Metode Fuqaha Dalam Beristidlal

 

Istidlal secara umum berarti pengambilan dalil, baik menggunakan dalil Qur`an, as-Sunnah, maupun al-Maslahah, dengan menggunakan metode yang muttafaq yakni Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, atau metode yang masih mukhtalaf yakni Mazhab as-Shahabi, al-Urf, dan Syar`u Man Qablana, istihsan, istihlah maupun sad al-dzariah. Sebenarnya dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah sudah disebutkan mengenai tata tertib urutan pemakaian beberapa sumber dan dalil hukum yang ada. Untuk itu dapat diambil pemahaman bahwa dalam mencari fiqh seorang mujtahid akan memahami nas al-Qur’an atau as-Sunnah, kemudian jika tidak ada dalam keduanya mereka akan berijtihad dengan berbagai metode yang beragam mulai dengan ijma’, qiyas yang dalam kategori adillah al-ahkam.

Al-Syatibi mengelompokkan empat macam bentuk pola pikir dalam memenuhi maksud nas yaitu pola pikir Zahiriyah (tekstualis), Batiniyat (Esoteris), Maknawiyat (kontekstualis), dan Gabungan antara tekstualitas dan kontekstualitas.

a.     Zahiriyah (tekstualis)

Menurut pola pikir kaum tekstualis maksud syara’ hanya dapat diketahui dari lafadz teks sebagaimana apa yang tersurat. Alasannya bahwa maksud syari’ah yang tertuang dalam redaksi nas menurut mereka masih misterius tanpa ada penjelasan dari nas itu sendiri. Menurut Golongan ini pengetahuan fiqih cukup didapatkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa ada dalil lain selain kedua sumber tersebut. Sehingga seandainya tidak didapatkan sebuah hukum suatu persoalan waqi’iyah dari keduanya, maka masalah waqi’iyah akan dimauqufkan. Atau ada kecenderungan permisif, yakni seandainya al-Qur’an dan al-sunah tidak menyebutkan hukum sesuatu, maka hukumnya adalah boleh (ibahah).

b.     Batiniyat (Esoteris)

Pola pikir batiniyat ini, dalam menetapkan hokum tidak seperti kaum zahiriyat yang menangkap makna lahir dari nas, bukan pula memahami makna yang terkandung dalam lafal (kontekstual), tetapi pola pikir yang dipakai oleh sekte Syiah batiniyah. Mereka hanya mempercayai imamnya yang ma’shum dan apa kata imam itulah kebenaran. Golongan ini dinamai Batiniyat karena mempunyai pendirian setiap yang lahir ada batinnya, dan setiap yang turun dalam arti wahyu ada ta’wilnya Pola pikir ini sangat liberal dan tidak menggunakan kaidah umum sebagaimana yang terdapat dalam kajian ilmu ushul al-fiqh. Seperti dalam penafsiran al-Qur’an begitu liberal dan batiniyat, tidak ada aturan apapun kecuali kehendak mereka.

Kata Kafir mereka artikan orang yang ingkar kepada ali bin Abi Thalib, Taharat diartikan mengambil sesuatu yang diizinkan oleh imam, puasa berarti tidak membuka rahasia. Segala persoalan hukum dapat ditemukan dalam ketiga sumber hukum yaitu al-qur’an, al-Sunnah dan ketiga adalah fatwa imam mereka yang ma’shum.

c.     Maknawiyat (kontekstualis)

Pola pikir kontekstual menurut al-Syatibi adalah kelompok yang melakukan qiyas dan analogi. Kelompok ini lebih memprioritaskan makna lafaz dari pada lafaz itu sendiri. Doktrin yang mereka ajukan dalam memahami nas adalah mencari makna di balik teks selagi hasil yang diperoleh tidak bertentangan dengan teks-teks tersebut, kecuali teks-teks tersebut bersifat mutlak. Sedangkan yang dimaksud mutlak lafaz adalah lafaz yang menunjukkan kesatuan makna yang utuh. Jika ada pertentangan teks nas dengan makna teks atas dasar nazariyat, kelompok kontekstualisme akan mengutamakan makna hasil penalaran dengan alasan demi tegaknya kemaslahatan, atau mencari makna baru karena bukan merupakan kewajiban bagi mujtahid untuk bertahan pada pengambilan maksud nas secara tekstual. Mereka mengembangkan paham bahwa hukum Allah itu ditegakkan karena adanya illat atau kemaslahatan bagi umat manusia.

d.     Gabungan antara tekstualitas dan kontekstualitas.

Al-Syatibi menyatakan bahwa golongan pola pikir gabungan antara tekstualis dan kontekstualis merupakan golongan yang benar-benar matang intelektualitasnya (rasikhun) dalam mengetahui maksud syara’. Ia sendiri menyatakan bahwa dirinya masuk golongan ini. Mereka menggabungkan antara yang tersurat dan tersirat dari makna teks adalah tidak bertentangan. Metode yang dikembangkan kelompok ini sama dengan kelompok kontekstualis yang salah satu wujud nyatanya adalah almutaamiqin fi al-qiyas dan zahiriyat dengan pendirian bahwa syari’ (Allah dan Rasul) di dalam mensyari’tkan hukum, apakah berhubungan dengan masalah adat atau ibadat, masing-masing mempunyai maksud yang asli (asliyat) dan maksud yang mendampinginya (taba’iyat).


1.     Bentuk-Bentuk Pembaharuan Hukum Islam

a)     Pemurnian

Pembaruan dalam bentuk pemurnian disebut juga dengan purifikasi ajaran Islam, yaitu mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan pada zaman awal Islam sebagaimana yang dipraktikkan pada masa Nabi Saw. Upaya ini dapat dilakukan dengan membersihkan keyakinan akidah dan ibadah Islam dari berbagai keyakinan dan ritual yang sesat. Dalam konteks ini, ada juga yang disebut dengan ishlah, yakni memperbaiki bagian-bagian yang patut diperbaiki. Dengan demikian, menurut Qardawi, tajdid dalam pengertian ishlah ini bukan berarti mengubah agama tetapi mengembalikannya seperti dalam era Rasulullah Saw, para sahabat dan tabi’inxxix

b)    Pembaruan

Noel J. Coulson, seperti dikutip oleh Amir Mu'alim dan Yusdani dalam buku Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, menyatakan bahwa pembaruan hukum Islam menampakkan diri dalam empat bentuk, yakni:

a.     Kodifikasi (yaitu pengelompokan hukum yang sejenis ke dalam kitab undang-undang), hukum Islam menjadi hukum perundang-undangan negara, yang disebut sebagai doktrin siyasah.

b.     Tidak terikatnya umat Islam pada hanya satu mazhab hukum tertentu, yang disebut sebagai doktrin takhayyur (seleksi) yaitu mendapat nama yang paling dominan dalam masyarakat.

c.     perkembangan hukum dalam mengantisipasi perkembangan peristiwa hukum yang baru timbul, yang disebut sebagai doktrin tatbiq (penerapan hukum terhadap peristiwa baru).

d.     Perubahan hukum dari yang lama kepada yang baru disebut doktrin tajdid (reinterpretasi)

Dengan demikian, pembaruan hukum Islam sebagai aktualisasi perintah Allah mempunyai beragam bentuk dan mencakup beragam pranata sosial. Oleh karena itu, pembaharuan hukum Islam di Indonesia terpola pada internalisasi hukum Islam ke dalam pranata-pranata sosial atau sebaliknya pranata sosial terinternalisasi ke dalam hukum Islam. Pada konteks ini tampak relasi yang saling mendukung antara hukum Islam dan pranata sosial. Dalam konteks tersebut, pembaharuan hukum Islam di Indonesia meliputi empat kategori, yaitu:

a.     Fikih

Salah satu wujud hukum Islam yang sistimatis dan rinci adalah fikih. Fikih sebagai produk pemikiran hukum Islam, baru berkembang pada masa sahabat sepeninggal Rasulullah. Muncul dan berkembangnya kajian-kajian fikih disebabkan oleh munculnya persoalan-persoalan akibat semakin meluasnya wilayah Islam dan semakin besarnya jumlah umat Islam dengan latar belakang etnis dan kultur yang berbeda.

b.     Fatwa

Fatwa adalah hasil ijtihad seorang mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Produk pemikiran hukum Islam dalam kategori fatwa, diantara cirinya adalah bersifat kasuistik, karena merupakan respon atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat dan daya paksa, dalam arti bahwa yang meminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum yang diberikan kepadanya.

c.     Putusan Hakim (Yurisprudensi)

Pembaharuan produk pemikiran hukum Islam melalui yurisprudensi dipandang perlu dan baik. Dikatakan demikian karena yuriprudensi disamping menggambarkan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, juga selaras dengan kesadaran hukum masyarakat muslim Indonesia, dengan catatan bahwa hakim Pengadilan Agama yang membuat yurisprudensi itu, selain paham benar tentang hukum Islam, juga memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum pada umumnya yang terdapat dalam masyarakat.

d.     Perundang-undangan

Peraturan perundang-undangan sebagai salah satu wujud pemikiran hukum Islam, seperti halnya dengan yurisprudensi atau putusan pengadilan ia bersifat mengikat. Bahkan daya ikatnya lebih luas dalam masyarakat, karena tidak hanya pada pihak-pihak tertentu, akan tetapi juga seluruh masyarakat yang ada di wilayah hukumnya. Unsur-unsur yang terlibat dalam dalam perumusan perundang-undangan tidak terbatas pada golongan ulama (fuqaha) saja, akan tetapi juga melibatkan unsur-unsur lain dalam masyarakat seperti cendikiawan, politisi, dan lain-lain. Masa berlakunya suatu UU berlangsung sampai adanya peraturan Perundang-undangan yang baru yang menggantikannya.

c)     Talfiq

Pembaruan hukum Islam dalam bentuk talfiq tersebut pernah dilakukan oleh pemerintah Turki dalam Hukum Perkawinan Islam. Hal ini seperti diketahui bahwa di Turki hukum perkawinan yang diberlakukan sebelumnya adalah menurut mazhab Hanafi. Namun ada bagian-bagiannya yang tidak aktual dan dirasakan sulit untuk dijalankan oleh umat Islam di Turki. Dalam rangka mengatasi masalah ini, maka penyusunan Undang-undang merujuk ke mazhab lain.

d)    Reinterpretasi-Reformulasi

Reformulasi yakni merumuskan kembali dengan cara reinterpretasi pada arti bagian-bagian fikih yang dirasakan tidak aktual lagi dalam suatu kondisi tertentu, diulang mengkaji dalilnya tertutama yang menyangkut hubungan dalil dengan rumusan hukum. Dalil yang pernah diinterpretasikan oleh mujtahid terdahulu untuk menghasilkan fikih pada masanya diulang mengkaji dan menginterpretasikannya sesuai dengan jiwa hukum dan tuntutan masyarakat waktu ini. Hal ini berlaku terhadap dalil nash Al-Qur’an yang tidak qath’i penunjukan terhadap hukum dan diturunkan dalam bentuk tidak terurai. Tentang sunnah, reinterpretasi dilakukan terhadap sunnah yang autentinsitasnya diragukan. Begitu pula terhadap masalah-masalah lain yang dirumuskan ulama dulu sebagai hasil ijtihad karena tidak ada bimbingan langsung dari Al-Qur’an dan hadis sahih.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

ringkasan Nahwu

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA