TIPOLOGI PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

 A.    PENDAHULUAN

Pembaruan hukum Islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum Islam (mujtahid) dengan cara-cara yang telah ditentukan berdasarkan kaidah-kaidah istimbat hukum yang dibenarkan sehingga menjadi hukum Islam dapat tampil lebih segar dan modern tidak ketinggalan zaman, inilah dalam ushul fikh dikenal denga ijtihad.

Sejarah Islam mencatat usaha-usaha pembaharuan hukum keluarga, termasuk di dalamnya hukum perkawinan, mulai merebak sejak awal abad ke-20 dimulai dari Turki. Hukum keluarga Turki itu mulai diperkenalkan di Lebanon pada tahun 1919 dan selanjutnya dipakai di Yordania sebelum tahun 1951 dan di Syiria sebelum tahun 1953. Setelah Turki, Mesir juga melakukan pembaruan hokum keluarga tahun 1920 dan 1929. Berikutnya sejumlah Negara Islam lain, seperti Tunisia, Syiria, Yordania dan Irak juga tidak ketinggalan melakukan pembaruanpembaruan dalam hukum keluarga mereka. Menarik dicatat bahwa sampai tahun 1956 hanya ada lima Negara Islam Timur Tengah yang belum memperbarui hukum keluarganya, yakni Emirat, Arab Saudi, Katar, Bahrain dan Oman.

B.    PEMBAHASAN

1.     Pengertian Pembaharuan Hukum Islam

Kata pembaruan dalam bahasa Arab disebut tajdid dan dalam bahasa Inggris disebut modernism. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pembaruan memiliki makna yang diantaranya adalah suatu perbuatan ataupun cara maupun metode untuk memperbarui sesuatu atau proses pengembangan adat istiadat. Istilah tajdid memiliki makna membangun kembali, menghidupkan kembali ataupun memperbaiki agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Bustami Muhammad Saad mengemukakan pandangannya bahwa kata tajdid lebih tepat digunakan untuk membahas tentang pembaruan hukum.

Masyfuk Zuhdi juga mengatakan bahwa kata tajdid lebih komprehensif dengan kata pembaruan, karena dalam kata tajdid tersebut mengandung tiga hal yang saling berhubungan, yaitu al-I`adah yaitu mengembalikan masalah agama terutama yang bersifat khilafiyah kepada sumbernya, yaitu Al-Qur`an dan Hadits, al-Ibanah yaitu purifikasi ataupun pemurnian ajaran agama Islam dari segala bentuk bid`ah dan khurafat, pembebasan berfikir ajaran Islam dari fanatik mazhab, aliran dan ideologi yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam dan al-Ihya` yaitu menghidupkan kembali, menggerakkan, memajukan dan memperbarui pemikiran dan melaksanakan ajaran Islam.

Pembaruan hukum Islam bukanlah berarti menolak atau merombak segala hasil ijtihad ulama masa lalu, tetapi adalah pembaruan yang dilakukan meliputi al-I'adah, al-ibabanah, al-ihya, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Dengan kata lain pembaruan hukum Islam ada dua bentuk, yakni:

a.     Mengkaji ulang pemikiran hukum kalangan ulama yang pernah aktual pada masanya, namun karena sudah terlalu lama rentang waktu dengan kehidupan sekarang justru dirasakan ada yang sudah kehilangan daya aktualnya. Hal ini yang menyebabkan perlunya pembaruan, yakni reaktualisasi melalui reinterprestasi-reformulasi. Dengan demikian, pemikiran hukum tersebut dikaji ulang dalil-dalilnya, terutama yang menyangkut hubungan hukum dengan dalil dan diformulasikan sesuai dengan jiwa hukum syarak dan tuntutan umat saat ini. Pembaruan hukum Islam bukan berarti membuang sama sekali pendapat-pendapat lama yang masih bisa dipakai dan masih relevan dengan perkembangan social. Pembaruan hukum Islam tersebut lebih tepat mengacu kepada suatu kaidah:

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح

Memelihara warisan masa lalu yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.

b.     Melakukan ijtihad bagi yang kompeten terhadap masalah baru serta belum pernah dibicarakan oleh para mujtahid terdahulu, yakni segala masalah yang muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkenaan dengan Hukum Islam sehingga dapat ditentukan hukumnya untuk dipedomani dan diamalkan oleh umat Islam.

Dari beberapa pengertian tentang pembaruan (tajdid) sebagaimana tersebut di atas, pembaruan hukum Islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum Islam dengan cara-cara yang telah ditentukan untuk menjadikan hukum Islam dapat tampil lebih segar, modern dan tidak ketinggalan zaman.

2.     Tipologi Pembaharuan Hukum Islam

Berdasarkan pada pemaknaan pembaruan dalam Islam di atas, maka implikasinya kemudian dalam pelaksanaan secara historis mewujud ke dalam berbagai bentuk atau model sesuai dengan titik tekan masing-masing. Perubahan dan perbaikan kondisi internal umat Islam dapat dikategorisasikan menjadi tiga model atau tipologi utama, yakni modernisme (modernism), fundamentalisme (fundamentalism) dan tradisionalisme (tradisionalism).

a)    Fundamentalisme

Istilah fundamentalisme secara historis bukanlah orisinil dari tradisi intelektual umat Islam sendiri, melainkan bermula dari khasanah intelektual Barat untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan masyarakat Kristen Barat. Kemudian istilah tersebut diadopsi oleh sejumlah pemikir Islam untuk menggambarkan fenomena keagamaan kelompok yang memiliki semangat kembali kepada hal-hal yang fundamental-mendasar (agama), yakni kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Terdapat tiga ciri khusus yang melekat pada fundamentalisme dalam Islam. Pertama, bersifat regresif kepada Islam ideal sebagaimana difahami dan diamalkan kaum muslimin generasi salaf. Menurut kaum fundamentalis, wujud Islam ideal adalah sebagaimana yang difahami dan dipraktekkan oleh generasi salaf, yakni generasi sahabat, tabi’in dan tabi’i at-tabi’in. Kedua, gerakan dakwahnya lebih difokuskan pada upaya purifikasi atau pemurnian Islam dari segala bentuk bid’ah dan khurafat. Ketiga, dalam metodologi pemahaman terhadap teks-teks wahyu pada umumnya menggunakan pendekatan tekstual-leteral, sangat minim dalam pelibatan akal untuk memahami teks-teks doktrin Islam. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa sesungguhnya penjelasan tentang ajaran Islam itu sudah sempurna dan tuntas sejak periode salaf, sebagaimana tertuang dalam teks-teks klasik. Oleh karena itu tidak perlu melakukan rasionalisasi terhadap ajaran Islam, melainkan cukup merujuk pada teks-teks yang sudah tersedia.

Kemudian Fajlur Rahman menambahkan ciri lain terhadap fundamentalisme, yaitu “elan vital” (semangat yang melahirkannya), semangat anti Barat. Leonard Blinder, menyebutkan ciri khusus fundamentalisme terkait dengan pandangan khasnya mengenai kedudukan ijtihad. Menurutnya, kaum fundamentalis hanya membenarkan ijtihad yang dilakukan sepanjang syariah tidak memberikan perincian yang lebih mendalam terhadap masalah-masalah tertentu.

b)    Modernisme

Menurut Ahmad Hassan, modernisme adalah aliran pemikiran keagamaan yang “menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikannya dengan perkembangan jaman. Chehabi mengartikan modernisme terhadap doktrin agama” sehingga keberadaannya “tidak bertentangan dengan semangat jaman yang dominan”, terutama “apa-apa yang ada dan dijumpai dalam masyarakat lain yang lebih maju”. Bagi Mukti Ali, modernisme adalah “faham yang bertujuan untuk memurnikan Islam” dengan cara “mengajak umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan sunnah” dan “mendorong kebebasan berfikir” sepanjang tidak bertentangan dengan teks al-Qur’an dan Hadits yang shahih”.

Ada beberapa ciri khas yang menandai modernisme dalam Islam. Hamilton Gibb menitikberatkan kepada ciri “apologetik” yang ilakukan oleh kaum modernis dalam upaya menunjukkan “keunggulan” Islam atas peradaban Barat. Wilfred C. Smith menambahkan satu ciri lagi yakni “romantisme”. Karakter romantisme ini tampak dalam sikap modernis mengagungkan periode awal dan periode kegemilangan peradaban Islam masa lampau. Kemunduran dunia Islam sama sekali bukanlah disebabkan oleh doktrin agama Islam itu, melainkan kesalahan para penganutnya. Puncak kesalahan itu ialah, karena kaum muslim sendiri telah melupakan agamanya. Sementara itu Fazlur Rahman, Deliar Noer dan Mukti Ali lebih menonjolkan karakteristik modernisme pada “keharusan ijtihad” khususnya dalam masalah-masalah mu’amalah (kemasyarakatan), dan penolakan mereka terhadap sikap jumud (kebekuan berfikir) dan taqlid (mengikuti suatu pendapat tanpa mengerti dasarnya). Mereka berdalih, tanpa ijtihad, Islam akan kehilangan relevansinya dengan dinamika jaman. Hal ini dapat dipahami, karena doktrin selamanya tidak berubah, sedangkan masyarakat terus mengalami perkembangan dan perubahan.

Polarisasi dari modernisme kemudian lahir neo-modernisme, di mana sikap mereka terhadap nilai-nilai Barat modern adalah selektif dan kritis. Neo-modernisme merupakan gerakan pembaruan Islam yang hadir sebagai respons terhadap kelemahan yang melekat pada gerakan-gerakan Islam sebelumnya, yakni revivalisme pra modernis, modernisme klasik dan neo-revivalisme. Lebih dari itu, neo-modernisme juga hadir, lanjut A’la, untuk memberikan kritik sekaligus apresiasi terhadap aliran-aliran pemikiran Islam yang timbul sepanjang sejarah perjalanan umat Islam, serta juga pemikiran yang berkembang di Barat. Dalam paradigma pemikiran neo-modernisme, tidak semua hasil pemikiran ulama dan intelektual Muslim mesti baik, benar dan sesuai dengan prinsip dasar Islam. Demikian pula, Barat tidak bisa selamanya diidentikkan dengan segala yang bersifat negatif. Oleh karena demikian itu, menurut neo-modernis, umat Islam harus mensikapi semua itu secara objektif dan kritis tanpa harus didahului oleh prakonsepsi yang akan menimbulkan bias terhadap pandangan mereka dari ralitas yang sebenarnya.

c)     Tradisionalisme

Kelompok tradisionalis, merespons dominasi modern Barat di dunia Islam dengan bertahan pada tradisi Islam sesuai dengan yang disampaikan oleh generasi salaf hingga terkodifikasi ke dalam madzhab. Hal ini berarti, kaum tradisionalis dalam tradisi pemahaman dan pengamalan Islam memang merujuk pula kepada generasi salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) seperti halnya kaum fundamentalis-Salafi seperti dijelaskan di atas, tetapi lebih dari itu semua endingnya kaum tradisionalis merujuk kepada ajaran Islam yang sudah terkodifikasikan ke dalam madzhab-madzhab yang telah terbakukan.

Terdapat lima kriteria yang menjadi karakteristik mendasar keberagamaan Muslim tradisionalis-madzhabi Indonesia. Pertama, dari segi akidah mereka mengikuti teologi Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, sebagaimana diajarkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Kedua, berkenaan dengan fikih walaupun mereka mengakui keabsahan keempat madzhab, mereka pada umumnya hanya merujuk kepada madzhab Syafi’i sebagai tuntunan normatif dalam seluruh aspek kehidupan mereka, tentu khususnya dalam ibadah dan muamalah. Ketiga, mereka menerima tasawuf sebagai elemen penting dalam keberagamaan, sebagian menjadi anggota tarekat untuk menerima tuntunan seorang mursyid untuk memperoleh bimbingan dalam mencapai tahap tertinggi dalam keberagamaan. Keempat, mereka melakukan tata cara peribadatan sebagaimana diterima dan dipraktekkan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari kemusliman mereka.

Dalam perkembangan lebih lanjut kemudian terjadi polarisasi dari tradisionalisme hingga lahir apa yang disebut dengan neo-tradisionalisme. Kelompok neo-tradisionalis, di dalam komunitas Muslim, dengan kecenderungan kuat pada sufisme yang kental bercampur dengan filsafat, secara historis barulah terjadi sesudah Perang Dunia II. Para tokoh Muslim neo-tradisionalis itu pada umumnya memandang peradaban Barat telah tercerabut dari akar spiritual-transendental di satu sisi, dan sepenuhnya bercorak antroposentris, dan ini yang dianggap oleh neo-tradisionalis sebagai penyebab utama terjadinya krisis ekologis global. Itulah sebabnya neo-tradisionalis memandang pemikir Muslim dari kalangan modernis, dan apalagi sekuleris, merupakan cerminan rasa rendah diri, dan mereka tidak akan memberikan kontribusi apa-apa dalam tawaran solusi pembaruannya.

Menurut A. Luthfi Assyaukani ada tiga tipologi pemikiran yang mewarnai pemikiran Arab kontemporer: Pertama, tipologi transformatik. Transformasi masyarakat Muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional serta penolakan terhadap cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis, menjadi kekhasan pemikiran pada tipologi ini. Para pemikir dalam tipe ini juga menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang, karena itu harus ditinggalkan.

Kedua, tipologi reformistik. Tujuan pembaharuan tipe kedua ini adalah reformasi dengan penafsiran penafsiran baru yang lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Kelompok ini lebih spesifik lagi dibagi kepada dua kecenderungan. Kecenderungan pertama adalah para pemikir yang memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali. Maksudnya, agar tradisi suatu masyarakat (agama) tetap hidup dan bisa terus diterima, maka ia harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Perspektif ini berbeda dengan kelompok tradisionalis yang lebih memprioritaskan “pernyataan ulang” (restatement, reiteration) atas tradisi masa lalu. Menurut yang terakhir ini, seluruh persoalan umat Islam sebenarnya pernah dibicarakan oleh para ulama dulu, oleh karena itu tugas kaum Muslim sekarang hanyalah menyatakan kembali apa-apa yang pernah dikerjakan oleh pendahulu mereka.

Ketiga, tipologi pemikiran ideal-totalistik. Pandangan idealis terhadap hukum Islam yang bersifat totalistik dan sangat commited dengan aspek religious budaya Islam adalah ciri pembaharuan tipe ini. Menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya dan peradaban dan menolak unsur-unsur asing yang datang dari Barat karena Islam sendiri sudah cukup mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi, menjadi pendirian para pemikirnya. Lebih jauh, menurut kelompok pemikir dari tipologi ini, Islam tidak butuh lagi kepada metode dan teori-teori imporan Barat. Mereka menyeru kepada keaslian Islam (al-aslah), yaitu Islam yang pernah dipraktekan oleh Nabi dan keempat khalifahnya.

Ketiga tipologi ini telah meramaikan wacana pemikiran hukum Islam kontemporer. Meskipun kategori tipologi semacam ini tidak sepenuhnya mempunyai batasan yang clear-cut, tapi secara umum substansi setiap ide pemikir dapat dijelaskan melalui salah satu tipologi tersebut. Dengan kata lain pemetaan pemikiran di atas pada dasarnya berlaku juga bagi pemetaan dalam bidang hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanany Naseh, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Mukaddimah, Vol. Xv, No. 26, 2009.

Asriati, Pembaruan Hukum Islam Dalam Terapan Dan Perundang-Undangan Di Indonesia, Jurnal Hukum Diktum, Volume 10, Nomor 1, Januari 2012.

Bakhtiar, Perbedaan Dan Persamaan Metode Penemuan Hukum Islam Dan Metode Penemuan Hukum Positif, Pagaruyuang, Volume 1 No. 2, Januari 2018

Intan Cahyani, Pembaharuan Hukum Dalam Kompilasi Hukum Islam, Al-Daulah, Vol. 5 / No. 2 / Desember 2016.

Izomiddin, Tipologi Pemikiran Pembaharuan Hukum Islam (Syari’ah) Abdullahi Ahmad Al-Na’im, Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014.

M. Saman Sulaiman, Pembaruan Hukum Islam (Esensi, Urgensi Dan Kendala), Jurnal Islamika, Volume 13 Nomor 1 Tahun 2013.

Umar Muhaimin, Metode Istidlal Dan Istishab (Formulasi Metodologi Ijtihad), Yudisia, Vol. 8, No. 2, Desember 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

ringkasan Nahwu

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA