Qawaid Al-Fiqhiyah

 

A.    PENDAHULUAN

Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh-tidaknya sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik. Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh berpaling dari keduanya, seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah dalam surat Ali Imran ayat 32, yang artinya:

Katakanlah olehmu (hai Muhammad), ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.

Umat Islam hingga sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai ‘umdah atau sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu, kedua sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-penyelesaian berbagai masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk masalah hukum.

 

B.    PENGERTIAN QOWA’ID FIQHIYAH

Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah. Secara etimologi, kata qaidah (قاعدة), jamaknya qawaid (قواعد) berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu[1], baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama).[2] Qaidah dengan arti dasar atau fondasi sesuatu terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 127 :

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh (الفقه) ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan perkataannya.[3] Al-Qur’an menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada surah al-Taubah ayat 122 :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Secara terminologi kata fiqh dikemukakan oleh Jamaluddin al-Asnawy yaitu :

العلم بالأحكام الشرعية العمليةِ المُكْتَسَبُ من أدلتِها التفصيليةِ

Ilmu tentang hukum-hukum syara` yang praktis yang diusahakan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Ulama ushul kontemporer, antara lain Abd al-Wahhab Khallaf memberikan definisi fiqh secara ekslusif, yaitu :

مَجْمُوْعَةُ الأحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ المُسْتَفَادَةِ مِن اَدِلَّتِهَا التَّفْصِلِيَّةِ

Kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh. Sedangkan pengertian qawaid fiqhiyyah menurut terminologi, al-Taftazany memberikan rumusan, yaitu:

إنَّهَا حُكْمٌ كُلِّىٌّ يَنْطَبِقُ على جُزْئِيَّاتِهَا لِيُتَعَرَّفَ أحكامُها منهُ

Suatu hukum yang bersifat universal yang dapat diterapkan kepada seluruh bagiannya agar dapat diidentifikasikan hukum-hukum bagian tersebut darinya.

Al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat memberikan rumusan, yaitu:

قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهَ

Ketentuan universal yang bersesuaian dengan seluruh bagian-bagiannya.

Ibn al-Subkiy dalam kitab al-Asybah wa al-Nazhair memberikan rumusan, yaitu:

الأمرُ الكليُ الذي يَنْطَبِقُ عليه جزئياتٌ كثيرَة تُفهَمُ أحكامُها منه

Perkara yang bersifat universal yang banyak bagian-bagiannya bersesuaian dengannya, dimana hukum-hukum bagian-bagian tersebut dipahami darinya.[4]

Dapat disimpulkan bahwa qowa’id fiqhiyyah adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.

C.    HUBUNGAN ANTARA QOWA’ID FIQHIYAH DENGAN QOWA’ID USHULIYAH

Hubungan qawaid fiqhiyyah, fiqh dan ushul fiqh beserta qawaid ushuliyyah-nya tidak dapat dipisahkan. Ilmu ini saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Karena dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah hukum syara’(fiqh), yaitu ilmu-ilmu tersebut berbicara tentang hukum syara. Ushul fiqh adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqh. Jadi fiqh adalah produk operasional ushul fiqh. Sebuah hukum fiqh tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (al-Qur’an dan Sunah) tanpa melalui ushul fiqh. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqh, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqh.

Misalnya hukum wajib shalat dan zakat yang digali dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi

واقيموا الصلاة وءاتوا الزكوة .......

dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat…

Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ushul fiqh, perintah pada asalnya menunjukan wajib (الاصل فى الامر للوجوب). Adapun qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalankan hukum fiqh terkadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti ini, mukallaf tersebut boleh menunda shalat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid fiqhiyyah, yaitu dengan menggunakan qaidah : الضرر يزال (bahaya wajib dihilangkan).[5]

 

D.    TUJUAN DAN FAEDAH MEMPELAJARI QOWA’IDUL FIQHIYAH

Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah itu adalah agar dapat mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh. Dari tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah tersebut, maka manfaat yang diperoleh adalah;

1.     akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi;

2.     akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi hukum dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda;

3.     Mempermudah dalam menguasai materi hukum;

4.     Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru;

5.     Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tempatnya.

