PANDANGAN ULAMA TENTANG PEMIMPIN NONMUSLIM DALAM HUKUM ISLAM
PENDAHULUAN
Dalam
tradisi intelektual Islam, ada tiga persoalan yang seringkali dibicarakan
terkait kepemimpinan politik dalam negara. Pertama, soal pemimpin yang kurang
layak (imamat al-mafdul).
Kedua, soal pemimpin yang suka maksiat (imamat al-fasiq). Dan ketiga, soal
pemimpin non-Muslim (imamat al-kafir). Persoalan-persoalan kepemimpinan
politik ini muncul karena banyak kasus pemimpin dalam sejarah Islam, dengan
beberapa pengecualian, umumnya kurang layak (mafdul) daripada yang layak (fadil), yang fasik daripada yang adil. Artinya, memang
secara historis acapkali terjadi kesenjangan antara “apa yang semestinya” (das
sollen) dan “apa nyatanya” (das sein). Kecuali persoalan yang
pertama dan kedua, persoalan pemimpin non-Muslim (imamat al-kafir) dalam
fiqh klasik jarang dibicarakan, karena umumnya mereka menganggapnya tidak
boleh, baik secara normatif maupun historis. Secara normatif, mereka merujuk ke
sejumlah ayat Alquran yang melarang menjadikan mereka sebagai wali (pemimpin).
Secara historis, mereka merujuk kepada realitas bahwa Nabi Muhammad tidak
pernah menunjuk non-Muslim (walaupun mereka bagian dari warga negara Madinah)
sebagai gubernur (‘amil dan wali) ataupun panglima (amir).
Demikian juga para khalifah sejak Abu Bakr sampai kekhalifahan ‘Uthmani, mereka
tidak pernah mengangkat non-Muslim sebagai gubernur atau panglima militer.
Tetapi dalam
perkembangannya, diskursus kepemimpinan non-Muslim menjadi pembicaraan dan
wacana kontroversial, baik dalam konsep maupun penerapannya terutama di
negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Karenanya tidak mengherankan jika
dalam persoalan ini, negara mayoritas Muslim yang satu menerapkan aturan yang
berbeda dari negara yang lain. Selama ini ada dua kelompok yang berbeda
pandangan dalam masalah ini. Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa non-Muslim
tidak boleh menjadi pemimpin, dan kedua, kelompok yang membolehkan non-Muslim
menjadi pemimpin. Kelompok yang pertama merupakan pendapat yang paling banyak
dianut dan diikuti oleh umat Islam dewasa ini.
LATAR BELAKANG KONTROVERSI
Sebelum menjelaskan
kontroversi tentang boleh tidaknya kaum Muslim menjadikan non-Muslim sebagai
pemimpin, berikut akan disampaikan terlebih dahulu ayat-ayat yang menjadi
landasan persoalan kepemimpinan non-Muslim yang menjadi akar kontroversi.
لَّا يَتَّخِذِ
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلۡكَٰفِرِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ وَمَن يَفۡعَلۡ
ذَٰلِكَ فَلَيۡسَ مِنَ ٱللَّهِ فِي شَيۡءٍ إِلَّآ أَن تَتَّقُواْ مِنۡهُمۡ تُقَىٰةٗۗ
وَيُحَذِّرُكُمُ ٱللَّهُ نَفۡسَهُۥۗ وَإِلَى ٱللَّهِ ٱلۡمَصِيرُ
28. Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali(mu). (Ali Imran)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡكَٰفِرِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۚ
أَتُرِيدُونَ أَن تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ عَلَيۡكُمۡ سُلۡطَٰنٗا مُّبِينًا
144. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah
kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? (al Nisa)
۞يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ
بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
51. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (al
Maidah)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ دِينَكُمۡ هُزُوٗا وَلَعِبٗا
مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ وَٱلۡكُفَّارَ أَوۡلِيَآءَۚ
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
57. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi
pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan,
(yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan
orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika
kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (al Maidah)
Di samping ayat-ayat di atas, masih ada sejumlah ayat lain yang sering digunakan untuk menolak pemimpin non-Muslim, seperti QS. al-Ma’idah [5]:51, QS. al-Mumtahanah [60]:1; QS. Ali ‘Imran [3]:100, 118; QS. al-Mujadilah [58]:22; QS. al-Nisa’ [4]:89 dan 139, 141; QS. al-Anfal [8]:73, dan QS. al-Tawbah [9]:8 dan 23.
MAKNA KATA AWLIYA’ DALAM KONTEKS
KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM
Pada
masa perkembangan dakwah Islam di Madinah, terdapat sedikitnya tiga kekuatan
yang saling berhadapan, yaitu: kekuatan orang beriman (kaum muslimin) dari
kalangan muhajirin dan Anshar, kekuatan ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani) dan
kekuatan kafir Quraisy di Mekah. Di dalam kekuatan kaum muslimin sendiri,
terdapat kekuatan yang tidak sepenuhnya mendukung perkembangan dakwah Islam,
meskipun secara lahiriah pendukung kekuatan ini menyatakan diri sebagai orang
beriman. Mereka inilah yang disebut sebagai orang-orang munafiq.
Dalam
perjalanannya, dua kekuatan terakhir (kekuatan ahl al-kitab dan kekuatan kafir
Quraisy) senantiasa menghambat perkembangan dakwah Islam. Mereka tidak rela,
agama Islam dan kaum muslim mendapatkan kejayaan, kemuliaan dan menjadi
kekuatan baru yang dominan. Maka, dalam sejarah banyak didapati upaya-upaya
mereka dalam menghambat perkembangan dakwah, hingga menyebabkan terjadinya
peperangan-peperangan, pengkhianatan dan tipu muslihat yang melibatkan ketiga
kekuatan tersebut. Keadaan tersebut diperparah dengan munculnya orang-orang
munafiq dalam barisan kekuatan kaum muslimin, dimana secara diam-diam mereka
mengadakan persekongkolan, perjanjian kerjasama dengan musuh, untuk melemahkan
kekuatan kaum muslimin. Dengan demikian, kaum muslimin menghadapi musuh-musuh
dari luar maupun dari dalam barisan mereka.
Di
sisi lain, masyarakat Arab saat itu hidup dalam budaya kesukuan. Kelompok
beberapa keluarga membentuk kabilah (klan). Beberapa kelompok kabilah membentuk
suku dan dipimpin oleh seorang syekh. Mereka sangat menekankan hubungan
kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan
bagi suatu kabilah atau suku. Bila salah satu suku atau kabilah diserang atau
diganggu, maka kabilah atau suku yang lain segera bangkit membelanya, baik yang
dibela tersebut sebagai pihak yang salah ataupun benar. Dalam budaya seperti
itu, kelompok kabilah atau suku yang besar, yang memiliki keunggulan kekuatan
atau ekonomi menjadi dominan dan berpengaruh. Oleh karenanya, masing-masing
kelompok kabilah atau suku kemudian menjalin perjanjian persekutuan atau
kerjasama untuk saling bela membela satu sama lainnya saat terjadi perang atau
dianiaya. Hal ini diantaranya sebagai upaya menjamin keselamatan anggota
kabilah atau suku tersebut. Maka inilah yang menjadikan mereka sebagai
masyarakat yang memegang teguh janji. Bila suatu kabilah atau suku sudah
berjanji memberikan perlindungan atas keselamatan seseorang, maka seluruh
anggota kabilah atau suku akan membelanya.
Dalam
konteks seperti di ataslah, ayat-ayat yang menyinggung masalah muwalah dengan
orang-orang kafir atau nonmuslim diturunkan. Setidaknya didapati lima ayat
yang dapat dikaitkan dengan konteks kepemimpinan non muslim, yakni: QS.
Ali-‘Imran [3]: 28, QS. al-Nisa’[4]: 144, QS. al-Maidah [5]: 51, 57 dan QS.
al-Mumtaḥanah [60]: 1.
- QS. Ali-‘Imran [3]: 28.
Sebab turunnya ayat ini, sebagaimana dijelaskan Wahbah Zuḥailiy adalah
berkenaan dengan orang-orang munafik yakni ‘Abdullah bin Ubay bin Salul dan
teman-temannya. Mereka bersahabat erat dengan orang Yahudi dan orang-orang
musyrik dan mengirimkan kabar-kabar rahasia kaum muslimin, dengan harapan
mereka dapat mengalahkan Rasulullah saw. Maka turunlah ayat ini, yang melarang
orang beriman berprilaku seperti orang-orang munafik tersebut.
Adapun menurut riwayat dari ibnu ‘Abbas, ayat ini turun berkenaan dengan
tindakan ‘Ubadah bin Ṣamit al-Anshariy (seorang yang pernah ikut perang Badar
dan bai’at Aqabah), ketika terjadi perang Ahzab. ‘Ubadah pernah mengikat
perjanjian untuk saling membantu dengan lima ratus orang Yahudi, maka ketika
perang Ahzab, ‘Ubadah berinisiatif mengusulkan kepada Rasulullah untuk minta
bantuan mereka dalam menghadapi musuh. Maka Allah menurunkan ayat ini berkenaan
dengan peristiwa tersebut.
Pada ayat-ayat sebelum ayat 28 dalam surat ini, diantaranya berisi
uraian tentang kekuasaan Allah dan pengaturan-Nya terhadap alam raya dan
manusia. Juga mengecam orang-orang Yahudi yang menolak menjadikan kitab suci
sebagai rujukan hukum (ayat 23) dan seterusnya. Begitu hebatnya kuasa Allah dan
amat lemahnya manusia di hadapan Allah, serta buruknya perilaku orang-orang
Yahudi tersebut, maka sangat tidak pantas mengangkat orang-orang seperti itu
sebagai orang yang diserahi wewenang mengurus urusan kaum muslimin.
Oleh karenanya, dalam ayat ini Allah melarang orang beriman untuk
menjadikan orang kafir sebagai teman yang erat dan meminta pertolongan mereka.
Dengan menjadikan mereka sebagai penolong, maka itu berarti orang-orang mukmin
dalam keadaan lemah, padahal Allah Swt. enggan melihat hamba-Nya yang beriman
dalam keadaan lemah. Bila demikian halnya, meskipun ayat ini turun dalam
konteks melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani
sebagai pemimpin yang diberi wewenang menangani urusan orang-orang beriman,
namun larangan tersebut dapat juga mencakup orang yang dinamai muslim yang
melakukan aktivitas bertentangan dengan aturan agama Islam. Sebab larangan ini
adalah karena meskipun orang-orang kafir tersebut secara lahiriah bersahabat,
menolong dan bersedia membela kaum muslimin, namun hakikatnya mereka menyimpan
tipu muslihat kepada kaum muslimin. Di tambah lagi pertemanan yang erat
tersebut membuat (orang-orang munafik) mudah menyebarkan rahasia-rahasia
Rasulullah dan kaum muslimin dalam urusan dakwah, yang itu bisa membahayakan
agama Islam dan kaum muslimin sendiri.
Namun demikian, ayat ini memberikan pengecualian bagi orang beriman yang
berada di negara musuh, dalam keadaan takut akan kekuatan musuh. Maka, keadaan yang
demikian memberikan kelonggaran kepada orang beriman tersebut untuk berpura-pura
menampakkan keakraban atau menerima kebaikan-kebaikan musuh, karena ia dalam
keadaan terpaksa, sementara hatinya tetap berpegang teguh pada keimanan, demi menolak
bahaya bagi diri dan agamanya. Hal ini sekaligus mengisyaratkan tentang bolehnya
bermu’amalah dengan non-muslim dengan mu’amalah yang baik, saling menguntungkan
dan tidak memberikan bahaya bagi diri orang beriman maupun agama Islam.
Apabila dilihat asbab al-nuzul yang pertama, dalam ayat ini yang
dimaksud menjadikan awliya’ adalah menjalin hubungan akrab dengan
orang-orang Yahudi, sehingga wali itu dijadikan tempat meminta nasihat
dan tempat bercerita, termasuk hal-hal yang sangat pribadi. Maka kata awliya’
dalam ayat ini diartikan dengan teman akrab/erat.
Sementara apabila dilihat dari asbab al-nuzul riwayat kedua (ibn
‘Abbas), maka larangan menjadikan mereka waliy maksudnya adalah meminta
pertolongan atau bantuan kepada orang Yahudi dalam suatu urusan kaum muslimin,
dalam hal ini bersama-sama memerangi musuh. Dipandang dari satu sisi, meminta
bantuan atau pertolongan kepada musuh untuk menyelesaikan suatu urusan kaum
muslimin, sama halnya dengan memberikan wewenang menangani urusan kaum
muslimin, sehingga musuh tersebut bisa jadi memanfaatkan wewenang tersebut
untuk kepentingan mereka. Dari sini, kata awliya’ dapat diartikan dengan
pemimpin. Namun di sisi lain, apa yang diperbuat sahabat ‘Ubadah
(mengusulkan kepada Nabi saw. meminta pertolongan orang Yahudi), belum sampai
pada semangat bergantung yang sangat terhadap orang-orang Yahudi dan
merendahkan kekuatan orang beriman. Oleh karena kata awliya’ dalam ayat
ini lebih tepat diartikan dengan penolong.
-
QS.
al-Nisa’[4]: 144
Ayat ini pun melarang orang beriman untuk tidak berprilaku seperti
orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang tidak memiliki pendirian,
kadang-kadang bersatu dengan orang beriman dan kadang-kadang bersatu dengan
orang-orang kafir. Orang-orang munafik tersebut menjadikan orang-orang kafir
sebagai teman-teman penolong serta pendukung mereka, dan tempat mereka
menyimpan rahasia, dengan meninggalkan persahabatan dan pembelaan orang-orang
beriman. Atau tegasnya, lebih berpihak dan condong kepada orang-orang kafir
dibandingkan kepada orang-orang beriman.
Konteks ayat ini bila ayat ini dihubungkan dengan ayat 141 dalam surat
yang sama adalah permusuhan antara orang-orang beriman dengan orang-orang
kafir. Di tengah permusuhan keduanya inilah, orang-orang munafik mengambil
bagian. Di satu sisi mereka seolah-olah berpihak kepada orang-orang beriman,
dan di sisi lain mereka juga menampakkan diri sebagai yang berpihak kepada
orang-orang kafir. Jikalau salah satu pihak dari orang-orang beriman atau orang-orang
kafir memperoleh kemenangan, maka orang-orang munafik akan menyatakan bahwa
mereka telah turut andil dalam kemenangan tersebut. Adapun andil mereka dalam
kemenangan orang-orang kafir ialah dengan membuka rahasia-rahasia orang-orang
mukmin dan menyampaikan hal ihwal mereka kepada orang-orang kafir atau kalau
mereka berperang di pihak orang-orang mukmin mereka berperang tidak dengan
sepenuh hati.
Dengan melihat konteksnya, maka kata awliya’ pada ayat ini lebih
tepat diartikan dengan teman-teman akrab atau penolong. Sebagaimana juga
ditegaskan oleh Rasyīd Ridha, setelah mengulas maksud ayat ini, bahwa yang
dimaksud awliya’ di ayat ini adalah pertolongan, yakni meminta pertolongan
Yahudi yang sedang bermusuhan dengan Nabi saw. dan juga sebagaimana
dijelaskan al-Maraghiy, bahwa yang dimaksud awliya’ di sini adalah
pemberian pertolongan, baik dengan perkataan maupun perbuatan yang mengandung
bahaya bagi kaum muslimin.
-
QS. al-Maidah
[5]: 51
Ayat ini turun berkaitan keadaan dua orang, yaitu: pertama, ‘Ubadah
bin Ṣamit yang melepaskan diri dari ikatan perjanjian membela orang Yahudi dan
tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kedua, ‘Abdullah bin Ubay, tokoh
munafik yang memiliki hubungan erat dengan orang Yahudi. Dia berkata; “(saya
tidak mau melepaskan diri dari sumpah setia dengan Yahudi), karena sesungguhnya
saya takut akan timbul bencana yang memerlukan pertolongan mereka.”
Ayat ini pun turun berkenaan sikap munafik yang bersahabat setia dengan
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Memahami ayat di atas, sebenarnya tidak bisa
dilepaskan dengan ayat berikutnya (ayat 52). Pada ayat 52, dinyatakan bahwa
orang-orang munafik saat menyaksikan pertentangan yang terjadi antara orang
beriman dengan orang-orang Yahudi, mereka menyangka orang-orang Yahudi dapat
mengalahkan orang beriman. Maka orang-orang munafiq segera mendekati dan
berbaik hati dengan orang-orang Yahudi, dengan harapan diri mereka terhindar
dari bencana yang timbul akibat pertentangan tersebut.
Maka ayat ini melarang seluruh orang-orang beriman untuk menjadikan
orangorang Yahudi dan Nasrani sebagai para penolongnya. Juga tidak boleh
mengadakan janji setia dengan mereka untuk saling menolong, dengan meninggalkan
orang-orang beriman lainnya. Siapa pun yang yang menjadikan mereka sebagai
penolong, pembela dengan mengesampingkan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang
mukmin lainnya, maka dia termasuk dalam golongan yang memusuhi tersebut dan
berarti pula dia sepaham dan seagama dengannya sebab dia ridha dengan terhadap
apa yang telah diperbuat musuh tersebut
Larangan menjadikan non-muslim sebagai awliya’ yang tersebut
dalam ayat di atas, dikemukakan dengan beberapa pengukuhan, yakni: pertama,
terdapat larangan tegas yang menyatakan, janganlah kamu menjadikan orang-orang
Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin. Kedua, penegasan bahwa sebagian
mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Ketiga, ancaman bagi mereka
yang mengangkat mereka sebagai pemimpin, bahwa ia termasuk golongan mereka
serta merupakan orang yang zalim.
Berdasarkan keadaan seperti yang dijelaskan di atas, sikap orang-orang munafiq tersebut ada semangat bergantung yang sangat terhadap orang-orang Yahudi, sehingga menjadikan diri mereka seolah-olah dibawah kuasa orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi itu dianggap sebagai orang-orang kuat dan menakutkan, sehingga karenanya orang-orang munafiq berusaha untuk berkawan dengan mereka dan mengangkatnya sebagai kawan pelindung untuk memperkuat barisannya, dengan suatu harapan akan sangat berguna di hari esok. Sikap seperti itu menunjukkan adanya kasih sayang dan kecintaan yang sangat, yang menjadikan seseorang tidak dapat tidak, kecuali tertarik kepadanya, memenuhi kehendaknya dan mengikuti perintahnya. Hal ini di tunjukkan oleh ucapan mereka “kami takut mendapat bencana” sebagaimana terekam dalam ayat 52 surat ini. Oleh karenanya, kata awliya’ dalam ayat ini lebih tepat diartikan sekutu atau pemimpin. Pemimpin yang dimaksud di sini adalah dalam pengertian luas yakni orang yang memiliki wewenang guna menyelesaikan urusan orang lain, yang tidak boleh tidak dipenuhi kehendak dan perintahnya.
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG KEPEMIMPINAN
NON-MUSLIM
Kata أَوْلِيَاءَ (auliya`) adalah
bentuk plural dari ولي (waliy) yang bertaut
erat dengan konsep wala’ atau muwalah yang mengandung dua arti: pertama,
pertemanan dan aliansi; kedua proteksi atau patronase. Dalam kamus lisanul
arab, kata waliy berarti shiddiq (teman) dan an-nashir (penolong).
Kemudian dalam terjemahan the holy qur’an yang ditulis oleh Abdullah Yusuf
Ali, kata auliya diartikan friends (teman). Kata awliyaʾ atau
wali-wali itu berarti dua hal: yaitu, memberikan dukungan dan pembelaan jika
lafaznya dibaca walayah (dengan fathah), dan menyerahkan mandat atau memberi
kekuasaan jika lafaznya dibaca wilayah (dengan kasrah). Maka secara politis dan
geografis, muwalatul kuffar tidak hanya berarti menjalin kerjasama atau
beraliansi, tetapi juga menyerahkan “wilayah” kita kepada orang kafir.
1. Ulama Ulama yang melarang Pemimpin Non
Muslim
-
Menurut
Ibnu Katsir, “ayat 28 surat Ali Imran tersebut merupakan larangan terhadap
hambanya yang beriman menjadikan pemimpin dengan meninggalkan orang orang yang
beriman”. Karena menjadikan mereka pemimpin itu merupakan wujud dari cinta
kasih umat islam kepada Non Muslim dan bagi siapa yang melakukan ini azab yang
besar akan menimpa mereka. Pernyataan yang sama juga dilontarkan oleh Ibnu
Katsir dan Ibnu Arabi.
-
Menurut
ibnu Katsir dan Ibnu Arabi. “ayat ini bukan hanya melarang mereka sebagai
pemimpin saja akan tetapi menjadikan mereka teman akrab juga bagian dari
larangan tersebut”.
-
Menurut
As Shabuni dalam tafsirnya orang mukmin adalah orang yang hatinya bersatu padu
perasaan cinta dengan Allah. Tentu segala sesuatu yang dibenci Allah merupakan
keharusan juga dibenci oleh orang mukmin tersebut. Tidak masuk akal orang yang
bersatu padu perasaan cintanya kepada Allah kemudian memadukan perasaan
cintanya juga kepada seseorang yang dibenci Allah. Jadi tidak ada jalinan
keakraban cinta kasih kepada orang orang kafir. Bahkan Al Shabuni mempertegas
lagi pernyataannya terhadap ayat 28 surat Ali Imran tersebut bahwa tidak hanya
menjadikan Non Muslim sebagai pemimpin tertinggi saja larangan itu berlaku,
akan tetapi dalam jabatan jabatan kenegaraan yang lainnya juga tidak
diperbolehkan. Bahkan yang paling terkecil orang non muslim juga tidak boleh
dihormati di dalam sebuah majlis. Semisal berdiri untuk menghormatinya. Dengan
dalih bahwa orang Non Muslim itu adalah orang orang yang najis dimata Allah
dengan mengutip surat At taubah ayat 28.
-
Menurut “Al
Zamakhsyari adalah sangat masuk akal mengingat orang orang kafir adalah musuh
orang islam, dan pada prinsipnya tidak akan pernah mungkin bagi seorang
mengangkat musuhnya menjadi pemimpinnya”.
-
Bila
orang islam mengangkat musuhnya sebagai pemimpin maka menurut Ali al Sayis,
berarti umat Islam seolah memandang jalan yang ditempuh oleh orang orang kafir
itu adalah jalan yang baik. Hal ini tidak boleh terjadi, sebab dengan meridhoi
kekafiran maka orang tersebut telah kafir.
-
Pernyataan
yang sama juga disampaikan oleh al Zuhaili, “karena hal tersebut menunjukkan
kesan umat Islam memandang baik jalan kekafiran yang ditempuh kaum Non Muslim.
Padahal merestui kekafiran itu berarti umat islam juga telah kafir”. “Akan
tetapi menurut al Zuhaili larangan ini tidak mengapa kalau hanya dalam konteks
duniawi semata tanpa merestui kekafiran mereka dan yang dilarang juga
menjadikan mereka pemimpin dalam jabatan jabatan yang strategis, mulia dan
terhormat (semisal kepala negara) kepada Non Muslim”. Pernyataan di atas
diperkuat oleh al Zuhaili dengan menunjuk kebijakan Khalifah Umar ibn Khattab
yang pernah mengangkat Non Muslim asal Romawi dalam menangani masalah
administrasi. Kebijakan ini diikuti oleh khalifah sesudahnya. Para Khalifah
Bani Abbas sering melibatkan orang orang Yahudi dan Nasrani dalam masalah
kenegaraan. Duta duta besar Dinasti Usmaniyah juga banyak dari kalangan
Nasrani”.
-
Ibnu
Arabi : umat islam tidak hanya dilarang menjadikan Non Muslim sebagai pemimpin
negara akan tetapi juga dilarang dalam menyerahkan jabatan publik lainnya. Ibn
Arabi juga memperkuat argumennya dengan mengutip kepada kebijakan Umar bin
Khattab sewaktu menerima informasi dari Abu Musa al Asyari dari Yaman yang
mengangkat seorang kafir Dzimmi sebagai sekretaris pribadinya. Umar mengirimkan
surat memerintahkan surat memerintahkan Abu Musa untuk memecat sekretarinya
yang Non Muslim itu karena disamping bertentangan dengan ayat ayat juga Non
Muslim menurut Umar tidak dapat menerima dengan tulus saran saran orang lain
dan tidak dapat dipercaya.
- Abuya Hamka menyatakan bahwa ayat ini sebuah teguran bagi kaum muslimin yang menjadikan orang kafir yang tidak seiman dengan kaum muslim sebagai pemimpin, teman dekat, sahabat dekat bahkan pelindung, karena apabila itu terjadi maka akibatnya orang mukmin akan dibawa kepada jalan yang sesat, jahat, kepada jalan setan, menyuruh berbuat buruk dan mencegah berbuat baik.
2. Ulama Ulama yang memperbolehkan Pemimpin
Non Muslim
Diantara ulama yang memperbolehkan pemimpin Non Muslim sebagai pemimpin
diantara orang orang Muslim diantaranya adalah: “Thariq Al Bishri, Muhammad
Abduh, Asghar Ali Enginer, Abdullah Ahmed al naim, dan Muhammad Thoha. Mereka
merupakan seoarang Intelektual muslim modern yang memiliki ide terobosan baru
dalam melihat pesan pesan al Qur‟an”. Bahkan mereka memiliki metodologi baru
dalam menafsirkan al Qur‟an yang berbeda dari ulama tafsir sebelumnya.
-
Asghar
Ali Enginer menggagas dua hal. Pertama, (leberation theology),
menurutnya, jika agama dianggap berdiri sejalan dengan perkembangan, revolusi, kemajuan
dan perubahan. Maka agama harus dilepaskan dari aspek aspek teologi yang
bersifat filosofis. Kedua, yang pada intinya menurut Asghar, keadilan menjadi
sesuatau yang paling penting dalam kehiduapan manusia. Asghar menegaskan dalam
memilih kepala negara supaya tidak menjadikan tolak ukurnya adalah keyakinan
seseorang, akan tetapi kecakapan, potensi dalam memerintah. Seseorang pemimpin
yang menegakkan keadilan memberantas kezaliman dan sewenang wenang.
-
Muhammad
Abduh seorang ulama terkemuka juga memperbolehkan Non Muslim untuk menjadi
Auliya‟ atau pemimpin bagi orang orang muslim. Dalam hal ini Abduh menerima
pemimpin dari Non Muslim yang tidak memusuhi umat Islam atau orang orang Muslim.
Sebab menurut Abduh yang dilarang itu hanyalah orang Non Muslim yang memusuhi
orang orang Islam. Larangan itu menurut Abduh berlaku kepada Non Muslim terkait
dengan pengusiran Rasul Allah dan Kaum Mukmin dari tanah airnya lantaran mereka
beriman dengan Allah”. “Setiap Non Muslim yang menyimpan rasa permusuhan dan
bertindak sewenang wenang terhadap orang orang muslim maka keharaman memilih
mereka sebagai pemimpin adalah sesuatu yang qot’i” (absolut), atau harga mati
yang tidak dapat ditawar lagi.
Abduh juga menawarkan pendekatan sosio historis terkait sebab turunnya
ayat ayat tersebut. pertama, larangan tersebut hanya berlaku jikalau Non
Muslim menzalimi orang Islam. Kedua, Abduh melihat bahwa larangan
tersebut tidak relevan lagi pada masa sekarang lagi pada masa sekarang karena
Non Muslim juga dilindungi hak haknya sebagaimana pernah dilakukan juga oleh
Nabi ketika memimpin kota madinah. Ketiga, ada dalil dalil al Qur‟an
yang mendukung untuk memberikan keadilan kepada orang orang Non Muslim.
-
Thaha mengatakan
teks Al Qur‟an yang menekankan solidaritas umat Islam secara eksklusif dalam
periode Madinah dimaksudkan untuk memberikan (panduan sementara) untuk orang
Muslim yang sedang menumbuhkan kepercayaan psikologis ketika berhadapan dengan
serangan Non Muslim. Kebalikan adri ayat ayat Madinah adalah ayat ayat Mekah
yang berisi pesan fundamental dan abadi yang mengajarkan solidaritas seluruh
umat manusia.
-
Na‟im
mengomentari pandangan fiqih klasik yang menolak pemimpin Non Muslim, “Na‟im
mengatakan semua umat islam awal benar menafsirkan al Qur‟an dan sunnah dengan
menerima diskriminasi masa pembentukan syariah belum ada konsepsi hak hak asasi
manusia universal didunia ini”. Sejak abad ke-7 hingga abad ke-20, kata Na‟im
adalah suatu hal yang normal di seluruh dunia untuk menentukan status dan hak
hak seorang berdasarkan agama. Ketika itu pandangan fiqih klasik yang menolak
pemimpin Non Muslim, dapat dibenarkan oleh konteks historisnya. Akan tetapi ini
tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa saat ini hal tersebut dapat
dibenarkan. Mengingat pendapat yang menolak pemimpin Non Muslim itu dibenarkan
oleh konteks historis yang ada di masa lalu, maka selesailah sudah pembenaran
itu sekarang, karena konteks historis sekarang sudah berbeda dengan konteks
historis masa dulu.
-
KH.
Abdurrahman Wahid memiliki pandangan yang sama. Baginya non-Muslim adalah warga
negara yang memiliki hak-hak penuh, termasuk hak untuk menjadi kepala negara di
negara Islam. Ia tidak setuju penggunaan QS. Ali Imrān: 38 dijadikan sebagai
alasan untuk menolak hak non-Muslim menjadi kepala negara. alasannya karena
kata yang terdapat dalam ayat itu adalah auliya’ yang berarti teman atau
pelindung , bukan umara’ yang berarti penguasa.
-
HarifuddinCawidu,
mengutip pendapat ath-Thabataba‟i dan Muhammad Asad, bahwa konsep wali dalam
ayat ini lebih dekat kepada prinsip-prinsip moral dan bukan prinsip-prinsip
politik. Maksudnya adalah seorang Muslim tidak layak untuk menjadikan
non-Muslim sebagai acuan moral dan prinsip hidup sebab Islam memiliki konsep
dan tradisi sendiri dalam soal moral dan nilai-nilai kehidupan.
-
M.
Quraish Shihab berpendapat bahwa pelarangan mengangkat non-Muslim menjadi
pemimpin suatu negara adalah pelarangan yang bersyarat. Sebagian orang bahkan
ulama, tidak menyadari bahwa kecaman dan sifat-sifat buruk yang disandangkan
kepada non-Muslim hanya tertuju kepada sebagian atau kebanyakan mereka sehingga
menduganya bersifat mutlak, yakni berlaku bagi semua non-Muslim. Padahal, sikap
pro atau kontra yang dapat terjadi pada bangsa-bangsa dan pemeluk-pemeluk agama,
sebagaimana terlihat kemudian pada orang-orang yahudi.
Di masa awal Islam, orang-orang yahudi begitu membenci orang-orang Mukmin. Namun, mereka berbalik sikap dan membantu kaum Muslimin dalam beberapa peperangan. seperti di Andalusia, atau seperti halnya orang-orang Mesir yang membantu kaum Muslimin berperang melawan Romawi. Maka dengan begitu, tidak semua non-Muslim mempunyai ciri-ciri yang telah dikecam oleh al-Qur‟an. diantara mereka ada yang bersifat netral dengan Muslim, bahkan ada diantara mereka yang di puji oleh al-Qur‟an, karena telah membantu umat Muslim. Artinya, non-Muslim yang mempunyai sifat buruk, yang dikecam oleh al-Qur‟an ini, dilarang untuk mengangkatnya menjadi suatu pejabat negara. Sebaliknya, non-Muslim yang tidak bersifat buruk yang dikecam al-Qur‟an ini, dibolehkan mengangkatnya menjadi salah satu pejabat Negara. Negara Indonesia adalah negara bangsa (nation state), yang tidak mengambil syari’ah Islam sebagai dasar Negara. Menurut M. Quraish Shihab mengangkat pemimpin dari kalangan non-Muslim di negara Indonesia ini diperbolehkan selama membawa manfaat, tetapi hendaknya lebih memprioritaskan orang-orang yang beriman.
FATWA TENTANG MEMILIH PEMIMPIN NON-MUSLIM
Terkait dengan
memilih pemimpin non-Muslim NU melalui Bahtsul Masa`il mengeluarkan
fatwa pada Muktamar NU XXX yang dilaksanakan di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur pada
tanggal 21-27 November 1999 tentang Hukum Memilih Pejabat dari Kalangan
Non-Muslim adalah Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada
orang non-Islam, kecuali dalam keadaan dharurat, yaitu:
a) Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam
secara langsung atau tidak langsung karena factor kemampuan,
b) Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani,
tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat,
c) Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non- Islam itu nyata membawa
manfaat.
Sedangkan
Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam sidangnya pada hari
Jum’at, 12 Zulkaidah 1430 H / 30 Oktober 2009 seputar Memilih Partai Politik
dan Calon Legislatif butir 3 memberikan syarat bahwa calon pemimpin yang harus
dipilih adalah Islam, dengan mengutip Al Quran Surah al Maidah ayat 51.
Sementera itu, MUI
dalam Keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Ketiga Tahun
2009 tentang Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum.
a) Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin
atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama
sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
b) Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah
dan imarah dalam kehidupan bersama.
c) Imamah dan Imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan
ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
d) Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq),
terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunya
kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya
adalah wajib.
e) Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana
disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada
calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
KESIMPULAN
1. Kontroversi tentang boleh tidaknya kaum Muslim menjadikan non-Muslim
sebagai pemimpin adalah berdasarkan perbedaan pemahaman dalam menafsirkan
ayat-ayat larangan menjadikan non-Muslim sebagai walî. Perbedaan
pendapat tersebut disebabkan perbedaan persepsi dalam memahami teks-teks
tentang wali atau awliya’ yang disebutkan dalam al-Qur’an.
2. Kelompok pertama berangkat dari paradigma bahwa ayat-ayat tersebut
berisi larangan yang jelas dan tegas, dan berlaku abadi sampai saat ini. Mereka
tidak mempertimbangan realitas historis yang ada saat wahyu diturunkan.
Sedangkan kelompok kedua berangkat dari paradigma bahwa larangan tersebut
bersifat historis yang terkait dengan konteks sosial yang ada ketika itu.
DAFTAR BACAAN
-
Dede
Rodin, Kepemimpinan Non-Muslim Dalam Perspektif Alquran, Mutawâtir: Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadis, Volume 7, Nomor 1, Juni 2017.
-
Fatimah
Askan, Kepemimpinan Non-Muslim Dalam Wacana Tafsir (Studi Analisis Makna
Kata Awliyā’ Dalam Al-Qur’an), Al-Fanar: Jurnal Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir,
Volume 2, Nomor 1, 2019.
-
Mudrik Al Farizi, Pemimpin Non-Muslim Dalam Pandangan Islam.
-
Sippah
Chotban, S. Ag., Mh., Hukum Memilih
Pemimpin Non-Muslim Dalam Syariah Islam, Sangaji Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum, Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018.
- Muhammad Galib Iqbal, Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Pemimpin Non Muslim Dalam Masyarakat Islam, Skripsi.
-
Rohmat Syariffudin, Pengangkatan Pemimpin Non-Muslim Dalam
Al-Qur’an (Studi Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsīr al-Miṣbāh). Skripsi.
Komentar