Sejarah Pemikiran Hisab di Indonesia
A. PENDAHULUAN
Nabi Idris kerap kali disebut ketika pembicaraan tentang founding father
ilmu falak. Ia adalah orang yang pertama mengajarkan tentang perhitungan. Nama
lengkapnya adalah Idris bin Syits. Nama beliau menggunakan wazn if’il untuk menyatakan
mubalaghah (sangat) karena banyaknya ia mempelajari kitab dan membaca suhuf
Nabi Adam dan Nabi Syits. Ia adalah orang yang pertama menulis menggunakan
pena, menghasilkan ilmu hikmah, hisab, dan perbintangan. Diungkapakan bahwa, “Idris
mengajarkan bilangan, ilmu hisab, tahun, bulan, dan hari.”
Pada masa Rasulullah Saw, ilmu falak sebagai sebuah bidang keilmuan yang
mandiri belum mengalami perkembangan. Pengetahuan bangsa Arab mengenai
benda-benda langit pada saat itu bersifat pengetahuan perbintangan praktis.
Pengetahuan ini untuk kepentingan sebagai penunjuk jalan di tengah gurun pasir
pada malam hari. Penentuan waktu-waktu ibadah pada masa Rasulullah Saw
didasarkan pada rukyat (pengamatan langsung).
Di masa pra dan awal Islam, belum dikenal penomoran tahun sebagaimana yang dikenal dan dapati pada masa sekarang. Sebuah tahun ditandai dengan nama peristiwa yang terjadi, seperti tahun fil, Setelah datangnya Islam, dinamakanlah tahun wafatnya Siti Khadijah dan paman Nabi; Abu Thalib dengan tahun huzn dan lain sebagainya. Kemudian pada masa Umar mulailah terbentuk penomoran tahun dimana tahun hijrah Nabi Saw adalah Tahun Satu, dan sejak saat itu kalender umat Islam disebut tarikh hijriah. Dalam khazanah intelektual Islam klasik, ilmu falak merupakan salah satu bentuk kemajuan peradaban Islam. Namun dalam perjalanannya ilmu falak hanya mengkaji persoalan-persoalan yang terkait dengan pelaksanaan ibadah, seperti arah kiblat, awal waktu salat, awal bulan kamariah, dan gerhana.
B. PEMBAHASAN
Secara etimologi hisab berasal dari kata Arab yaitu hasiba-yahsabu-husbanan/hisaban
yang artinya perhitungan dan dalam bahasa Inggris disebut arithmatic.
Secara istilah ilmu hisab adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk
beluk perhitungan atau lebih sederhana adalah ilmu hitung. Dalam khazanah
keilmuan Islam, ada juga yang disebut sebagai ilmu hitung, yaitu ilmu falak dan
ilmu faraid. Penyebutan ini karena keduanya sering mengkaji
perhitungan-perhitungan, seperti pemecahan bagian-bagian waris, dan lain
sebagainya. Namun tidak dengan di Indonesia, ilmu hitung yang dimaksud adalah
ilmu falak yang mempunyai fokus kajian perhitungan untuk digunakan umat Islam
dalam kegiatan ibadah.
Adapun rukyah terambil dari kata ra’a-yara-ru’yatan artinya
melihat, yakni observasai atau mengamati benda-benda langit. Dan dikenal pula
rukyatul hilal yaitu usaha melihat atau mengamati hilal di tempat terbuka
dengan mata telanjang atau peralatan pada saat matahari terbenam di akhir bulan
tahun kamariyah. Apabila hilal berhasil dilihat, maka malam tersebut dan
esoknya adalah tanggal satu untuk bulan berikutnya. Apabila belum terlihat,
maka malam tersebut dan esoknya adalah hari ke 30 untuk bulan yang sedang
berlangsung.
Kajian hisab dan rukyah di Indonesia tidak terlepas dari bentuk
konfirmasi fiqh ibadah seperti salat, puasa, awal bulan, dan penanggalan. Ini karena
bahasan utama dalam kajian ilmu falak adalah penentuan awal waktu salat, arah
kiblat, awal bulan Kamariah, takwim dan gerhana. Sebagai bagian dari kegiatan
ibadah, ilmu falak diprediksi masuk ke Indonesia beriringan dengan masuknya
agama Islam ke Indonesia. Dalam sejarah Islam di Indonesia sendiri terdapat dua
periode yang mendapat perhatian khusus, yaitu periode masuknya Islam di
Indonesia dan periode reformisme pada abad ke-20.
Sejarah Hisab Rukyah di Indonesia mencatat bahwa sebelum kedatangan
agama Islam, di Indonesia telah tumbuh perhitungan tahun yang ditempuh menurut
kalender Jawa Hindu atau tahun Soko yang dimulai pada hari Sabtu, 14 Maret 78 M yakni tahun penobatan Prabu
Syaliwohono (Aji Soko). Dan kalender inilah yang digunakan umat budha di Bali
guna mengatur kehidupan masyarakat dan agama. Namun sejak tahun 1043 H / 1633 M
yang ketepatan 1555 tahun Soko, tahun Soko diasimilasikan
dengan Hijriyah, kalau pada mulanya tahun Soko berdasarkan peredaran
Matahari, oleh Sultan Agung diubah menjadi tahun Hijriyah yakni berdasarkan peredaran Bulan, sedangkan tahunnya tetap
meneruskan tahun Soko tersebut.
Muhyiddin Khazin memberikan penjelasan yang sedikit berbeda bahwa Sultan
Agung memadukan penanggalan Hindu dan penanggalan Islam menjadi penanggalan
Jawa Islam pada tahun 1043H/1633M. Masa kepemimpinan kerajaan Mataram dipegang
oleh Sri Sultan Muhammad Sultan Agung Prabu Hayrayakusumo (1613-1643 M) inilah penanggalan
Islam mulai diperkenalkan. Ia menetapkan penanggalan resmi kerajaan berdasarkan
tahun Jawa Islam tersebut. Asimilasi penanggalan ini dilakukan dengan cara
merubah pedoman pengambilan dari tahun berdasarkan peredaran Matahari menjadi berdasarkan
peredaran bulan. Namun perhitungan tahunnya tetap dengan melanjutkan perhitungan
Hindu sebelumnya.
Penanggalan Islam (penanggalan hijriah) ini diasumsikam secara umum digunakan
oleh kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sejak zaman mereka berdaulat penuh.
Penanggalan ini digunakan sebagai penanggalan resmi kerajaan-kerajaan tersebut.
Namun setelah datangnya penjajahan Belanda di Nusantara pada abad ke-16,
Belanda mengganti penanggalan tersebut dengan penanggalan masehi. Penanggalan masehi
inilah yang digunakan untuk administrasi pemerintahan dan penanggalan resmi.
Tapi untuk urusan-urusan keagamaan, kerajaan-kerajaan Islam Nusantara masih
ditolerir untuk menggunakan kalender Hijriah terutama dalam penentuan hari-hari
yang berhubungan dengan peribadatan seperti penentuan awal Ramadan, Idul Fitri,
dan Idul Adha.
Sebagaimana
dinyatakan di atas bahwa pada masa penjajahan persoalan penentuan awal bulan
yang berkaitan dengan peribadatan diserahkan kepada kerajaan-kerajaan Islam
yang masih ada. Lalu setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, secara
berangsur-angsur mulai diadakan perubahan, dan setelah
terbentuk Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 1946, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
hari libur (termasuk penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah)
diserahkan kepada Departemen Agama.
Wewenang ini tercantum dalam Penetapan Pemerintah
tahun 1946 No. 2/Um (tentang Aturan Hari Raya), Penetapan Pemerintah tahun 1946
No. 7/Um (tentang tanggal 5 Oktober dijadikan Hari Raya Hari Angkatan Perang), Penetapan
Pemerintah tahun 1946 No. 9/Um (tentang hari bulan 10 November dijadikan Hari
Raya Hari Pahlawan), dan dipertegas dengan Keputusan Presiden No. 25 tahun
1946, No. 148 tahun 1968 dan No. 10 tahun 1971. Pengaturan hari-hari libur
termasuk tanggal 1 Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha itu berlaku untuk seluruh
Indonesia. Namun demikian perbedaan masih belum dapat dihindari sama sekali
karena adanya dua pendapat yang mendasarkan tanggal satu bulan Kamariah
masing-masing dengan hisab, dan dengan rukyat.
Melihat
fenomena tersebut pemerintah mendirikan Badan Hisab Rukyat yang berada di bawah
naungan Departemen Agama. Pada dasarnya kehadiran Badan Hisab Rukyat untuk
menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyyah khususnya dalam beribadah. Dalam hal
ini Departemen Agama selalu berusaha untuk mempertemukan faham para ahli hisab
dan rukyat dalam masyarakat Indonesia terutama di kalangan ulama-ulamanya
dengan mengadakan musyawarah-musyawarah, konperensi-konperensi untuk
membicarakan hal-hal yang mungkin menimbulkan pertentangan di dalam menentukan
hari-hari besar Islam, terutama penentuan awal bulan Ramadhan, Idul Fitri dan
Idul Adha. Kalau dapat disatukan, dan kalau ternyata tak dapat berhasil
diusahakan untuk menetralisir, jangan sampai menimbulkan
pertentangan-pertentangan dikalangan masyarakat luas.
Musyawarah
tersebut dilakukan setiap tahun, pada tanggal 12 Oktober 1971 diadakan
musyawarah dimana waktu itu terjadi perbedaan pendapat mengenai jatuhnya
tanggal 1 Ramadhan 1391 H. Dalam musyawarah ini perbedaan-perbedaan dapat
dinetralisir dan dapat meniadakan ketegangan-ketegangan di kalangan masyarakat.
Dan yang lebih penting lagi pada musyawarah ini Menteri Agama didesak untuk
mengadakan Lembaga Hisab dan Rukyat.
Musyawarah
pada tahun berikutnya diadakan pada tanggal 20 Januari 1972, dalam menghadapi
tanggal 1 Dzulhijjah 1972/1391 yang juga terdapat perbedaan. Musyawarah inipun
dapat meredakan suasana pertentangan dan selanjutnya para peserta mengulangi
desakannya lagi supaya didirikan Lembaga Hisab dan Rukyat. Musyawarah ini
diikuti oleh ormas-ormas Islam, Pusroh ABRI, Lembaga Meteorologie dan
Geofisika, Planetarium, IAIN, dan dari Departemen Agama.
Untuk
membentuk Lembaga Hisab dan Rukyat Departemen Agama menunjuk team perumus yang
terdiri dari lima orang yaitu:
a. A. Wasit Aulawi, M.A (dari Departemen Agama)
b. H. Z. A. Noeh (dari Departemen Agama)
c. H. Sa’aduddin Djambek (dari Departemen Agama)
d. Drs. Susanto (dari Lembaga Meteorologie dan
Geofisika)
e. Drs. Santoso Nitisastro (dari Planetarium).
Setelah
mengadakan beberapa kali pertemuan maka dalam rapat tanggal 23 Maret 1972 team
Perumus mengambil keputusan sebagai berikut:
a. Bahwa tujuan dari Hisab dan Rukyat ialah
mengusahakan bersatunya ummat Islam dalam menentukan tanggal 1 Ramadhan, 1
Syawal, dan 1 Zulhijjah.
b. Bahwa setatus daripada Lembaga Hisab dan
Rukyat ini adalah Resmi (Pemerintah) dan berada dibawah Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan berkedudukan di Jakarta.
c. Bahwa tugas dari Lembaga Hisab dan Rukyat ini
adlah memberikan advis dalam hal penentuan permulaan tanggal bulan Kamariah
kepada Menteri Agama.
d. Bahwa keanggotaan Lembaga Hisab dan Rukyat
ini terdiri dari 1 Anggota tetap (inti) yang mencerminkan 3 unsur, diantaranya:
1) Unsur Departemen Agama;
2) Unsur ahli-ahli Falak/Hisab;
3) Unsur ahli Hukum Islam/Ulama.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.
77/1972 pada tanggal 16 Agustus 1972, maka terbentuklah Badan Hisab rukyat
Kementerian Agama dengan susunan sebagai Ketua Sa’aduddin Djambek, Wakil Ketua A.
Wasit Aulawi, Sekretaris Djabir Mansur, anggota: Z A Noeh, Susanto, Santoso,
Radli Saleh, Junaidi, Muhadji, Penuh Dali dan Syarifudin.
Pelantikan
Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama dilaksanakan pada waktu menjelang bulan
puasa yaitu 23 September 1972 personalia BHR dilantik
Menteri Agama. Oleh karena
itu dalam waktu 2 hari setelah pelantikan badan Hisab dan Rukyat sudah mulai
mengadakan kegiatannya dalam rangka menghadapi bulan Ramadhan tahun 1391 H.
Dari data yang diterima mengenai tinggi hilal pada waktu matahari terbenam dan
hasil perhitunganperhitungan ormas-ormas Islam dapat diambil kesimpulan bahwa
hilal masih dibawah ufuk. Sehingga dalam rapatnya badan hisab, memutuskan tidak
usah melakukan rukyat karena hilal tidak mungkin terlihat, dan akhirnya mengistikmalkan
bulan Sya’ban 30 hari. Sebulan kemudian yaitu tanggal 14 Oktober 1972 Badan
Hisab mengadakan rapatnya yang kedua, membicarakan tentang akan datangnya 1 Syawal
1392 H dalam rapat kedua ini, sama seperti rapat ke satu Badan Hisab dan Rukyat
menerima catatan dari ormas-ormas, lembaga-lembaga dan perseorangan yang
semuanya sepakat bahwa bulan sudah mungkin untuk dirukyat.
Tahun-tahun
berikutnya, yaitu tahun 1395 H. penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal juga dapat
berjalan dengan lancar, tidak mengalami kesulitan-kesulitan. Pada tanggal 5 s.d
Juli 1974 Ditjen Bimas Islam menyelenggarakan Musyawarah Badan Hisab dan Rukyat
Departemen Agama yang mengambil kesimpulan-kesimpulan, yaitu; menyambut baik
prakarsa Menteri Agama untuk merintis hubungan kerja sama dengan Malaysia dan
Singapura di bidang hisab dan rukyat.
Kemudian,
pada tanggal 9 s.d 11 Juli 1974 diadakan musyawarah Hisab dan Rukyat antar
Negara Malaysia, Singapura, dan Indonesia di Jakarta. Hasil dari musyawarah
tersebut antara lain: Badan Hisab dan Rukyat Indonesia bekerjasama dengan
Malaysia, Singapura dalam bidang hisab dan rukyat, saling memberikan informasi
mengenai hisab dan rukyat, kaidah-kaidah dan istilah-istilah falak syar’i,
kerjasama tersebut hendaknya dapat dikembangkan di negara-negara Islam.
Badan Hisab
dan Rukyat Departemen Agama, pada tanggal 26 April 1976 telah mengirimkan surat
kepada para ulama-ulama dan cerdik pandai di bidang hisab di Indonesia untuk
memohon kesediaan mereka menyampaikan perhitungan dan data hisab tanggal 1
Syawal 1397 H (1977) dan tanggal 10 Zulhijjah 1397 H (1997). Data perhitungan
tersebut dijadikan bahan dalam musyawarah hisab dan rukyat yang diselenggarakan
Direktoral Jendral Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 9 s.d 11 Maret 1977 di
Jakarta.
Badan Hisab
dan Rukyat Departemen Agama dalam upaya meminimalisir perbedaan diantara ahli
hisab dan ahli rukyat diadakanlah musyawarah yang melibatkan ulama-ulama ahli
hisab dan rukyat serta ormas-ormas Islam tentang kriteria Imkan al-rukyat di
Indonesia pada tanggal 24 s.d 26 Maret 1998, kemudian dilanjutkan dengan
Musyawarah Imkan al-rukyat antara Pimpinan Ormas Islam, MUI, dan
Pemerintah pada hari senin, 28 September 1998 di Jakarta, yang memutuskan:
Menetapkan:
a. Penentuan awal bulan Kamariah didasarkan pada
sistem Hisab Hakiki Tahkiki dan atau Rukyat.
b. Penentuan awal bulan Kamariah yang terkait
dengan pelaksanaan ibadah mahdhah yaitu awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah di
tetapkan dengan mempertimbangkan hisab hakiki tahkiki dan rukyat.
c. Kesaksian rukyat dapat diterima apabila
ketinggian hilal mencapai 2 derajat dan jarak ijtima’ ke ghurub matahari
minimal 8 jam.
d. Kesaksian hilal dapat diterima, apabila
ketinggian hilal kurang dari 2 derajat, maka awal bulan ditetapkan berdasarkan
istikmal.
e. Apabila ketinggian hilal mencapai 2 derajat
atau lebih, maka awal bulan dapat ditetapkan.
f. Kriteria Imkan al-rukyat tersebut di atas
akan dilakukan penelitian lebih lanjut.
g. Menghimbau kepada seluruh pimpinan Ormas Islam
mensosialisasikan keputusan ini.
h. Dalam pelaksanaan itsbat, pemerintah
mendengar pendapat-pendapat dari ormas-ormas Islam dan para ahli.
Setiap tahun
Badan Hisab dan Rukyat selalu mengadakan musyawarah bersama ulama-ulama ahli
hisab, ormas-ormas Islam, lembaga-lembaga, serta perseorangan untuk membahas
mengenai penetapan awal bulan Kamariah khususnya penetapan tanggal 1 Ramadhan,
1 Syawal, 1 Zulhijjah. Tujuan dari musyawarah tersebut ialah untuk menggali dan
membahas masalah hisab dan rukyat sehubungan dengan penentuan awal tanggal 1
Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Zulhijjah. Selalu ada perbedaan pendapat dalam
musyawarah tersebut, meskipun berbeda kriteria, hasil perhitungan dan lain
sebagainya. Badan Hisab dan Rukyat selalu mencoba untuk meminimalisir perbedaan
tersebut supaya tidak adanya perpecahan antara umat Islam di Indonesia.
Sampai awal abad kedua puluh, pemikiran hisab rukyat di Nusantara sangat
dipengaruhi dan tidak bisa dilepaskan dari tradisi atau khazanah pemikiran
hisab rukyat di negara-negara Islam lainnya terutama Timur Tengah. Pengaruh ini
misalnya kita dapat lihat pada kitab Sullam an-Nayyirain yang data-data
mengadopsi Zij Sulthani karya Ulugh Bek. Zij ini juga digunakan oleh
kalangan ahli falak di Timur Tengah pada masa itu.
Ilmu falak ini
berkembang dan tumbuh subur terutama di pondok pesantren-pondok pesantren di
Jawa dan Sumatera. Kitab-kitab ilmu hisab yang dikembangkan para ahli hisab di
Indonesia biasanya mabda’ (epoch) dan markaznya disesuaikan dengan tempat
tinggal pengarangnya. Seperti Nawawi Mahammad Yunus al-Kadiri dengan karyanya Risalatul
Qamarain dengan markaz Kediri, kitab Irsadul Murid karya Ahmad
Ghazali Madura. Walaupun ada juga yang tetap berpegang pada kitab asal (kitab
induk) seperti al-Mathla’ul Said fi Hisabil Kawakib ala Rasydil Jadid
karya Syeh Husain Zaid al-Misra dengan markaz Mesir. Dan sampai sekarang,
khazanah (kitab-kitab) ilmu falak di Indonesia dapat dikatakan relatif banyak,
apalagi banyak pakar falak sekarang yang menerbitkan (menyusun) kitab falak
dengan cara mencangkok kitab-kitab yang sudah lama ada di masyarakat di samping
adanya kecanggihan teknologi yang dikembangkan oleh para pakar Astronomi dalam
mengolah data-data kontemporer yang berkaitan dengan hisab rukyat.
Perkembangan hisab
rukyat terus berkembang dengan adanya beberapa organisasi. Pada akhir tahun
2009, sebuah komunitas ahli falak muncul dengan diawali adanya lokakarya
Nasional pengembangan ilmu falak di PTAI dan temu Dosen se Indonesia yang
diselenggarakan oleh Prodi Konsentrasi Ilmu Falak jurusan Al-Ahwal Al-Syaksiyah
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Dari seminar dan pertemuan yang
diadakan di Bandungan Semarang, terbentuklah satu organisasi yang bernama ADFI
(Asosiasi Dosen Falak Indonesia) pada tanggal 2 Desember 2009 untuk periode pertama 2009-2013.[1]
Tidak lama setelah
itu, muncul satu komunitas ahli falak perempuan (KFPI – Komunitas Falak
Perempuan Indonesia) yang dipelopori oleh mahasiswi Konsentrasi Ilmu Falak
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan pertama (2007). Komunitas
ini dideklarasikan pada hari Jum’at tanggal 18 Desember 2009 dengan periodisasi
2009-2013 untuk memberdayakan kader-kader falak perempuan[2] di Indonesia yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Di samping ada
RHI (Rukyatul Hilal Indonesia) di Yogyakarta, berkembangnya Lajnah Falakiyah di
tingkat kota Kabupaten se Indonesia, Muhammadiyah yang ditangani oleh Majlis
Tarjih dan Tajdid, Pusat Studi Falak Muhammadiyah bekerjasama dengan
Universitas Muhammadiyah dan PP Muhamamdiyah (Majlis Tarjih dan Tajdid), Pusat
Studi Astronomi (PSA) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Forum kajian
falak Zenith ITB Bandung, HIMASTRON (Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB Bandung),
komunitas ahli falak amatir Yogyakarta, Jogja Astro Club (JAC) Komunitas
astronom amatir dari Yogyakarta, CASA Club Astronomi Santri Assalam PP. Assalam
Surakarta, Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ), Lembaga Hisab rukyat
Independen (LHRI) Semarang, Yayasan Al Falakiyah Surabaya, Forum Kajian Falak
di Pesantren-pesantren.[3]
C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian
singkat di atas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa hisab merupakan kajian
perhitungan yang telah ada sebelum Islam ada. Sejarah Hisab Rukyah di Indonesia
mencatat bahwa sebelum kedatangan agama Islam, di Indonesia telah tumbuh perhitungan
tahun yang ditempuh menurut kalender Jawa Hindu atau tahun Soko, kemudian diasimilasikan
dengan Hijriyah berdasarkan peredaran Bulan. Kemudian dating belanda dan
penanggalan diganti dengan system penanggalan masehi. Namun untuk urusan
keagamaan masih tetap diperbolehkan menggunakan kalender hijriah. Setelah
Indonesia merdeka kemudian mulai dilakukan perubahan terkait dengan penentuan
awal bulan terutama setelah terbentuknya Departemen Agama pada 3 Januari 1946.
SUMBER TULISAN
-
Ai Siti Wasilah, Dinamika Kriteria Penetapan
Awal Bulan Kamariah (Studi Terhadap Organisasi Kemasyarakatan Persatuan Islam, Skripsi
Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/30110.
- Ahmad Izzuddin, Dinamika
Hisab Rukyat Di Indonesia, Istinbath: Jurnal Hukum, Vol. 12, 2015.
https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/istinbath/article/view/584.
-
Jayusman, Sejarah Perkembangan Ilmu Falak Sebuah
Ilustrasi Paradoks Perkembangan Sains Dalam Islam, Al-Marshad; Jurnal Astronomi Islam dan Ilmu-Ilmu
Berkaitan, Vol.1, 2015.
http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/almarshad/article/view/738.
-
Ehsan Hidayat, Sejarah Perkembangan Hisab Dan Rukyat, Elfalaky:
Jurnal Ilmu Falak, Vol. 3, 2019.
[1] Ketua Umum : Dr.
H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, Ketua I (Jawa, Madura): Drs. H. Muslih Husain, M.Ag,
Ketua II (Sumatera, Kalimantan): Drs. H. Rahmadi, M.HI, Ketua III (Sulawesi,
Maluku): Drs. Abbas Fadhil, MA, Sekretaris Jenderal (Sekjen): Syifaul Anam, MH,
Sekretaris I (Jawa, Madura) : Muhammad Husain, MA, Sekretaris II (Sumatera,
Kalimantan) : Dr. Saidur Rahman, MA, Sekretaris III (Sulawesi, Maluku): Drs.
Sarifudin, M.Ag, Bendahara : Drs. H. Eman Sulaeman, MH
[2] Periode pertama,
ketua umum : Latifah (Banjarmasin Kalimantan), ketua I : Siti Tatmainul Qulub
(Jember Jawa Timur), ketua II: Anisah Budiwati (Garut Jawa Barat), Sekretaris:
Ayuk Khoerunnisak (Jepara Jawa Tengah), Bendahara: Eni Nuraeni (Bandung Jawa
Barat).
Komentar