PERBANDINGAN MAZHAB DALAM KONTEKS PERSATUAN UMAT


A. Pendahuluan

Perbandingan Madzhab adalah upaya untuk mengetahui pendapat-pendapat para imam Mazhab dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan cara istinbath hukum. Setiap imam mujtahid dalam mengeluarkan pendapat-pendapatnya pada hakikatnya tidak menyimpang dan tidak keluar dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Perbandingan mazhab dimaksud bukan bertujuan untuk meremehkan atau mencari kelemahan suatu pendapat imam madzhab tertentu, melainkan untuk mencari alternative yang paling benar diantara pendapat-pendapat para imam madzhab yang sudah benar. Selain itu, perbandingan madzhab juga mencari dalil-dalil yang menjadi sumber rujukan utama (al-Quran dan Sunnah), karena pada hakikatnya kewajiban kita bukan mengikuti pendapat madzhab tetapi mengikuti dalil yang dijadikan sumber oleh ulama madzhab.

Ulama madzhab sendiri telah menganjurkan untuk tidak mengikuti madzhab mereka melainkan dalil al-Quran dan Sunnah yang dijadikan sumber oleh mereka, juga menyarankan untuk meninggalkan pendapat mereka jika bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Perbandingan madzhab juga upaya untuk menghindari fanatik buta (ta’asub). Hal ini karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi yang benar tentang mazhab-mazhab yang ada. Semua imam mazhab sepakat bahwa pijakannya tetap Quran dan Hadits, ucapan mereka tentang ajakan untuk kembali kepada Al-Quran dan Al-Hadits, walaupun dengan redaksinya berbeda. Maka seperti imam Syafi’i pernah mengatakan: “jika sebuah hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. 

B. Pengertian Mazhab dan Perbandingan Mazhab 

Kata “mazhab” diambil dari kata bahasa Arab yaitu (ذَھَبَ – یَذھَبُ - مَذھَبٌ), pengertian secara bahasa berarti berangkat, pergi, berjalan, berlalu, dan berpendapat. Kata “mazhab” dengan bentuk infinitif berarti (المُعْتقدُ) yang berarti kepercayaan. Adapun kata “mazhab” bisa semakna dengan kata (التعلیم والطریقة), yang artinya doktrin, ajaran dan haluan. Kata yang semakna lainya adalah (الرأي والنظریة) yang berarti pendapat dan teori. 

Mazhab-mazhab dalam fiqh adalah berbagai mazhab yang melakukan suatu ijtihad dalam masalah-masalah yang berkaitan dalam hukum Islam dan yang dibahas dalam hal ini segala masalah yang sifatnya far’iyyah saja. Keseluruhan mazhab fiqh tidak berbeda dalam bidang yang bersifat esensi dalam hukum Islam meskipun dalam satu bagian manapun. Ini menunjukkan bahwasanya tidak ada permazhaban dalam Islam, hanya saja karena adanya hal yang mendesak sehingga mendorong dilakukannya berbagai upaya ijtihad oleh kalangan ahli fiqh untuk merumuskan berbagai kemungkinan untuk menyelesaikan problema secara praktis dengan mudah. 

Sedang mazhab dalam kamus besar Bahasa Indonesia merupakan kata masdar atau kata dengan bentuk infinitif yang berarti haluan atau ajaran mengenai hukum Islam yang menjadi ikutan umat Islam, bisa juga diartikan sebagai aliran yang mempunyai perbedaan tertentu dengan ajaran yang umum tapi belum keluar dari ajaran umum itu.  Sedang pengertian mazhab dalam istilah fiqh adalah cara-cara yang khusus dalam merumuskan hukum-hukum amaliyyah dari berbagai sumbernya yang rinci.  Fuqaha atau bentul plural (jamak) dari kata faqih yang terdapat dalam berbagai mazhab disebut pula dengan kelompok pakar nalar yang berbeda pemikirannya dengan para muhaddisin (ulama dalam bidang hadist). Dalam prakteknya merumuskan hukum selalu menggunakan nalar dan qiyas berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan beberapa dasar untuk bisa mengkaji pernyataan yang lebih kuat di antara dua pernyataan. Senantiasa melakukan pentarjihan terhadap pernyataan-pernyataan yang bertentangan mengenai berbagai masalah, mereka tetap tidak dapat menyatukan pendapat. 

Mazhab-mazhab yang ada dalam Islam berusaha memahami dan mengkaji hukum-hukum yang terkandung dalam ajaran Islam pada dasarnya membicarakan dua hal pokok. Pertama, pengetahuan tentang ilmu aqidah. Kedua, pengetahuan tentang apa yang harus diamalkan umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan ini kemudian berkembang menjadi “Ilmun syari’ah”. Sedang ilmu syari’ah pada dasarnya ada dua hal pokok, fiqh dan usul fiqh. Kedua ilmu tersebut dikaji dan dipahami dalam bingkai Islam secara tekstual maupun kontekstual agar kehendak syar’i (pembuat hukum) dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan penjelasannya dalam Sunnah. Tentu setiap mazhab punya ragam pemikiran dan wawasan dalam pengembangan dua hal pokok ini, yaitu fiqh dan usul fiqh. Usaha pemahaman, penggalian dan perumusan hukum di kalangan ulama disebut dengan istinbat. 

Setidaknya pengertian mazhab dalam ilmu fiqh meliputi dua pengertian, yaitu: 

a. Jalan pikiran atau metode (manhaj) yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kejadian dan peristiwa berdasarkan al-Qur’an dan hadis.

b. Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti tentang hukum suatu kejadian.

Di dalam ilmu fiqh, perbandingan mazhab tentu tidak terlepas dari kata “muqaranah” pendapat dari beberapa fuqaha. Muqaranah diambil dari kata bahasa Arab dari kata قارن – یقارن – مقارنة yang berarti membandingkan/perbandingan sesuatu dengan sesuatu lainnya atau menghubungkan, mengikatkan sesuatu dengan sesuatu dan menghubungkan, menggandengkan dua pakaian satu benang pakan, menghubungkan sesuatu dengan lainnya serta menghubungkannya dan melekat. Sedang kata “muqaranah” bisa juga diartikan mengumpulkan sebagaimana jika seseorang mengatakan: “hubungkanlah dua persoalan ini” atau “kumpulkanlah diantara keduanya”. Bisa pula diartikan sebagai “muqabalah” (المقابلة) yaitu pertemuan yang saling berhadapan, seperti dikatakan seseorang: “perannya ada keterkaitan atau semuanya berhadapan dan berhubungan”. Maka arti (المقارنة) atau perbandingan secara bahasa meliputi dalam hal keterkaitan, pengumpulan dan dan bisa dihadapkan atau dipertemukan. 

Istilah perbandingan madzhab merupakan terjemahan dari kata “muqaranah almadzahib”. Dalam perkembangan keilmuan, dikenal juga istilah “fiqih muqaran”. Para ahli telah berupaya untuk mendefinisikan istilah tersebut. Berikut dikemukakan pengertian muqaranah al-madzahib dan fiqh muqaran oleh para ahli:

1. Wahab Afif mengartikan bahwa perbandingan madzhab adalah “ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqaha beserta dalil-dalilnya mnegenai masalah-masalah, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan dengan membandingkan dalil masing-masing pendapat yang paling kuat”.

2. Abdurrahman mengartikan bahwa perbandingan madzhab adalah “ilmu yang memperbandingkan satu madzhab dengan madzhab lainnya. Karena di antara madzhab-madzhab tersebut terdapat perbedaan”.

3. Huzaemah Tahido Yanggo mendefinisikan perbandingan madzhab sebagai ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqaha (mujtahidin) beserta dalil-dalinya mengenai berbagai masalah, baik yang disepakati (ijmak), maupun yang diperselisihkan (ikhtilaf) dengan membandingkan dalil masing-masing, yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh mujtahidin untuk menemukan pendapat fuqaha yang paling kuat.

4. Syaikh Mahmoud Syaltout menjelaskan bahwa istilah perbandingan madzhab adalah identik dengan istilah fiqih muqaran, yaitu “mengumpulkan pendapat para imam mujtahid berikut dalil-dalinya tentang suatu masalah yang diperselisihkan dan membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil tersebut untuk menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya”.

5. Muslim Ibrahim juga menyamakan antara muqaranah al-madzahib dengan istilah fiqh muqaran. Ia mendefinisikannya sebagai “suatu ilmu yang mengumpulkan pendapat-pendapat suatu masalah ikhtilafiyyah fiqih, mengumpulkan, meneliti dan mengkaji serta mendiskusikan dalil masing-masing pendapat secara objektif, untuk dapat mengetahui pendapat yang terkuat, yaitu pendapat yang didukung oleh dalil-dalil yang terkuat, dan paling sesuai dengan jiwa, dasar dan prinsip umum syariat Islam”. 

C. Latar Belakang dan Sejarah Kelahiran Mazhab dan Dampaknya terhadap Perkembangan Fiqh di Dunia Islam 

Setelah Nabi saw wafat, sebagian dari sahabatnya pergi ke beberapa wilayah atau negeri dengan maksud untuk menyiarkan agama Islam, atau untuk keperluan lainnya. Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadist tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.

Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar- pencar ke negara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan suatu masalah sukar dilaksanakan.

Sejalan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis, menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni : 

1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash Al-qur’an 

2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat 

3. Perbedaan sahabat disebabkan karena rayu. 

Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah Saw.

Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa tabi’in, muncul generasi tabi’it tabi’in. Ijtihad para sahabat dan tabi’in dijadika suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar diberbagai daerah wilayah dan kekuasaan islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan tabi’it tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua Hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyah.

Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah The Golden Age. Pada masa itu umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban, dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqh Islam, di mana lahir beberapa mazhab fiqh yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqh agung yang berjasa mengintegrasikan fiqh Islam dan meninggalkan Khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqh sampai sekarang.

Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili mazhab ahli hadist dan ahli rayu merupakan penyebab timbulnya mazhab-mazhab fiqh, dan mazhab-mazhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum inilah telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum.

Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum.

Metodologi, teori dan kaidah –kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para imam mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash Al-qur’an dan al-Hadist maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.

Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia tanpa disadari menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing- masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum.

Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbath hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fiqh.

Sampai saat ini Fiqh Ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furuiiyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara cenderung yang rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan mazhab dan yang melarangnya.

Ikhtilaf bukan hanya terjadi para arena fiqh, tetapi juga terjadi pada lapangan teologi. Seperti kita ketahui dari sejarah bahwa peristiwa tahkim adalah titik awal lahirnya mazhab-mazhab teologi dalam Islam. Masing-masing mazhab teologi tersebut masing-masing memiliki corak dan kecenderungan yang berbeda-beda seperti dalam mazhab-mazhab fiqh. Menurut Harun Nasution, aliran-aliran teologi dalam Islam ada yang bercorak liberal dan tradisional. Perbedaan pendapat pada aspek teologi ini juga memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri.

Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, sampai kapan pun dan ditempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam yang menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan Al-Qur’an dan al-Sunnah.

Para tabi’in yang tinggal di wilayah yang berbeda-beda yang telah menerima hadist dari para sahabat tersebut, mereka menyampaikannya pula kepada tabi’it- tabi’in yang tinggal di wilayah yang berbeda-beda pula. Imam yang empat yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali adalah golongan tabi’in dan tabi’it – tabi’in, tempat tinggal mereka berbeda-beda, ada yang di Hijaz, di Syam, di Kufa, Mesir, dan tempat lainnya. 

Nama mazhab itu bermula dari nama daerah, kemudian berproses menjadi nama mazhab yang disandarkan pada nama pribadi perseorangan ulama. Prosesnya kira-kira sebagai berikut: setelah nabi wafat, para sahabat, dan para tabi’in besar berfatwa atas nama pribadi atau perorangan. Pada masa generasi tabi’-tabi’in sampai pertengahan abad ke-2 Hijriah, nama-nama mazhab daerah muncul, sebagaimana disebut oleh Al-Syaibani.

Perkembangan ini mencapai puncaknya pada masa tiga ulama besar, Abu Hanifah beserta dua muridnya: Abu Yusuf dan Al-Syaibani malik, dan Al-Awza’i. Fase ini berakhir dengan munculnya Al-Syafi’i yang mencoba untuk tidak hanya menentang mazhab-mazhab yang diberi nama sesuai dengan daerah-daerah tersebut, tetapi juga menyusun pemikiran hukum secara universal.

Usaha ini melahirkan mazhab baru, yakni mazhab dengan namanya sendiri dan mazhab-mazhab lain. Mazhab-mazhab ini kemudian lebih terkenal dengan nama sesuai dengan nama imam-imam mereka ketimbang sesuai dengan nama daerah mereka. Sebagai akibatnya, mazhab-mazhab itu tidak lagi disebut dengan nama daerah, yakni mazhab Iraqi, Hijazi, atau Syiria.

Sebagai gantinya, mazhab Iraqi kemudian mengkristal dengan nama imam yang paling terkenal di daerah itu, Imam Abu Hanifah, sehingga mazhabnya disebut dengan nama mazhab hanafi. Mazhab Hijazi diganti dengan nama imam yang paling populer di daerah Madinah, yaitu Imam Malik, sehingga mazhabnya diberi nama dengan mazhab Maliki. Dan mazhab Syam atau Syiria diganti dengan nama imam yang paling populer di daerah itu, yakni Al-Awza’i, sehingga mazhabnya diberi nama dengan mazhab Awza’i.

Dalam masa ini muncul nama ulama besar yang kemudian dinobatkan sebagai nama mazhab pula, yaitu nama-nama seperti Al-Syafi’i, dimana pengikutnya memberi nama mazhabnya dengan mazhab Al-Syafi’i.

Nama-nama mazhab yang lain bermunculan seperti mazhab hanbali, dari nama imamnya, Ahmad Bin Hanbal, mazhab Al-Tsauri, dari nama imam Sufyan Al- Tsauri, mazhab Al-Zhahiri, dari nama imamnya, yakni Abu Daud b. Khalaf Al- Zhahiri. Intinya pada masa setelah imam Syafi’i itu muncul yang kemudian menjadi nama mazhab, berbarengan pula nama-nama mazhab atas dasar nama imamnya.

Bahkan lebih dari itu, nama-nama individual dari ulama mengedepankan ketika terjadi dialog atau bahkan perdebatan pendapat diantara mereka, baik langsung     dibawa oleh para pengikutnya maupun tidak langsung hanya dikutip dari buku. Demikian pula ketika buku-buku fiqh membahas beberapa pendapat atau bahkan perbedaan pendapat diantara para ulama, maka yang muncul adalah nama-nama individu ulama itu, bukan lagi nama daerah dari ulama tersebut.

Menarik untuk dicatat bahwa ketika Al-Syaibani menyebutkan nama-nama mazhab daerah, ahl Al-Iraq, ahl Al-Madinah, dan ahl Al-Syam, at-Thahawi (w. 321/933) dalam kitabnya, Ikhtilaf al-fuqaha, Al-Thabari (w. 310/923) dalam kitabnya, Ikhtilaf al-Fuqaha, dan Al-Marwazi (w. 294/909) dalam kitabnya ikhtilaf al-Ulama, menyebutkan nama-nama individu dari fuqaha besar, bukan nama daerah atau kota.

Al-Thahawi memang menyebut nama kelompok, ashhabuna (ulama kami), namun untuk sebutan kelompok mazhabnya, yakni ulama mazhab Hanafi, bukan nama kedaerahan seperti yang disebutkan oleh Muhammad b. Al-Hasan Al-Syaibani di atas. Dengan kata lain, ia juga sering menyebutkan suatu kelompok, bukan nama daerah, untuk mazhabnya sendiri, yaitu ashhabuna (sahabat-sahabat kami, yang dia maksudkan adalah senior atau ulama dia).

Al-Thahawi menyebut nama Al-Madaniyyun, hanya sedikit sekali. Sudah barang tentu pendapat individual itu tidak mustahil banyak yang mengikutinya, terutama sekali setelah menjadi sebuah mazhab. Kebanyakan ulama menyebutkan dua hal pokok untuk menjelaskan perbedaan diantara mazhab-mazhab hukum klasik:

(1) elemen lokal yang sangat kuat yang menunjukkan bahwa hukum islam adalah fleksibel pada saat itu, oleh karena sangat mungkin terjadi perbedaan dalam penetapan hukum islam disebabkan perbedaan tempat atau daerah. 

(2) Praktik atau ulah pendapat personal dari tiap-tiap ulama, sebagai wujud kebebasan berpendapat dalam pemikiran hukum.

Sudah barang tentu yang kedua ini sangat mempunyai akibat negatif terhadap kehidupan masyarakat di suatu daerah, karena dapat mengakibatkan perpecahan bahkan disintegrasi masyarakat. Oleh karena itu, untuk melindungi masyarakat dari disintegrasi yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan dikalangan para ulama, dibangunlah konsep ijma, yang waktu itu diartikan dengan konsensus para ulama di suatu daerah tertentu.

Para ulama kemudian membangun konsep sunnah, amalan masyarakat di daerah tertentu, yaitu hampir sama dengan hukum kebiasaan (hukum adat) atau adat/urf pada umunya. Dalam hal-hal tertentu memang antara sunnah masyarakat dan ijma kedaerahan itu mempunyai posisi yang sangat erat, oleh karena dapat saling mengisi dan bahkan dapat menjadi satu kesatuan. Ini setidaknya secara konsepsional: sunnah masyarakat itu kemudian menjadi ijma kedaerahan itu kemudian menjadi sunnah masyarakat.

Dari proses semacam inilah kemudian menjadi mazhab kedaerahan. Kemudian pertanyaan yang dimunculkan adalah apakah hukum kebiasaan itu ada sumbernya atau tidak dalam praktik Nabi atau para sahabat. Tentang kebiasaan ini, Joseph Schacht, menyatakan bahwa konsep Arab klasik tentang sunnah menjadi salah satu konsep sentral dalam hukum islam.

Akan tetapi juga muncul pertanyaan, bagaimana mewujudkan konsesus itu? Dalam kenyataanya ijma atau konsensus tadi hampir tidak pernah tercapai di suatu daerah, karena dikalangan para ulama sendiri menjadi kebiasaan terjadinya Ikhtilaf (perbedaan pendapat dalam menetukan hukum islam) sebagaimana telah dikritik dan dibuktikan atas kesulitan terjadinya konsesus itu.

Mazhab-mazhab hukum klasik yang sebagian besar dibangun atas dasar ajaran-ajaran yang ada disuatu daerah tertentu, berubah menjadi mazhab-mazhab yang didasarkan atas ketaatan terhadap imam secara individu. Pada abad ke-2 Hijriah banyak perorangan yang mulai mengikuti ajaran imam, yang diakui, sementara mereka masih mengklaim hak untuk berbeda pendapat dengan imam-imam mereka dalam hal-hal yang rinci.

Oleh karena itu, beberapa ulama kufah, termasuk Abu Yusuf dan Muhammad Al-Hasan Al-Syaibani, mengikuti Abu Hanifah; namun Abu Yusuf mempunyai pengikut-pengikutnya sendiri, sementara itu sebagian orang Kufah juga mengikuti Ibn Abi Laila. Dalam mazhab Madinah dan Mesir, ada beberapa ulama yang mengkuti Malik dan menganggap kitab Malik Al-Muwatha, sebagai kitab otoritatif mereka.

Kaum muslimin sepakat bahwa sumber hukum syariat Islam adalah Al-Qur’an dan as-sunnah yang wajib diikuti dan diamalkan isi dan kandungannya. Seluruh umat Islam diwajibkan untuk mengambil hukum-hukum Allah itu langsung dari kedua sumbernya itu. Tapi dalam kenyataannya tidak semua orang islam mampu untuk melakukan istinbath hukum langsung dari kedua sumber tersebut.

Para ulama sepakat bahwa orang yang mampu mengistinbathkan hukum secara langsung dari sumbernya wajib berpegang teguh dan mengamalkan apa yang dihasilkan dari ijtihadnya. Sebagaimana ditandaskan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa sebagai berikut: Para ulama ushul telah sepakat bahwa apabila seseorang telah melakukan ijtihad dan telah mendapatkan simpulan hukum, maka tidak boleh mengikuti pendapat mujtahid lain yang menyalahi ijtihadnya, dan tidak boleh beramal dengan hasil analisa yang lain serta meninggalkan hasil analisa atau pemikirannya sendiri.

Demikian pula Ibn al-Humam seorang ahli ushul dari mazhab Hanafi, dalam kitabnya menyatakan sebagai berikut: Secara ittifaq para ahli ushul berkata seorang mujtahid yang telah usai berijtihad dalam suatu masalah hukum dilarang untuk bertaklid dalam hukum itu.

Pentingnya bermazhab ini juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penafsiran Al-Qur’an secara semena-semena yang dapat merusak kandungan Al- Qur’an dan hadist itu sendiri. Bisa dibayangkan, jika seseorang langsung kembali pada Al-Qur’an dan hadist hanya berbekal terjemahan atau sekedar bisa membaca, tanpa dibekali ilmu yang memadai maka akan riskan terjadinya kesalahan pemahaman.

Dalam bermazhab ini terdapat ruang yang lebih luas untuk memahami dan menerjemahkan Islam tanpa harus kehilangan substansi dari ajaran Islam itu sendiri. Dengan bermazhab konsistensi berpikir juga dapat dijaga karena memiliki geonologi pemikiran yang jelas, runtut, dan bersambung sampai ke Rasulullah. Dengan sanad yang jelas ini maka bisa dilacak perkembangan dan proses munculnya pemikiran serta metodologi dalam memahami dan mengaktualisasikan ajaran Islam sehingga otensitas Al-Qur’an dan Hadist bisa dipertahankan. 


D. Faktor Penyebab terjadinya Perbedaan Mazhab 

Terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, di samping disebabkan oleh faktor manusiawi, juga faktor agama. Faktor tersebut mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya, sehingga kadang-kadang menimbulkan pertentangan keras, terutama di kalangan masyarakat awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiah dalam persolaan furu’iyah tidak begitu dipersoalkan. Wahbah menyebutkan sebab-sebab utama yang menimbulkan perbedaan di kalangan imam-imam madzhab secara lebih rinci sebagai berikut  

1. Perbedaan Arti dari beberapa kata Arab.

Al-Qur’an banyak terdapat kata-kata yang mempunyai arti ganda, seperti kata “al-quruu’u” yang mempunyai makna “suci” dan juga “haid”. Para Sahabat dalam memberikan makna al-quru’ yang berkaitan dengan masalah iddah wanita yang dicerai suami berbeda pendapat. Ummul Mukminin Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit ra. memberi makna al-quru’ suci. Sedang Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memberikan makna al-quru’ sebagai haid. Perbedaan ini berlanjut sampai imam-imam mazhab. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti pendapat kelompok yang pertama, sementara Imam Abu Hanifah mengikuti pendapat kelompok kedua.

2. Perbedaan Riwayat.

Sebuah hadis kadang kala dapat diketahui oleh ulama tertentu saja, tetapi hadis tersebut tidak diketahui oleh ulama yang lainnya. Atau sampainya hadis tersebut kepada sebagian ulama melalui jalur sanad yang lemah. Sedangkan yang lain menerimanya melalui jalur sanad yang kuat.

3. Perbedaan Sumber.

Dalam berijtihad, terdapat sumber-sumber dalil yang telah disepakati oleh ulama mujtahid, seperti al-Qur’an, Sunah, ijmak dan kias. Namun di samping sumber-sumber tersebut, ada beberapa sumber yang masih diperselisihkan, seperti istihsan, maslahah mursalah, syar’u man qablana, `urf, dan lain-lain. Dalam menyikapi sumber-sumber tersebut, ada golongan yang menerima dan ada juga yang menolak, atau yang menerima tetapi bersyarat.

4. Perbedaan kaidah-kaidah usul fikih.

Ulama usul misalnya berbeda dalam menyikapi kalimat atau kata umum, sebagian berpendapat tidak dapat dijadikan dalil secara mutlak, sebagian lain mengatakan boleh menjadi dalil. Contoh lain misalnya pendapat madzhab Dhahiri yang mengatakan: “al-Mafhum al-Muwafaqah” tidak dapat dipakai sebagai dalil istinbath. Tetapi mazhab-mazhab lain dapat menerimanya sebagai dalil.


E. Implikasi sosial, budaya dan politik dari Perbedaan Mazhab 

Perkembangan hukum Islam dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor personal mujtahid, faktor lingkungan sosial, serta faktor politik dan kehendak penguasa. Lahirnya maz\hab sangat dipengaruhi faktor sosial budaya, politik dan kecenderungan para Imam yang membentuk karakteristik, teori dan formula yang berbeda, meskipun sama-sama berpegang pada Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama. 

Wilayah penyebaran keempat maz\hab tersebut juga berbeda-beda. Hal ini menandakan bahwa terdapat pengaruh sosial, politik, budaya dan intelektual para murid-murid Imam maz\hab dalam penyebarannya. Misalnya maz\hab Hanafi awal mulanya tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara- negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini maz\hab Imam Hanafi merupakan mazhab resmi di Turki, Syiria dan Libanon. Maz\hab ini juga dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok. Sebelumnya mazhab Imam Hanafi pernah menjadi mazhab resmi dinasti Turki Usmani pada awal abad ke-16 M.  Kemudian maz\hab Maliki, awal mulanya maz\hab ini tersebar di daerah Madinah, lalu tersebar sampai saat ini di Maroko, Aljazair, Tunisia, Bahrain, dan Kuwait.  Maz\hab Imam Syafi’i tersebar ke Irak, Khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia, H}ija>z, India, dan daerah Afrika dan Andalusia, penyebarannya bukan hanya berada di negara bagian timur tapi juga masuk ke beberapa negara yang ada di barat (Eropa). Maz\hab ini yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia.  Dan terakhir, mazhab Hanbali menjadi maz\hab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Qatar dan Oman. 

Tradisi keilmuan, hubungan antara guru dan murid, termasuk di dalamnya sejarah pendidikan dan wacana intelektual yang berkembang merupakan bagian dari sejarah sosial intelektual. Namun, perlu diperhatikan bahwa kemunculan dan karakter seorang tokoh intelek sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi yang mengitarinya. Kondisi sosial, ekonomi, politik dan sebagainya turut membentuk sebuah wacana yang berkembang dari seorang intelektual.


F. Faidah Mempelajari Perbandingan Mazhab 

Terjadinya perbedaan pendapat atau ikhtilaf yang memunculkan keanekaragaman rumusan hukum Islam merupakan suatu hal yang harus diapresiasi dan disyukuri sebagaimana pernyataan sebuah hadist yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat. Dengan adanya perbedaan tersedia berbagai alternatif pengamalan ajaran agama yang bisa dipilih sesuai dengan kondisi umat Islam yang mengamalkan.

Keluwesan syari’at Islam ditandai dengan peluang perbedaan pendapat bahkan semenjak zaman nabi. Adapun hal yang mendasari sehingga memberikan peluang perbedaan pendapat pada kurun waktu belakangan, di antaranya adalah:

1. Keterkaitan dengan sumber hukum, hal ini disebabkan karena ada yang qat’iyyul wurud  dan zanniyu al-wurud.

2. Berkaitan dengan metode ijtihad, baik itu teori penilaian baik dan penilaian buruk dan tema kebahasaan.

3. Adat istiadat, dimana masyarakat Arab berpihak pada konsep-konsep hukum kesukuan Arab sedang di Kufah suasananya lebih cosmopolitan karena masyarakatnya yang heterogen. 

Perbedaan pendapat di antara mazhab dalam bidang fiqh bukanlah merupakan hal yang tercela dan berbahaya. Justru dengan adanya perbedaan pendapat menunjukkan keluwesan hukum Islam, kesuburan sumbersumbernya, kekayaan fiqh Islami dan toleransi para ulama Islam. Pada periode ijtihad, pendapat-pendapat yang tampaknya berlawanan justru saling mengisi dan berdampingan, kendati latar belakang dan sumbernya berbeda-beda.

Dalam diri kalangan ulama terjalin hubungan persaudaraan yang erat, saling menolong, menghormati dan gemar bertukar pikiran. Kemesraan hubungan itu terungkap dari seorang mujtahid tentang dirinya sendiri, “Pendapatku ini benar, tapi kemungkinan juga salah, dan pendapat orang lainitu salah, tapi kemungkinan juga benar. 

Hikmah adanya perbedaan pendapat. Pertama, berlomba-lomba mencari kebaikan. Hal itu dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 48 untuk menuntut kita berlomba-lomba dalam berbuat baik. Kedua, banyaknya karya ulama, yakni menerima warisan “kumpulan hukum” yang sedemikian lengkap, berisi petunjuk dalam setiap aspek kehidupan manusia. Ketiga, menghargai/menghormati, melatih pemahaman (intelekualitas); saling mengasah pemikiran, terbukanya bahan-bahan pemikiran (materi) sampai kepada semua persoalan individu sesuai dengan kemampuan intelektual masing-masing.


G. Signifikansi Ilmu Perbandingan Mazhab dalam Menciptakan Kesatuan Umat

Ulama-ulama terdahulu telah ada upaya yang begitu maksimal dilakukannya menurut anggapan sebagian dari umat Islam dalam menghadapi persoalan yang terjadi saat ini dan juga terdapatnya berbagai persoalan yang diperkirakan akan muncul di akhir zaman. Dengan anggapan semacam ini sehingga timbullah pernyataan tidak perlu lagi memunculkan ijtihad baru pasca mujtahid dari berbagai mazhab sebelumnya. Namun kita tetap wajib kembali dan merujuk kepada buku-buku yang telah ditulis oleh mereka, sekaligus mengkaji dan mempelajari sisinya untuk mendapatkan apa yang kita cari dan memberikan jawaban atas setiap persoalan, baik itu melalui penetapan teks, analogi maupun memproduk hukum.

Beberapa pembahasan dari bab-bab sebelumnya telah dikemukakan jalan hidup dari berbagai imam mazhab, pola pemikiran hukum yang menjadi ciri khas keilmuan seorang imam mazhab serta beberapa hal ataupun faktor yang mempengaruhi produk pemikiran hukumnya serta beberapa wilayah yang hingga sekarang masih mempertahankan pola pemikiran hukum dari mazhab tertentu yang tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor pendukung seperti murid-muridnya yang giat memakai pola pemikiran mazhabnya.

Biasanya disertai dengan berbagai karya tulis dari murid-muridnya atau generasi penerus suatu mazhab bahkan tidak jarang keberadaan kekuasaan pemerintahan pada saat itu sedikit lebih banyak telah memberikan andil tersebarnya sebuah mazhab tertentu. Sebagaimana Kerajaan Maroko saat ini dengan penduduknya lebih cenderung bermazhab Maliki bahkan tidak jarang beberapa aturan keagamaannya menggunakan pola hukum bermazhab Maliki atau Kerajaan Saudi yang bermazhab Hanbali. Dalam masyarakat muslim Asia Tenggara misalnya yang berkembang adalah mazhab Syafi’i. Tersebarnya mazhab ini secara luas di Asia Tenggara melalui aktifitas para tokoh dan ulamanya melalui berbagai cara yang terpenting di antaranya melalui lembaga pengkajian fiqh dan ushul fiqh. 

Orang tempat bertanya disebut sebagai mufti sedangkan orang yang bertanya disebut dengan mustafti. Golongan awam yang bertanya sebagian kecil memang mempunyai sedikit pemahaman dan kemampuan menganalisa dan menyaring jawaban yang diberikan mufti untuk diamalkannya. Namun sebagian besar mengikuti saja apa yang dikatakan seorang mufti. Yang terakhir ini dalam literatu ushul fiqh disebut dengan muqallid sedangkan usaha mengikuti pendapat mufti atau seorang imam mazhab disebut taqlid. Kehausan bertaqlid memang menjadi pembicaraan tersendiri di kalangan ulama. Pendapat kalangan ulama Syafi’iyyah dianggap kuat pendapatnya yang menyatakan wajib hukumnya seorang awam bertaqlid kepada mujtahid sebagaimana pendapat Ibnu Subki dalam kitabnya Jam’ul Jawami’ dengan alasan yang jelas bahwa teks ayat memang berarti demikian dan tidak ada yang mengalihkannya dari asal wajibnya. Pendapat ini dianggap rasional karena kalau tidak diwajibkan mengikuti pendapat orang yang tahu dan ia berbuat menurut kemauannya, maka ia sendiri tidak mengetahuinya, tentunya akan menyebabkan sesat dalam beramal sebab pemaksaannya berakibat untuk melakukan ijtihad di luar dari kemampuannya.

Dari sekian banyak imam yang berijtihad dan memberikan pendapatnya tentang sesuatu yang akan diamalkan, mungkin mereka mempunyai pendapat yang sama. Dalam hal ini tidak ada kesulitan dan tidak sulit menentukan kepada siapa ia kaan meminta pendapat karena kepada siapapun ia bertanya jawabannya adalah sama. Namun bila pendapat mereka berbeda, timbullah masalah sehingga kepada siapa ia akan bertanya dan pendapat siapa di antara imam mujtahid yang banyak itu yang akan diikutinya.

Pendapat yang menyatakan bahwa harus berpihak kepada pendapat yang dianggap paling kuat, namun pendapat ini perlu dipertanyakan; apakah golongan awam mempunyai kemampuan menilai dan membandingkan mana yang terkuat di antara mereka yang berbeda. Karena hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang kemampuannya setingkat berada di bawah mujtahid sedangkan golongan awam jelas tidak mempunyai kemampuan seperti itu.

Pemahaman dan interpretasi ulama terhadap ahkam asy-syari’ah dalam wujud fiqh, disadari maupun tidak disadari, juga dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya tempat ulama tersebut hidup. Hasil pemahamannya dan interpretasi ulama tersebut sebagai respon terhadap budaya dan kebiasaan masyarakat yang dihadapi kecuali masalah-masalah yang sudah diketahui secara pasti seperti keharaman zina, khamr, dan hal-hal yang termasuk dalam kategori ibadah mahdlah.  

Fiqh dalam kondisi seperti ini didefinisikan selain dari hal-hal yang disepakati dalam agama adalah produk pemikiran ulama yang bersifat temporal, lokal, dan kontekstual yang diderivasi dan disimpulkan dari syari’ah dan hukum-hukum yang berkenaan dengan syari’ah. Lokalitas dan kontekstualitas sebagai dasar dari fiqh dan hal inilah yang membedakannya dengan syari’ah yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya yang diyakini bersifat universal. Sehingga dapat dipahami mengapa dalam konstruksi fiqh terjadi banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama. 

Munculnya perbedaan pendapat antara ulama tidak lain adalah konsekuensi logis dari adanya tempat, tantangan zaman, kondisi sosial budaya masyarakat, di samping kerena ada perbedaan metodologi yang digunakan setiap ulama. Sehingga pemaparan ahkam asy-syari’ah memiliki persamaan dengan fiqh dari segi adanya keterkaitan dengan konteks sosial ketika ditetapkannya. Pemikiran hukum Islam lebih dikenal dalam sebuah kaidah yang dapat berubah sesuai dengan adanya perubahan waktu, tempat, keadaan dan adat kebiasaan. 

Meskipun demikian bisa dipahami adanya perbedaan pendapat di antara ulama dengan berbagai alasan yang bisa diterima secara ilmiah namun tidak salah jika upaya pendekatan antar mazhab Islam sebagai salah satu upaya meminimalisir polemik dan perseteruan yang biasanya terjadi di antara pendukungnya. Dengan pertimbangan yang berdasarkan bahwa tidak semuanya pendukung mazhab punya wawasan keilmuan yang setara ataupun mendekati taraf keilmuannya dengan imam mazhabnya. Sehingga melakukan langkah-langkah dasar dalam pembenahan pandangan Islam dan pendekatan antar mazhab dengan berbagai ide yang berkualitas sebagai sebuah langkah maju dalam perkembangan Islam ke depan.

Sebagian faqih yang bijak dan tidak fanatik telah berupaya melakukan pembenahan pandangan Islam dengan mengupayakan berbagai usaha pendekatan antar mazhab Islam bahkan mazhab Syi’ah sekalipun, seperti yang dilakukan oleh Syeikh Mahmud Syaltut sebagai seorang ulama besar ahli Sunnah dan mufti al-Azhar mengumumkan diperbolehkannya mengikuti mazhab Syi’ah. Bukti nyata dari upaya yang dilakukannya adalah dengan mendirikan yayasan pendekatan antar mazhab Islam di Kairo yang bernama “Dar al-Taqrib wa Nasyri Majallah Risalah al-Islam”. Meskipun hingga saat ini belum ada ulama besar dari ahli Sunnah maupun mufti al-Azhar yang pernah memberikan fatwa seperti itu. Pendekatan ke arah antar berbagai mazhab untuk menghilangkan ikhtilaf dan dalam pendekatan ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu:

1. Hikmah kemaslahatan. Istilah hikmah banyak dijumpai dalam al-Qur’an dan bahkan seringkali dikaitkan dengan al-Kitab. Tidak kurang dari sembilan ayat dalam al-Qur’an yang menyebut dua kata tersebut secara beriringan. Hikmah biasanya diartikan sebagai kebijaksanaan (wisdom) yakni kesadaran dan sikap seseorang yang membawa dirinya berakhlak baik dan tercegah dari akhlak yang buruk. Pemaknaan ini mengandung makna filosofis yang berkaitan dengan intelektual dan moral seseorang. Pemaknaan hikmah yang diberikan Allah kepada Luqman al-Hakim dalam al-Qur’an adalah kemampuan intelektual dan sikap arif dalam memahami dan melaksanakan hukum-hukum Tuhan.

2. Tasamuh, pemaknaan ini berarti sebagai sikap saling menghargai antar mazhab, yang ditandai dengan tidak saling menyalahkan, bahkan kelompok yang berbeda-beda mazhabnya serta kesediaan untuk berbaur dalam pelaksanaan ibadah dan muamalah.

3. Memadukan pendapat yang berbeda, upaya ini adalah bentuk dari sikap saling menghargai dan jika hal ini dilakukan maka persatuan umat Islam betul-betul terlaksana dalam pengamalan syari’at Islam. Pemaknaan ini dalam literatur ushul diformalisasikan dalam arti attawfiq (memadukan) dan al-jam’u (menghimpun). 


Implikasi perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam kehidupan masyarakat dapat melahirkan dua kemungkinan. Pertama, perbedaan pendapat yang disertai kesadaran intelektual akan melahirkan individu dan masyarakat yang berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Kedua, perbedaan pendapat yang disertai dengan fanatik yang berlebihan sehingga. beranggapan bahwa pendapatnya, yang benar atau bahkan. yang paling benar biasanya, pada saat yang sama yang bersangkutan memandang bahwa selain pendapatnya adalah salah merupakan gejala pembentukan firqah (Yang prosesnya disebut tafaruq) yang pada akhirnya menghambat perkembangan umat Islam. Oleh karena itu, madzhab lebih berorientasi pada gagasan atau intelektual, sedangkan firqah, lebih berorientasi pada sikap atau gerakan (harakah).

Berkenaan dengan ikhtilaf yang tidak dilandasi nilai dan etika keagamaan, Kemal A. Faruqi mengungkapkan bahwa implikasi ikhtilaf memiliki risiko yang tinggi yang akan melahirkan sikap Hipokritt dan kepura-puraan dan kedua menjadikan masyarakat sebagai “kuburan yang berbahaya”. Oleh karena itu, yang harus dikedepankan adalah fungsi esensial ikhtilaf, yakni memiliki persamaan atau keserupaan (resemblance) dalam setiap pendapat atau pemikiran. Sebagai sebuah, ringkasan, dapat dipahami bahwa implikasi ikhtilaf terhadap kehidupan, terutama masyarakat Islam yang masih awam, relatif kurang menguntungkan, sebab perbedaan terjadi, walaupun amat kecil, bisa menimbulkan clash fisik, karena finatik madzhab yang berlebihan. Akan tetapi, bagi kalangan intelektual, dampak ikhtilaf ini justru memberi kontribusi bagi pemikiran dan metode-metode yang ditempuh sehingga memperkaya khazanah pemikiran Islam meskipun hanya aspek fiqh.

Diantara sikap yang harus dimiliki dalam menghadapi ikhtilaf antara lain; (1) membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah. (2) Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada. (3) Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat. 


H. Kesimpulan

Pengertian mazhab dalam ilmu fiqh, yaitu jalan pikiran atau metode (manhaj) yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kejadian dan peristiwa berdasarkan al-Qur’an dan hadis, pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti tentang hukum suatu kejadian. Sedangkan perbandingan madzhab adalah ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqaha beserta dalil-dalilnya mnegenai masalah-masalah, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan dengan membandingkan dalil masing-masing pendapat yang paling kuat. 

Salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah Saw. Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, sampai kapan pun dan ditempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam yang menjadi pegangan orang sampai sekarang.

Perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, di samping disebabkan oleh faktor manusiawi, juga faktor agama. Perkembangan hukum Islam dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor personal mujtahid, faktor lingkungan sosial, serta faktor politik dan kehendak penguasa. Dengan adanya perbedaan tersedia berbagai alternatif pengamalan ajaran agama yang bisa dipilih sesuai dengan kondisi umat Islam yang mengamalkan.

Implikasi perbedaan pendapat dalam kehidupan masyarakat. Pertama, perbedaan pendapat yang disertai kesadaran intelektual yang dilandasi dengan niat yang  tulus dan benar akan melahirkan individu dan masyarakat yang berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan dan kedua, perbedaan pendapat yang disertai dengan fanatik yang berlebihan sehingga beranggapan bahwa pendapatnya yang benar atau bahkan yang paling benar biasanya, pada saat yang sama yang bersangkutan memandang bahwa selain pendapatnya adalah salah merupakan gejala pembentukan firqah (yang prosesnya disebut tafarruq) yang pada akhirnya menghambat perkembangan umat Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mun’im An-Namir, Al-Ijtihad, (Mesir: Al-Hay’ah Al-Misriyyah Al-Ammah Li Al-Kutub, 1987).

Achmad Musyahid Idrus, Pengantar Memahami Mazhab (Cet. I; Sulawesi Selatan : Pusaka Almaida, 2017).

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, (Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).

Ali Syahriansyah, Pendekatan Ke Arah Antar Berbagai Mazhab Untuk Menghilangkan Ikhtilaf, Diakses Via Http://Aliviq.Blogspot.Com.

Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer Di Indonesia, (Cet. II; Jakarta: Ciputat Press, 2005).

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid Ii, (Cet. V; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009).

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008).

Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, (Yogyakarta: Makhtubullah, 2012).

Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, (Yogyakarta: Makhtubullah, 2012).

Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, (Yogyakarta: Makhtubullah, 2012).

Ibnu Al-Qayyim Al-Jawziyyah, I’lam Al-Muwaqqi’in ‘An Rabb Al-Alamin, (Beirut: Dar Al-Jail, T.Th.).

John L. Esosito (Ed.), The Oxford History Of Islam (New York: Oxford University Press, 1999).

Karam Al-Bustani Et.Al, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam, (Libnan: Dar Al-Nasyr, T.Th.).

Mani’ Bin Hammad Al-Juhani, Al-Mausu’ah Al-Muyassarah Fi Al-Adyan Wa Al-Mazahib Wa Al-Ahzab Al-Mu’asirah, Mujallad Al-Awwal, (Cet. IV; Riyad: Dar Al-Nadwah Al-Alamiyyah Li Al-Tiba’ah Wa An-Nasyri Wa At-Tauzi’, 2000).

Muh. Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindopersada, 1996).

Muhammad Bin Idris Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, (Kuwait: Dar Al-Fikr, T.Th).

Muhammad Ruwwas Qal’ah Ji, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah, Jilid II, (Cet. I; Beirut: Dar Al-Nafais, 2000). 

Ngatawi Al-Zastrouw, Mengenal Sepintas Islam Nusantara, Pascasarjana Stainu 1, No. 1. (Januari 2017).

Wahbah Az-Zuhaili Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu. Jild 1( Beirut :Dar Al Fikr, 1984).

Wahiduddin Khan, Tajdid Ulumu Al-Din; Madkhal Li Tashhihi Masaari Al-Fiqh Wa Tasawwuf Wa Ilmi Al-Kalam Wa At’ta’lim Al-Islamiy, Dialih-Bahasakan Oleh Moh. Nurhakim Dengan Judul: “Kritik Terhadap Ilmu Fiqh, Tasawuf Dan Ilmu Kalam”, (Cet. I: Jakarta: Gema Insani Press, 1994).

Yusuf Al-Qardhawi, Al-Ijtihad Al-Mu’asir Baina Al-Inzibat Wa Al-Infirat, (Kairo: Daar At-Tauzi’ Wa An-Nasyr Al-Islamiyyah, 1994), Dialih-Bahasakan Oleh Abu Barzani Dengan Judul: “Ijtihad Kontemporer; Kode Etik Dan Berbagai Penyimpangan”, (Cet. II; Surabaya:Risalah Gusti, 2000).


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

ringkasan Nahwu

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA