Qawaid Al-Fiqhiyah
A.
PENDAHULUAN
Kaidah-kaidah
fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat Islam untuk
menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh-tidaknya sesuatu
itu dilakukan, mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama
untuk dikerjakan atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau
berprilaku mereka terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baik
berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik. Dalam Islam, pedoman
yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan
Rasul-Nya, tidak boleh berpaling dari keduanya, seperti dipahami dari ungkapan
imperatif Allah dalam surat Ali Imran ayat 32, yang artinya:
“Katakanlah olehmu (hai Muhammad),
ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir.”
Umat Islam
hingga sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai ‘umdah
atau sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu, kedua
sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-penyelesaian
berbagai masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk masalah
hukum.
B.
PENGERTIAN
QOWA’ID FIQHIYAH
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang
terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah. Secara
etimologi, kata qaidah (قاعدة), jamaknya qawaid (قواعد) berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu[1], baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi
bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi
seperti ushuluddin (dasar agama).[2] Qaidah dengan arti
dasar atau fondasi sesuatu terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 127 :
وَإِذْ
يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا
تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan
(membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan
kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh (الفقه) ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi sebagai
penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti pengetahuan,
pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan perkataannya.[3] Al-Qur’an
menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada surah al-Taubah
ayat 122 :
وَمَا كَانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ
مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ
وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin
itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Secara
terminologi kata fiqh dikemukakan oleh Jamaluddin al-Asnawy yaitu :
العلم بالأحكام الشرعية العمليةِ المُكْتَسَبُ
من أدلتِها التفصيليةِ
Ilmu tentang hukum-hukum syara` yang praktis
yang diusahakan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Ulama ushul
kontemporer, antara lain Abd al-Wahhab Khallaf memberikan definisi fiqh secara
ekslusif, yaitu :
مَجْمُوْعَةُ
الأحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ المُسْتَفَادَةِ مِن اَدِلَّتِهَا
التَّفْصِلِيَّةِ
Kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat
praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Dari
pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut
etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh.
Sedangkan pengertian qawaid fiqhiyyah menurut terminologi,
al-Taftazany memberikan rumusan, yaitu:
إنَّهَا حُكْمٌ كُلِّىٌّ يَنْطَبِقُ على
جُزْئِيَّاتِهَا لِيُتَعَرَّفَ أحكامُها منهُ
Suatu hukum yang bersifat universal yang dapat
diterapkan kepada seluruh bagiannya agar dapat diidentifikasikan hukum-hukum
bagian tersebut darinya.
Al-Jurjani
dalam kitab al-Ta’rifat memberikan
rumusan, yaitu:
قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى
جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهَ
Ketentuan universal yang bersesuaian dengan
seluruh bagian-bagiannya.
Ibn al-Subkiy
dalam kitab al-Asybah wa al-Nazhair memberikan rumusan, yaitu:
الأمرُ الكليُ الذي يَنْطَبِقُ عليه جزئياتٌ
كثيرَة تُفهَمُ أحكامُها منه
Perkara yang bersifat universal yang banyak
bagian-bagiannya bersesuaian dengannya, dimana hukum-hukum bagian-bagian
tersebut dipahami darinya.[4]
Dapat disimpulkan bahwa qowa’id fiqhiyyah adalah suatu perkara kulli
(kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau
cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.
C.
HUBUNGAN
ANTARA QOWA’ID FIQHIYAH DENGAN QOWA’ID USHULIYAH
Hubungan qawaid fiqhiyyah, fiqh dan ushul fiqh beserta qawaid
ushuliyyah-nya tidak dapat dipisahkan. Ilmu ini saling berkaitan antara
satu dengan yang lainnya. Karena dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah
hukum syara’(fiqh), yaitu ilmu-ilmu tersebut
berbicara tentang hukum syara. Ushul fiqh adalah sebuah
ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath)
hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya
tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang digali dari
dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqh. Jadi fiqh
adalah produk operasional ushul fiqh. Sebuah hukum fiqh tidak
dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (al-Qur’an dan Sunah) tanpa melalui ushul
fiqh. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqh, yaitu
dasar-dasar (landasan) fiqh.
Misalnya hukum
wajib shalat dan zakat yang digali dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43
yang berbunyi
واقيموا الصلاة وءاتوا الزكوة
.......
dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat…
Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ushul fiqh,
perintah pada asalnya menunjukan wajib (الاصل فى الامر
للوجوب). Adapun qawaid fiqhiyyah dapat
dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf.
Ini karena
dalam menjalankan hukum fiqh terkadang mengalami kendala-kendala.
Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya.
Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan,
misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam
kasus seperti ini, mukallaf tersebut boleh menunda shalat dari waktunya karena
jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid
fiqhiyyah, yaitu dengan menggunakan qaidah : الضرر يزال (bahaya wajib dihilangkan).[5]
D.
TUJUAN DAN
FAEDAH MEMPELAJARI QOWA’IDUL FIQHIYAH
Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah itu adalah agar dapat mengetahui
prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang
mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
Dari tujuan
mempelajari qawaid fiqhiyyah tersebut, maka manfaat yang diperoleh
adalah;
1.
akan lebih
mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi;
2.
akan lebih
arif dalam menerapkan materi-materi hukum dalam waktu dan tempat yang berbeda,
untuk keadaan dan adat yang berbeda;
3.
Mempermudah
dalam menguasai materi hukum;
4.
Mendidik orang
yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij
untuk memahami permasalahan-permasalahan baru;
5.
Mempermudah
orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum
dengan mengeluarkannya dari tempatnya.
E.
RUANG LINGKUP
PEMBAHASAN QOWA’ID FIQHIYAH.
Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan
cakupannya yang luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan
disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh
madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu[6]:
a.
Al-Qawa’id
al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al-Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yang
bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah
ini disepakati oleh seluruh madzhab.
b. Al-Qawaid al-Kulliyah
yaitu qawaid yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab- madzhab, tetapi
cabang- cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawaid yang lalu.
c. Al-Qawaid al-Madzhabiyyah
(kaidah mazhab), yaitu kaidah- kaidah yang menyeluruh pada sebagian mazhab yang
lain. Kaidah ini terbagi menjadi dua bagian:
1. Kaidah
yang ditetapkan dan disepakati pada satu mazhab
2. Kaidah
yang diperselisihkan pada satu mazhab
d. Al-Qawaid al-Muhktalaf fiha fi
al-Mazhab al-Wahid, yaitu kaidah yang
diperselisihkan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yang lain, dan
tidak diperselisikan dalam furu’ satu madzab
F.
KEDUDUKAN
QOWA’ID FIQHIYAH DALAM KONTEKS ISTINBATH HUKUM
Dalam
memposisikan al-qawaid al-fiqhiyyah sebagai dalil istinbath hukum dapat
diamati dari berbagai pendapat ulama tentang masalah tersebut. Dalam kaitan
ini, Ali al-Nadawi memaparkan sejumlah pendapat ulama tentang masalah ini. Imam
Haramain al-Juwaini dalam kitabnya al-Ghayatsi ketika menjelaskan tentang
kaidah ibahah dan bara’ah zimmah menegaskan bahwa ia tidak bermaksud
menggunakan kedua kaidah tersebut sebagai dalil. Ini isyarat dari imam Haramain
untuk tidak menggunakan kaidah fiqh sebagai dalil istinbath hukum.
Al-Hamawi dengan ungkapan lebih tegas menyatakan penetapan fatwa tidak boleh
didasarkan kepada kaidah fiqh karena ia tidak bersifat kulli, tetapi
bersifat aghlabiyyah (kebanyakan).
Isyarat serupa
dikemukakan pula oleh Ali Khaidar dalam syarah al-Majallah al-Adliyyah
bahwa mereka yang berwenang menetapkan hukum tidak boleh menetapkan hukum
dengan semata-mata berpijak pada al-qawaid al-fiqhiyyah. Berdasarkan
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa banyak ulama yang tidak membolehkan
pemakaian al-qawaid fiqhiyyah sebagai dalil-dalil dalam menetapkan
hukum. Sebab, tidak logis menjadikan sesuatu yang merupakan himpunan dari
sejumlah persoalan furu’ (fiqh) sebagai dalil dari dalil syara’. Namun,
kesimpulan ini tidak dapat diberlakukan secara umum, mengingat sebagian
al-qawaid fiqhiyyah ada yang langsung didasarkan dan disandarkan pada
dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah (nash).
Ada beberapa al-qawaid
fiqhiyyah yang dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
a.
kaidah yang
menegaskan bahwa sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihapus oleh keraguan.
Kaidah fiqh itu berbunyi:
اليقين لا يزول
بالشك
Sesuatu yang
yakin tidak dapat dihilangkan oleh keraguan
Kaidah ini
menegaskan sesuatu yang meyakinkan tidak dapat dikalahkan oleh sesuatu yang
meragukan, kecuali yang meragukan meningkat menjadi meyakinkan. Ini menunjukkan
semua tindakan mesti berdasarkan pada yang diyakini. Kaidah ini mendorong untuk
menghilangkan kesulitan selama didasarkan atas keyakinan. Kaidah fiqh tersebut
didasarkan pada dalil yang kuat, diantaranya hadis berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ
شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ
مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu
Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: apabila seorang dari kamu
mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, kemudian ia ragu apakah
telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah ia keluar
masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan bau (memperoleh bukti telah
batal wudhunya) (H.R. Muslim).
Hadis ini
menginformasikan kepada muslim, apabila merasakan sesuatu dalam perutnya
sehingga ia ragu apakah telah keluar sesuatu dari perut yang menyebabkan batal
wudhu atau tidak ada yang keluar, ia tidak perlu keluar masjid untuk berwudhu
sampai mendengar secara pasti suara (kentut) atau merasakan bau.
Kaidah fiqh di
atas juga didasarkan pada hadis Nabi berikut:
وَقَدْ رُوِيَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا شَكَّ
أَحَدُكُمْ فِي الْوَاحِدَةِ وَالثِّنْتَيْنِ فَلْيَجْعَلْهُمَا وَاحِدَةً وَإِذَا
شَكَّ فِي الثِّنْتَيْنِ وَالثَّلَاثِ فَلْيَجْعَلْهُمَا ثِنْتَيْنِ وَيَسْجُدْ
فِي ذَلِكَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ.
Sungguh telah
diriwayatkan dari Nabi SAW. bahwa beliau bersabda: apabila ragu salah seorang
kamu dalam sholat, apakah telah satu rakaat atau dua rakaat sholatnya, maka
hendaklah ia menetapkan satu rakaat sholat yang telah dilakukan. Dan apabila ia
ragu antara dua atau tiga rakaat sholat yang telah dilakukan, maka hendaklah ia
menetapkan dua rakaat yang telah dilakukan. Hendaklah ia melakukan dua kali
sujud sebelum salam (H.R. Tirmidzi).
Hadis ini
mengisyaratkan orang yang ragu tentang bilangan rakaat sholat, antara dua dan
tiga, maka hendaklah yang bersangkutan memilih bilangan rakat sholat yang
paling sedikit karena itulah yang yakin atau pasti, sementara bilangan yang
tertinggi dari rakaat sholat itu yang dikeragui. Dalam kasus, ini orang yang
ragu tentang bilangan rakaat sholat diperintahkan (sunat) untuk melakukan sujud
sahwi sebelum ia salam sebagai penutup sholatnya.
b.
kaidah fiqh
yang menegaskan kemudharatan harus dihilangkan dari kehidupan manusia. Kaidah
fiqh itu berbunyi:
الضرر يزال
Kemudharatan
itu harus dihilangkan
Kaidah ini
dibangun atas dasar dan dalil yang cukup kuat, diantaranya firman Allah
berikut:
وَلَا
تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.
(Surat al-A’raf ayat 85)
وَلَا تَبْغِ
الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan (Surat al-Qashash ayat 77).
Kaidah fiqh di
atas juga didasarkan pada hadis Nabi berikut:
عَنْ عُبَادَةَ
بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى
أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari Ubadah
bin Shamit bahwa Rasulullah SAW. menetapkan tidak boleh membuat kemudharatan
pada diri sendiri dan membuat kemudharatan pada orang lain (H.R. Ibn
Majah)
c.
kaidah fiqh
yang menegaskan bahwa adat kebiasaan dapat dijadikan hukum. Kaidah itu
berbunyi:
العادة محكمة
Adat kebiasaan
dapat dijadikan hukum
Dalam
penilaian al-Raghib kata ‘urf yang seakar dengan kata ma’ruf merupakan nama
bagi suatu perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan agama. Makna ini dapat
ditemukan dalam diantaranya dalam Surat Ali 'Imran, Ayat 104:
وَلۡتَكُن
مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ
عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
Dan hendaklah
di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
(berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.
Kata ‘urf dan
ma’ruf dalam Qur’an dipandang sebagai bagian dari sikap ihsan. Isyarat ini
dapat ditemukan dalam Surat Al-A'raf, Ayat 199:
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ
وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ
Jadilah pemaaf
dan
suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang
bodoh.
Makna adat
dalam kaidah fiqh di atas meliputi ‘urf dalam bentuk perkataan dan perbuatan
atau bersifat umum maupun khusus. Kaidah ini mengisyaratkan adat dapat
dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam ketika nash tidak ada.
Adat atau ‘urf berbentuk umum dapat berlaku dari masa sahabat hingga masa kini
yang diterima oleh para mujtahid dan mereka beramal dengannya. Sementara ‘urf
khusus hanya berlaku pada lingkungan masyarakat tertentu yang terkait dengan
‘urf itu.[7]
G.
SEJARAH DAN
PERKEMBANGAN QOWA’ID FIQHIYAH DAN PARA TOKOHNYA.
Ali Ahmad
al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode penyusunan qawaid
Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan, dan penyempurnaan.[8]
a.
Periode
Kelahiran.
Masa kelahiran
dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan berlangsung selama tiga abad
lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari
segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi
Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih, zaman tabi’in, dan zaman tabi’it al-tabi’in
yang
berlangsung selama lebih kurang 250 tahun.
Pada masa
kerasulan adalah masa tasyri’ (pembentukan
hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad
SAW. menyampaikan Hadis yang jawami’
‘ammah (singkat dan padat). Hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah
fiqh yang banyak jumlahnya. Berdasarkan hal tersebut, maka Hadis
Rasulullah Muhammad SAW. disamping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawaid
fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga
dikategorikan sebagai jawami’al-kalim dan qawaid
fiqhiyyah oleh banyak ulama.
al-Nadwi,
menyebut beberapa sabda Rasulullah SAW. yang telah berbentuk qaidah-qaidah, terutama
qaidah hukum. Rasulullah Muhammad SAW. yang memiliki kemampuan dalam
menghasilkan jawami’ al-kalim yaitu
ungkapan-ungkapan yang ringkas, namun padat makna dan berdaya cakup luas.
Misalnya Rasulullah SAW. bersabda: الخراج بالضمان
(keuntungan adalah imbalan resiko); لاضررولاضرار
(Tidak ada mudharat (bahaya) dan tidak ada pula memudharatkan); dan البينة على المدعى واليمين على من انكر (bukti adalah
kewajiban bagi penuduh, sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang telah
membantahnya.[9]
Hadis-Hadis
tersebut di atas memiliki daya berlaku untuk banyak ketentuan hukum karena
bentuknya sebagai jawami’al-kalim tadi, sehingga
dalam satu segi menyerupai qaidah fiqhiyyah. Meskipun terdengar
sederhana, namun daya cakupnya melingkupi banyak bab fiqh. Sahabat
Rasulullah SAW. juga menciptakan qaidah antara lain Umar bin Khattab
dalam kitab shahih Bukhari mengatakan: مقاطع الحقوق
عند الشروط (Penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat). Ulama tabi’in
antara lain al-Syafi’i misalnya menulis qaidah fiqhiyyah dalam
kitabnya al-Umm diantaranya: الاعظم إذا سقط عن الناس
سقط ما هو أصغر منه (apabila yang besar gugur, yang kecilpun
gugur). al-Qadhi Surayh bin al-Harits (w. 76 H) membuat qaidah: من شرط على نفس طائعا غير مكروه فهو عليه (barangsiapa membuat
janji secara suka rela tanpa paksaan, maka janji itu menjadi tanggungannya).
Hal ini menyangkut syarat-syarat yang disanggupi seorang dalam bertransaksi.
Meskipun
beberapa orang pada awal Islam disebut telah menciptakaan qaidah, Pada
umumnya, para pengkaji sulit untuk menentukan siapakah yang menjadi perintis
penyusunan disiplin ilmu ini. Banyak kitab yang menyebutkan nama Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim (182 H) murid Imam Abu Hanifah, sebagai orang pertama yang
membuat rumusan qaidah fiqhiyyah berdasarkan satu qaidah fiqhiyyah yang
telah dijumpai dalam kitab karangannya yaitu al-Kharaj.[10]
Kitab tersebut telah dikarang oleh Abu Yusuf sebagai rujukan asas
perundangan ketika pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid berhubung sistem
al-kharaj dan muamalah ahl al-dhimmah yang kemudian telah digunakan dan
disebarluaskan ketika zaman pemerintahan daulah Abbasiyah tersebut. Qaidah yang
dimaksudkan adalah seperti berikut:
ليس للأمام أن يخرج شيئأ من يد أحد إلا بحق ثابت معروف.
Tidak ada hak
bagi seorang pemimpin untuk mengambil sesuatu dari seseorang rakyat kecuali
dengan hak-hak yang telah tersedia diketahui oleh mereka.
Sahabat Abu
Yusuf yaitu Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) juga melakukan rintisan
yang sama. Hanya saja yang ia lakukan adalah lebih banyak merupakan upaya ta’lil (mencari alasan hukum). Hasil dari ta’lil adalah sangat berguna bagi upaya peng-qaidah-an
hukum, sebab banyak sekali illat hukum yang ditemukan bisa berfungsi sebagai qaidah
hukum. Ibnu Nujaym (w. 970H.) dari ulama golongan Hanafiyyah berpendapat
bahwa: Sesungguhnya sahabat-sahabat kami (para ulama Hanafiyyah),
mempunyai keistimewaan merintis usaha dalam penyusunan qaidah ini. Dan
orang mengikuti mereka dan mereka pula bergantung kepada Imam Abu Hanifah dalam
masalah fiqh.
b.
Periode
Pembukuan
Pada abad ini
terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai munculnya kecenderungan
taqlid dan melemahnya ijtihad. Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa
pada periode ini adalah upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana
metodologis yang telah tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi
kasus-kasus hukum baru.[11]
Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu
tersendiri, ditandai dengan dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu
dalam karya yang terpisah dari bidang lain, al-Nadwi memilih abad IV H sebagai
permulaan era pertumbuhan dan pembukuan qawaid fiqhiyyah.[12]
Pada periode
pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan qawaid tersebut
dapat diwariskan sebagai salah satu khazanah ilmu Islam yang berharga. Abu
Tahir al-Dabbas, seorang fukaha yang hidup pada abad ketiga dan keempat Hijrah
adalah orang pertama yang mengumpulkan qawaid fiqhiyyah. Pada waktu itu,
ia telah mengumpulkan sebanyak 17 qaidah. Usaha ini kemudian diteruskan
oleh Abu al-Hasan al-Karakhi (w. 340 H) dengan menghimpunkan sejumlah 39 qaidah.
Kemudian Abu Zayd Abd Allah Ibn Umar al-Din al-Dabusi al- Hanafi (W. 430 H),
telah menyusun Kitab Ta’sis al-Nazar pada kurun
kelima Hijrah. Kitab ini memuat sejumlah 86 qaidah fiqhiyyah beserta
dengan pembahasan terperinci berkenaan qawaid tersebut.
Kegiatan
tersebut di atas diikuti oleh Ala al-Din Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi (w.
540 H.) dengan judul ‘Idah al-Qawaid. Pada kurun ketujuh Hijrah,
penulisan ilmu ini telah dilanjutkan oleh Muhammad bin Ibrahim al- Jarmial
Sahlaki (w. 613 H.) dan Izz al-Din Abd al-Salam dengan masing-masing tulisan
mereka berjudul al-Qawaid
fi Furu’ al- Syafi’iyyah dan Qawaid
al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Menjelang abad kedelapan Hijrah muncul lagi
beberapa penulis dalam ilmu ini yang telah dilakukan oleh beberapa orang ulama
pada masa itu seperti al-Asybah wa al- Nazhair oleh Ibn al-Wakil
al-Syafi’i (w. 716 H.), Kitab al-Qawaid oleh al- Muqarra al-Maliki (w.
758 H.), al-Majmu al-Muhadzdzab fi Dabt Qawaid al-Madzhab oleh al-‘Allai
al-Syafii (w. 761 H.), al-Asybah wa al-Nazhair oleh Taj al-Din al-Subki,
al-Asybah wa al-Nazhair oleh Jamal al-Din al-Isnawi (w. 772 H.), al-Manthur
fi al-Qawaid oleh Badr al-Din al-Zarkasyi (w. 793H), al-Qawaid fi
al-Fiqh oleh Ibn Rajb al-Hanbali (w. 795 H.) dan al-Qawaid fi al-Furu` oleh
`Ali bin Usman al-Ghazzi (w. 799.H.). Masa ini merupakan masa keemasan dalam
proses penulisan dan pembukuan ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah.
Diabad
kesembilan Hijrah, yang membukukan ilmu ini antara lain: Muhammad bin Muhammad
al-Zubayri (w. 707H) dengan kitabnya Asna al-Maqasid fi Tahrir al-Qawaid,
Ibn al-Haim al-Maqdisi (w. 815H) dengan kitabnya al-Qawaid al-Manzumah,
Taqiy al-Din al-Hisni (w. 729 H.) dengan kitabnya Kitab al-Qawaid.
Diabad kesepuluh, yang merupakan puncak usaha pembukuan ilmu ini di mana
al-Imam Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 910 H.) telah mengeluarkan sebuah kitab
dalam bidang ini yang berjudul al-Asybah wa al- Nazhair.[13]
Kitab tersebut telah menggabungkan semua qaidah yang terdapat di dalam
kitab karangan al-`Allai, al-Subki dan al-Zarkasyi. Begitu pula, Zayn al-Abidin
Ibn Ibrahim al-Misri telah menyusun sebuah kitab dalam bidang ini yang turut
diberi nama al-Asybah wa al-Nazhair. Kitab ini pula telah memuatkan 25 qaidah
fiqhiyyah yang telah dibagikan kepada dua bagian yaitu, bagian pertama
mengandung qaidah asas yang berjumlah enam qaidah, sedangkan bagian
kedua mengandung sembilan belas qaidah yang terperinci.
Diskripsi
sejarah pembukuan kitab qawaid fihiyyah tersebut di atas, maka fukaha
Malikiyyah telah memainkan peranan penting dalam pembukuan qawaid fiqhiyyah.
Diantaranya ialah Juzaym yang merupakan tokoh fuqaha Malikiyyah yang telah
mengarang kitab dalam bidang ini yang berjudul al-Qawaid. Kemudian
diikuti pula dengan Syihab al-Din Abi al-Abbas Ibn Idris al-Qarafi (w. 684H.)
(dari kalangan fuqaha abad ketujuh Hijrah) yang telah menyusun pula sejumlah
548 qaidah fiqh di dalam kitabnya yang bernama Anwar al-Furuq fi Anwa’ al Furuq’. Tiap-tiap qaidah
yang dikemukakannya pasti akan dinyatakan sekali dengan contoh-contoh
masalah cabang atau furu’ yang munasabah sehingga jelas perbedaan di
antara qaidah yang terdapat di dalam kitab karangannya itu.
Dari kelompok
fukaha Syafi’iyyah, antara lain ulama yang terkenal dalam menyusun kitab qawaid
fiqhiyyah ini adalah Muhammad Izz al-Din Abd al-Salam (dari kalangan fukaha
abad ketujuh Hijrah) yang telah menulis kitab yang berjudul Qawaid al-Ahkam
fi Masalih al-Anam. Kemudian pada abad kedelapan Hijrah Taqiy al-Din
al-Subki telah menulis sebuah kitab yang bernama al-Asybah wal-Nazhair yang
kemudian telah disempurnakan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman Abi Bakr al-Suyuthi
(w. 911H) dengan tulisannya yang juga diberi nama yang sama yaitu al-Asybah
wa al-Nazhair.
Dari kelompok
fukaha Hanabilah, ulama yang terkenal, antara lain tokoh yang terlibat dalam
kegiatan menulis dalam bidang ini adalah Najm al-Din al-Tufi (w. 177 H) yang
telah menulis kitab al-Qawaid al-Kubra dan al-Qawaid al-Sughra.
Selain itu, terdapat seorang lagi tokoh dari kalangan fukaha Hanbaliyyah yang
telah menyumbangkan kepada perkembangan ilmu ini, yaitu Abd al-Rahman Ibn Rajab
(w. 795 H). yang menulis kitab dengan judul al-Qawaid fi al-Fiqh. Periode
pertumbuhan dan perkembangan berakhir dengan tampilnya al-Majallah al-Ahkam
al-‘Adhiyyah pada abad ke
11 H.
c.
Periode
Penyempurnaan
Pada abad ke
11 H lahirlah kitab al-Majallah al-Ahkam al-Adhiyyah, dalam versi yang
telah disempurnakan. Misalnya qaidah:
لا يجوز لاحد أن يتصرف فى ملك الغير بلا
إذنه
(sesungguhnya
tidak berhak bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik orang lain tanpa
izin pemiliknya).
Jika dalam
verdi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu hanya menyangkut
perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan. Akan tetapi
dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik,
salah satu bagian dari hak asasi manusia.[14]
Al-Majallah merupakan
undang-undang hukum perdata yang dalam mukaddimahnya tercantum 100 butir
ketentuan umum. Ketentuan umum pasal 1 adalah tentang definisi fiqh.
Sedangkan pasal 2 sampai 100 adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan
dari pasal- pasal pada bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah
fiqh disertai dengan nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi rinciannya.
Pada abad ke
11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid fiqhiyyah.
Ahmad bin Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh fukaha yang telah
mensyarahkan kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin
Ibrahim Ibn Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat dalam
kitabnya yang berjudul Ghamzu
‘Uyun al-Basa’ir.[15]
Pada
pertengahan abad yang ke-12 Hijrah, seorang fukaha yang bernama Muhammad Said
al-Khadimi (w. 1154 H) telah menyusun sebuah kitab usul al-fiqh yang
diberi nama Majma ‘al-Haqaiq. Menerusi
kitab ini, sejumlah 154 buah telah disusun di dalamnya mengikuti urutan susunan
huruf kamus (mu’jam) atau susunan
abjad dihimpunkan dalam karya tersebut. Kemudian kitab ini telah disyarahkan
pula oleh Mustafa Muhammad dengan nama Manaf’i
al-Haqaiq.[16]
Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan ilmu qawid fiqhiyyah, dengan jelas
menunjukkan bahawa para ulama dalam bidang fiqh sejak awal abad ketiga
Hijrah, telah begitu serius mengembangkan pembahasan qawaid fiqhiyyah ini.
Hal ini adalah berdasarkan kepada gerakan atau usaha pengumpulan dan pembukuan qawaid
tersebut yang ditemui sejak awal abad ketiga Hijrah. Sejumlah permasalahan
yang mempunyai persamaan dari sudut fiqhiyyah telah dihimpunkan serta
diletakkan di bawah satu qaidah fiqhiyyah. Apabila terdapat masalah fiqh
yang dapat dicakup di bawah sesuatu qaidah fiqhiyyah, maka, masalah fiqh
itu ditempatkan di bawah qaidah fiqhiyyah tersebut. Selain itu,
melanjutkan himpunan Qawaid fiqhiyyah yang bersifat umum itu, juga ia
memberikan peluang kepada generasi berikutnya untuk terus mengkaji dan menelaah
permasalahan yang dibicarakan dalam bidang fiqh yang secara keseluruhan
melibatkan pembahasan hukum. Dengan bantuan qawaid fiqhiyyah tersebut,
permasalahan tersebut akan lebih mudah diselesaikan dalam jangka waktu yang
tidak begitu lama.
H.
SUMBER-SUMBER
QOWA’ID FIQHIYAH
Kaidah
fiqhiyyah merupakan produk ijtihad yang bersumber dari Alquran, hadis
dan ijma’, dan merupakan generalisasi dari tema-tema fikih yang tersebar di
kalangan imam mazhab. Adapun penjelasan dari setiap sumber adalah sebagai
berikut[17]:
a.
Kaidah fiqhiyyah
yang bersumber dari Alquran, diantaranya adalah:
-
المَشَقَّةُ
تَجْلِبُ التَّيسِيرَ
Kaidah ini
bersumber dari firman Allah dalam Q.s. al-Hajj ayat 78 dan Q.s. al-Baqarah ayat
185:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ
حَرَجٍ
dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan
يُرِيدُ اللّه بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah SWT. menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.
Bila dipahami dari kedua makna ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Allah ketika mensyariatkan Islam kepada umat Nabi Muhammad bersifat
mudah dan fleksibel, dan tidak akan
membebani mereka di luar potensi kemampuan yang dimiliki.
- الضرورات تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتُ
Kaidah ini bersumber dari Q.s. al-An’am: 119:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا
حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ اِلَيْهِ
Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang
diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam
keadaan terpaksa.
Ayat di atas memberikan penjelasan yang sangat jelas bahwa kondisi
ter- paksa yang dihadapi seseorang
untuk mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama dibolehkan selama tidak berlebihan.
b. Kaidah fiqhiyyah yang bersumber
dari sunnah, sebagai berikut:
-
الحدود تسقط بالشبهات
Kaidah tersebut di atas adalah bersumber dari beberapa sunnah berikut
ini:
قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم ادراوا الحدود بالشبهات
Tinggalkan/batalkanlah hukuman had karena ada faktor keraguan.
(H.r. Bukhari).
ما كان أكثرفعلا أكثر فضلا
Kaidah tersebut di atas bersumber dari hadis berikut:
قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم لعائشة رضى الله عنها أجرك على قدر نصبك
Pahalamu/upahmu
sesuai dengan kadar kepenatanmu.
قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم إن أعظم الناس أجرا فى الصلاة أبعدهم ممشي
Manusia yang memperoleh pahala salat paling besar adalah mereka yang paling jauh jarak perjalanannya (dari tempat salat mereka).
c. Kaidah fiqhiyyah berdasarkan ijma’
sahabat,14 diantaranya adalah:
-
الاصل بقاء ماكان على ما كان
-
القديم على قدمه
-
الضرر لا يكون قديما
I.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MENDORONG PENYUSUNAN QOWA’ID FIQHIYAH
Faktor-faktor pendorong timbulnya Qawaid al-Fiqhiyyah, dapat diambil
dari pernyataan Muhamma al-Zarqa’ dalam kitabnya Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah sebagai berikut :
“Seandainya tidak ada Qawa’id al-Fiqhiyyah,
tentu hukum-hukum fikih akan menjadi hukum furu’yang berserakan dan kadang-kadang lahiriyahnya tampak saling bertentangan,
tanpa ada ushul “Kaidah” yang dapat mengokohkannya dalam pikiran, menampakkan ‘illat-’illatnya, menentukan arah-arah pembentukannya, dan
membentangkan jalan pengqiyasan dan penjenisan padanya”.[18]
Dapat ditarik
juga dari pernyataan Imam al-Qarafi dalam kitabnya al-Furuq[19]
sebagai berikut:
“Siapa yang
berhujjah dengan hanya menghapal juz’iyyah
saja, maka
hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan menghabiskan umurnya tanpa
dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya, siapa yang memperdalam fikih melalui
kaidah-kaidah fikih tidak harus menghapalkan berbagai macam cabang fikih,
karena telah tercakup oleh kulliyyah”.
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat dikemukakan beberapa
faktor pendorong penyusunan qawa’id fiqhiyyah sebagai berikut:
1.
Makin bertambah banyaknya hukum fiqh, sehingga menyebabkan semakin
sulitnya menghafal hukum-hukum fiqh tersebut. Maka untuk mempermudah
menghafal dan mengidentifikasi hukum fiqh yang sangat banyak tersebut,
disusunlah qawaid fiqhiyyah.
2.
Para ulama dalam menyusun qawaid fiqhiyyah terinspirasi oleh
sebagian teks alquran dan hadist yang bersifat jawami’ al-kalim
3.
Secara praktis, pembentukan qawaid fiqhiyyah didorong oleh
pengalaman para ulama dilapangan. Para ulama kadang-kadang dituntut untuk
memberikan jawaban yang cepat dan tepat terhadap pertanyaan yang diajukan
kepada mereka. Dengan kecepatan dan ketajaman pemikiran, mereka memberikan
jawaban yang singkat dan padat.[20]
J.
PEMBAGIAN
QOWA’ID FIQHIYAH
Pembagian kaidah fiqhiyyah secara umum oleh beberapa fuqaha tidak memiliki keseragaman
jumlahnya dan pendekatan yang dipakai, sebagai berikut[21]:
1.
Abu al-Harits
al-Ghazzi, membagi kaidah fiqhiyyah pada dua bagian:
a.
Kaidah-kaidah
yang mempunyai keluasan cakupan kepada permasalahan cabang (furu’) dan
permasalahan fikih;
b.
Kaidah-kaidah
yang disepakati di kalangan fuqaha dan yang diperselisihkan.
2.
Muhammad
Utsman Syabir membagi kepada empat bagian:
a.
Kaidah yang
mempunyai cakupan yang luas, cakupan sedikit, bahkan hanya pada satu bab fikih
atau kaidah induk;
b.
Kaidah
berdasarkan dalilnya apakah nas atau kongklusi hukum;
c.
Kaidah
berdasarkan kepada ke mandiriannya atau derifasi kaidah lain;
d.
Kaidah yang
disepakati fuqaha atau yang diperselisihkan mereka.
3.
Abd al-‘Aziz
Muhammad ‘Azzam membagi kaidah fiqhiyyah sebagai berikut:
a.
Kaidah fiqhiyyah
berdasarkan dalilnya, Alquran dan sunnah;
b.
Kaidah fiqhiyyah
berdasarkan luasnya cakupan masalah fikih yang dimiliki;
c.
Kaidah fiqhiyyah
berdasarkan kesepatan dan ketidaksepakatan fuqaha;
d.
Kaidah fiqhiyyah
berdasarkan kemandirian.
Dari tiga
pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa kecenderungan pembagian kaidah fiqhiyyah
adalah sebagai berikut:
1.
Kaidah al-asasiyah
yang memiliki cakupan furu’iyah yang sangat luas, komprehensif dan
universal sehingga hampir menyentuh elemen hukum fikih;
2.
Kaidah aghlabiyah
kaidah yang memiliki cakupan furu’ yang sangat luas tetapi tidak
seluas cakupan kaidah al-asasiyah;
3.
Kaidah al-qaliliyah
yang memiliki cakupan terbatas bahkan cenderung sangat sedikit.
Adapun dari
sisi kesepakatan dan ketidaksepakatan fuqaha, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Kaidah yang disepakati semua mazhab, yaitu kaidah al-asasiyah;
2.
Kaidah yang
disepakati oleh satu mazhab, jumlahnya mencapai 40 kaidah;
3.
Kaidah yang
diperselisihkan dalam internal satu mazhab, jumlahnya mencapai 20 kaidah. Jenis
kaidah ini biasanya ditandai dengan kata tanya (هل) atau
kata (فيه خلاف).
Dalam berbagai literatur qawa’id fiqhiyah, macam-macam kaidah fiqh, secara umum disusun dengan sistematika sebagai
berikut: Pertama, kaidah-kaidah fiqh induk (al-qawaid al-asasiyah).
Disebut induk,
karena banyak kaidah-kaidah cabang yang dapat dikembalikan atau diproyeksikan
kepadanya. Kedua, kaidah-kaidah fiqh cabang yang disepakati oleh
mayoritas ulama. Ketiga, kaidah-kaidah fiqh cabang yang diperselisihkan
oleh para ulama.
al-Qadhi Abu
Sa’id mengembalikan semua persoalan mazhab Syafi’i kepada empat kaidah hukum
induk. Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa kaidah fiqh induk ini ada lima
kaidah. Adapun qawaid asasiyyah tersebut adalah sebagai berikut:[22]
-
Qaidah pertama:
الأ مُورُ
بِمقاصدِ هَا
Segala perkara tergantung kepada tujuannya.
-
Qaidah kedua:
اليقين لا يزال
بالشك
Keyakinan tidak dapat dihapuskan dengan keraguan.
-
Qaidah ketiga:
المَشَقَّةُ
تَجْلِبُ التَّيسِيرَ
Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan.
-
Qaidah keempat:
الضَّرَارُ
يُزَالُ
Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan.
-
Qaidah kelima
العَادَةُ
مُحَكَّمَةٌ
Adat kebiasaan dijadikan hukum.
-
Adapun qaidah
yang keenam, merupakan tambahan oleh Ibnu Nujaim adalah :
لا ثواب إلا
بالنيات
Tidak ada pahala kecuali
dengan niat
Sedangkan kaidah-kaidah ghairu asasiah merupakan pelengkap dari
kaidah asasiah, dan keabsahannya masih tetap diakui, yang oleh beberapa
ulama dibagi atas beberapa macam, di antaranya terdapat 40 kaidah cabang yang
disepakati dan 20 kaidah cabang yang diperselisihkan.[23]
K.
KESIMPULAN
1.
Qawaid
fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan,
dasar-dasar bagi fiqh.
2.
Hubungan qawaid
fiqhiyyyah dengan qawaid ushuliyyah seperti layaknya hubungan produk
dengan sarana mengolahnya. Sebuah produk tentu memiliki sarana untuk
mengolahnya. Suatu produk tentu diolah dari bahan-bahan dengan cara (resep)
tertentu.
3.
banyak ulama
yang tidak membolehkan pemakaian al-qawaid fiqhiyyah sebagai dalil-dalil
dalam menetapkan hukum. Sebab, tidak logis menjadikan sesuatu yang merupakan
himpunan dari sejumlah persoalan furu’ (fiqh) sebagai dalil dari dalil
syara’. Namun, kesimpulan ini tidak dapat diberlakukan secara umum, mengingat
sebagian al-qawaid fiqhiyyah ada yang langsung didasarkan dan disandarkan pada
dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah (nash).
4.
Kaidah
fiqhiyyah merupakan produk ijtihad yang bersumber dari Alquran, hadis
dan ijma’, dan merupakan generalisasi dari tema-tema fikih yang tersebar di
kalangan imam mazhab.
5.
Penyusunan qawaid
Fiqhiyyah terdiri dari tiga periode yaitu periode kelahiran, pembukuan, dan
penyempurnaan.
[1] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Jilid
III, (Bayrut: Dar al-Shadir, 2000). Bandingkan dengan al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat
fi Gharib al-Quran, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1997), h. 409.
[2] Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id
al-Fiqhiyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2000), h. 5.
[3] Syamsul Hilal, Qawa‘id Fiqhiyyah
Furu‘iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam, Al-‘Adalah Vol. XI, No. 2 Juli 2013,
h. 142.
[4] Fathurrahman Azhari, Qawaid
Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat,
2015), h.5.
[5] Ibid, h. 21-23.
[6] https://abdulbasyiir.blogspot.com/2012/11/pengertian-ruang-lingkup-qawaid.html,
02 Juni 2021, 08.54 WITA.
[7] http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/02/kedudukan-al-qawaid-al-fiqiyyah-dalam.html,
02 Juni 2021, 10:05 WITA.
[8] Ali Ahmad An-Nadwi, al-Qawaid
al-Fiqhiyyah, Damaskus, Dar al-Qalam, 1998, h. 89.
[9] Ibid, h. 90-94.
[10] Muhammad Hasbi al-Siddiqi (1990), Falsafah
Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, c. 4,tt), h. 435.
[11] Abdul Mun’im Saleh, Hukum Manusia Sebagai
Hukum Tuhan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 186.
[12] Ibid. h. 191.
[13] Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah
Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015),
h.33-38.
[14] Ibid, h. 193.
[15] Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, Syarh
al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1999), h. 40.
[16] Ibid.
[17] Syamsul Hilal, Qawa‘id Fiqhiyyah
Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam, Al-‘Adalah Vol. XI, No. 2 Juli 2013,
h. 142-144.
[18] Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung : Al Ma’arif, 1986), Cet. 1, hlm.
522.
[19] Ahmad ibn Idris ibn „Abdallah
al-Sanhaji al-Qarafi, Kitab al-Furuq Anwar al-Buruq fī Anwa’ al-Furuq. Tahqiq:
Muhammad Ahmad Sarraj dan Ali Jumu’ah Muhammad (Kairo : Dar al-Salam, 2001),
jld. I, hlm. 72.
[20] http://alpisyalalalala.blogspot.com/2019/09/makalah-faktor-faktor-yang-mendorong.html,
02 Juni 2021, 11:14 WITA.
[21] Syamsul Hilal, Qawa‘id Fiqhiyyah
Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam, Al-‘Adalah Vol. XI, No. 2 Juli 2013,
h. 145-146.
[22] Duski Ibrahim, Al-Qawa`Id
Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih), (Palembang: Noerfikri, 2019), h. 41)
[23] Ahmad Muslimin, الشريعة ضذ الإجتماعية على القواعذ الفقهية (Perkembangan Hukum Islam Versus Kehidupan Sosial Dalam
Perspektif Al-Qawaid Al-Fiqhiyah), Mahkamah, Vol. 1, No. 1, Juni
2016, h. 19.
Komentar