Tasawuf dan Perkembangannya
I.
PENDAHULUAN
Islam dalam perkembangannya mengalami berbagai
perubahan baik dalam hal keilmuan maupun hal lainnya. Didalamnya tercakup
berbagai macam unsur – unsur yang menjadikan kesempurnaan ajarannya. Namun
seiring perkembangan masa, unsur – unsur tersebut dipisahkan sehingga dapat
dipelajari secara mendalam tanpa mengurangi inti dari ajaran pokoknya.
Begitupun dengan akhlak yang membahas tentang cara – cara berperilaku dan
bersikap, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun hubungan kepada Alloh. Dalam proses
pendekatan diri kepada Alloh (ibadah), seseorang menempuh berbagai macam cara
agar mereka dapat mencapai puncak kenikmatan beribadah, sehingga terkadang apa
yang mereka lakukan tidak dapat dinalar oleh orang lain. Namun tidak semua
orang dapat mencapai proses tersebut sehingga memerlukan bantuan orang lain
agar dapat melaksanakan interaksi dengan baik.
II.
PERMASALAHAN
Apakah
pengertian tasawuf?
2.
Bagaimana
sejarah dan perkembangan tasawuf ?
3.
Bagaimana
kedudukan tasawuf dalam studi Islam ?
4.
Apakah ruang
lingkup kajiaan tasawuf ?
5.
Bagaimana
pemikiran dalam tasawuf dan siapakah tokoh – tokohnya ?
III.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TASAWUF
Dalam
mengajukan teori tentang pengertian tasawuf, baik secara etimologi
maupun secara istilah, para ahli ternyata berbeda pendapat. Secara etimologi,
pengertian tasyawuf dapat dilihat menjadi beberapa macam pengertian,
seperti dibawah ini :
1.
Tasyawuf berasal dari istilah yang
dikonotasikan dengan “ahlu suffah” (اهل الصفة (, yang
berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam
diserambi-serambi masjid, dan mereka mengapdikan hidupnya untuk beribadah
kepada Allah SWT.
2.
Berasal dari
kata shafa (صفاء ) yang berarti nama bagi orang – orang yang ‘bersih’ atau
‘
suci’. Maksudnya adalah orang – orang yang mensucikan diri dihadapan Tuhannya.
3.
Shaf ( صفّ), yang
dinisbahkan kepada orang – orang yang ketika shlat selalu berada di shof yang
palin depan.
4.
Dinisbahkan
kepada orang – orang Bani Shufah.
5.
Dinisbahkan
dengan bahasa Yunani, yakni saufi (سوفي ). Istilah ini disamakan maknanya dengan
kata hikmah,yang berarti kebijaksanaan.
6.
Berasal dari
kata shaufanah yaitu sebangsa buah – buahan kecil berbulu banyak yang tumbuh di
padang pasir di tanah Arab dan pakaian kaum sufi berbulu – bulu seperti buah
itu pula, dalam kesederhanaannya.
7.
Berasal dari
kata shuf (صوف ) yang berarti bulu domba atau wool.
Sedangkan arti
tasawuf berdasarkan istilah telah banyak dirumuskan oleh para ahli, yang satu
sama lain berbeda antara lain :
1.
Menurut Al
Jurairi adalah memasuku segala budi (akhlak) yang bersifat sunni dan keluar
dari budi pekerti yang rendah.
2.
Menurut Al
Junaidi adalah bahwa yang Hak adalah yang mematikanmu, dan Hak lah yang
menghidupkanmu. Dalam ungkapan lain, beliau mengatakan bahwa tasawuf adalah
beserta Allah tanpa adanya penghubung.
3.
Menurut abu
hamzah, ia memberi ciri terhadap ahli tasawuf sebagai berikut ; tanda sufi yang
benar adalah berfakir setelah dia kaya, merendahkan diri setelah dia bermegah –
megah, menyembunyikan diri setelah dia terkenal, dan tanda sufi palsu adalah
kaya setelah dia fakir, bermegah – megah setelah dia hina, dan tersohor setelah
dia bersembuyi.
4.
Amir bin Usman
Al Makki pernah mengatakan tasawuf adalah seorang hamba yang setiap waktunya
mengambil waktu yang utama.
5.
Muhammad Ali Al
Qassab memberikan ulasan bahwa tasawuf adalah akhlak yang mulia yang timbul
pada masa yang mulia dari seorang yang mulia ditengah – tengah kaumnya yang
mulia.
6.
Menurut
Syannun,tasawuf adalah bahwa engkau memiliki sesuatu dan tidak dimiliki
sesuatu.
7.
Ma’ruf Al
Karakhi mengungkapkan tasawuf adalah mengambil hakikat dan berputus asa pada
apa yang ada ditangan makhluk.
8.
Al Junaedi
menyimpulkan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan
diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat
menujun keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegangan teguh
pada janji Alloh dan mengikuti syariat Rosulalloh dalam mendekatkan diri dan
mencapai keridloan-Nya.[1]
B.
SEJARAH DAN
FAKTOR LAHIRNYA TASAWUF
1.
Sejarah
Perkembangan Tasawuf
Secara
garis besar kehidupan kerohanian dalam Islam terbagi menjadi dua, yakni tasawuf
dan zuhud. Keduanya merupakan istilah baru dalam Islam, sebab belum ada pada
masa Nabi. Pada masa beliau, istilah yang populer adalah sahabat. Ketika Islam
berkembang dan banyak orang yang memeluk Islam, dan terjadi perkembangan strata
sosial, maka muncul istilah baru dikalangan sahabat, yakni diantaranya Qurra’,
Ahl al Shuffah, Fuqara’, Tawwabin. Sebagaimana telah diketahui, bahwa sejarah
Islam ditandai dengan peristiwa tragis, yakni terbunuhnya kholifah Usman. Dari
peristiwa ini, menyebabkan sahabat yang masih ada kembali kejalan yang benar.
Inilah benih tasawuf yang paling awal.[2]
a.
Masa
Pembentukan
Dalam
abad 1 H bagian kedua, muncul Hasan Basri dengan ajaran khauf. Kemudian pada
akhir abad 1H diikuti Rabi’ah Adawiyah dengan ajarannya hub al ilah.
Selanjutnya pada abad 2 H, Tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad
sebelumnya,yakni sama dalam corak zuhudnya,meskipun penyebabnya berbeda (lebih
bercorak Fiqh).
b.
Masa
Pengembangan
Tasawuf
pada abad 3 H dan 4H sudah mempunyai corak yang berbeda sekali dengan abad
sebelumnya.Pada abad ini bercorak ke fana’an (ekstase) yang menjurus ke
persatuan hamba dan khalik. Pada abad 3H dan 4H terdapat dua aliran.aliran
tasawuf sunnah yaitu bentuk tasawuf yanng membantengi dirinya dengan Alqur’an
dan al Hadist.tasawuf semi falsafi
cenderung menuju pada pernyataan tentang terjadinya penyatuan.(ittihad
atau hulul)
c.
Masa
konsolidasi
Tasawuf
pada abad 5 H mengadakan konsolidasi.Ditandai dengan Kompetisii antara tasawuf
sunni dan tasawuf semi falsafi.kemenangan tasawuf sunnii karena menangnya
teologi ahl sunnah wa al jama’ah yang dipelopori Abu al Hasan Al Asy’ari.
d.
Masa Falsafi
Abad
VI H muncul tasawuf falsafi,yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran
filsafat.Pada abad VI dan VII H ,muncul orde orde(tarekat)sufi.Pondok pondok
tersebut merupakan oase oase di tengah
tengah gurun pasir kehidupan duniawi.
e.
Masa
pemurnian
A.J.Arberry
menyatakan bahwa pada masa Ibn Araby,Ibn Faridl,dan Al Rumy adalah masa
keemasan gerakan tasawuf ,secara teoritis dan praktis.Ibnu Taimiyah lebih
cenderung bertasawuf sebagai mana yang pernah diajarkan oleh Rasullah,yakni
menjelaskan dan menghayati ajaran Islam,tanpa embel embel lain,tanpa mengikuti
aliran tarekat tertentu ,dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan
sosial,sebagaimana manusia pada umumnya.Tasawuf ini yang cocok untuk
dikembangkan di masa modern seperti sekarang.
2.
Faktor Lahirnya
Tasawuf
v Faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya,al
Qur’an dan As Sunnah.Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara’ dan
taqwa.Banyak ayat Al Qur’an yang mendorong umatnya untuk mempunyai sifat
terpuji.Dan berbagai ayat banyak sifat surga dan neraka,agar umat termotivasi
dan menjauhkan diri dari neraka.
v Reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistem sosial politik dan
ekonomi di kalangan umat Islam
sendiri.Seperti perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah.Dengan
adanya fenomena fenomena sosial politik seperti itu ada sebagaian masyarakat
atau ulama yand tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap
tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada ,mereka mengasingkan diri agar
tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.
v Kependetaan (rabbaniyah)agama Nasrani ,sebagai konsekuensi agama
yang lahir sebelum Islam ,pemeluknya tersebar di seluruh negara,dan sikapp
sikapnya mempengaruhi masyarakat agama lain,termasuk Islam.
v Reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam .keduanya tidak bisa memuaskan
batin seorang muslim.
C.
KEDUDUKAN
TASAWUF DALAM STUDI ISLAM
Salah
satu dari ajaran dasar Islam yang lain
adalah bahwa manusia yang tersusun dari badan dan roh itu berasal dari Tuhan
dan akan kembali kepada Tuhan. Tuhan adalah suci dan dan roh yang datang dari
Tuhan juga suci dan akan dapat kembali ketempat asalnya disisi Tuhan, kalau ia
tetap suci. Kalau ia menjadi kotor dengan masuknya ia kedalam tubuh manusia
yang bersifat materi itu ia tidak akan dapat kembali ketempat asalnya.[3]
Oleh
karena itu harus diusahakan supaya roh tetap suci dan manusia menjadi baik.
Ajaran Islam mengenai hal ini tersimpul dalam ibadat yang mengambil bentuk
sholat, puasa, zakat, haji, dan ajaran – ajaran mengenai moral atau akhlak Islam.
Nabi Muhammad memang pernah mengatakan bahwa beliau datang untuk menyempurnakan
budi pekerti luhur "
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق ".
aspek ibadah dan ajaran moral ini juga merupakan aspek penting dalam Islam.
Dalam
hal itu, ada segolongan umat Islam yang merasa tidak puas dengan cara formil
yang terdapat dalam ibadah untuk mendekati Tuhan. Dengan
kata lain, hidup spirituil yang diperoleh melalui ibadah biasa belum memuaskan
kebutuhan spirituil mereka, maka mereka mencari jalan lain yamng membawa mereka
lebih dekat kepada Tuhan, sehingga mereka merasa dapat melihat Tuhan dengan
hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan Tuhan. Ajaran – ajaran ini dalam Islam
disebut dengan tasawuf.[4]
Tasawuf
adalah perwujudan daripada ihsan, salah satu tiga pilar agama Islam sesudah
iman dan islam. Nabi bersabda “ihsan adalah beribadah kepada Alloh seakan –
akan kamu melihat-Nya, dan apabila tidak bisa, maka kamu harus menyadari bahwa
Alloh selalu melihatmu.”[5]
Apabila
Al Quran kita kaji secara mendalam, maka didalamnya kita dapatkan berbagai
bentuk hukum syar’i, yang secara global dapat dibentuk menjadi tiga bagian
utama, yaitu bagian yang berkaitan dengan ‘aqidah, bagian yang berkaitan dengan
cabang baik ibadah maupun muamalah, dan yang berkaitan dengan moral (akhlak).
Mengenai
aspek moral, dalam Al Quran terdapat banyak ayat yang mendorong hidup zuhd,
sabar, tawakkal, rela cinta, hidup sederhana dan segala sifat yang
diperintahkan kepada setiap muslim sebagai kesempurnaan iman. Sebenarnya moral Islam
adalah landasan syariat Islam, sehingga ketiadaan moral dalam hukum – hukum
syariat, baik yang berkaitan dengan bidang aqidah maupun fiqh, akan membuat
hukum tersebut laksana wadah tanpa isi. Rasa keagamaan bukan hanya bersandar
pada formalitas agama, tanpa substansi, atau sekedar penunaian seruan agama.
Rasa keagamaan adalah pemahaman dan pengamalan terhadap agama, sehingga terjadi
keselarasan dalam mengabdi kepada Alloh dan hidup bermasyarakat. Dengan begitu,
agama serta para pemeluknya tidak akan terisolasi dari realitas kehidupan.
Hal
penting yang harus dipahami adalah pada esensinya, agama adalah moral, yakni
moral antara hamba dengan Tuhannya, antara dia dengan dirinya sendiri, antara
dia dengan anggota keluarganya, serta antara dia dan anggota masyarakatnya.
Karena menyadari pentingnya landasan moral dalam agama, maka para sufi menaruh
perhatian terhadapnya dan berpendapat bahwa setiap ilmu yang tidak disertai
dengan takwa kepada Alloh tidak akan berarti dan bermanfaat. Hal ini karena
moral baik adalah, hasil dari praktek – praktek berat dan perjuangan manusia
dengan hawa nafsunya sendiri.[6]
D.
RUANG LINGKUP
KAJIAN TASAWUF
Pokok-pokok
masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak tasawuf pada intinya adalah perbuatan
manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau
buruk. Pengertian ilmu akhlak tasawuf sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad
Al-Ghazali, menurutnya bahwa kawasan pembahasan ilmu akhlak adalah seluruh
aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok.
Dalam masyarakat barat akhlak sering diidentikkan dengan etika, walaupun
pengidentikkan ini tidak sepenuhnya tepat. Etika adalah penyelidikan tentang
tingkah laku dan sifat.[7]
Intisari
dari ajaran tasawuf sendiri adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog
antara manusia dan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Kesadaran itu selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat sekali dengan Tuhan dalam
arti bersatu dengan Tuhan.[8]
Ada
dua jenis pembagian dalam pokok – pokok ajaran tasawuf. Pembagian yang pertama,
ilmu tasawuf dikelompokkan menjadi dua[9] ;
a.
Tasawuf Ilmu
(Nadhori) yaitu tasawuf yang bersifat
teoritis yang didalamnya mencakup sejarah lahirnya tasawuf, perkembangannya
sehingga menjelma menjadi ilmu tersendiri, serta teori – teori tasawuf menurut
berbagai tokoh tasawuf.
b.
Tasawuf Amali
(Tathbiqi), yaitu tasawuf yang bersifat
praktis. Orang yang menjalankan tasawuf ini membentuk adanya pengamalan dalam
rangka mencapai tujuan tasawuf, sehingga mereka akan mendapat keseimbangan
dalam kehidupannya, antara materiil dan spiritual, dunia dan akhirat.
Pembagian
yang kedua tasawuf dikelompokkan kedalam tiga hal :
a.
Tasawuf Akhlaqi yaitu ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan
kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan
pendisiplinan tingkah laku yang ketat[10].
Manusia pada dasarnya cenderung mengikuti hawa nafsunya. Manusia dikendalikan
oleh hawa nafsunya, bukan sebaliknya. Padahal cara hidup tersebut dapat membawa
manusia kepada kehancuran sehingga seringkali membuat dia lupa akan
kedudukannya sebagai hamba Alloh. Oleh karena itu dia perlu direhabilitasi
dengan tujuan agar dapat menguasai hawa nafsunya serta mengetahui posisi
sebagai hamba Alloh. Hal tersebut dapat dicapai dengan latihan dan amalan yang
dibagi menjadi tiga tingkatan yakni[11]:
-
Takhalli, membersihkan diri dari sifat – sifat tercela serta kotoran –
kotoran dan penyakit hati. Langkah yang harus ditempuh adalah mengetahui dan
menyadari betapa buruknya sifat – sifat tercela dan kotoran – kotoran hati
tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk memberantasnya.
-
Tahalli, menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan
sikap serta perbuatan baik. Langkah yang harus dilakukan adalah membina pribadi
agar memiliki akhlak yang baik serta berusaha agar setiap gerak perilaku selalu
berjalan diatas ketentuan agama.
-
Tajalli, penghayatan rasa ketuhanan. Dalam arti lain disebutkan bahwa
tajalli adalah hilangnya hijab dari sifat – sifat kemanusiaan, terang/ jelasnya
nur yang selama itu ghoib (tersembunyi), lenyapnya/ fananya segala sesuatu
(selain Alloh) ketika tampak wajah Alloh. Nama lain dari tajalli adalah
ma’rifah yakni mengetahui rahasia – rahasia ketuhanan dan peraturan –
peraturan-Nya tentang segala yang ada, atau lenyapnya segala sesuatu ketika
menyaksikan Tuhan.
b.
Tasawuf Amali[12], yaitu tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan
diri kepada Alloh. Setiap orang memiliki kemampuan sendiri – sendiri. Ada yang
mampu untuk mendekatkan diri tanpa bantuan orang lain, serta ada yang tidak
mampu sehingga memerlukan orang lain untuk membantunya. Oleh karena itu
terdapat tingkatan – tingkatan tersendiri dalam upaya mendekatkan diri yakni ;
-
Murid, orang
yang mencari pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya,
dengan memusatkan segala perhatian dan usahanya kearah itu.
-
Syekh, pemimpin
kelompok kerohanian, pembimbing dan pengawas murid – muridnya dalam segala
kehidupannya. Syekh ini juga disebut mursyid atau kholifah, ia adalah orang
yang memiliki tingkat kerohanian yang tinggi, sempurna ilmu syariatnya, matang
ilmu hakikat dan ma’rifatnya.
-
Wali dan qutub,
seseorang yang telah mencapai puncak kebathinan, memperoleh ilmu ladunni yang
tinggi, sehingga tersingkap tabir – tabir yang ghoib.
Ajaran
– ajaran agama itu menagndung arti
lahiriyah dan bathiniyah, oleh karena itu, cara memahami dan mengamalkannya
juga harus melalui aspek lahir dan bathin yang dibagi menjadi empat kelompok ;
-
Syariah, amalan – amalan lahir yang telah difardlukan oleh agama.
-
Thoriqoh, perjalanan menuju kepada Alloh. Dalam melaksankan syariah harus
sesuai dengan cara – cara yang telah digariskan agama dan dilakukan hanyakarena
penghambaan diri kepada Alloh. Perjalanan ini sudah mulai bersifat bathiniyah,
yaitu amalan dhohir yang disertai amalan bathin.
-
Hakikat, rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syariah dan
akhir perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi. Thoriqoh tidak dapat
dipisahkan dengan hakikat, bahkan sambung menyambung antara satu sama lain.
Syariah sebagai peraturan, thoriqoh adalah cara pelaksanaan, hakikat sebagai
keadaan dan ma’rifah merupakan tujuan.
-
Ma’rifah, pengetahuan mengenai Tuhan dengan melaui hati. Pengetahuan itu
sedemikian lengkap sehingga merasa
bersatu dengan jiwanya.
c.
Tasawuf Falsafi[13], yaitu tasawuf yang ajaran – ajarannya memadukan antara visi
mistis dan rasional. Ciri umumnya adalah kesamaran – kesamaran ajarannya,
dikarenakan banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami
oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Namun, tasawuf ini tidak
bisa dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada
dzauq, dan juga sebaliknya, tidak bisa
dikategorikan pada tasawuf murni, karena ajarannya diungkapkan dalam bahasa
filsafat.
E.
TOKOH SUFI DARI
MASA KE MASA
Dalam
sejarah perkembangannya, ajaran kaum sufi dapat dibedakan kedalam beberapa
periode, yang setiap periode memiliki karakteristik masing – masing. Periode
tersebut adalah :
Ø Abad I dan II hijriyah, pada abad ini, ajaran kaum sufi bercorak
akhlaki, yakni pendidikan moral dan mental dalam rangka pembersihan jiwa dan
raga dari pengaruh duniawi.
Ø Abad III dan IV hijriyah, ajarannya tidak hanya sebatas pembinaan
moral sebagaimana pada abad pertama dan kedua, akan tetapi sudah semakin
berkembang. Menurut al Taftazani, pada masa itu terdapat dua aliran tasawuf.
Pertama, aliran yang mempunyai paham moderat, ajarannya selalu merujuk pada al
quran dan hadis (sesuai timbangan syariah). Kedua, aliran yang mengakui adanya
fana’, mereka sering mengucapkan kata – kata ganjil berbau filosofis.
Ø Abad V hijriyah, aliran pertama terus tumbuh dan berkembang,
sementara aliran kedua mulai tenggelam dan baru muncul kembali dalam bentuk
lain pada abad VI hijriyah.
Ø Abad VI hijriyah dan seterusnya, tasawuf falsafi muncul kembali
dalam bentuk yang lebih sempurna[14].
a.
Tokoh – tokoh
sufi abad pertama dan kedua hijriyah
♦
Hasan Al Basri (Al Hasan Bin Abi Al Hasan Abu Sa’id). Lahir di Madinah pada tahun
21 H/642 M dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H/728 M. Putra dari Zaid Bin
Tsabit, seorang budak yang kemudian menjadi sekretaris Nabi dan Ummu Salamah,
isteri Nabi. Prinsip ajarannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantias
diukur dengan Sunnah Nabi. Dasar pendiriannya adalah zuhd terhadap dunia,
menolak segala kemegahan, hanya semata menuju kepada Alloh, tawakkal, khouf dan
roja’. Diantara ucapannya adalah ; “ seorang faqih ialah yang bersikap zuhd
terhadap kehidupan duniawi, yang tau akan dosanya dan selalu beribadah kepada
Alloh”.[15]
♦
Ibrahim Bin
Adham (Abu Ishaq Ibrahim Bin Adham) dari Balkh
Khurasan. Beliau lahir di Mekkah dari keluarga bangsawan dan meninggal pada
tahun 160 H/777 M. Beliau adalah seorang pangeran yang kemudian meninggalkan
kerajaannya dan menjadi zahid. Diantara ucapan – ucapannya adalah “ ketahuilah,
kamu tidak akan bisa mencapai peringkat orang – orang shaleh sebelum melewati 6
pos. Hendaklah kamu menutup pintu kenikmatan dan membuka pintu kesulitan,
menutup gerbang kemusyrikan dan membuka gerbang kehinaan, menutup pintu santai
dan membuka pintu kerja keras, menutup gerbang tidur dan membuka gerbang jaga tengah
malam, menutup gerbang kekayaan dan membuka gerbang kemiskinan, menutup gerbang
cita – cita dan membuka gerbang kesiapan menghadapi mati”.[16]
♦
Sufyan Al
Tsauri (Abu Abdulloh Sufyan Bin Sa’id Bin
Masruq Al Sauri Al Kufi). Lahir di Kuffah pada tahun 97 H/715 M dan meninggal
di Basrah pada tahun 161 H/778 M. Hidup kerohaniannya menjurus kepada hidup
bersahaja, penuh kesederhanaan, tidak terpukau dengan duniawi. Beliau
menasihatkan kepada murid – muridnya agar jangan terpengaruh pada dunia, jangan
suka menjilat penguasa, muru’ah dan jangan sampai mengemis pada penguasa.
Diantara ucapannya adalah “ supaya jangan rusak agamamu”.[17]
♦
Rabi’ah Al
Adawiyah (Ummu Al Khoir Rabi’ah Binti
Isma’il Al Adawiyah Al Qisiyah). Lahir di Basrah pada tahun 96 H/713 M dan
meninggal tahun 185 H/801 M. Konsep zuhd yang dibawa oleh Hasan Al Basri yang
bersifat khouf dan roja’ dikembangkan oleh Rabi’ah Al Adawiyah kepada konsep
zuhd karena cinta (hubb). Cinta murni kepada Tuhan merupakan puncak tasawuf Robi’ah
Al Adawiyah. Keadaan tersebut selalu di senandungkan dalam syi’ir seperti :
Buah hatiku, cintaku hanya kepadaMu
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadiratMu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain diriMu
b.
Tokoh – tokoh
sufi abad III dan IV hijriyah
♦
Ma’ruf Al
Kharakhi (Abu Mahfudz Ma’ruf Bin Firuz Al
Kharkhi). Beliau berasal dari Persia namun lebih banyak hidup di Baghdad, pada
masa pemerintahan Harun Al Rasyid. Beliau meninggal pada tahun 200 H/815 M.
Beliau adalah orang pertama yang mengembangkan tasawuf dari paham cinta (hubb)
yang dibawa oleh Rabi’ah Adawiyah. Ia mengatakan bahwa rasa cinta itu bukan
karena belajar, namun semata – mata karena karunia Alloh. Diantara ajarannya
adalah perkataan “ seorang sufi adalah tamu tuhan di dunia ini, dan oleh karena
itu ia berhak mendapat sesuatu yang diberikan kepada tamu, tetapi tidak berhak
mengemukakan kehendaknya. Cinta itu adalah pemberian Tuhan, ajaran sufi
menyuruh mengetahui yang benar dan menampik yang salah.”[18]
♦
Abu Al Hasan
Surri Al Saqti (Abu Al Hasan
Surri Al Muglisi Al Saqti). Beliau wafat tahun 253 H/867 M. Dalam sejarah sufi,
beliau dikenal sebagai pelopor dalam membahas soal tauhid dan merupakan orang
yang paling wara’ pada masanya. Diantara ungkapannya adalah “ barangsiapa ingin
akan keselamatan agamanya, kesejahteraan badannya, dan sedikit dukacitanya,
maka hendaklah menyendiri dari orang banyak.”[19]
♦
Abu Sulaiman Al
Daroni (Abu Sulaiman Abdurrahman Bin Utbah
Al Daroni). Beliau lahir di Daran, sebuah kampung di Damaskus dan meninggal
pada tahun 215 H/830 M. Beliau adalah seorang ‘arif dan hidupnya sangat wara’.
Diantara ajarannya adalah “ orang yang ‘arif kalau telah terbuka mata hatinya, kaburlah
penglihatan mata lahirnya, sehingga tidak ada satupun yang terlihat kecuali
Alloh.”[20]
♦
Harisy Al
Muhasibi (Abu Abdillah Al Harisy Bin Asad Al
Basri Al Muhasibi). Lahir di Basrah tahun 165 H/ 781 M dan meninggal tahun 243
H/ 857 M. Ajaran tasawufnya antara lain “ barangsiapa yang telah bersih hatinya
karena senantiasa muroqobah dan ikhlas, maka akan dihiasi lahirnya dengan
mujahadah dan mengikuti contoh Rosul.”[21]
♦
Zu Al Nun Al
Mishri (Abu Al Faid Sauban Bin Ibrahim Zu
Al Nun Al Mishri). Lahir di Ekhmim, kawasan Mesir Hulu tahun 155 H/770 M dan
meninggal tahun 245 H/860 M. Ma’rifah merupakan tujuan pokoknya yang dicapai
dengan jalan mahabbah, dengan berprinsip cinta kepada Alloh dan Rosul, zuhud
terhadap dunia, mengikuti kitab dan sunnah dan takut memperturutkan syahwat.
Jasa yang paling besar adalah beliau menetapkan adanya maqomat dan ahwal menuju
ma’rifah.[22]
♦
Abu Yazid Al
Bustami (Abu Yazid Bin Isa Bin Syurusan Al
Bustami). Lahir sekitar tahun 200 H/814 M di Bustam dan meninggal tahun 261
H/875 M. Beliau merupakan pembawa paham al fana’dan al baqo’ serta pencetus
paham al ittihad. Kata – kata yang diucapkannya seringkali bermakna mendalam
sehingga jika ditangkap secara lahir akan membawa kepada syirik, sebagaimana
ucapannya “ Aku keluar dari abu yazidku seperti halnya ular keluar dari
kulitnya, dan pandanganku pun telah terbuka dan ternyata sang pencipta. Yang
dicinta dan cinta adalah satu.”[23]
♦
Junaid Al
Baghdadi (Abu Al Qosim Al Junaid Bin Muhammad
Al Khazzaz Al Nihawandi) meninggal di Baghdad tahun 297 H/910 M. Beliau
merupakan seorang sufi yang mempunyai wawasan luas dan mampu membahas secara
mendalam, khususnya tentang tauhid dan fana’. Beliau mendasarkan ajaran
tasawufnya pada al quran dan hadis. Beliau menganggap bahwa tasawuf adalah
penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tak ada habisnya “kita tidak
melaksanakan tasawuf dengam kata – kata, tetapi dari kelaparan dan penolakan
terhadap dunia dan pemutusan hubungan dengan hal – hal yang sudah menjadi
kebiasaan kita dan sesuatu yang kita anggap sesuai dengan diri kita.”[24]
♦
Al Hallaj (Abu Al Mugis Al Husain Bin Mansur Bin Muhammad Al Baidawi). Lahir
tahun 244 H/858 M. Ajaran tasawuf yang dibawa oleh beliau menyimpang dari yang
telah diajarkan oleh guru – gurunya, karena yang diajarkannya mirip pantheism
(wihdatul wujud). Intisari ajaran al hallaj meliputi tiga persoalan pokok, al
hulul (dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri Tuhan
terdapat sifat kemanusiaan, agar dapat bersatu, manusia harus menghilangkan
sifat – sifat kemanusian melalui fana’, setelah itu Tuhan baru dapat mengambil
tempat dalam dirinya), haqiqah muhammadiyah (nur muhammad merupakan sumber dari
segala sesuatu, segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dengan
perantaranyalah alam ini dijadikan), dan wahdah al adyan (hakikatnya semua
agama adalah satu, karena semua mempunyai satu tujuan yang sama, yaitu mengakui
dan menyembah Alloh. Adanya berbagai macam agama, semuanya hanyalah perbedaan
nama, namun hakikatnya sama). Ajaran – ajaaran tersebut mendapat tantangan dari
para ulama sehingga ia dijatuhi hukuman mati pada hari selasa, 24 zulkaedah 309
H.[25]
♦
Abu Bakr Al
Syibli (Abu Bakr Dulaf Bin Jahdar Al
Syibli). Meninggal pada tahun 334 H/946 M dalam usia 87 tahun. Ajarannya
tentang tasawuf antara lain “tasawuf adalah duduk bersama Alloh tanpa ada rasa
duka”, “ tasawuf adalah kehalusan yang membakar”, “ sufi adalah orang yang
terputus hubungannya dengan makhluk dan senantiasa berhubungan dengan Khalik”.[26]
c.
Tokoh – tokoh
sufi abad kelima hijriyah
♦
Al Qusyairi (‘Abd Al Karim Bin Hawazin Al Qusyairi). Lahir di Istiwa tahun 376
H dan meninggal tahun 465 H. Beliau adalah seorang tokoh yang mampu
mengkompromikan syariat dengan hakikat. Beliau mengembalikan tasawuf keatas
landasan doktrin ahl al sunnah sebagaimana pernyataannya, “ketahuilah, bahwa
para tokoh ini membina prinsip – prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang
benar, sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu
mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahl al sunnah yang tidak
tertandingi serta tidak mengenal macet”.[27]
♦
Al Harawi (Abu Ismail Abdulloh Bin Muhammad Al Anshari). Lahir tahun 396 H di
Herat. Beliau mendasarkan ajaran tasawufnya pada doktrin ahl al sunnah. Dalam
kitabnya, Manazil Al Sa’irin Ila Rabb Al ‘Alamin, beliau menguraikan
bahwa tingkatan – tingkatan rohaniyah para sufi mempunyai awal dan akhir.
Beliau juga mengatakan bahwa maqom ketenangan timbul dari perasaan ridlo
terhapad Alloh, sebagai pencegah ungkapan aneh.[28]
♦
Al Gazali (Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Bin
Ahmad Al Tusi Al Syafi’i). Lahir di Gazalah tahun 450 H/1058 M dan meninggal
pada 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M. Pokok ajaran tasawufnya
sebagaimana dipaparkan dalam Ihya Ulumuddin “ kebahagiaan yang sejati
ditemukan melalui ma’rifat.” Beliau menjadikan tasawuf sebagai jalan mengenal
Alloh. Ma’rifat merupakan tujuan akhir yang harus dicapai manusia, yang
sekaligus menjadi kesempurnaan tertinggi yang didalamnya terkandung kebahagiaan
yang haqiqi. Sarananya adalah kalbu, bukan perasaan maupun akal-budi. Kalbu
disini berarti percikan rohaniah ketuhanan yang merupakan hakikat realitas
manusia.[29]
d.
Tokoh – tokoh
sufi abad keenam hijriyah dan seterusnya
♦
Al Suhrawardi
Al Maqtul (Abu Al Futuh Yahya Bin Habsy Bin
Amrak) bergelar Syihabuddin. Lahir di Suhrowad tahun 549 H dan dibunuh di Halb tahun
587 H, oleh karena itu beliau bergelar Al Maqtul. Ajaran tasawuf Al Suhrawardi
dikenal dengan paham isyraq, yakni Alloh adalah sumber dari segala yang ada dan
cahaya dari segala cahaya. Manusia merupakan peletikan dari nur al anwar dan
sehakikat dengan-Nya, oleh karena itu manusia dapat kembali bersatu dengan
sumber asalnya. Paham ini merupakan tipe lain dari paham ittihad/wahdatul
wujud.[30]
♦
Muhyidin Ibn
‘Arabi (Abu Bakr Muhammad Bin Muhyiddin Al
Hatimi Al Ta’i Al Andalusi). Lahir tanggal 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1163 M di
Mercia dan meninggal pada tanggal 28 Rabiul Akhir 638 H/16 Nopember 1240 M.
Beliau merupakan sufi yang sangat mementingkan dzauq (rasa). Ajarannya yang
terkenal adalah wihdatul wujud, haqiqah muhammadiyah, dan keduanya menimbulkan
paham kesatuan agama.[31]
♦
‘Abd Al Karim
Al Jilli (‘Abd Al Karim Bin Ibrahim Al Jilli).
Lahir di Jilli tahun 767 H/1365 M dan meninggal tahun 805 H/1403 M. Ajaran
tasawufnya berkonsep insan kamil (manusia sempurna) yang mempunyai tiga aspek yaitu
tentang pengertian zat, masalah roh, dan nur muhammad. Ajaran ini berdekatan
dengan konsep ittihad, hulul dan wahdatul wujud.[32]
♦
Ibn Al Farid (Syarifuddin ‘Umar Abu Al Hasan ‘Ali). Lahir di Cairo tahun 576
H/1181 M dan meninggal tahun 632 H/1233 M. Beliau adalah sufi cinta Illahi yang
paling menonjol, uang mendedikasikan hidupnya untuk cinta dan menjadikan
sebagai poros utama puisi – puisinya. Menurutnya, seorang pecinta hanya dapat
menyaksikan kekasihnya, Alloh SWT, lewat fana’ dari segala pesona serta daya
tarik kehidupan dunia, bahkan surga dan nikmat kehidupan akhirat. Paham
tersebut menjadi titik tolak pahamnya tentang kesatuan berdasarkan penyaksian,
qutb dan kesatuan – kesatuan agama. Kesatuan, menurutnya, bukan berarti suatu
wujud telah menyatu dengan Wujud YME, tetapi bermakna penyatuan dengan
penyaksian Wujud YME.[33]
♦
Jalaluddin Al
Rumi (Jalaluddin Muhammad Bin Muhammad Al
Balkhi Al Qunuwi). Lahir di Balkh tahun 604 H/1217 M dan meninggal tahun 672
H/1273 M di Qunyah. Beliau dipandang sebagai pendiri tarekat al jalaliah atau
al maulawiah, tarekat ini masih bisa didapatkan di daerah Turki dan syiria.
Beliau merupakan sufi yang menganut faham kesatuan wujud yang didasari atas
teori fana’ sebagaimana sufi – sufi sebelumnya. Beliau juga berpendapat tentang
nur muhammad yang menjadi dasar ma’rifah semua nabi ataupun wali. Beliau juga
seorang sufi yang diliputi rasa cinta sehingga mengantarkannya kepada kefanaan
ataupun penyaksian kesatuan.[34]
IV.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas, dapat kita tarik kesimpulan :
1.
Kata tasawuf,
mempunyai banyak pengertian yang berbeda – beda dari masing – masing ulama,
namun sebagiaan ulama lebih condong pada asal tasawuf yang bermuara pada kata
suf (wol kasar)
2.
Terdapat
berbagai macam pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf lahir dari luar islam,
namun pada dasarnya, banyak ayat al quran yang menjadi dasar untuk hidup dalam kesederhanaan. Kenyataannya kelahiran tasawuf
bermula dari gerakan hidup zuhd. Orang zahid dengan tekun mengamalkan ajaran –
ajaran esoteris islam yang kemudian dikenal dengan istilah tasawuf.
3.
Tasawuf adalah
perwujudan daripada ihsan, salah satu tiga pilar agama islam sesudah iman dan
islam.
4.
Pokok-pokok
masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak tasawuf pada intinya adalah perbuatan
manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau
buruk.
5.
Tasawuf berjaya
sampai saat ini tidak lain karena faktor dari pembawanya/ tokoh – tokohnya.
Tokoh sufi ini dalam mengajarkan tasawuf mempunyai karakteristik yang berbeda –
beda.
V.
PENUTUP
Alhamdulillah pemakalah dapat menyelesaikan tugas makalah ini, akan
tetapi dalam pembuatan makalah ini pemakalah yakin masih terdapat banyak
kesalahan, untuk itu kritik dan sarang yang bersifat membangun dari pembaca
sangat pemakalah harapkan atas perhatian nya pemakalah ucapkan terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
-
As, Asmaran,
Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
-
Team Penyusun,
Pengantar Ilmu Tasawuf, Sumatera Utara: Proyek Pembinaan PTA IAIN, 1981/1982.
-
Nasution,
Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,Jakarta : UI Press,1985.
-
Syukur, Amin, Pengantar
Studi Islam, Semarang: Bima Sejati,2000.
-
http://akholilashari.blogspot.com/2011/04/konsep-dasar-tasawuf.html, diposkan pada 8 April 2011.
-
Syukur, Amin
dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al
Ghazali, Semarang: Pustaka Pelajar,2002.
[1]
Rosihon Anwar dan Mukhtar Sholihin, Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia,
2000, hal. 9-14
[2] Amin Syukur dan
Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al
Ghazali, Semarang: Pustaka Pelajar,2002, hal. 17- 43.
[3] Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,Jakarta : UI Press,1985,
hal. 30.
[4] Ibid,
hal. 30-31.
[5] Amin Syukur, Pengantar
Studi Islam, Semarang: Bima Sejati,2000, hal. 145.
[6] Asmaran As, Pengantar
Studi Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1994, hal.52-54.
[7] http://akholilashari.blogspot.com/2011/04/konsep-dasar-tasawuf.html, diposkan pada 8 April 2011.
[8] Harun Nasution,
Op.Cit. hal 71.
[9] Amin Syukur, Op.Cit.,hal.
153.
[10] Ibid,
hal. 154.
[11] Ibid,
hal. 154. Lihat juga Pengantar Studi Tasawuf oleh Asmaran As (65-73) dan
Pengantar Ilmu Tasawuf, proyek pembinaan PTAIN Sumatera Utara (93-109)
[12] Asmaran As, Pengantar
Studi Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1994, hal. 92-104. Lihat juga
Pengantar Ilmu Tasawuf, proyek
pembinaan PTAIN Sumatera Utara
[13] Ibid,
hal. 149-150.
[14] Ibid,
hal. 249-258.
[15] Ibid,
hal. 258 – 263. Lihat pula Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, hal. 74 – 75 dan Pengantar Ilmu Tasawuf, hal. 56 – 59.
[16] Ibid,
hal. 263-266.
[17] Ibid,
hal. 266-267.
[18] Ibid,
hal. 272-273.
[19]Team Penyusun, Pengantar
Ilmu Tasawuf, Sumatera Utara: Proyek
Pembinaan PTA IAIN,1981, hal. 66.
[20] Ibid,
hal. 67.
[21] Asmaran As, Op.Cit.
hal. 277-280.
[23] Asmaran As, Op.Cit.
hal. 288-296.
[24] Ibid,
hal. 296-303.
[25] Ibid,
hal. 303-316.
[26]Team Penyusun, Op.Cit,
hal. 71.
[27] Asmaran As,Op.Cit,
hal. 318-320.
[28] Ibid,
hal. 320-322.
[29] Ibid,
hal. 322-336.
[30] Team Penyusun,
Op.Cit. hal. 78-79.
[31] Ibid,
hal. 79-82. Baca juga Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, hal. 339-348.
[32] Ibid,
hal. 84-90. Baca juga Pengantar Studi Tasawuf, 348-355.
[33] Asmaran As,Op.Cit.
hal. 355-358.
[34] Ibid,
hal. 358-362.
Komentar