ZAKAT PRODUKTIF SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN UMMAT
Zakat adalah ibadah yang secara langsung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Zakat merupakan potensi dan sumber perekonomian masyarakat Islam. Dalam mengelola zakat produktif dibutuhkan sebuah manajemen guna mencapai kesejahteraan dan meningkatkan etos kerja umat. Keberadaan Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) mempunyai peran penting dalam menyalurkan zakat produktif sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi umat yang awalnya adalah golongan mustahiq kemudian menjadi seorang muzakki. Akhirnya zakat dapat menjadi solusi alternatif untuk kesejahteraan masyarakat dan menjadi sumber devisa Negara. Sehingga zakat bukan hanya memiliki nilai keagamaan saja, akan tetapi zakat juga memiliki nilai ekonomi yang signifikan.
PENDAHULUAN
Zakat merupakan salah satu pilar (rukun) dari lima pilar yang
membentuk Islam. Zakat adalah ibadah maliah
ijtima’iyyah yang memiliki posisi yang strategis dan menentukan bagi pembangunan
kesejahteraan umat. Zakat tidak hanya berfungsi sebagai suatu ibadah yang
bersifat vertikal kepada Allah (hablumminallah),
namun zakat
juga berfungsi sebagai wujud ibadah yang bersifat horizontal (hablumminannas).[1]
Jika dikelola dengan baik dan amanah, zakat akan mampu meningkatkan
kesejahteraan umat, mampu meningkatkan etos kerja umat serta sebagai institusi
pemerataan ekonomi. Hal ini telah terbukti pada masa pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz. Meskipun beliau hanya memerintah selama 22 bulan karena meninggal
dunia, Negara menjadi sangat makmur, yaitu dengan pemerintahan yang bersih dan
jujur dan zakat yang ditangani dengan baik, hingga kala itu Negara yang cukup
luas hampir sepertiga dunia tidak ada yang berhak menerima zakat karena semua
penduduk Muslim sudah menjadi muzaki, itulah pertama kali ada istilah zakat
ditransfer ke Negeri lain karena tidak ada lagi yang patut disantuni.[2]
Islam menginginkan agar setiap manusia mempersiapkan kehidupan terbaiknya.
Dengan tujuan di atas inilah, maka Allah mewajibkan zakat dan menjadikannya
sebagai pondasi terhadap keberlangsungan Islam di muka bumi dengan cara
mengambil zakat, infaq dan shadaqah tersebut dari orangorang yang mampu dan
kaya serta memberikannya kepada fakir miskin, demi membantunya dalam menutupi
kebutuhan materi; seperti halnya kebutuhan makan, minum, pakaian, dan juga
tempat tinggal.[3]
Zakat termasuk salah satu rukun Islam, Zakat mulai disyari’atkan pada bulan Syawal tahun ke 2 Hijriah sesudah pada bulan Ramadhannya diwajibkan zakat fitrah. Jadi mula-mula diwajibkan zakat fitrah, baru kemudian diwajibkan zakat mal atau zakat harta kekayaan. Zakat diwajibkan atas orang Islam yang mempunyai kekayaan yang cukup nishab, yaitu jumlah minimal harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Jika kurang dari itu kekayaan belum dikenai zakat. Adapun saat haul ialah waktu wajib mengeluarkan zakat yang telah memenuhi nishabnya.[4]
KONSEP ZAKAT
Zakat secara etimologi dalam kitab Mu’jam Wasit seperti yang
dikutip oleh Dr. Yusuf Qardawi, adalah kata dasar yang berarti berkah, tumbuh,
bersih, dan baik.[5]
Bahwa sesuatu itu dikatakan zaka, yang berarti tumbuh dan berkembang, dan
seorang itu dapat dikatakan zaka, yang berarti bahwa orang tersebut baik. Mengutip
pendapat Sulaiman Rasjid bahwa zakat secara terminology adalah kadar harta yang
tertentu, yang diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan beberapa
syarat.[6]
Setiap muslim diwajibkan mengeluarkan zakat apabila telah cukup memenuhi syarat
wajib zakat yang kemudian diserahkan kepada mustahiq. Zakat dalam al-Qur’an memiliki banyak arti.
Mengutip pendapat Hasbi Ash Shiddieqy, antara lain adalah:[7]
1.
Zakat yang berarti Zakat.
Allah swt. berfirman:
وَاَقِيْمُوا
الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ
Artinya: Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.[8]
2.
Zakat yang berarti Shadaqah.
Mawardi mengatakan, “sedekah itu adalah zakat
dan zakat itu adalah sedekah; berbeda nama tetapi arti sama.”[9]
Allah swt. berfirman:
اَلَمْ
يَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهٖ وَيَأْخُذُ الصَّدَقٰتِ
وَاَنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
Artinya: Tidaklah mereka mengetahui,
bahwasanya Allah menerima Taubat dari hamba- hambaNya dan menerima zakat dan
bahwasanya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang?[10]
3.
Ketiga, zakat yang berarti Haq.
Allah swt. berfirman:
وَهُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَ جَنّٰتٍ
مَّعْرُوْشٰتٍ وَّغَيْرَ مَعْرُوْشٰتٍ وَّالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا اُكُلُهٗ
وَالزَّيْتُوْنَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَّغَيْرَ مُتَشَابِهٍۗ كُلُوْا مِنْ ثَمَرِهٖٓ
اِذَآ اَثْمَرَ وَاٰتُوْا حَقَّهٗ يَوْمَ حَصَادِهٖۖ وَلَا تُسْرِفُوْا ۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
Artinya: Dan dialah yang menjadikan
kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya
(yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari
memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.[11]
4.
Keempat, Zakat yang berarti Nafaqah.
Allah swt. berfirman:
يَّوْمَ يُحْمٰى عَلَيْهَا فِيْ نَارِ
جَهَنَّمَ فَتُكْوٰى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوْبُهُمْ وَظُهُوْرُهُمْۗ هٰذَا مَا كَنَزْتُمْ
لِاَنْفُسِكُمْ فَذُوْقُوْا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُوْنَ
Artinya; Pada hari dipanaskan emas perak itu
dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, Lambung dan punggung
mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan
untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan itu. [12]
5.
Kelima, Zakat menurut bahasa Qur’an juga disebut ‘afuw.
Allah swt. berfirman:
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
Artinya: Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang
bodoh.[13]
Sebagian ahli mengatakan bahwa kata zakat yang selalu dihubungkan
dengan shalat terdapat delapan puluh dua tempat di dalam Qur’an.[14]
Perintah zakat yang diturunkan pada periode Mekah hanya sebatas anjuran untuk
berbuat baik kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan bantuan. Sedangkan
yang diturunkan pada periode Madinah adalah perintah wajib secara mutlak untuk
dilakukan oleh umat Islam.[15]
Zakat produktif adalah zakat yang dikelola
dengan cara produktif, yang dilakukan dengan cara pemberian modal usaha kepada para
fakir dan miskin sebagai penerima zakat dan kemudian dikembangkan, untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka untuk masa yang akan datang. Zakat produktif
jelas berbeda dengan zakat konsumtif, karena penyaluran zakat konsumtif
berbentuk pemberian dana langsung berupa santunan sebagai bentuk pemenuhan
kebutuhan pokok penerima (mustahik) seperti untuk makan, pakaian, biaya sekolah
dan lain-lain yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari. Dengan kata lain,
zakat konsumtif adalah untuk kebutuhan yang habis pakai, sementara zakat
produktif akan memberikan efek berganda (multiplier effect) karena
adanya perputaran yang dapat menghasilkan dan terus berputar.
Qadir
mengemukakan bahwa zakat produktif yaitu zakat yang diberikan kepada mustahik
sebagai modal untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi yaitu untuk menumbuhkembangkan
tingkat ekonomi dan potensi produktivitas mustahik. Keberadaan zakat produktif
diperkuati oleh El-Din yang mencoba untuk menganalisa fungsi alokatif dan
stabilisator zakat dalam perekonomian. Dinyatakan bahwa fungsi alokatif zakat
diekspresikan sebagai alat atau instrumen untuk memerangi kemiskinan. Namun
demikian, hendaknya dalam pola pendistribusiannya, zakat tidak hanya diberikan
dalam bentuk barang konsumsi saja melainkan juga dalam bentuk barang produksi. Ini
dilakukan ketika mustahik memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengolah dan
melakukan aktivitas produksi. Selain itu perlu didorong distribusi zakat dalam
bentuk ekuitas, yang diharapkan akan memberikan dampak yang lebih luas
terhadapkondisi perekonomian. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa pemerintah
Islam diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari
uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya digunakan bagi
kepentingan fakir miskin, sehingga kebutuhan mereka dapat terpenuhi sepanjang
masa.
Memperkuat pernyataan di atas Permono
menggambarkan mengenai pendayagunaan zakat produktif adalah mengenai syarat
bagi harta yang wajib dikenai zakat diantaranya adalah mengandung unsur:
a. al-maliyat atau al-iqtisadiyat (unsur
ekonomis)
b. al-nama’ atau al-istinma’ (unsur produktif
atau dapat diproduktifkan)
c.
al-milk al-tam (dimiliki
secara sempurna)
d.
al-kharij’an al hajah
al-asliyyah (di luar kebutuhan primer)
e. tamam al nisab (sempurna satu nisab)
f. al-salamah min al-dain (selamat dari hutang)
g. haulan al haul au tamam al hasad (mencapai satu tahun atau panen kering).[16]
ZAKAT DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Sistem pengelolaan zakat di bumi
nusantara, telah berjalan sejak wilayah ini dijajah Belanda. Melalui ordonantie
yang dibentuk penjajah Belanda nomor 6200 tanggal 22 Februari 1905, pelaksanaan
ajaran Islam diberlakukan bagi masyarakat pribumi. Termasuk soal penglolaan
zakat yang pengurusannya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat muslim. Pada
saat Indonesia memproklamirkan diri menjadi negara yang merdeka, persoalan
zakat diserhkan kepada masyarakat muslim yan pengaturannya diatur pemerintah.
Melalui surat edaran Nomor A/VII/17367, pemerintah mengeluarkan aturan zakat
fitrah yang ditetapkan pada tanggal 8 Desember 1951. Tahun 1964, kementerian
departemen agama menyusun rancangan Undang-Undang tentang Pengumpulan dan
Pembagian zakat yang akan dinahkodai oleh Baitul Mal. Usulan ini, kemudian
berakhir dengan runtuhnya sistem politik Orde Lama, dan putus menjadi sebuah
Undang Undang atau Qonun.
Di tahun 1984, Menteri Agama mengeluarkan
instruksi Nomor 2 Tahun 1984 Tentang Infaq Seribu Rupiah Selama Bulan Ramadhan
yang pelaksanaannya diatur Dirjen Bimas Islam dan urusan Haji Nomor 19/1984
tahun 1989, melalui instruksi Menag Nomor 16/1989 meminta semua jajaran
depertemen agama melakukan pembinaan zakat, infaq dan sodakoh. Tahun 1991
dikeluarkanlah Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
29 Dan 47 Tahun 1991 Tentang Pembinaan Amil Zakat, Infaq dan Sodaqoh. Kemudian
ditindaklanjuti Instruksi Menag Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pedoman Pembinaan
Teknis Badan Amil Zakat, Infaq dan Sodaqoh.
Di awal Orde Reformasi, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat kemudian mengeluarkan UU Nomor 38 Tahun 1919 Tentang Pengeluaran Zakat, Infaq Dan Sodaqoh. UU ini kemudian secara teknis ditindaklanjuti dengan keluarnya keputusan Menag Nomor 373 tahun 2003. Teknis pelaksanaan UU dan Kepmenag dimaksud, kemudian dijabarkan lagi dengan keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D-29 tahun 2000 tentang Pengelolaan Zakat. Secara teknis diserahkan kepada badan Amil zakat yang dibentuk pemerintah, orang-orangnya terdiri dari unsur pemerintah, tokoh masyarakat dan organisasi masa Islam. Lembaga amil zakat dibentuk dan dikelola masyarakat yang terhimpun dalam berbagai ormas Islam, yayasan dan instansi lainnya. Kedua badan dimaksud, masing-masing memiliki UPZ yang berfungsi mengumpulkan potensi ekonomi umat.[17]
PENGELOLAAN ZAKAT
Pengelolaan berarti proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan
tenaga orang lain, atau dapat juga diartikan proses pemberian pengawasan pada
semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.
Pemahaman dari definisi tersebut bahwa pengelolaan menyangkut proses suatu
aktifitas. Dalam kaitannya dengan zakat, proses tersebut meliputi sosialisasi
zakat, pengumpulan zakat, pendistribusian, pendayagunaan, dan pengawasan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan pengelolaan zakat adalah proses dan
pengorganisasian sosialisasi, pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan
dan pengawasan dalam pelaksanaan zakat.
Pengelolaan zakat menurut Undang-Undang No 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
Tujuan pelaksanaan pengelolaan zakat oleh pengelola zakat antara lain:
(1)
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
penuaian dan pelayanan zakat.
(2)
meningkatkan fungsi dan peranan
pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan
sosial.
(3)
meningkatkan hasil guna dan daya
guna zakat.[18]
Dalam pelaksanaan zakat terdapat tiga pihak. Pihak yang pertama,
yaitu pembayar zakat (muzakki); pihak kedua, yaitu penerima zakat (mustahik);
pihak ketiga, yaitu penyalur zakat (qabidh), yang terdiri dari Imam
dan aparatnya atau wakil muzakki.[19]
Pendapat ulama fiqh sepakat suatu kriteria Amil Zakat, yaitu orang yang
diutus oleh kepala Negara untuk menjalankan tugas mengambil dan menyalurkan
zakat sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.[20]
Sedangkan Amil Zakat menurut undang-undang adalah Badan amil zakat yang
dibentuk oleh pemerintah atau lembaga amil zakat yang dibentuk oleh masyarakat dan
dilindungi oleh pemerintah.[21]
Peraturan perundang-undangan mengakui adanya dua jenis organisasi
pengelola zakat, yaitu: (1) Lembaga Amil Zakat, yaitu organisasi pengelola
zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat, dan dikukuhkan oleh pemerintah.
(2) Badan Amil Zakat, yaitu organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh
pemerintah. Organisasi pengelola zakat di Indonesia diatur oleh beberapa peraturan
perundang-undangan, yaitu: UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
Keputusan Menteri Agama No. 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No. 38 tahun
1999, dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan
Haji No. D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.[22]
Lembaga zakat di Indonesia telah ada dan tumbuh begitu lama, namun
belum dikembangkan secara professional. Lembaga zakat dalam perjalanannya
mengalami beberapa permasalahan, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
umat Islam sehari-hari. Permasalahan tersebut antara lain:
(1)
Adanya krisis kepercayaan umat
terhadap segala macam atau bentuk usaha penghimpun dana umat karena terjadi
penyelewengan/penyalahgunaan akibat system control dan pelaporan yang lemah. Dampaknya
orang lebih memilih membayar zakat langsung kepada mustahik daripada
melalui lembaga zakat.
(2)
Adanya pola pandangan terhadap
pelaksanaan zakat yang umumnya lebih antusias pada zakat fitrah saja yakni
menjelang Idul Fitri.
(3)
Tidak seimbangnya jumlah dana yang
terhimpun dibandingkan dengan kebutuhan umat, sehingga dana terkumpul cenderung
digunakan hanya untuk kegiatan konsumtif dan tak ada bagian untuk produktif.
Hal ini juga dikarenakan tidak semua muzakki berzakat melalui lembaga.
(4)
Terdapat semacam kejemuan di kalangan
muzakki, di mana dalam periode waktu yang relative pendek harus
dihadapkan dengan berbagai lembaga penghimpun dana.
(5)
Adanya kekhawatiran politis sebagai
akibat adanya kasus penggunaan dana umat tersebut untuk tujuan-tujuan politik
praktis.[23]
Pemberian zakat kepada para mustahik, secar konsumtif perlu dilakukan
sesuai dengan kondisi mustahik, amil zakat perlu memastikan kelayakan para
mustahik, apakah mereka dapat dikategorikan mustahik konsumtif. Ini memerlukan
analisis tersendiri oleh para amil zakat, sehingga zakat benar-benar sampai
kepada orang-orang yang berhak menerimanya secara obyektif.[24]
Penyaluran zakat dilihat dari bentuknya dapat dilakukan dalam dua hal;
(1)
Bentuk sesaat merupakan penyaluran
zakat hanya diberikan kepada seseorang satu kali atau sesaat saja. Dalam hal
ini juga berarti bahwa penyaluran kepada mustahik tidak disertai target
terjadinya kemandirian ekonomi mustahik. Hal ini dikarenakan mustahik yang
bersangkutan tidak mungkin lagi mandriri, seperti pada diri orang tua yang
sudah jompo, dan orang cacat.
(2) Bentuk pemberdayaan merupakan penyaluran zakat yang disertai target merubah kondisi mustahik menjadi kategori muzakki. Target ini adalah target besar yang tidak dapat dengan mudah atau dalam waktu yang singkat dapat terealisir. Karena itu, penyaluran zakat harus disertai dengan pemahaman yang utuh terhadap permasalahan yang ada pada penerima. Apabila permasalahanya adalah permasalahan kemiskinan, harus diketahui penyebab kemiskinan tersebut sehingga dapat mencari solusi yang tepat demi tercapainya target yang telah direncanakan.[25]
OPTIMALISASI
POTENSI ZAKAT
Secara teoritik potensi zakat di lingkungan kita sungguh sangat
besar, dan jika hal tersebut dapat dimaksimalkan, tentu banyak kebutuhan umat, seperti
sarpras, pembangunan tempat tempat pendidikan, sarana umum dan lainnya akan
dapat tersupport oleh dana zakat tersebut. Demikian juga persoalan anak-anak
miskin yang cerdas, tetapi kekurangan uang, akan dapat studi hingga tingkat
tinggi dan dapat bersaing dengan mereka yang dari kalangan berada. Jika batasan
zakat diperjelas sebagaimana tawaran tersebut, tentu akan banyak pihak, yakni
umat muslim yang terkena kewajiban zakat. Kalau kita hitung dari jumlah Pegawai
Negeri saja yang golongan 2 ke atas yang tentu penghasilan mereka sudah sampai
batas wajib zakat, maka uang zakat yang terkumpul akan sangat banyak. Itu belum
lagi menghitung para pengusaha menengah ke atas yang jumlahnya sangat luar
biasa banyak.
Maksudnya bukan pengusaha dalam arti para cukong dengan modal besar,
melainkan mereka yang berusaha dengan modal secukupnya, baik dalam bidang
pertokoan, bidang jual beli kebutuhan pokok di pasar dan lainnya. Persoalannya
mereka seolah tidak mempunyai kewajiban zakat terkecuali hanya zakat fitrah
setiap tahun yang hanya 2,5 Kg makanan pokok atau beras. Tentu pemandangan
tersebut sangat ironis karena di negeri kita umat muslim itu mayoritas, tetapi
mereka seolah tidak ikut berkontribusi untuk kesejahteraan umat.[26]
Sudah saatnya kita lakukan revolusi cara berpikir dan penyadaran kepada
umat secara umum bahwa setiap harta yang kita miliki itu pastinya ada hak dari
para fakir miskin, baik itu berupa zakat yang harus kita keluarkan maupun yang
berupa infaq sedekah dan sejenisnya yang juga harus kita keluarkan. Himbauan
selanjutnya ialah bahwa semua itu, yakni zakat, infaq dan sedekah sangat
dianjurkan untuk disalurkan lewat lembaga pengelola yang handal dan manah serta
mempunyai program jelas. Peneliti PIRAC, Hamid Abidin menilai, pendayagunaan
zakat kurang karena hanya menggunakan pendekatan santunan. Zakat masih lebih focus
pada delapan kelompok yang berhak menerima. Padahal, zakat berfungsi strategis
dalam pemerataan kekayaan, pemberdayaan ekonomi umat, aspek advokasi, dan
pendidikan.
Mungkin banyak yang belum menyadari apa perbedaan antara
pentasarufan zakat, infaq dan sedekah tersebut secara mandiri dan melalui
lembaga. Tetapi sebagai gambaran awal dan lebih umum, dapat disampaikan sebagai
berikut. Bahwa kalau zakat, infaq dan sedekah tersebut disampaikan sendiri
kepada masing masing orang miskin, maka mereka tidak akan berubah menjadi
berdaya, dan selamanya akan tetap menjadi miskin, sebab apa yang diterimanya
pasti hanya untuk konsumtif semata. Lain halnya jika zakat, infaq dan sedekah
tersebut disalurkan lewat lembaga pengelola yang amanah dan mempunyai program
pemberdayaan umat yang jelas, maka berapapun yang kita serahkan kepada
pengelola tersebut, pastinya akan dikumpulkan dengan yang lain, dan digunakan
untuk memberdayakan umat. Sebagiannya untuk memberikan pelatihan ketrampilan
kepada umat, dan sebagiannya lagi digunakan untuk membantu modal usaha yang
dilakukan oleh mereka yang sudah dilatih. Amin Abdullah menuturkan, persoalan
zakat melibatkan tiga aspek penting yang saling mengait, yaitu muzaki atau
pemberi zakat, pengelola zakat, dan pengawas. Namun, hingga kini ketiga aspek
itu masih jalan sendiri-sendiri. Akibatnya, optimalisasi potensi zakat dan
pemanfaatannya belum bisa dilakukan. Selama tiga faktor ini tidak berjalan,
potensi sebesar apa pun hilang.
Dalam pelaksanaan pengelolaan zakat, alangkah baiknya dilakukan
oleh pengelola zakat. Agar dalam pelaksanaan pengelolaan zakat itu dapat
berjalan dengan baik, dan dana zakat dapat tersalurkan dengan benar. Di dalam
pengelola zakat itu pasti terdapat adanya kekuatan, kelemahan, peluang,
tantangan atau ancaman. Dari beberapa hal tersebut, maka perlu dilakukan adanya
analisis SWOT (Strength Weakness Opportunity Treathment) untuk menganalisis
dari beberapa hal tersebut. Dengan analisis SWOT kompetensi khusus yang
dimiliki dan kelemahan yang menonjol dapat dinilai dan dikaitkan dengan
berbagai faktor penentu keberhasilan suatu usaha.[27]
Pelaksanaan pengelolaan yang baik yaitu meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan terhadap pendistribusian serta pendayagunaan zakat,
dan pelaksanaan pengelolaan zakat tersebut banyak tergantung pada pembinaan
ketiga pihak yang bersangkutan. Yang menyangkut pihak pertama, pembinaannya
hendak dititikberatkan pada upaya meningkatkan kesadaran berzakat, bershadaqah
dan berinfaq fi sabilillah, dan mendorong kearah meningkatnya jumlah
pembayaran zakat itu. Selanjutnya yang menyangkut pihak kedua memerlukan
kecermatan sehingga dapat terbina sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dalam fiqh. Al-Ashnaf (jenis/kelompok) penerima zakat yang
ditetapkan langsung oleh Allah sebagaimana termaktub dalam ayat 60 surat At-Taubah
merupakan daftar penerima zakat yang lengkap.
Zakat mempunyai peranan penting dalam sistem perekonomian Islam.
Zakat berfungsi sebagai sumber dana dalam menciptakan pemerataan kehidupan
ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Islam. Disamping sebagai
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, zakat juga berfungsi membersihkan
diri dan harta kekayaan dari kotoran-kotoran akhlak dan penyelewengan akidah,
juga menjadi tumpuan harapan kaum dhu’afa (fakir miskin), sekaligus
menjadi penunjang pelestarian dan pengembangan ajaran Islam dalam masyarakat.
zakat juga merupakan sarana yang menghubungkan tali silaturrahmi antara
kelompok muzakki dengan kelompok dhu’afa.
Sebagai sumber dana pembangunan umat Islam, zakat dapat menjadi kekuatan
modal yang sangat besar jika ditunjang oleh cara pengelolaannya yang baik.
Untuk itu, perlu diciptakan kondisi sebagai berikut;
(1) Adanya kesadaran
masyarakat akan makna, tujuan dan hikmah zakat.
(2) Adanya amil
zakat yang benar-benar amanah (dipercaya) dan bertanggung jawab dunia akhirat.
(3)
Adanya perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), pelaksanaan (actuating), serta pengawasan (controlling)
atas pengelolaan dan pelaksanaan pemungutan zakat yang baik.[28]
Sebelum dilakukan pemungutan zakat, amil sedapat mungkin telah melakukan
inventarisasi atau jenis-jenis kekayaan masyarakat yang dapat dijadikan sumber
zakat, sensus wajib zakat (Muzakki), dan orang-orang yang berhak
menerima zakat (mustahik), cara pemungutan zakat, cara penyimpanannya,
melakukan perimbangan antara asnaf setempat yang ada. Dalam menentukan
pembagian zakat kepada para mustahik, sudah dikaji berbagai kemungkinannya,
termasuk sektor-sektor yang dianggap paling mendesak, baik untuk kebutuhan
jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga dalam pelaksanaannya tidak
terjadi penyimpangan.
Dengan gambaran program sederhana tersebut, dapat dilihat bahwa ada
usaha untuk mengubah mereka yang selalu bergantung kepada uluran tangan pihak
lain, untuk dapat memberdayakan dirinya sendiri, melalui usaha yang mereka
lakukan berbekal dengan ketrampilan yang diperoleh melalui latihan. Jadi
sesungguhnya kalau perhitungan mengenai kewajiban zakat tersebut diubah, maka
aka nada perubahan signifikan, terutama dalam hal pengumpulan zakatnya itu
sendiri. Hitungannya sangat jelas bahwa hanya dari PNS yang hanya beberapa ribu
saja sudah sangat jelas pendapatannya, lalu para pengusaha dan aghniyak lainnya.
Cuma memang ada persoalan lainnya yang juga harus diupayakan, yakni penyadaran
kepada umat tentang kewajiban zakat tersebut dan juga keteladanan dari para
tokoh. Kita sangat yakin bahwa jika para tokoh berada di depan dan memberikan
contoh dalam hal berzakat, insyaallah umat akan berpikir ulang tentang
posisinya selama ini yang belum berzakat.
Menjamurnya lembaga amil zakat di Indonesia adalah karena untuk menggali
potensi zakat yang ada. Namun sudah ada inisiatif tentang peranan Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS) untuk memayungi ratusan lembaga amil zakat ini supaya
dapat menunjukan kinerja yang lebih baik dan tidak tumpang tindih ketika
melayani masyarakat. Jika kita tengok tetangga kita di Malaysia, peranan
lembaga zakat sudah diakui karena koordinasi yang baik dengan segenap lembaga
pemerintahan. Jumlahnya tidak menjamur, hanya ada satu di setiap negeri dengan
pelayanan online dan kaunter zakat yang strategis. Memang sebaiknya di
Indonesia juga seperti itu sehingga menjadi sebuah orkestra yang teratur.
Mengenai kinerja dari kasat mata kita bisa melihat sepak terjang para petugas
dan relawan lembaga amil zakat ketika menangani kemiskinan, bencana alam dan
keikutsertaannya dalam peningkatan pendidikan di Tanah Air.
Mengenai kesejahteraan amil zakat Dalam QS At-Taubah (9): 60, amil zakat
disebutkan dalam urutan ketiga yang berhak menerima zakat (setelah fuqoroo dan
masaakiin/ orang-orang fakir dan miskin). Dalam Tafsir Ibnu Katsir dan
kesepakatan para ulama ada delapan asnaf yang disebutkan di dalam ayat tersebut
sehingga masing-masing bisa mendapatkan seperdelapan. Namun tentunya pembagian
ini tidak mutlak, tergantung kondisi. Tentu ada maksud ayat yang begitu luar
biasa menempatkan posisi amil zakat di situ. Jika kesejahteraan para petugas
amil zakat terjamin mereka dapat memegang amanah dengan lebih baik lagi. Jadi
para amil zakat boleh menggunakan haknya, kecuali bagi amil yang memang diharamkan
untuk menerimanya (seperti keluarga Rasulullah SAW).
Mengenai kebutuhan operasional, menurut Fatwa MUI No. 8 Tahun 2011
seharusnya ada dana bantuan dari pemerintah, namun jika tidak ada atau tidak
memadai, maka dana zakat dari porsi amil atau fissabilillah dapat digunakan
dalam batas sewajarnya. Begitu juga dana infaq, yang juga dapat digunakan untuk
menunjang kebutuhan operasional termasuk sewa Gedung selain untuk memberikan
gaji yang layak kepada segenap petugas zakat. Di balik semakin baiknya kinerja
keuangan lembaga zakat seperti disebutkan di atas, ada kisah sedih juga yang
sering kita baca dan dengar. Ketidakjujuran petugas amil zakat yang terungkap
misalnya dalam kasus korupsi dana zakat sebesar 461 juta rupiah tahun lalu di
Pagaralam, Sumatera Selatan atau penyalahgunaan dana zakat sebesar 7 milyar rupiah
di Aceh tahun 2012.25 Aktivitas zakat sudah banyak dinikmati manfaatnya
dikarenakan adanya peranan amil zakat salah satunya. Karena menyalurkan zakat
melalui lembaga amil zakat dapat menghindari sifat riak dan penyaluran yang
tidak tepat sasaran. Maka dari itu kita tingkatkan sinergi keluarga kita dengan
badan amil zakat yang sudah ada.[29]
Kekurangan yang kita lihat di sana-sini dalam operasional Badan Amil Zakat ini harus kita perbaiki bersama. Pekerjaan Rumah yang ada antara lain adalah sistem pelaporan yang harus ditingkatkan agar tepat waktu dan mudah diakses. Praktik audit juga seharusnya mencakup berapa kecepatan waktu penyaluran jangan sampai dana zakat bersaldo melebihi batas wajar sehingga terpaksa dibawa ke tahun selanjutnya. Pengawasan juga dilakukan agar penyaluran dana zakat tepat sasaran dan tidak tumpang tindih serta penggunaan dana zakat dan dana lainnya untuk menunjang biaya operasional selalu dalam batas kewajaran. Dengan sistem akuntabilitas yang baik tentu saja makin berbondong–bondong masyarakat sadar zakat. Kalau persoalan tersebut tuntas, maka potensi besar tentang zakat tersebut akan dapat dimaksimalkan. Dengan begitu sebagaimana disebutkan di atas bahwa kesejahteraan umat dan fasilitas umat akan dapat dipenuhi dengan dana zakat tesebut.
KESIMPULAN
Zakat adalah sebagian harta yang telah diwajibkan oleh Allah SWT
untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang telah
dinyatakan dalam Al Qur’an. Zakat memiliki potensi yang luar biasa untuk
mengatasi kemiskinan bangsa dan mensejahterakan umat. Potensi ini harus
disadari oleh seluruh umat muslim agar dana yang dikumpulkan melalui zakat bias
mensejahterahkan umat. Masih banyak umat Islam yang belum memahami pentingnya
ber zakat untuk itu perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat
terkait dengan hukum dan hikmah zakat, harta objek zakat sekaligus tata cara perhitungannya.
Dengan demikian maka kesadaran akan menunaikan zakat akan tumbuh
pada diri umat Islam. Agar kesadaran dan kepercayaan masyarakat dalam ber zakat
ini menjadi semakin tumbuh subur maka dapat diwujudkan melalui kinerja Lembaga
Amil Zakat dan Badan Amil Zakat Nasional yang akuntabel, transparan dan
profesional.
[1] Fakhruddin, Membumikan Zakat:
Dari Taabbudi Menuju Taaqquli, Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah,
Volume 1, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 2, diakses dari http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/jurisdictie/article/view/1730,
pada 25 Maret 2021.
[2] Agus Riyadi, Manajemen
Pengelolaan Zakat Produktif Dalam Perspektif Bank Islam, IQTISHADIA Jurnal Kajian Ekonomi Dan Bisnis Islam Vol. 7, No. 2 (2014), hlm. 337, diakses
dari https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/IQTISHADIA/article/view/1093/0
pada 25 Maret 2021..
[3] Yusuf Qardhawi, Spektrum Zakat
dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), hlm. 27.
[4] Direktorat Pengembangan Zakat dan
Wakaf Dirjen Bimas Islam Dan Penyelenggara Haji Depag RI, Pedoman Zakat,
(Jakarta: Depag RI, 2003), hlm. 117.
[5] Ridlo, Ali, Analisis Efisiensi
Keuangan Badan Amil Zakat Nasional, (Yogyakarta: Tesis –Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga 2014) hlm., 15.
[6] Ridlo, Ali, Kebijakan Ekonomi
Umar Ibn Khattab, (Kendari: Jurnal Al-‘Adl, Vol. 6 No. 2, Juli 2013) hlm. 5,
diakses dari https://ejournal.iainkendari.ac.id/al-adl/article/view/196,
25 Maret 2021.
[7] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1991) hlm., 22-24
[8] QS. al-Baqarah [2]: 43
[9] Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat: Studi
Komparatif Mengenai Status Dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an Dan Hadith, terj.
Harun, Salman, dkk., (Bogor: Lintera Antar Nusa, 1993) hlm. 36
[10] QS. at-Taubah [9]: 104
[11] QS. al-An’am [6]: 141
[12] QS. at-Taubah [9]: 35
[13] QS. al-A’raf [7]: 199
[14] Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat:
Studi Komparatif Mengenai Status Dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan
Hadith, terj. Harun, Salman, dkk., (Bogor: Lintera Antar Nusa, 1993)
hlm.39-40
[15]
Muhammad Hadi, Problematika Zakat Profesi
Dan Solusinya (Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum Islam), hlm. 63, diakses
dari Google Scholar http://digilib.iainkendari.ac.id/2057/
pada 25 Maret 2021.
[16]
Abdul Haris Romdhoni, Zakat Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan
Pengentasan Kemiskinan, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam Vol. 03. NO. 01,
Maret 2017, ISSN : 2477-6157, hlm. 42-43.
[17]
Yani Rohmayani, Zakat Profesi Dan Implikasinya Dalam Meningkatkan Kualitas
Ekonomi Umat, Jurnal Masyarakat Dan Filantropi Islam, Volume 1, No.
1, November 2018 : 21-30, hlm. 22.
[18] M. Hasan, Manajemen Zakat Model
Pengelolaan yang Efektif, (Yogyakarta: Idea Press, 2011), hlm. 38-39.
[19] Alie Yafie, Menggagas Fiqh
Sosial: Dari Sosial Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, (Bandung:
Mizan, 1995), hlm. 234.
[20] N. Fatoni, Kontroversi
Pengelolaan Zakat, Infaq, Shadaqah, Penelitian Telaah Atas Pemahaman Ulama
Terhadap Nash dan Realitas, (Semarang: IAIN Walisongo, 2008), hlm. 117.
[21] N. Fatoni, Kontroversi Pengelolaan Zakat,
…, hlm. 129.
[22] G. Juanda, Pelaporan Zakat
Pengurang Pajak dan Penghasilan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
hlm. 3.
[23] Asnaini, Zakat Produktif Dalam
Perspektif Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 64-65.
[24] M. Hasan, Manajemen Zakat Model
Pengelolaan yang Efektif, (Yogyakarta: Idea Press, 2011), hlm. 71.
[25] M. Hasan, Manajemen Zakat Model, .... hlm.
72.
[26] M. Noor, Potensi Zakat Yang
Belum Maksimal, Diakses melalui, http://muhibbin-noor.walisongo.ac.id/?p=3281,
pada tanggal 30 Juni 2016.
[27] Munir, & W. Illahi, Manajemen Dakwah,
(Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 64.
[28] H. Saleh, Kajian Fiqh Nabawi
dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 171.
[29] Hasan Bastomi, Optimalisasi
Potensi Zakat: Sebuah Upaya Peningkatan Kesejahteraan Ummat, Jurnal
MD Membangun Profesionalisme Manajemen Dakwah Vol. 4 No. 2, Juli - Desember
2018, hlm. 182-184.
Komentar