al
Quran.
b.
Menghimpun hadis –
hadis yang terjalin dalam tema yang sama
Untuk
berhasil memahami As Sunnah secara benar, seharusnya kita menghimpun semua hadis
shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian mengembalikan
kandungan yang tersimpan didalamnya yang mutasyabih kepada yang muhkam,
mengaitkan yang muthlak dengan yang muqoyyad, menafsirkan yang ‘am
dengan yang khosh. Dengan cara itu, dapat dimengerti maksud dari sebuah
hadis dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis satu dengan
hadis yang lain.
Mencukupkan
diri dengan hanya melihat pada pengertian lahiriyah suatu hadis tanpa memperhitungkan
hadis – hadis lainnya serta nash – nash yang lain yang berkaitan dengan
topic tertentu, seringkali menjerumuskan seseorang kedalam kesalahan dan
menjauhkannya dari kebenaran serta maksud dari konteks hadis tersebut.
c.
Penggabungan atau
pentarjihan antara hadis – hadis yang (tampaknya) bertentangan
Pada
dasarnya, nash – nash syariat tidak mungkin saling bertentangan karena
kebenaran tidaklah mungkin bertentangan dengan kebenaran pula. Oleh karena itu,
apabila ditemukan pertentangan, sejatinya hal itu adalah hanya luarnya saja,
bukan kenyataannya, sehingga kita wajib menghilangkannya dengan cara :
-
Apabila pertentangan
itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash,
tanpa harus memaksakan atau mengada – ada, sehingga kedua – duanya dapat
diamalkan, maka yang demikan itu lebih utama daripada harus mentarjihkan
antara diamalkan keduanya. Sebab pentarjihan berarti mengabaikan salah
satu dari
keduanya dan mengutamakan lainnya.
Termasuk hal yang amat penting untuk memahami As
Sunnah dengan baik, ialah dengan cara menyesuaikan antara berbagai hadis
shahih yang redaksinya tampak seolah – olah saling bertentangan, demikian
pula makna kandungannya,sepintas tampak berbeda. Semua hadis itu sebaiknya
dikumpulkan, masing – masing dinilai secara proporsional, saling menyempurnakan
dan tidak saling bertentangan.
Kita hanya menekankan pada hadis – hadis yang
shahih saja, sebab yang dho’if atau yang kurang mantap sanadnya,
tidak termasuk dalam pembahasan ini.
Kita tidak meminta untuk menggabungkan antara hadis – hadis seperti ini dengan
hadis yang telah dinilai shahih, apabila terdapat pertentangan antara keduanya.
Diantara yang berkaitan dengan soal hadis – hadis
yang kandungannya dianggap saling bertentangan, adalah persoalan naskh (penghapusan)
atau adanya nasikh (yang menghapus suatu ketentuan) dengan yang mansukh
(yang terhapus ketentuannya).
Persoalan naskh ini tidak hanya berhubungan
dengan Al Quran, tapi juga berhubungan dengan hadis. Diantara mufassir ada yang
keterlaluan dalam pernyataan tentang naskh dalam Al Quran, sehingga ada
yang mengatakan bahwa sebuah ayat yang mereka namakan as saif telah
menaskh-kan lebih dari seratus ayat Al Quran. Walaupun demikian, tidak ada yang
bisa menyepakati apakah yang
dimaksud dengan ayat as saif tersebut.
Demikian pula soal hadis. Ada sebagian orang yang
berkecimpung dalam hadis menyatakan adanya naskh apabila mereka tidak
mampu menggabungkan antara kedua hadis yang saling bertentangan. Pada dasarnya,
dakwaan tentang adanya naskh dalam hadis tidak sebesar yang didakwaan
dalam Al Quran. Padahal keadaannya
seharusnya terbalik. Hal itu mengingat bahwa Al Quran adalah pegangan hidup
yang bersifat universal dan abadi. Sedangkan As Sunnah ada yang dikhususkan
menangani hal – hal yang bersifat particular dan temporer.
Meskipun demikian, kebanyakan dari hadis – hadis
yang diasumsikan sebagai mansukh, apabila diteliti lebih jauh, ternyata
tidaklah demikian. Hal ini mengingat bahwa diantara hadis – hadis itu, ada yang dimaksudkan
sebagai azimah (anjuran melakukan sesuatu walaupun terasa berat), dan
ada pula yang dimaksudkan sebagai rukhsoh (peluang untuk memilih yang
lebih ringan pada suatu ketentuan). Oleh karena itu keduanya mengandung kadar
ketentuan yang berbeda, sesuai dengan kedudukannya masing – masing.
Adakalanya suatu hadis bergantung pada situasi
tertentu, sementara yang lain bergantung pada situasi lainnya. Jelas bahwa
adanya perbedaan situasi seperti ini, tidak berarti adanya penghapusan atau naskh.
Sebagaimana apa yang dikatakan orang tentang larangan menyimpan daging kurban
lebih dari tiga hari, kemudian dibolehkan.
d.
Memahami hadis dengan
mempertimbangkan latar belakang, situasi, kondisi ketika diucapkan serta
tujuannya.
Diantara cara – cara yang baik untuk memahami hadis
Nabi SAW ialah dengan memperhatikan sebab – sebab khusus yang melatarbelakangi
diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan ‘illah (alasan) tertentu
yang dinyatakan dalam hadis tersebut atau disimpulkan dari hadis tersebut
ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya. Siapa saja yang mau
meneliti dengan seksama, pasti akan melihat bahwa diantara hadis – hadis, ada
yang diucapkan berkaitan dengan kondisi temporer khusus demi suatu mashlahah
yang diharapkan atau mudorot yang hendak dicegah, ataupun mengatasi
problem yang timbul pada waktu itu.
Ha ini memerlukan pemahaman yang mendalam, pandangan
yang teliti, pengkajian yang meliputi semua nash, serta wawasan yang
luas untuk mengetahui tujuan – tujuan syariat dan hakikat – hakikat agama.
Disamping itu juga diperlukan keberanian
moril dan kemantapan kejiwaan untuk mencanangkan kebenaran, meskipun berlawanan
dengan kebiasaan yang telah terjadi diantara masyarakat.
Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang
benar dan tepat, haruslah diketahui kondisi yang meliputinya, serta dimana dan
untuk tujuan apa ia diucapkan, sehingga maksudnya benar – benar jelas dan
terhindar dari berbagai pemikiran atau perkiraan yang menyimpang.
Kita mengetahui bahwa ulama telah menyatakan bahwa untuk
memahami Al Quran dengan benar, haruslah diketahui tentang asbabun nuzul.
Begitu juga untuk memahami As Sunnah juga diperlukan pengetahuan tentang asbabul
wurudnya. Sebab As Sunnah memang menangani berbagai problem yang bersifat
lokal (maudhu’iy), partikular (juz’iy) dan temporal (‘ainy).
Didalamnya juga terdapat masalah yang bersifat khusus maupun terperinci yang
tidak terdapat dalam Al Quran.
e.
Membedakan
antara sarana yang berubah – ubah dan sasaran yang tetap.
Diantara penyebab
kekacauan dan kekeliruan dalam memahami As Sunnah, ialah bahwa sebagian orang
mencampur-adukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh As Sunnah
dengan pra-sarana temporer atau lokal yang kadangkala menunjang pencapaian
sasaran yang dituju. Mereka
lebih mementingkan sarana ini, seolah-olah itulah yang menjadi tujuan
sebenarnya. Padahal, siapa saja yang mendalami setiap sarana dan
prasana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lainnya,
dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya; bahkan semua itu pasti
mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada
sesuatu yang menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk
menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk
mengikat kita dengannya, ataupun membekukan diri kita disampingnya.
Bahkan,
sekiranya al-Quran sendiri menegaskan tentang suatu sarana atau prasarana yang
cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu tidak berarti bahwa kita
harus berhenti padanya saja, dan tidak memikirkan tentang prasarana lainnya
yang selalu berubah dengan berubahnya waktu dan tempat.
Sebuah
contoh yaitu hadis tentang siwak (sepotong kayu lunak dari pohon
tertentu) untuk membersihkan gigi, tujuannya adalah kebersihan mulut sehingga
mendatangkan keridhaan Allah, seperti disebutkan dalam hadis ”siwak menyebabkan
kesucian mulut serta keridhaan Tuhan.”
Adakah
penggunaan siwak itu merupakan suatu tujuan tersendiri? Ataukah ia hanya
suatu alat yang cocok dan mudah diperoleh di jazirah Arab, sehingga Rasulullah
saw. menganjurkan penggunaannya, demi memanfaatkan sesuatu yang mudah didapat
oleh mereka?!
Oleh sebab
itu, tidak ada salahnya, bagi masyarakat-masyarakat lainnya yang tidak mudah
memperoleh kayu siwak itu, menggantikannya dengan alat lainnya yang dapat
diproduksi secara besar-besaran, cukup untuk digunakan oleh jutaan orang;
seperti sikat gigi yang kita kenal sekarang. Begitulah yang telah
dinyatakan oleh sejumlah fuqaha’.
f.
Membedakan
antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz dalam memahami
hadis
Ungkapan dalam bentuk majaz (kiasan) banyak sekali
digunakan dalam bahasa Arab. Dalam ilmu – ilmu balaghoh, dinyatakan
bahwa ungkapan dalam bentuk majaz lebih berkesan dari pada ungkapan
dalam bentuk biasa. Sedangkan Rosul SAW adalah seorang dari kalangan bangsa
Arab yang paling menguasai balaghoh dalam berbahasa Arab. Ucapan –
ucapannya adalah bagian dari wahyu. Maka tidak mengherankan apabila dalam hadis
– hadisnya banyak digunakan bahasa majaz.
Yang dimaksud majaz adalah, berbagai macam
ungkapan yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi dapat
dipahami dengan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat
tekstual maupun kontekstual. Termasuk percakapan imajiner (khayalan) yang dinisbahkan
kepada binatang – binatang, benda – benda mati serta berbagai makna abstrak.
Seperti contoh ketika Rasulullah berkata kepada istri – istrinya “yang
paling cepat menyusulku diantara kalian sepeninggalku adalah yang paling
panjang tangannya”. Mereka mengira bahwa yang dimaksud oleh beliau adalah
yang benar – benar bertangan paling panjang, sehingga mereka saling mengukur,
siapa yang tangannya paling panjang. Padahal yang dimaksud Rosul adalah yang
paling banyak kebaikannya dan kedermawanannya.
g.
Membedakan
antara alam ghaib dan alam kasatmata
Diantara kandungan as Sunnah, adalah hal – hal yang
berkaitan dengan alam ghoib, yang sebagiannya menyangkut makhluk – makhluk yang
tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat yang diciptakan Alloh
untuk melakukan berbagai macam tugas tertentu. Juga jin, penghuni bumi yang dibebani
kewajiban – kewajiban tertentu seperti manusia, mereka dapat melihat kita
sementara kita tidak dapat melihatnya. Serta setan – setan dan iblis serta masih
banyak lagi hal – hal ghaib yang tidak dapat kita lihat. Seperti ‘arsy,
kursy, lauh mahfudz, qalam, alam barzakh, pertanyaan malaikat ketika
dalam kubur, nikmat dan siksa kubur, dan lain sebagainya.
Semua itu atau sebagian besarnya menjadi bahan
pembicaraan Al Quran. Namun As Sunnah berbicara tentangnya secara lebih luas,
dengan menguraikan secara terinci apa – apa yang disebutkan oleh Al Quran secara
garis besarnya saja. Sudah menjadi kewajiban muslim untuk dapat menerima hadis
– hadis yang telah dishohihkan sesuai dengan kaidah – kaidah yang ditetapkan
oleh para ahlinya serta para salaf yang menjadi panutan umat. Bagi kita tidak
dibenarkan menolaknya hanya karena menyimpang dari apa yang biasa kita alami,
atau tidak sejalan dengan apa yang kita ketahui selama ini. Yakni selama hal
itu masih dalam batas kemungkinan menurut akal, walaupun kita menganggapnya
mustahil menurut kebiasaan. Sebab, manusia dengan berbagai ilmu pengetahuan
yang dicapainya, mampu menciptakan berbagai macam barang yang tadinya termasuk
barang yang mustahil, yang seandainya diceritakan kepada orang – orang
terdahulu, mereka akan menuduh orang yang bercerita sebagai orang gila.
Karena itu para ulama menetapkan bahwa adakalanya agama
membawa sesuatu yang membingungkan akal, namun tak mungkin agama membawa
sesuatu yang dimustahilkan oleh akal. Atas dasar itu pula, segala sesuatu yang
dinukilkan dari sumber agama yang shohih tidak akan bertentangan dengan
apa yang dapat dicerna oleh akal secara lurus dan gamblang.
Kalaupun ada yang bertentangan, hal itu pasti dikarenakan
adanya kekeliruan yang terjadi, baik karena nukilan itu tidak shohih
ataupun kesimpulan akal yang tidak benar. Dengan kata lain, mungkin saja apa
yang disangka oleh seseorang itu bagian dari agama, padahal hakikatnya tidaklah
demikian.
Beberapa aliran –diantaranya kaum Mu’tazilah- telah
bersikap ekstrem dengan menolak sejumlah hadis shohih dengan alasan
kandungan yang ada di dalamnya tidak masuk akal. Misalnya, hadis yang
menerangkan tentang pertanyaan di alam kubur, kenikmatan ataupun azab
yang akan dirasakan didalamnya, serta yang berkenaan dengan mizan dan shiroth.
h.
Memastikan
makna dan konotasi kata – kata dalam hadis
Penting sekali untuk memahami hadis dengan sebaik –
baiknya, dengan memastikan makna dan konotasi yang digunakan dalam susunan
kalimat dalam hadis. Sebab, konotasi kata – kata tertentu adakalanya berubah dari
satu masa ke masa lain, dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya. Hal ini
diketahui, terutama oleh mereka yang mempelajari perkembangan bahasa – bahasa
serta pengaruh waktu dan tempatnya.
Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata – kata
tertentu untuk menunjuk kepada makna tertentu. Akan tetapi yang di khawatirkan
adalah apabila mereka menafsirkan kata – kata yang ada dalam hadis sesuai
dengan istilah yang mereka gunakan. Disini akan timbul adanya kerancuan dan
kekeliruan.
Imam Ghazali menulis dalam kitab Ihya’ Ulum Ad Din
suatu bab yang sangat penting yaitu Kitab Al ‘Ilm sebagai berikut :
“ Ketahuilah bahwa asal-mula terkacaunya ilmu – ilmu yang
tercela dengan ilmu – ilmu syariat,
adalah penyimpangan dan penggantian nama – nama yang baik, kemudian
pengalihannya berdasarkan tujuan – tujuan yang buruk kepada makna – makna yang
tidak dimaksudkan oleh para salaf serta para tokoh abad pertama. Semuanya ada 5
kata yaitu fiqh, ‘ilm, tauhid, tadzkir, dan hikmah. Kelima –
limanya adalah makna yang terpuji. Akan tetapi kelima nama tersebut kini telah
dialihkan kepada makna – makna tercela dan dijelaskan oleh Imam Al Ghazali
dalam kitabnya tersebut.
Sebagai contoh, kata tashwir yang disebutkan dalam
beberapa hadis shohih. Tidak sedikit orang yang memahami kata tersebut
dengan pekerjaan fotografi (mengambil gambar dengan kamera). Apakah makna
tersebut sudah sesuai, sementara pada saat hadis itu disampaikan belum ada
istilah fotografi seperti sekarang ini?. Jelas bahwa istilah fotografi
menggunakan bahasa tashwir itu adalah istilah baru berdasarkan kebiasaan
yang baru pula. Sementara pada masa itu, istilah tashwir bukan digunakan
seperti istilah fotografi seperti sekarang ini. Begitu juga istilah ‘aks
yang digunakan oleh penduduk Qatar yang mengandung arti pantulan untuk gambar
foto. Makna yang lebih tepat untuk istilah tashwir disini adalah naht
(pahatan) yang oleh para ulama terdahulu disebut sebagai gambar yang berbayang.
Sebab tashwir jenis itulah yang paling tepat memenuhi makna tashwir
dalam hadis tersebut, baik dari segi bahasa maupun syari’at.
III.
KESIMPULAN
Setelah menguraikan panjang lebar tentang pentingnya
memahami hadis secara baik dan benar, dapat diambil kesimpulan bahwa hadis
memegang peranan penting dalam kehidupan sehari – hari. Karena disamping hadis
merupakan penjelasan terperinci tentang kandungan Al Quran, hadis juga memegang
korelasi penting dalam kodifikasi hukum Islam. Hadis juga merupakan sumber
kedua setelah Al Quran yang dipakai sebagai acuan pengajaran syari’at Islam.
Namun, setelah mengalami metamorfosa yang begitu lama,
seringkali seseorang mengalami kesalahan dalam upaya pengkajian hadis secara
benar sehingga apa yang mereka tangkap seringkali tidak sesuai dengan apa
maksud sebenarnya yang dikehendaki oleh hadis tersebut. Oleh karena itu
diperlukanlah pendalaman yang serius agar dapat memahami hadis secara sempurna.
IV.
PENUTUP
Pada akhir pembahasan ini, perlu ditekankan bahwa hadis
memerlukan pelayanan intensif yang layak bagi kedudukannya serta kedudukan umat
Islam pada ujung abad ini. Pelayanan ini harus dilakukan secara gotong – royong
oleh semua lembaga keilmuan Islam, sehingga hasilnya betul betul memuaskan dan
menyejahterakan umat.
Mudah – mudahan Alloh senantiasa memberikan rahmatNya
kepada ahli dakwah dan para ulama besar kita yang telah men-syarh-kan Shahih
Bukhori dan Shohih Muslim, secara ilmiah dan modern sehingga dapat
memberikan pelayanan yang diperlukan bagi pendidikan.
Demikianlah makalah ini kami tulis, semoga dapat
memberikan manfaat bagi kita seluruhnya. Amin Ya Robb Al ‘Alamin. Wa Allohu
A’lam bi ash showab.
DAFTAR PUSTAKA
-
Qardhawi, Yusuf, Kaifa
Nata’amalu Ma’a As Sunnah An Nabawiyyah, Penerjemah, Muhammad Al Baqir, Bagaimana
Memahami As Sunnah An Nabawiyyah, Bandung: Karisma,1993.
Komentar