 

E.    RUANG LINGKUP PEMBAHASAN QOWA’ID FIQHIYAH.

Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yang luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu[6]:

a.     Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al-Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yang bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab.

b.       Al-Qawaid al-Kulliyah yaitu qawaid yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab- madzhab, tetapi cabang- cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawaid yang lalu.

c.     Al-Qawaid al-Madzhabiyyah (kaidah mazhab), yaitu kaidah- kaidah yang menyeluruh pada sebagian mazhab yang lain. Kaidah ini terbagi menjadi dua bagian:

1.      Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu mazhab

2.      Kaidah yang diperselisihkan pada satu mazhab

d.     Al-Qawaid al-Muhktalaf fiha fi al-Mazhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yang lain, dan tidak diperselisikan dalam furu’ satu madzab

 

F.    KEDUDUKAN QOWA’ID FIQHIYAH DALAM KONTEKS ISTINBATH HUKUM

Dalam memposisikan al-qawaid al-fiqhiyyah sebagai dalil istinbath hukum dapat diamati dari berbagai pendapat ulama tentang masalah tersebut. Dalam kaitan ini, Ali al-Nadawi memaparkan sejumlah pendapat ulama tentang masalah ini. Imam Haramain al-Juwaini dalam kitabnya al-Ghayatsi ketika menjelaskan tentang kaidah ibahah dan bara’ah zimmah menegaskan bahwa ia tidak bermaksud menggunakan kedua kaidah tersebut sebagai dalil. Ini isyarat dari imam Haramain untuk tidak menggunakan kaidah fiqh sebagai dalil istinbath hukum. Al-Hamawi dengan ungkapan lebih tegas menyatakan penetapan fatwa tidak boleh didasarkan kepada kaidah fiqh karena ia tidak bersifat kulli, tetapi bersifat aghlabiyyah (kebanyakan).

Isyarat serupa dikemukakan pula oleh Ali Khaidar dalam syarah al-Majallah al-Adliyyah bahwa mereka yang berwenang menetapkan hukum tidak boleh menetapkan hukum dengan semata-mata berpijak pada al-qawaid al-fiqhiyyah. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa banyak ulama yang tidak membolehkan pemakaian al-qawaid fiqhiyyah sebagai dalil-dalil dalam menetapkan hukum. Sebab, tidak logis menjadikan sesuatu yang merupakan himpunan dari sejumlah persoalan furu’ (fiqh) sebagai dalil dari dalil syara’. Namun, kesimpulan ini tidak dapat diberlakukan secara umum, mengingat sebagian al-qawaid fiqhiyyah ada yang langsung didasarkan dan disandarkan pada dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah (nash).

Ada beberapa al-qawaid fiqhiyyah yang dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.

a.     kaidah yang menegaskan bahwa sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihapus oleh keraguan. Kaidah fiqh itu berbunyi:

اليقين لا يزول بالشك

Sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan oleh keraguan

Kaidah ini menegaskan sesuatu yang meyakinkan tidak dapat dikalahkan oleh sesuatu yang meragukan, kecuali yang meragukan meningkat menjadi meyakinkan. Ini menunjukkan semua tindakan mesti berdasarkan pada yang diyakini. Kaidah ini mendorong untuk menghilangkan kesulitan selama didasarkan atas keyakinan. Kaidah fiqh tersebut didasarkan pada dalil yang kuat, diantaranya hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: apabila seorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, kemudian ia ragu apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah ia keluar masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan bau (memperoleh bukti telah batal wudhunya) (H.R. Muslim).

Hadis ini menginformasikan kepada muslim, apabila merasakan sesuatu dalam perutnya sehingga ia ragu apakah telah keluar sesuatu dari perut yang menyebabkan batal wudhu atau tidak ada yang keluar, ia tidak perlu keluar masjid untuk berwudhu sampai mendengar secara pasti suara (kentut) atau merasakan bau.

Kaidah fiqh di atas juga didasarkan pada hadis Nabi berikut:

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي الْوَاحِدَةِ وَالثِّنْتَيْنِ فَلْيَجْعَلْهُمَا وَاحِدَةً وَإِذَا شَكَّ فِي الثِّنْتَيْنِ وَالثَّلَاثِ فَلْيَجْعَلْهُمَا ثِنْتَيْنِ وَيَسْجُدْ فِي ذَلِكَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ.

Sungguh telah diriwayatkan dari Nabi SAW. bahwa beliau bersabda: apabila ragu salah seorang kamu dalam sholat, apakah telah satu rakaat atau dua rakaat sholatnya, maka hendaklah ia menetapkan satu rakaat sholat yang telah dilakukan. Dan apabila ia ragu antara dua atau tiga rakaat sholat yang telah dilakukan, maka hendaklah ia menetapkan dua rakaat yang telah dilakukan. Hendaklah ia melakukan dua kali sujud sebelum salam (H.R. Tirmidzi).

Hadis ini mengisyaratkan orang yang ragu tentang bilangan rakaat sholat, antara dua dan tiga, maka hendaklah yang bersangkutan memilih bilangan rakat sholat yang paling sedikit karena itulah yang yakin atau pasti, sementara bilangan yang tertinggi dari rakaat sholat itu yang dikeragui. Dalam kasus, ini orang yang ragu tentang bilangan rakaat sholat diperintahkan (sunat) untuk melakukan sujud sahwi sebelum ia salam sebagai penutup sholatnya.

b.     kaidah fiqh yang menegaskan kemudharatan harus dihilangkan dari kehidupan manusia. Kaidah fiqh itu berbunyi:

الضرر يزال

Kemudharatan itu harus dihilangkan

Kaidah ini dibangun atas dasar dan dalil yang cukup kuat, diantaranya firman Allah berikut:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman. (Surat al-A’raf ayat 85)

وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Surat al-Qashash ayat 77).

Kaidah fiqh di atas juga didasarkan pada hadis Nabi berikut:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah SAW. menetapkan tidak boleh membuat kemudharatan pada diri sendiri dan membuat kemudharatan pada orang lain (H.R. Ibn Majah)

c.     kaidah fiqh yang menegaskan bahwa adat kebiasaan dapat dijadikan hukum. Kaidah itu berbunyi:

العادة محكمة

Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum

Dalam penilaian al-Raghib kata ‘urf yang seakar dengan kata ma’ruf merupakan nama bagi suatu perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan agama. Makna ini dapat ditemukan dalam diantaranya dalam Surat Ali 'Imran, Ayat 104:

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ

 

Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Kata ‘urf dan ma’ruf dalam Qur’an dipandang sebagai bagian dari sikap ihsan. Isyarat ini dapat ditemukan dalam Surat Al-A'raf, Ayat 199:

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.

Makna adat dalam kaidah fiqh di atas meliputi ‘urf dalam bentuk perkataan dan perbuatan atau bersifat umum maupun khusus. Kaidah ini mengisyaratkan adat dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam ketika nash tidak ada. Adat atau ‘urf berbentuk umum dapat berlaku dari masa sahabat hingga masa kini yang diterima oleh para mujtahid dan mereka beramal dengannya. Sementara ‘urf khusus hanya berlaku pada lingkungan masyarakat tertentu yang terkait dengan ‘urf itu.[7]

 

G.   SEJARAH DAN PERKEMBANGAN QOWA’ID FIQHIYAH DAN PARA TOKOHNYA.

Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan, dan penyempurnaan.[8]

a.     Periode Kelahiran.

Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih, zaman tabi’in, dan zaman tabi’it al-tabi’in yang berlangsung selama lebih kurang 250 tahun.

Pada masa kerasulan adalah masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat dan padat). Hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang banyak jumlahnya. Berdasarkan hal tersebut, maka Hadis Rasulullah Muhammad SAW. disamping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawaid fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan sebagai jawami’al-kalim dan qawaid fiqhiyyah oleh banyak ulama.

al-Nadwi, menyebut beberapa sabda Rasulullah SAW. yang telah berbentuk qaidah-qaidah, terutama qaidah hukum. Rasulullah Muhammad SAW. yang memiliki kemampuan dalam menghasilkan jawami’ al-kalim yaitu ungkapan-ungkapan yang ringkas, namun padat makna dan berdaya cakup luas. Misalnya Rasulullah SAW. bersabda: الخراج بالضمان (keuntungan adalah imbalan resiko); لاضررولاضرار (Tidak ada mudharat (bahaya) dan tidak ada pula memudharatkan); dan البينة على المدعى واليمين على من انكر (bukti adalah kewajiban bagi penuduh, sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang telah membantahnya.[9]

Hadis-Hadis tersebut di atas memiliki daya berlaku untuk banyak ketentuan hukum karena bentuknya sebagai jawami’al-kalim tadi, sehingga dalam satu segi menyerupai qaidah fiqhiyyah. Meskipun terdengar sederhana, namun daya cakupnya melingkupi banyak bab fiqh. Sahabat Rasulullah SAW. juga menciptakan qaidah antara lain Umar bin Khattab dalam kitab shahih Bukhari mengatakan: مقاطع الحقوق عند الشروط (Penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat). Ulama tabi’in antara lain al-Syafi’i misalnya menulis qaidah fiqhiyyah dalam kitabnya al-Umm diantaranya: الاعظم إذا سقط عن الناس سقط ما هو أصغر منه (apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur). al-Qadhi Surayh bin al-Harits (w. 76 H) membuat qaidah: من شرط على نفس طائعا غير مكروه فهو عليه (barangsiapa membuat janji secara suka rela tanpa paksaan, maka janji itu menjadi tanggungannya). Hal ini menyangkut syarat-syarat yang disanggupi seorang dalam bertransaksi.

Meskipun beberapa orang pada awal Islam disebut telah menciptakaan qaidah, Pada umumnya, para pengkaji sulit untuk menentukan siapakah yang menjadi perintis penyusunan disiplin ilmu ini. Banyak kitab yang menyebutkan nama Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim (182 H) murid Imam Abu Hanifah, sebagai orang pertama yang membuat rumusan qaidah fiqhiyyah berdasarkan satu qaidah fiqhiyyah yang telah dijumpai dalam kitab karangannya yaitu al-Kharaj.[10] Kitab tersebut telah dikarang oleh Abu Yusuf sebagai rujukan asas perundangan ketika pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid berhubung sistem al-kharaj dan muamalah ahl al-dhimmah yang kemudian telah digunakan dan disebarluaskan ketika zaman pemerintahan daulah Abbasiyah tersebut. Qaidah yang dimaksudkan adalah seperti berikut:

ليس للأمام أن يخرج شيئأ من يد أحد إلا بحق ثابت معروف.

Tidak ada hak bagi seorang pemimpin untuk mengambil sesuatu dari seseorang rakyat kecuali dengan hak-hak yang telah tersedia diketahui oleh mereka.

Sahabat Abu Yusuf yaitu Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) juga melakukan rintisan yang sama. Hanya saja yang ia lakukan adalah lebih banyak merupakan upaya ta’lil (mencari alasan hukum). Hasil dari ta’lil adalah sangat berguna bagi upaya peng-qaidah-an hukum, sebab banyak sekali illat hukum yang ditemukan bisa berfungsi sebagai qaidah hukum. Ibnu Nujaym (w. 970H.) dari ulama golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa: Sesungguhnya sahabat-sahabat kami (para ulama Hanafiyyah), mempunyai keistimewaan merintis usaha dalam penyusunan qaidah ini. Dan orang mengikuti mereka dan mereka pula bergantung kepada Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh.

b.     Periode Pembukuan

Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai munculnya kecenderungan taqlid dan melemahnya ijtihad. Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini adalah upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru.[11] Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri, ditandai dengan dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah dari bidang lain, al-Nadwi memilih abad IV H sebagai permulaan era pertumbuhan dan pembukuan qawaid fiqhiyyah.[12]

Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan qawaid tersebut dapat diwariskan sebagai salah satu khazanah ilmu Islam yang berharga. Abu Tahir al-Dabbas, seorang fukaha yang hidup pada abad ketiga dan keempat Hijrah adalah orang pertama yang mengumpulkan qawaid fiqhiyyah. Pada waktu itu, ia telah mengumpulkan sebanyak 17 qaidah. Usaha ini kemudian diteruskan oleh Abu al-Hasan al-Karakhi (w. 340 H) dengan menghimpunkan sejumlah 39 qaidah. Kemudian Abu Zayd Abd Allah Ibn Umar al-Din al-Dabusi al- Hanafi (W. 430 H), telah menyusun Kitab Ta’sis al-Nazar pada kurun kelima Hijrah. Kitab ini memuat sejumlah 86 qaidah fiqhiyyah beserta dengan pembahasan terperinci berkenaan qawaid tersebut.

Kegiatan tersebut di atas diikuti oleh Ala al-Din Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi (w. 540 H.) dengan judul ‘Idah al-Qawaid. Pada kurun ketujuh Hijrah, penulisan ilmu ini telah dilanjutkan oleh Muhammad bin Ibrahim al- Jarmial Sahlaki (w. 613 H.) dan Izz al-Din Abd al-Salam dengan masing-masing tulisan mereka berjudul al-Qawaid fi Furu’ al- Syafiiyyah dan Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Menjelang abad kedelapan Hijrah muncul lagi beberapa penulis dalam ilmu ini yang telah dilakukan oleh beberapa orang ulama pada masa itu seperti al-Asybah wa al- Nazhair oleh Ibn al-Wakil al-Syafi’i (w. 716 H.), Kitab al-Qawaid oleh al- Muqarra al-Maliki (w. 758 H.), al-Majmu al-Muhadzdzab fi Dabt Qawaid al-Madzhab oleh al-‘Allai al-Syafii (w. 761 H.), al-Asybah wa al-Nazhair oleh Taj al-Din al-Subki, al-Asybah wa al-Nazhair oleh Jamal al-Din al-Isnawi (w. 772 H.), al-Manthur fi al-Qawaid oleh Badr al-Din al-Zarkasyi (w. 793H), al-Qawaid fi al-Fiqh oleh Ibn Rajb al-Hanbali (w. 795 H.) dan al-Qawaid fi al-Furu` oleh `Ali bin Usman al-Ghazzi (w. 799.H.). Masa ini merupakan masa keemasan dalam proses penulisan dan pembukuan ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah.

Diabad kesembilan Hijrah, yang membukukan ilmu ini antara lain: Muhammad bin Muhammad al-Zubayri (w. 707H) dengan kitabnya Asna al-Maqasid fi Tahrir al-Qawaid, Ibn al-Haim al-Maqdisi (w. 815H) dengan kitabnya al-Qawaid al-Manzumah, Taqiy al-Din al-Hisni (w. 729 H.) dengan kitabnya Kitab al-Qawaid. Diabad kesepuluh, yang merupakan puncak usaha pembukuan ilmu ini di mana al-Imam Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 910 H.) telah mengeluarkan sebuah kitab dalam bidang ini yang berjudul al-Asybah wa al- Nazhair.[13] Kitab tersebut telah menggabungkan semua qaidah yang terdapat di dalam kitab karangan al-`Allai, al-Subki dan al-Zarkasyi. Begitu pula, Zayn al-Abidin Ibn Ibrahim al-Misri telah menyusun sebuah kitab dalam bidang ini yang turut diberi nama al-Asybah wa al-Nazhair. Kitab ini pula telah memuatkan 25 qaidah fiqhiyyah yang telah dibagikan kepada dua bagian yaitu, bagian pertama mengandung qaidah asas yang berjumlah enam qaidah, sedangkan bagian kedua mengandung sembilan belas qaidah yang terperinci.

Diskripsi sejarah pembukuan kitab qawaid fihiyyah tersebut di atas, maka fukaha Malikiyyah telah memainkan peranan penting dalam pembukuan qawaid fiqhiyyah. Diantaranya ialah Juzaym yang merupakan tokoh fuqaha Malikiyyah yang telah mengarang kitab dalam bidang ini yang berjudul al-Qawaid. Kemudian diikuti pula dengan Syihab al-Din Abi al-Abbas Ibn Idris al-Qarafi (w. 684H.) (dari kalangan fuqaha abad ketujuh Hijrah) yang telah menyusun pula sejumlah 548 qaidah fiqh di dalam kitabnya yang bernama Anwar al-Furuq fi Anwa’ al Furuq’. Tiap-tiap qaidah yang dikemukakannya pasti akan dinyatakan sekali dengan contoh-contoh masalah cabang atau furu’ yang munasabah sehingga jelas perbedaan di antara qaidah yang terdapat di dalam kitab karangannya itu.

Dari kelompok fukaha Syafi’iyyah, antara lain ulama yang terkenal dalam menyusun kitab qawaid fiqhiyyah ini adalah Muhammad Izz al-Din Abd al-Salam (dari kalangan fukaha abad ketujuh Hijrah) yang telah menulis kitab yang berjudul Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Kemudian pada abad kedelapan Hijrah Taqiy al-Din al-Subki telah menulis sebuah kitab yang bernama al-Asybah wal-Nazhair yang kemudian telah disempurnakan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman Abi Bakr al-Suyuthi (w. 911H) dengan tulisannya yang juga diberi nama yang sama yaitu al-Asybah wa al-Nazhair.

Dari kelompok fukaha Hanabilah, ulama yang terkenal, antara lain tokoh yang terlibat dalam kegiatan menulis dalam bidang ini adalah Najm al-Din al-Tufi (w. 177 H) yang telah menulis kitab al-Qawaid al-Kubra dan al-Qawaid al-Sughra. Selain itu, terdapat seorang lagi tokoh dari kalangan fukaha Hanbaliyyah yang telah menyumbangkan kepada perkembangan ilmu ini, yaitu Abd al-Rahman Ibn Rajab (w. 795 H). yang menulis kitab dengan judul al-Qawaid fi al-Fiqh. Periode pertumbuhan dan perkembangan berakhir dengan tampilnya al-Majallah al-Ahkam al-‘Adhiyyah pada abad ke 11 H.

c.     Periode Penyempurnaan

Pada abad ke 11 H lahirlah kitab al-Majallah al-Ahkam al-Adhiyyah, dalam versi yang telah disempurnakan. Misalnya qaidah:

لا يجوز لاحد أن يتصرف فى ملك الغير بلا إذنه

 (sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik orang lain tanpa izin pemiliknya).

Jika dalam verdi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan. Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak asasi manusia.[14]

Al-Majallah merupakan undang-undang hukum perdata yang dalam mukaddimahnya tercantum 100 butir ketentuan umum. Ketentuan umum pasal 1 adalah tentang definisi fiqh. Sedangkan pasal 2 sampai 100 adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan dari pasal- pasal pada bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah fiqh disertai dengan nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi rinciannya.

Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad bin Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat dalam kitabnya yang berjudul Ghamzu ‘Uyun al-Basa’ir.[15]

Pada pertengahan abad yang ke-12 Hijrah, seorang fukaha yang bernama Muhammad Said al-Khadimi (w. 1154 H) telah menyusun sebuah kitab usul al-fiqh yang diberi nama Majma ‘al-Haqaiq. Menerusi kitab ini, sejumlah 154 buah telah disusun di dalamnya mengikuti urutan susunan huruf kamus (mu’jam) atau susunan abjad dihimpunkan dalam karya tersebut. Kemudian kitab ini telah disyarahkan pula oleh Mustafa Muhammad dengan nama Manaf’i al-Haqaiq.[16]

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu qawid fiqhiyyah, dengan jelas menunjukkan bahawa para ulama dalam bidang fiqh sejak awal abad ketiga Hijrah, telah begitu serius mengembangkan pembahasan qawaid fiqhiyyah ini. Hal ini adalah berdasarkan kepada gerakan atau usaha pengumpulan dan pembukuan qawaid tersebut yang ditemui sejak awal abad ketiga Hijrah. Sejumlah permasalahan yang mempunyai persamaan dari sudut fiqhiyyah telah dihimpunkan serta diletakkan di bawah satu qaidah fiqhiyyah. Apabila terdapat masalah fiqh yang dapat dicakup di bawah sesuatu qaidah fiqhiyyah, maka, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah qaidah fiqhiyyah tersebut. Selain itu, melanjutkan himpunan Qawaid fiqhiyyah yang bersifat umum itu, juga ia memberikan peluang kepada generasi berikutnya untuk terus mengkaji dan menelaah permasalahan yang dibicarakan dalam bidang fiqh yang secara keseluruhan melibatkan pembahasan hukum. Dengan bantuan qawaid fiqhiyyah tersebut, permasalahan tersebut akan lebih mudah diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama.

 

H.   SUMBER-SUMBER QOWA’ID FIQHIYAH

Kaidah fiqhiyyah merupakan produk ijtihad yang bersumber dari Alquran, hadis dan ijma’, dan merupakan generalisasi dari tema-tema fikih yang tersebar di kalangan imam mazhab. Adapun penjelasan dari setiap sumber adalah sebagai berikut[17]:

a.     Kaidah fiqhiyyah yang bersumber dari Alquran, diantaranya adalah:

-       المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيسِيرَ

Kaidah ini bersumber dari firman Allah dalam Q.s. al-Hajj ayat 78 dan Q.s. al-Baqarah ayat 185:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan

يُرِيدُ اللّه بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah SWT. menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Bila dipahami dari kedua makna ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Allah ketika mensyariatkan Islam kepada umat Nabi Muhammad bersifat mudah dan fleksibel, dan tidak akan membebani mereka di luar potensi kemampuan yang dimiliki.

-       الضرورات تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتُ

Kaidah ini bersumber dari Q.s. al-An’am: 119:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ اِلَيْهِ

 

Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa.

Ayat di atas memberikan penjelasan yang sangat jelas bahwa kondisi ter- paksa yang dihadapi seseorang untuk mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama dibolehkan selama tidak berlebihan.

b.     Kaidah fiqhiyyah yang bersumber dari sunnah, sebagai berikut:

-       الحدود تسقط بالشبهات

Kaidah tersebut di atas adalah bersumber dari beberapa sunnah berikut ini:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ادراوا الحدود بالشبهات

Tinggalkan/batalkanlah hukuman had karena ada faktor keraguan. (H.r. Bukhari).

ما كان أكثرفعلا أكثر فضلا

Kaidah tersebut di atas bersumber dari hadis berikut:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لعائشة رضى الله عنها أجرك على قدر نصبك

 

 

Pahalamu/upahmu sesuai dengan kadar kepenatanmu.

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن أعظم الناس أجرا فى الصلاة أبعدهم ممشي

 

Manusia yang memperoleh pahala salat paling besar adalah mereka yang paling jauh jarak perjalanannya (dari tempat salat mereka).

c.     Kaidah fiqhiyyah berdasarkan ijma’ sahabat,14 diantaranya adalah:

-       الاصل بقاء ماكان على ما كان

-       القديم على قدمه

-       الضرر لا يكون قديما

 

I.      FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PENYUSUNAN QOWA’ID FIQHIYAH

Faktor-faktor pendorong timbulnya Qawaid al-Fiqhiyyah, dapat diambil dari pernyataan Muhamma al-Zarqa’ dalam kitabnya Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah sebagai berikut :

Seandainya tidak ada Qawa’id al-Fiqhiyyah, tentu hukum-hukum fikih akan menjadi hukum furu’yang berserakan dan kadang-kadang lahiriyahnya tampak saling bertentangan, tanpa ada ushul “Kaidah” yang dapat mengokohkannya dalam pikiran, menampakkan ‘illat-’illatnya, menentukan arah-arah pembentukannya, dan membentangkan jalan pengqiyasan dan penjenisan padanya”.[18]

Dapat ditarik juga dari pernyataan Imam al-Qarafi dalam kitabnya al-Furuq[19] sebagai berikut:

Siapa yang berhujjah dengan hanya menghapal juz’iyyah saja, maka hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan menghabiskan umurnya tanpa dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya, siapa yang memperdalam fikih melalui kaidah-kaidah fikih tidak harus menghapalkan berbagai macam cabang fikih, karena telah tercakup oleh kulliyyah”.

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat dikemukakan beberapa faktor pendorong penyusunan qawa’id fiqhiyyah sebagai berikut:

1.      Makin bertambah banyaknya hukum fiqh, sehingga menyebabkan semakin sulitnya menghafal hukum-hukum fiqh tersebut. Maka untuk mempermudah menghafal dan mengidentifikasi hukum fiqh yang sangat banyak tersebut, disusunlah qawaid fiqhiyyah.

2.      Para ulama dalam menyusun qawaid fiqhiyyah terinspirasi oleh sebagian teks alquran dan hadist yang bersifat jawami’ al-kalim

3.      Secara praktis, pembentukan qawaid fiqhiyyah didorong oleh pengalaman para ulama dilapangan. Para ulama kadang-kadang dituntut untuk memberikan jawaban yang cepat dan tepat terhadap pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Dengan kecepatan dan ketajaman pemikiran, mereka memberikan jawaban yang singkat dan padat.[20]

 

J.     PEMBAGIAN QOWA’ID FIQHIYAH

Pembagian kaidah fiqhiyyah secara umum oleh beberapa fuqaha tidak memiliki keseragaman jumlahnya dan pendekatan yang dipakai, sebagai berikut[21]:

1.     Abu al-Harits al-Ghazzi, membagi kaidah fiqhiyyah pada dua bagian:

a.     Kaidah-kaidah yang mempunyai keluasan cakupan kepada permasalahan cabang (furu’) dan permasalahan fikih;

b.     Kaidah-kaidah yang disepakati di kalangan fuqaha dan yang diperselisihkan.

2.     Muhammad Utsman Syabir membagi kepada empat bagian:

a.     Kaidah yang mempunyai cakupan yang luas, cakupan sedikit, bahkan hanya pada satu bab fikih atau kaidah induk;

b.     Kaidah berdasarkan dalilnya apakah nas atau kongklusi hukum;

c.     Kaidah berdasarkan kepada ke mandiriannya atau derifasi kaidah lain;

d.     Kaidah yang disepakati fuqaha atau yang diperselisihkan mereka.

3.     Abd al-‘Aziz Muhammad ‘Azzam membagi kaidah fiqhiyyah sebagai berikut:

a.     Kaidah fiqhiyyah berdasarkan dalilnya, Alquran dan sunnah;

b.     Kaidah fiqhiyyah berdasarkan luasnya cakupan masalah fikih yang dimiliki;

c.     Kaidah fiqhiyyah berdasarkan kesepatan dan ketidaksepakatan fuqaha;

d.     Kaidah fiqhiyyah berdasarkan kemandirian.

Dari tiga pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa kecenderungan pembagian kaidah fiqhiyyah adalah sebagai berikut:

1.     Kaidah al-asasiyah yang memiliki cakupan furu’iyah yang sangat luas, komprehensif dan universal sehingga hampir menyentuh elemen hukum fikih;

2.     Kaidah aghlabiyah kaidah yang memiliki cakupan furu’ yang sangat luas tetapi tidak seluas cakupan kaidah al-asasiyah;

3.     Kaidah al-qaliliyah yang memiliki cakupan terbatas bahkan cenderung sangat sedikit.

Adapun dari sisi kesepakatan dan ketidaksepakatan fuqaha, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.      Kaidah yang disepakati semua mazhab, yaitu kaidah al-asasiyah;

2.      Kaidah yang disepakati oleh satu mazhab, jumlahnya mencapai 40 kaidah;

3.      Kaidah yang diperselisihkan dalam internal satu mazhab, jumlahnya mencapai 20 kaidah. Jenis kaidah ini biasanya ditandai dengan kata tanya (هل) atau kata (فيه خلاف).

Dalam berbagai literatur qawa’id fiqhiyah, macam-macam kaidah fiqh, secara umum disusun dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, kaidah-kaidah fiqh induk (al-qawaid al-asasiyah). Disebut induk, karena banyak kaidah-kaidah cabang yang dapat dikembalikan atau diproyeksikan kepadanya. Kedua, kaidah-kaidah fiqh cabang yang disepakati oleh mayoritas ulama. Ketiga, kaidah-kaidah fiqh cabang yang diperselisihkan oleh para ulama.

al-Qadhi Abu Sa’id mengembalikan semua persoalan mazhab Syafi’i kepada empat kaidah hukum induk. Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa kaidah fiqh induk ini ada lima kaidah. Adapun qawaid asasiyyah tersebut adalah sebagai berikut:[22]

-       Qaidah pertama:

الأ مُورُ بِمقاصدِ هَا

Segala perkara tergantung kepada tujuannya.

-       Qaidah kedua:

اليقين لا يزال بالشك

Keyakinan tidak dapat dihapuskan dengan keraguan.

-       Qaidah ketiga:

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيسِيرَ

Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan.

-       Qaidah keempat:

الضَّرَارُ يُزَالُ

Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan.

-       Qaidah kelima

العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

Adat kebiasaan dijadikan hukum.

-       Adapun qaidah yang keenam, merupakan tambahan oleh Ibnu Nujaim adalah :

لا ثواب إلا بالنيات

Tidak ada pahala kecuali dengan niat

Sedangkan kaidah-kaidah ghairu asasiah merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, dan keabsahannya masih tetap diakui, yang oleh beberapa ulama dibagi atas beberapa macam, di antaranya terdapat 40 kaidah cabang yang disepakati dan 20 kaidah cabang yang diperselisihkan.[23]

 

K.   KESIMPULAN

1.   Qawaid fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh.

2.   Hubungan qawaid fiqhiyyyah dengan qawaid ushuliyyah seperti layaknya hubungan produk dengan sarana mengolahnya. Sebuah produk tentu memiliki sarana untuk mengolahnya. Suatu produk tentu diolah dari bahan-bahan dengan cara (resep) tertentu.

3.   banyak ulama yang tidak membolehkan pemakaian al-qawaid fiqhiyyah sebagai dalil-dalil dalam menetapkan hukum. Sebab, tidak logis menjadikan sesuatu yang merupakan himpunan dari sejumlah persoalan furu’ (fiqh) sebagai dalil dari dalil syara’. Namun, kesimpulan ini tidak dapat diberlakukan secara umum, mengingat sebagian al-qawaid fiqhiyyah ada yang langsung didasarkan dan disandarkan pada dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah (nash).

4.   Kaidah fiqhiyyah merupakan produk ijtihad yang bersumber dari Alquran, hadis dan ijma’, dan merupakan generalisasi dari tema-tema fikih yang tersebar di kalangan imam mazhab.

5.   Penyusunan qawaid Fiqhiyyah terdiri dari tiga periode yaitu periode kelahiran, pembukuan, dan penyempurnaan.

Secara umum qawaid fiqhiyyah terbagi menjadi kaidah-kaidah fiqh induk (al-qawaid al-asasiyah) dan kaidah-kaidah ghairu asasiah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah.


[1] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Jilid III, (Bayrut: Dar al-Shadir, 2000). Bandingkan dengan al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Quran, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1997), h. 409.

[2] Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2000), h. 5.

[3] Syamsul Hilal, Qawa‘id Fiqhiyyah Furu‘iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam, Al-‘Adalah Vol. XI, No. 2 Juli 2013, h. 142.

[4] Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015), h.5.

[5] Ibid, h. 21-23.

[8] Ali Ahmad An-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damaskus, Dar al-Qalam, 1998, h. 89.

[9] Ibid, h. 90-94.

[10] Muhammad Hasbi al-Siddiqi (1990), Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, c. 4,tt), h. 435.

[11] Abdul Mun’im Saleh, Hukum Manusia Sebagai Hukum Tuhan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 186.

[12] Ibid. h. 191.

[13] Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015), h.33-38.

[14] Ibid, h. 193.

[15] Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1999), h. 40.

[16] Ibid.

[17] Syamsul Hilal, Qawa‘id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam, Al-‘Adalah Vol. XI, No. 2 Juli 2013, h. 142-144.

[18] Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung : Al Ma’arif, 1986), Cet. 1, hlm. 522.

[19] Ahmad ibn Idris ibn „Abdallah al-Sanhaji al-Qarafi, Kitab al-Furuq Anwar al-Buruq fī Anwa’ al-Furuq. Tahqiq: Muhammad Ahmad Sarraj dan Ali Jumu’ah Muhammad (Kairo : Dar al-Salam, 2001), jld. I, hlm. 72.

[21] Syamsul Hilal, Qawa‘id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam, Al-‘Adalah Vol. XI, No. 2 Juli 2013, h. 145-146.

[22] Duski Ibrahim, Al-Qawa`Id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih), (Palembang: Noerfikri, 2019), h. 41)

[23] Ahmad Muslimin, الشريعة ضذ الإجتماعية على القواعذ الفقهية (Perkembangan Hukum Islam Versus Kehidupan Sosial Dalam Perspektif Al-Qawaid Al-Fiqhiyah), Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni 2016, h. 19.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

ringkasan Nahwu

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA