MAZHAB IMAM AL-AUZA’I: TELAAH HISTORIS DAN METODOLOGIS
A. PENDAHULUAN
Hukum
Islam merupakan hukum yang begitu dinamis, fleksibel dan lentur menyesuaikan
dengan tempat dan waktu (shalih likulli makan wa likulli zaman). Interaksi
Rasulullah dengan sahabat dalam mengatasi realitas sosiologis tidak mengalami
problematika metodologis. Hal ini disebabkan dinamika perkembangan hukum Islam
langsung bisa bertanya jawab dengan Rasulullah. Kemudian ini berubah setelah
Rasulullah wafat, sahabat banyak dihadapkan persoalan baru yang perlu mendapatkan
legalitas syari’ah. Problem solving yang mereka lakukan adalah ijtihad
melalui al-Qur’an dan al-Sunah serta tindakan normatif Rasulullah yang pernah
mereka saksikan dan alami bersamanya.
Munculnya
mazhab dalam sejarah tidak terlepas dari adanya pemikiran fikih dari masa
sahabat, tabi‘in
hingga muncul mazhab-mazhab fikih. Sebenarnya
ikhtilaf telah ada pada masa sahabat. Hal ini terjadi antara lain karena
perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nas (sunah) yang sampai
kepada mereka. Selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis
tidak sama dan perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum serta
berlainan tempat. Ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru,
banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara
yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau
bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan.
- SEKILAS TENTANG BIOGRAFI IMAM
AL-AUZA’I
Imam al-Auza’i
adalah seorang faqih terkemuka dari Syam (Suriah). Ia juga merupakan ulama
penulis hadits di Syam (Suriah) dan pendiri madzhab al-Auza’i. Ia dilahirkan di
Syam, pada tahun 88 H/707 M, dan beliau meninggal dunia pada tahun 157 H/774 M
di Beirut. Nama lengkapnya adalah Abu Amr Abdurrahman bin Amr al-Auza’i. Beliau
adalah seorang imam besar, tokoh dan pemimpin dalam bidang fiqih dan hadits,
ilmu berperang dan berbagai ilmu yang lainnya. Beliau termasuk bagian dari para
tabi’in. Beliau banyak dibicarakan oleh para tokoh dan kelompok Islam seperti
Imam Malik, ats-Tsauri, az-Zuhri. Beliau merupakan salah satu guru mereka.[1]
Latar belakang
keluarganya tidak banyak diketahui. Ahmad Amin, ahli sejarah kontemporer dari
Mesir, mengatakan bahwa al-Auza’i berasal dari dari suku al-Auza’, cabang
kabilah Hamdan (salah satu kabilah di Arab Selatan).[2]
Sihabuddin Abu Abdullah Ya’qub bin Abdullah al-Hamawi (575H/1179 M-626 H/1229
M), ahli sejarah masa klasik dari baghdad, mengatakan bahwa al-Auza’ adalah
kabilah dari Yaman yang kemudian berdomisili di suatu daerah di Syam, lalu
daerah tersebut disebut al-Auza’.[3]
Menurut Fauzi
Faidallah (ahli fiqh kontemporer, guru besar Universitas Damascus) mengatakan
bahwa dalam menetapkan hukum Islam al-Auza’I termasuk ahli fiqh yang
berorientasi pada penggunaan hadits (ahlulhadits dan ahlurra’yi)
dan menolak qiyas. Orientasi al-Auza’i ini terlihat dalam perkataannya: “Ilmu
adalah yang dibawa oleh sahabat-sahabat Muhammad SAW. Apa yang tidak dibawa
mereka bukanlah ilmu. Tetap sabarlah untuk menjalankan sunnah. Bersikaplah
seperti para sahabat. Katakanlah apa yang mereka katakana dan tinggalkan apa
yang mereka tinggalkan.[4]
Madzhab
al-Auza’i dipraktekkan di Syam selama lebih kurang 220 tahun, yaitu sampai
terdesak oleh madzhab Syafi’i. Madzhabnya pernah berkembang pula di Andalusia
(Islam Spanyol) hingga awal tahun 200-an H, kemudian terdesak oleh Madzhab
Maliki. Muhammad Fauzi Faidallah mengatakan bahwa al-Auza’i memiliki reputasi
yang tinggi sampai sekarang. Di Beirut, penghargaan terhadap al-Auza’i terlihat
dalam pengabadian namanya bagi sebuah akademi yang didirikan pada tahun 1400 H,
yaitu “Kulliyyah al-Imam al-Auza’i Ii ad-Dirasat al-Islamiyyah” (akademi studi
Islam Imam al-Auza’i).[5]
- LINGKUNGAN LATAR SOSIAL BUDAYA
MASA IMAM AL-AUZA’I
Imam Auza’I
hidup pada masa abad ke II. Agama bukan hanya penting bagi negara tetapi
justeru merupakan urusan pertama dan utama bagi negara. Dalam kondisi seperti
ini maka tidak mengherankan jika para teolog dan ahli agama tampil berkerumun
di istana pemerintahan, karena hukum dan administrasi peradilan harus disusun
dan dibangun sesuai dengan petunjuk agama.[6]
Jadi masa ini segala hal yang menyangkut kelembagaan negara, administrasi
peradilan dengan segala macam transaksi harus memenuhi tuntutan dan tuntunan
keagamaan.
Periode ini di
mulai pada awal abad II H. dan berakhir pada pertengahan abad IV H. proses
perkembangannya berlangsung sekitar 250 tahun. Priode ini biasa juga disebut عصر الكتابة والتدوین (Masa Penulisan dan
Pendewanan) dan عصر التجرید والتصحیح واتنقیح
(Masa Pemurnian, Penyehatan, dan Penyempurnaan.[7]
Pada periode inilah gerakan penulisan dan pembukuan hukum-hukum Islam mengalami
perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat. Hadis-hadis nabi saw fatwa-fatwa
dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’-tabi’in, tafsir Alquran, fiqh para
imam mujtahid serta berbagai risalah ilmu ushul fiqh telah dikodifikasi dalam
suatu bentuk pembukuan.
Jadi pada
priode ini merupakan puncak keemasan dalam sejarah pembentukan hukum Islam. Kondisi
hukum pada masa itu menjadi satu kesatuan yang independen dan telah berkembang
menjadi matang hingga membuahkan perbendaharaan hukum. Olehnya itu pemerintahan
Islam, kaya dengan berbagai undang-undang dan hukum-hukum sesuai dengan
kekuasaan wilayah dan berbagai macam problematika yang timbul serta banyaknya
kemaslahatan yang dipertimbangkan.
Hal yang perlu
diperhatikan pada priode ini, karena priode ini telah melahirkan 13 orang
mujtahid ternama yaitu: Sufyan bin Uyainah di Mekah, Malik bin Anas di Madinah,
Hasan al-Basri di Basrah, Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri di Kufah, Al-Auza’i
di Syiria, al-Syafi’i dan Laits bin Sa’ad di Mesir, Ishak bin Rahawaih di Naisabur,
serta Abu Tsaur, Ahmad bin Hanbal, Daud Az-Zahiri, Ibnu Jarir di Bagdad. Ketiga
belas orang mujtahid inilah pendapatnya telah diikuti oleh jumhur ulama dan mereka
diakui sebagai tokoh fiqh dan sebagai panutan.[8]
Sehingga masa ini dapat dikatakan juga sebagai puncak kegemilangan ilmu fiqh.
- PENDIDIKAN, GURU DAN MURID
IMAM AL-AUZA’I
Imam al-Auza’i
kecil adalah seorang yang cerdas dan sabar. Pada usia 10 tahun ia sudah hafal
al-Qur’an dan menguasai beberapa ilmu keagamaan. Masa kecilnya sangat
menderita, karena disamping termasuk orang miskin, juga anak yatim. Ibunya
mengajak berpindah-pindah dari suatu kota ke kota lainnya. Imam al-Auza’i
menuntut ilmu ke berbagai daerah, seperti Yamamah (Arab Saudi), Mekkah, Basrah,
Damaskus, dan Beirut. Adapun guru Imam al-Auza’i ialah Atha’ bin Abi Rabah
(27-114 H), salah seorang mufti Mekah, Muhammad bin Sirin (wafat 110 H), salah
seorang mufti Basra, Muhammad bin Muslim yang dikenal dengan nama Ibnu Syihab
az-Zuhri (51-124 H), salah seorang ahli hadis dan mufti Madinah, dan Makhul bin
Abu Muslim (wafat 113 H), salah seorang mufti Syam (Suriah).[9]
Pada usia 25 tahun, ia menjadi mufti (pemberi fatwa agama) bersama-sama dengan
tokoh-tokoh ulama tua lainnya. Jabatan mufti ini dipegangnya sampai ia
meninggal (usianya hampir 70 tahun) pada tahun 157 H.[10]
Sedangkan di
antara murid-murid yang meriwayatkan dari beliau, Syu’bah, Sufyan ats-Tsauri,
Yunus bin Yazid, Malik, Ibnul Mubarok, Abu Ishaq al-Fazari, Yahya al-Qadhi,
Yahya Al-Qaththan, Muhammad bin Katsir, Muhammad bin Syu’aib dan masih banyak lagi.
Dikalangan
para ahli hadits dan fikih, al-Auza’i dikenal sebagai seseorang yang shaleh dan
takwa. Para ahli ilmu hadits menilainya sebagai orang yang tsiqah
(terpercaya), sehingga periwayatannya dapat diterima. Ia adalah seorang imam
besar, teristimewa dalam bidang fiqih dan hadits, yang ahli ibadah, khusu’
dalam shalat, ahli puasa, suka menghindari perbuatan-perbuatan dosa, lebih
banyak tafakur, dengan berdiam diri di Kufah. Dalam shalatnya sangat khusu’,
sehingga tempat sujudnya sering basah. Ia juga tidak pernah takut apabila
seseorang berada dalam kekeliruan, dan hal ini dilakukannya dengan memberi
nasehat kepada khalifah Ja’far al-Manshur, ketika berkunjung ke Syam.[11]
- KARYA IMAM AL-AUZA’I
Hingga akhir
hayatnya pada tahun 157 H atau 774 Masehi, fatwa dan pemikiran Al-Auza'i belum
pernah terkodifikasi (muddawan) dalam satu buku tersendiri. Namun demikian buah
pemikirannya tersebar di banyak kitab seperti Ikhtilafi Al Fuqaha karya Ibnu
Jarir At Tabari dan Al Umm karya al-Syafi’I.
Kitab lain
yang memuat pendapat Al-Auza'i antara lain Muhadimmah al-Jarh wat Takdil karya
Abu Hatim. Tarikh Damsyik karya ibn Assyakir Ad-Dimasiqy dan al-Bidayah wan
Nihayah karya Abul Fida Muhammad ibn Katsir Ad-Dimasyqi.
Al-Auza'i
merupakan salah satu pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah.
Gagasan-gagasanya antara lain; kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai
bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam
bentuk tunai atau sejenis.
Kata muzara’ah
adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Al-Auza'i
berpendapat bahwa muzara’ah merupakan aqad pemilik tanah yang memberi hak
mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
Dalam hal ini Al-Auza'i menetapkan beberapa syarat dalam muzara’ah mengutip
pendapat dari Abdullah Ibn Umar bahwa penduduk Khaibar yang menggarap tanah Nafi’
mendapat bagian seperdua atau setengah dari hasil kurma atau tanaman lainnya.
Berkaitan
dengan modal yang dikeluarkan dalam syirkah muzara’ah, diperbolehkan modal
dalam mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang
mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak. Sebagai contoh, Umar pernah
mempekerjakan orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar
yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka
yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu juga.[12]
Dasar pemikiran ekonomi Abdurrahman Al-Awza’i adalah beliau cenderung
membebaskan orang melakukan kontrak dan untuk memfasilitaskan orang dalam
transaksi mereka ia memberlakukan bagi hasil pertanian (muzraah) sesuai dengan
kebutuhannya sebagaimana ia membolehkan bagi hasil usaha. Tampak pada masa itu
sudah di kenalkan sharecropping dan syirkah bahkan sudah terjadi salah satu
bentuk syirkah yang selanjutnya yang dikenal dengan mudharabah.[13]
- AREA PENGARUH MAZHAB AL-AUZA’I
Dahulu, Madzhab Auza’i diikuti dan diamalkan oleh penduduk negeri Syam
(Suriah, Lebanon, Jordania & Palestina) selama kurang lebih dua ratus
tahun. Kemudian penganut madzhab Auza’i berkurang sedikit demi sedikit hingga
akhirnya tak tersisa sama sekali. Sekarang sudah tidak diketemukan lagi orang
yang mengikuti Madzhab Auza’i. Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak
adanya kodifikasi literasi maupun referensi madzhab beliau oleh murid-muridnya.
Alhasil, tidak gampang menemukan literatur klasik yang membahas tentang Madzhab
Auza’i, baik pada masa dahulu, apalagi sekarang.
Madzhab
Al-Auza’i dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Imam Malik dan Sufyan bin
Uyainah, sebelum kedua tokoh itu mendirikan madzhabnya sendiri. Madzhab
Al-Auza’i sempat diamalkan orang di Syam (Syiria) selama 220 tahun sebelum
terdesak oleh madzhab Syafi’i. Madzhab tersebut juga pernah berkembang di
Andalusia, namun akhirnya tergantikan oleh madzhab Maliki. Fatwa dan pemikiran
Al-Auza’i sebenarnya belum pernah terkodifikasi (mudawwan) dalam satu buku tersendiri.
Salah satu
tokoh berkembangannya madzhab ini ialah Abdurrahman bin Ibrahim (245 H) dari
keluarga Umawi (penguasa ketika itu), yang menyebarkan madzhab al-Auza’i dengan
posisinya sebagai Gubernur Yordan serta Palestina ketika itu. Dan juga, yang
masyhur ialah Sho’sho’ah bin Salam bin Abdullah al-Dimasyqa (190 H) yang
membawa madzhab ini ke Andalus, yang mana beliau juga seorang khathib di
Qurthuba.
Pemikiran Imam
yang bersahaja itu tersebar di banyak kitab seperti Ikhtilaf Al-Fuqaha karya
Ibnu Jarir Ath-Thabari dan Al-Umm karya Imam Syafi’i. Dalam Al-Umm, Imam
Syafi’i mengulasnya secara khusus dalam satu bab tersendiri yang bertajuk kitab
siyarul Auza’i, yang berisi perdebatan antara Imam Hanafi dan ulama Hanafiah
dengan Imam Al-Auza’i. Kitab lain yang memuat pendapat Al-Auza’i antara lain
Muqaddimah al-Jarh wat Ta’dil karya Abu Hatim, Tarikh Damsyiq karya Ibnu Asakir
Ad-Dimasyqi dan Al-Bidayah wan Nihayah karya Abul Fida Muhmmad ibn Katsir
Ad-Dimasyqi. Keilmuan Imam Al-Auza’i begitu membekas di hati rakyat Beirut
hingga saat ini. Terbukti salah satu akademi studi Islam di kota itu yang
didirikan pada tahun 1980an diberi nama Kulliyah Al-Imam Al-Auza’i lid Dirasa
al-Islamiyyah, Akademi Studi Keislaman Imam Al-Auza’i.
- KARAKTERISTIK METODE ISTIMBATH
DAN PENDEKATAN DALAM IMAM AL-AUZA’I MEMAHAMI NASH
Muhammad Fauzi Faidallah (ahli fikih
kontemporer, guru besar Universitas Damascus) mengatakan bahwa dalam menetapkan
hukum Islam al-Auza’I termasuk ahli fikih yang berorientasi pada penggunaan
hadits (ahlulhadits dan Ahlurra’yi).[14] Adapun
metode istinbath hukum yang digunakan oleh Imam al-Auza’i sebagai berikut:
1.
al-Qur’an
al-Qur’an
adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT. Kepada Nabi SAW dengan
perantara melalui malaikat Jibril sebagai pedoman hidup. Imam al-Auza’i
menjadikan al-Qur’an sebagai landasan pokok dalam menetapkan hukum Islam,
karena al-Qur’an merupakan hujjah syari’ah. kandungan hukumnya elastis abadi
sampai hari kiamat.[15]
2.
As-Sunnah
As-sunnah
merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an, karena fungsi utamanya adalah
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang mujmal, walaupun dalam beberapa hal,
as-Sunnah menetapkan hukum tersendiri tanpa terkait pada al-Qur'an. As-sunnah
menurut istilah syara’ adalah sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan (taqrir). Dalam menetapkan hukum
Islam Imam al-Auza’i menggunakan as-Sunnah sebagai sumber hukum setelah
al-Qur’an.
3.
Perkataan para sahabat
Imam al-Auza’i
menjadikan fatwa sahabat yang disepakati sebagai hujjah. Karena fatwa sahabat
merupakan hadits yang harus dilaksanakan.[16]
Imam Auza’I adalah tokoh Hadits yang tidak menyukai qiyas.
Dan berbagai penalaran lainnya dalam masalah di mana terdapat nash-nash al-Qur’an
maupun Sunah. Sheikh Muhammad al-Khudhari Bik dalam kitabnya Tarikh al-Tasyri’
al-Islami memberikan sedikit ciri khas yang dimiliki oleh madzhab al-auza’i ini,
yaitu mereka sangat benci sekali dengan qiyas dalam fiqih mereka.
Corak ini jelas terpengaruh oleh Imam al-Auza’i sendiri yang merupakan seorang
Muhaddits (Ahli Hadits). Terbukti banyak beberapa para ahli hadits di masa
setelah yang meriwayatkan hadits melalui beliau, termasuk Shaikhoni dalam
hadits, yaitu Imam Al-Bukhari dan juga Imam Muslim al-Naisaburi. Dan juga para
pemilik kitab-kitab Sunan, seperti Imam Ibnu Majah, Imam al-Nasa’i dan juga
Imam al-Turmudzi serta Imam Abu Daud.
- ANALISIS
Madzhab
ini banyak diamalkan pada
kisaran tahun ke-2 Hijrah sampai pertengahan abad ke-3 Hijrah di negeri Syam
(sekarang: Lebanon, Yordania, Syiria, Palestina). Dinamakan madzhab al-auza’i karena
penisbatan kepada Imam madzhab ini, yaitu Imam Abdurrahman bin Muhammad
Al-Auza’i. Penisbatan al-Auza’i adalah penisbatan suku asli dari ayahnya yang
merupakan berasal dari suku al-Auza’ [الأوزاع],
suku asli yang mendiami Bab-al-Faradis, sebelah selatan Beirut yang berbatasan
dengan Suriah. dan wafat di kota yang sama pada tahun 157 Hijrah.
Pada masa
perkambangannya, madzhab ini
tidak hanya diamalkan di Syam saja, tapi juga diamalkan sampai ke negeri
Andalus (Sekarang Spanyol) lewat banyaknya imigran yang masuk ke Andalus dari
Syam. Bahkan Khaizuran (173 H), Istri Khalifah al-Mahdi (Masa al-Abbasiyah) itu
bermadzhab fiqih-nya Imam
al-Auza’i. Salah satu tokoh berkembangannya madzhab ini ialah
Abdurrahman bin Ibrahim (245 H) dari keluarga Umawi (penguasa ketika itu), yang
menyebarkan madzhab al-Auza’ie dengan
posisinya sebagai Gubernur Yordan serta Palestina ketika itu. Dan juga, yang
masyhur ialah Sho’sho’ah bin Salam bin Abdullah al-Dimasyqa (190 H) yang
membawa madzhab ini
ke Andalus, yang mana beliau juga seorang khathib di Qurthuba.
Sayangnya, di
pertengahan abad ke-3, madzhab ini perlahan mulai hilang dan ditinggalkan
serta tidak ada lagi yang mengamalkan. Salah satu penyebabnya adalah masuknya
madzhab Imam al-Syafi’i di awal abad ke-3 ke Syam, yang akhirnya
menggerus Madzhab Al-Auza’i. Kalau di Andalus, madzhab ini tergerus oleh eksistensinya madzhab
al-Malikiyah di pertengahan abad ke-3 tersebut.
Tapi kalau diteliti lebih dalam, punahnya madzhab ini bukan hanya karena adanya madzhab baru yang datang, tapi karena memang tidak adanya budaya pelestarian ilmu dengan tulisan yang dilakukan oleh para murid dan pengikut Imam al-Auza’i. Mereka hanya mengamalkan tanpa mengabadikan. Akhirnya kita sulit untuk melihat fiqih dan corak ushul madzhab al-Auza’i serta fatwa-fatwa beliau. Tapi kita akan masih mendapati beberapa pendapat fiqih beliau di beberapa kitab fiqih Muqaranah Madzhab seperti Kitab Bidayatul-Mujtahid karangan Imam Ibnu Rusyd, atau juga kitab al-Majmu’ karangan Imam al-Nawawi, serta kitab Bada’i al-Shana’i karangan Imam al-Kasani dari kalangan al-Hanafiyah.
I.
KESIMPULAN
Madzhab Auza’I
adalah madzhab yang dinisbahkan kepada kepada
Imam Abdurrahman bin Muhammad Al-Auza’i. Penisbatan al-Auza’i adalah
penisbatan suku asli dari ayahnya yang merupakan berasal dari suku al-Auza’. Madzhab
Auza’i diikuti dan diamalkan oleh penduduk negeri Syam (Suriah, Lebanon,
Jordania & Palestina) selama kurang lebih dua ratus tahun. Madzhab al-auza’i ini
sangat benci sekali dengan qiyas dalam fiqih mereka.
Corak ini jelas terpengaruh oleh Imam al-Auza’i sendiri yang merupakan seorang
Muhaddits. Hingga akhir hayatnya pada tahun 157 H atau 774
Masehi, fatwa dan pemikiran Al-Auza'i belum pernah terkodifikasi (muddawan)
dalam satu buku tersendiri. Namun demikian buah pemikirannya tersebar di banyak
kitab seperti Ikhtilafi Al Fuqaha karya Ibnu Jarir At Tabari dan Al Umm karya al-Syafi’I.
Kitab lain yang memuat pendapat Al-Auza'i antara lain Muhadimmah al-Jarh wat
Takdil karya Abu Hatim. Tarikh Damsyik karya ibn Assyakir Ad-Dimasiqy dan
al-Bidayah wan Nihayah karya Abul Fida Muhammad ibn Katsir Ad-Dimasyqi. Pada pertengahan
abad ke-3, madzhab ini perlahan mulai hilang dan ditinggalkan serta tidak
ada lagi yang mengamalkan karena memang tidak adanya budaya pelestarian ilmu
dengan tulisan yang dilakukan oleh para murid dan pengikut Imam al-Auza’i.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), h. 145.
Abdul
Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Juz. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), h. 146.
Abdul Aziz Dahlan,
Ensiklopedi Hukum Islam., h. 13.
Abdul Wahab
Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), h. 22.
Abdul
Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy, disadur oleh Wajidi
Sayadi dengan judul “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” (Cet.I ;
Jakarta : Raja Grafindo, 2001), h. 71.
Ali Fikri, Kisah-kisah
Para Imam Madzhab, Cet. I, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), h. 204.
Fathurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam I (Cet.I ; Jakarta : Logos, 1997), h. 107.
M. Noor Harisudin,
Pengantar Ilmu Fiqih,
(Surabaya
: Pena Salsabila, 2019) h. 105.
Muhammad
Ali As-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, diterjemahkan oleh Dedi Junaedi
dengan judul “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” (Cet. I
; Jakarta : Akademika Aressindo, 1996), h. 124.
https://zulfanisadamayanti.blogspot.com/2018/05/biografi-al-awzai-dan-imam-malik.html,
[1] Ali Fikri, Kisah-kisah Para Imam Madzhab,
Cet. I, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), h. 204.
[2] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, Cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 145.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Fathurrahman Djamil, Filsafat
Hukum Islam I (Cet.I ; Jakarta : Logos, 1997), h. 107.
[7] Abdul Wahab Khallaf, Khulasah
Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy, disadur oleh Wajidi Sayadi dengan judul
“Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” (Cet.I ; Jakarta : Raja
Grafindo, 2001), h. 71.
[8] Muhammad Ali As-Sayis, Tarikh
al-Fiqh al-Islami, diterjemahkan oleh Dedi Junaedi dengan judul “Sejarah
Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” (Cet. I ; Jakarta : Akademika
Aressindo, 1996), h. 124.
[9] Ibid.
[10] M. Noor Harisudin, Pengantar Ilmu Fiqih, (Surabaya : Pena
Salsabila, 2019) h. 105.
[11] Ibid, h. 106.
[14] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, Juz. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 146.
[15] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam (Ilmu Ushul Fiqh), h. 22.
[16] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam.,
h. 13.
Komentar