PENGERTIAN, DASAR HUKUM, TUJUAN SERTA HIKMAH PERKAWINAN

 

PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan sebuah perintah agama yang diatur oleh syariat Islam dan merupakan satu-satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh agama Islam.  Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa di antara tujuan pernikahan adalah agar pembelai laki-laki dan perempuan mendapatkan kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Islam mensyari’atkan pernikahan untuk membentuk mahligai keluarga sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup. Islam juga mengajarkan pernikahan merupakan suatu peristiwa yang patut disambut dengan rasa syukur dan gembira. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.

Pernikahan menurut pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah, dilakukan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami istri dalam tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sepanjang hayat manusia

PENGERTIAN PERKAWINAN

Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Berasal dari kata an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan wathi atau bersetubuh.[1] Sedangkan menurut Sayid Sabiq, perkawinan merupakan “satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan maupun tumbuhan”.[2]

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai: “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[3]

Dari rumusan arti perkawinan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan harus didasarkan ikatan lahir batin, tidak hanya batin atau lahir saja tetapi harus keduanya. Ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan tersebut dapat dirinci dalam beberapa unsur dari pengertian perkawinan, sebagai berikut:

a.     Adanya Ikatan Lahir Batin.

Perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu persetujuan yang dapat menimbulkan ikatan, dalam bentuk lahiriah maupun batiniah antara seorang pria dan wanita, bahkan ikatan batin ini merupakan daripada ikatan lahir.

b.     Antara Seorang Pria dan Wanita.

Unsur pria dan wanita menunjukkan secara biologis orang akan melangsungkan perkawinan haruslah berbeda jenis kelamin. Hal ini sangat penting, karena perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang menghendaki adanya keturunan.

c.     Sebagai Suami Istri.

Pria dan wanita yang sudah terikat dalam suatu perkawinan, secara yuridis statusnya berubah. Pria berubah statusnya sebagai suami dan wanita berubah statusnya sebagai istri.

d.     Adanya Tujuan.

Tujuan dalam perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Seorang pria dan seorang wanita yang telah mempunyai ikatan lahir batin dengan melangsungkan perkawinan haruslah menuju pada suatu perkawinan yang kekal, bukan untuk masa tertentu.

e.     Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Unsur berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan arti bahwa perkawinan itu mempunyai hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian. Sini dapat di lihat bahwa peranan agama adalah sangat penting. Masalah perkawinan bukanlah semata-mata masalah keperdataan saja, melainkan juga masalah agama. Sehingga di dalam perkawinan tersebut harus diperhatikan unsur-unsur agama.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah, perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kata mitsaqan ghalidhan ini ditarik dari firman Allah SWT yang terdapat pada Surat An-Nisa ayat 21 :

وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا 

Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.

Dan menurut etimologi para ulama fikih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis sebagai berikut :

1.     Imam Syafi’i mengartikan, pengertian nikah ialah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi (mathoporic) nikah itu artinya hubungan seksual.

2.     Hanafiah, “nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja” artinya kehalalan seorang laki-laki untuk melakukan beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada factor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.

3.     Hanabilah nikah adalah akad yang menggunakan lafaz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenangsenang.

4.     Al-Malibari mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang mengandung kebolehan (ibahat) melakukan persetubuhan yang menggunakan kata nikah atau tazwij.

5.     Muhammad Abu Zahrah didalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hokum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong-menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.[4]

DASAR HUKUM PERKAWINAN

Dalam Al-Qur’an Allah telah menganjurkan umatnya untuk menikah dengan memberikan contoh bahwa sunnah para Nabi yang merupakan tokoh teladan mereka menikah. Dasar hukum perkawinan dalam Al-Quran dan hadits diantaranya adalah :

1.     QS. Ar. Ruum ayat 21 :

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ 

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

2.     QS. Adz Dzariyaat ayat 49 :

وَمِن كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ 

Artinya : “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.

3.     QS. Ar-Ra’d ayat 38

وَلَقَدْ أَرۡسَلۡنَا رُسُلٗا مِّن قَبۡلِكَ وَجَعَلۡنَا لَهُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَذُرِّيَّةٗۚ وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأۡتِيَ بِأَيَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ لِكُلِّ أَجَلٖ كِتَابٞ 

Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”.

4.     QS An-Nur ayat 32.

وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ 

Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

5.     HR Bukhari Muslim :

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم : يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغضّ للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء (متفق عليه)

Artinya : Dari Abdullah bin Mas’ud ra ia berkata : “Rasulullah Sallahu’alaihi wassalam telah bersabda kepada kami : “Hai para pemuda, apabila diantara kamu sekalian telah mampu untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin i tu lebih dapat menutup penglihatan dan menjaga kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu menjadi perisai untuknya”.(muttafaq ‘alaihi);

Sedangkan dasar hukum perkawinan di Indonesia adalah :

1.     UUD 1945 Pasal 28B Ayat 1, yang mengatur hak seseorang untuk melakukan pernikahan dan melanjutkan keturunan. Adapun bunyi dari Pasal 28B Ayat 1 adalah “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”

2.     Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974, yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 adalah merupakan salah satu bentuk unifikasi dan kodifikasi hukum di Indonesia tentang perkawinan beserta akibat hukumnya.

3.     Kompilasi Hukum Islam melalui instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 dan diantisipasi secara Organik oleh keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Terdapat nilai – nilai hukum Islam di bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan. Yang berkaitan dengan perkawinan terdapat dalam buku I yang terdiri dari 19 bab dan 170 pasal (Pasal 1 sampai dengan pasal 170).

4.     Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

TUJUAN PERKAWINAN

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.[5] Dalam masyarakat adat khususnya yang bersifat kekerabatan tujuan perkawinan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan garis keturunan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan untuk mempertahankan kewarisan. 

Sedangkan tujuan perkawinan menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 3:

وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ 

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Dalam hal ini tujuan perkawinan menurut hukum Islam terdiri dari:

a.     Berbakti Kepada Allah

b.     Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi hukum bahwa antara pria dan wanita itu saling membutuhkan

c.     Mempertahankan keturunan umat manusia

d.     Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan wanita.

e.     Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia antar golongan manusia untuk menjaga keselamatan hidup.

Kelima tujuan perkawinan ini didasarkan kepada Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ 

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

HIKMAH PERKAWINAN

Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang kuat bagi kehidupan manusia karena adanya beberapa nilai yang tinggi dan beberapa tujuan utama yang baik bagi manusia, makhluk yang dimuliakan Allah. Untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan menjauhi dari ketimpangan dan penyimpangan, Allah telah membekali syari‟at dan hukum-hukum Islam agar dilaksanakan manusia dengan baik.Demikian Allah juga menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan betina begitu pula tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup berpasang-pasangan, hidup dua sejoli, hidup suami istri, membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah ada ikatan yang kokoh yang tak mungkin putus dan diputuskannya ikatan akad nikah atau ijab qabul pernikahan. [6]

Bila akad telah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dan bersedia akan membangun satu rumah tangga yang damai dan teratur, akan sehidup semati, sesakit dan sesenang, merunduk sama bungkuk, melompat sama patah, sehigga mereka menjadi satu keluarga. Mereka akan melahirkan keturunan yang sah, kemudian keturunan mereka itu akan membangun pula rumah tangga yang baru dan keluarga yang baru dan begitulah seterusnya. Islam menetapkan bahwa untuk membangun rumah tangga yang damai dan teratur itu haruslah dengan pernikahan dan akad nikah yang sah, serta diketahui sekurang-kurangnya dua orang saksi, bahkan dianjurkan supaya diumumkan tetangga dan karib kerabat dengan mengadakan pesta pernikahan (walimahan).[7] Hikmah pernikahan pada semua makhluk adalah sebagai penjelasan bahwa Allah itu benar (haq) dan sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, itulah hikmah yang paling agung. [8]

Adapun hikmah langsung yang akan dirasakan oleh orang-orang yang menikah dan dapat dibuktikan secara ilmiah :

a.     Sehat

Nikah itu sehat, terutama dari sudut pandang kejiwaan. Sebab nikah merupakan jalan tengah antara gaya hidup yang bebas dalam menyalurkan hasrat seksual (free sex) dan gaya hidup yang menutup diri dan menganggap seks sebagai sesuatu yang kotor.

b.     Motifator Kerja Keras

Tidak sedikit para pemuda yang semula hidupnya santai dan malas-malasan serta berlaku boros Karen merasa tidak punya beban dan tanggung jawab, ketika akan dan sesudah menikah menjadi terpacu untuk bekerja keras karena dituntut oleh rasa tanggung jawab sebagai calon suami dan akan menjadi kepala rumah tangga serta keinginan membahagiakan semua anggota keluarga (istri dan anak-anaknya).

c.     Bebas Fitnah

Hikmah pernikahan yang tidak kalah penting dilihat dari aspek kehidupan bermasyarakat ialah terbebasnya seseorang yang sudah menikah dari fitnah. Fitnah disini berarti fitnah sebagai ujian buat diri sendiri dari segala gejolak nafsu yang membara atau fitnah yang mempunyai makna tuduhan jelek yang datang dari orang lain.[9]

KESIMPULAN

1.     Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2.     Dasar hukum perkawinan terdapat dalam Al-Quran dan hadits serta peraturan perundang-undangan.

3.     Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, mempertahankan dan meneruskan garis keturunan,

4.     Diantara hikmah yang dari perkawinana antara lain sehat, motifator kerja keras, bebas fitnah serta sebagai penjelasan bahwa Allah itu benar (haq) dan sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, itulah hikmah yang paling agung.



[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat. (Jakarta: Prenada Media Group, 2003) hal. 8 

[2] Ibid., hal. 10.

[3] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

[4] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2004), hal. 38.

[5] Armaidi Tanjung, Free Sex No Nikah Yes, (Jakarta : Amzah, 2007), hal. 142.

[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. Ke-1, hal. 39.

[7] Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), cet. Ke-5, hal. 31.

[8] Mahmud Al-Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), cet. Ke-1, hal. 6.

[9] Ending Mintarja, Menikahlah Denganku Atas Nama Cinta Ilahi, (Jakarta: Qultum Media, 2005), hal. 82-84.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

ringkasan Nahwu

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA