MAZHAB IMAM AL-AUZA’I: TELAAH HISTORIS DAN METODOLOGIS

A.  PENDAHULUAN

Hukum Islam merupakan hukum yang begitu dinamis, fleksibel dan lentur menyesuaikan dengan tempat dan waktu (shalih likulli makan wa likulli zaman). Interaksi Rasulullah dengan sahabat dalam mengatasi realitas sosiologis tidak mengalami problematika metodologis. Hal ini disebabkan dinamika perkembangan hukum Islam langsung bisa bertanya jawab dengan Rasulullah. Kemudian ini berubah setelah Rasulullah wafat, sahabat banyak dihadapkan persoalan baru yang perlu mendapatkan legalitas syari’ah. Problem solving yang mereka lakukan adalah ijtihad melalui al-Qur’an dan al-Sunah serta tindakan normatif Rasulullah yang pernah mereka saksikan dan alami bersamanya.

Munculnya mazhab dalam sejarah tidak terlepas dari adanya pemikiran fikih dari masa sahabat, tabi‘in hingga muncul mazhab-mazhab fikih. Sebenarnya ikhtilaf telah ada pada masa sahabat. Hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nas (sunah) yang sampai kepada mereka. Selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum serta berlainan tempat. Ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan.

 

  1. SEKILAS TENTANG BIOGRAFI IMAM AL-AUZA’I

Imam al-Auza’i adalah seorang faqih terkemuka dari Syam (Suriah). Ia juga merupakan ulama penulis hadits di Syam (Suriah) dan pendiri madzhab al-Auza’i. Ia dilahirkan di Syam, pada tahun 88 H/707 M, dan beliau meninggal dunia pada tahun 157 H/774 M di Beirut. Nama lengkapnya adalah Abu Amr Abdurrahman bin Amr al-Auza’i. Beliau adalah seorang imam besar, tokoh dan pemimpin dalam bidang fiqih dan hadits, ilmu berperang dan berbagai ilmu yang lainnya. Beliau termasuk bagian dari para tabi’in. Beliau banyak dibicarakan oleh para tokoh dan kelompok Islam seperti Imam Malik, ats-Tsauri, az-Zuhri. Beliau merupakan salah satu guru mereka.[1]

Latar belakang keluarganya tidak banyak diketahui. Ahmad Amin, ahli sejarah kontemporer dari Mesir, mengatakan bahwa al-Auza’i berasal dari dari suku al-Auza’, cabang kabilah Hamdan (salah satu kabilah di Arab Selatan).[2] Sihabuddin Abu Abdullah Ya’qub bin Abdullah al-Hamawi (575H/1179 M-626 H/1229 M), ahli sejarah masa klasik dari baghdad, mengatakan bahwa al-Auza’ adalah kabilah dari Yaman yang kemudian berdomisili di suatu daerah di Syam, lalu daerah tersebut disebut al-Auza’.[3]

Menurut Fauzi Faidallah (ahli fiqh kontemporer, guru besar Universitas Damascus) mengatakan bahwa dalam menetapkan hukum Islam al-Auza’I termasuk ahli fiqh yang berorientasi pada penggunaan hadits (ahlulhadits dan ahlurra’yi) dan menolak qiyas. Orientasi al-Auza’i ini terlihat dalam perkataannya: “Ilmu adalah yang dibawa oleh sahabat-sahabat Muhammad SAW. Apa yang tidak dibawa mereka bukanlah ilmu. Tetap sabarlah untuk menjalankan sunnah. Bersikaplah seperti para sahabat. Katakanlah apa yang mereka katakana dan tinggalkan apa yang mereka tinggalkan.[4]

Madzhab al-Auza’i dipraktekkan di Syam selama lebih kurang 220 tahun, yaitu sampai terdesak oleh madzhab Syafi’i. Madzhabnya pernah berkembang pula di Andalusia (Islam Spanyol) hingga awal tahun 200-an H, kemudian terdesak oleh Madzhab Maliki. Muhammad Fauzi Faidallah mengatakan bahwa al-Auza’i memiliki reputasi yang tinggi sampai sekarang. Di Beirut, penghargaan terhadap al-Auza’i terlihat dalam pengabadian namanya bagi sebuah akademi yang didirikan pada tahun 1400 H, yaitu “Kulliyyah al-Imam al-Auza’i Ii ad-Dirasat al-Islamiyyah” (akademi studi Islam Imam al-Auza’i).[5]

 

  1. LINGKUNGAN LATAR SOSIAL BUDAYA MASA IMAM AL-AUZA’I

Imam Auza’I hidup pada masa abad ke II. Agama bukan hanya penting bagi negara tetapi justeru merupakan urusan pertama dan utama bagi negara. Dalam kondisi seperti ini maka tidak mengherankan jika para teolog dan ahli agama tampil berkerumun di istana pemerintahan, karena hukum dan administrasi peradilan harus disusun dan dibangun sesuai dengan petunjuk agama.[6] Jadi masa ini segala hal yang menyangkut kelembagaan negara, administrasi peradilan dengan segala macam transaksi harus memenuhi tuntutan dan tuntunan keagamaan.

Periode ini di mulai pada awal abad II H. dan berakhir pada pertengahan abad IV H. proses perkembangannya berlangsung sekitar 250 tahun. Priode ini biasa juga disebut عصر الكتابة والتدوین (Masa Penulisan dan Pendewanan) dan عصر التجرید والتصحیح واتنقیح (Masa Pemurnian, Penyehatan, dan Penyempurnaan.[7] Pada periode inilah gerakan penulisan dan pembukuan hukum-hukum Islam mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat. Hadis-hadis nabi saw fatwa-fatwa dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’-tabi’in, tafsir Alquran, fiqh para imam mujtahid serta berbagai risalah ilmu ushul fiqh telah dikodifikasi dalam suatu bentuk pembukuan.

Jadi pada priode ini merupakan puncak keemasan dalam sejarah pembentukan hukum Islam. Kondisi hukum pada masa itu menjadi satu kesatuan yang independen dan telah berkembang menjadi matang hingga membuahkan perbendaharaan hukum. Olehnya itu pemerintahan Islam, kaya dengan berbagai undang-undang dan hukum-hukum sesuai dengan kekuasaan wilayah dan berbagai macam problematika yang timbul serta banyaknya kemaslahatan yang dipertimbangkan.

Hal yang perlu diperhatikan pada priode ini, karena priode ini telah melahirkan 13 orang mujtahid ternama yaitu: Sufyan bin Uyainah di Mekah, Malik bin Anas di Madinah, Hasan al-Basri di Basrah, Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri di Kufah, Al-Auza’i di Syiria, al-Syafi’i dan Laits bin Sa’ad di Mesir, Ishak bin Rahawaih di Naisabur, serta Abu Tsaur, Ahmad bin Hanbal, Daud Az-Zahiri, Ibnu Jarir di Bagdad. Ketiga belas orang mujtahid inilah pendapatnya telah diikuti oleh jumhur ulama dan mereka diakui sebagai tokoh fiqh dan sebagai panutan.[8] Sehingga masa ini dapat dikatakan juga sebagai puncak kegemilangan ilmu fiqh.

 

  1. PENDIDIKAN, GURU DAN MURID IMAM AL-AUZA’I

Imam al-Auza’i kecil adalah seorang yang cerdas dan sabar. Pada usia 10 tahun ia sudah hafal al-Qur’an dan menguasai beberapa ilmu keagamaan. Masa kecilnya sangat menderita, karena disamping termasuk orang miskin, juga anak yatim. Ibunya mengajak berpindah-pindah dari suatu kota ke kota lainnya. Imam al-Auza’i menuntut ilmu ke berbagai daerah, seperti Yamamah (Arab Saudi), Mekkah, Basrah, Damaskus, dan Beirut. Adapun guru Imam al-Auza’i ialah Atha’ bin Abi Rabah (27-114 H), salah seorang mufti Mekah, Muhammad bin Sirin (wafat 110 H), salah seorang mufti Basra, Muhammad bin Muslim yang dikenal dengan nama Ibnu Syihab az-Zuhri (51-124 H), salah seorang ahli hadis dan mufti Madinah, dan Makhul bin Abu Muslim (wafat 113 H), salah seorang mufti Syam (Suriah).[9] Pada usia 25 tahun, ia menjadi mufti (pemberi fatwa agama) bersama-sama dengan tokoh-tokoh ulama tua lainnya. Jabatan mufti ini dipegangnya sampai ia meninggal (usianya hampir 70 tahun) pada tahun 157 H.[10]

Sedangkan di antara murid-murid yang meriwayatkan dari beliau, Syu’bah, Sufyan ats-Tsauri, Yunus bin Yazid, Malik, Ibnul Mubarok, Abu Ishaq al-Fazari, Yahya al-Qadhi, Yahya Al-Qaththan, Muhammad bin Katsir, Muhammad bin Syu’aib dan masih banyak lagi.

Dikalangan para ahli hadits dan fikih, al-Auza’i dikenal sebagai seseorang yang shaleh dan takwa. Para ahli ilmu hadits menilainya sebagai orang yang tsiqah (terpercaya), sehingga periwayatannya dapat diterima. Ia adalah seorang imam besar, teristimewa dalam bidang fiqih dan hadits, yang ahli ibadah, khusu’ dalam shalat, ahli puasa, suka menghindari perbuatan-perbuatan dosa, lebih banyak tafakur, dengan berdiam diri di Kufah. Dalam shalatnya sangat khusu’, sehingga tempat sujudnya sering basah. Ia juga tidak pernah takut apabila seseorang berada dalam kekeliruan, dan hal ini dilakukannya dengan memberi nasehat kepada khalifah Ja’far al-Manshur, ketika berkunjung ke Syam.[11]

 

  1. KARYA IMAM AL-AUZA’I

Hingga akhir hayatnya pada tahun 157 H atau 774 Masehi, fatwa dan pemikiran Al-Auza'i belum pernah terkodifikasi (muddawan) dalam satu buku tersendiri. Namun demikian buah pemikirannya tersebar di banyak kitab seperti Ikhtilafi Al Fuqaha karya Ibnu Jarir At Tabari dan Al Umm karya al-Syafi’I.

Kitab lain yang memuat pendapat Al-Auza'i antara lain Muhadimmah al-Jarh wat Takdil karya Abu Hatim. Tarikh Damsyik karya ibn Assyakir Ad-Dimasiqy dan al-Bidayah wan Nihayah karya Abul Fida Muhammad ibn Katsir Ad-Dimasyqi.

Al-Auza'i merupakan salah satu pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya antara lain; kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.

Kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Al-Auza'i berpendapat bahwa muzara’ah merupakan aqad pemilik tanah yang memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya. Dalam hal ini Al-Auza'i menetapkan beberapa syarat dalam muzara’ah mengutip pendapat dari Abdullah Ibn Umar bahwa penduduk Khaibar yang menggarap tanah Nafi’ mendapat bagian seperdua atau setengah dari hasil kurma atau tanaman lainnya.

Berkaitan dengan modal yang dikeluarkan dalam syirkah muzara’ah, diperbolehkan modal dalam mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak. Sebagai contoh, Umar pernah mempekerjakan orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu juga.[12]

Dasar pemikiran ekonomi Abdurrahman Al-Awza’i adalah beliau cenderung membebaskan orang melakukan kontrak dan untuk memfasilitaskan orang dalam transaksi mereka ia memberlakukan bagi hasil pertanian (muzraah) sesuai dengan kebutuhannya sebagaimana ia membolehkan bagi hasil usaha. Tampak pada masa itu sudah di kenalkan sharecropping dan syirkah bahkan sudah terjadi salah satu bentuk syirkah yang selanjutnya yang dikenal dengan mudharabah.[13]

 

  1. AREA PENGARUH MAZHAB AL-AUZA’I

Dahulu, Madzhab Auza’i diikuti dan diamalkan oleh penduduk negeri Syam (Suriah, Lebanon, Jordania & Palestina) selama kurang lebih dua ratus tahun. Kemudian penganut madzhab Auza’i berkurang sedikit demi sedikit hingga akhirnya tak tersisa sama sekali. Sekarang sudah tidak diketemukan lagi orang yang mengikuti Madzhab Auza’i. Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak adanya kodifikasi literasi maupun referensi madzhab beliau oleh murid-muridnya. Alhasil, tidak gampang menemukan literatur klasik yang membahas tentang Madzhab Auza’i, baik pada masa dahulu, apalagi sekarang.

Madzhab Al-Auza’i dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Imam Malik dan Sufyan bin Uyainah, sebelum kedua tokoh itu mendirikan madzhabnya sendiri. Madzhab Al-Auza’i sempat diamalkan orang di Syam (Syiria) selama 220 tahun sebelum terdesak oleh madzhab Syafi’i. Madzhab tersebut juga pernah berkembang di Andalusia, namun akhirnya tergantikan oleh madzhab Maliki. Fatwa dan pemikiran Al-Auza’i sebenarnya belum pernah terkodifikasi (mudawwan) dalam satu buku tersendiri.

Salah satu tokoh berkembangannya madzhab ini ialah Abdurrahman bin Ibrahim (245 H) dari keluarga Umawi (penguasa ketika itu), yang menyebarkan madzhab al-Auza’i dengan posisinya sebagai Gubernur Yordan serta Palestina ketika itu. Dan juga, yang masyhur ialah Sho’sho’ah bin Salam bin Abdullah al-Dimasyqa (190 H) yang membawa madzhab ini ke Andalus, yang mana beliau juga seorang khathib di Qurthuba.

Pemikiran Imam yang bersahaja itu tersebar di banyak kitab seperti Ikhtilaf Al-Fuqaha karya Ibnu Jarir Ath-Thabari dan Al-Umm karya Imam Syafi’i. Dalam Al-Umm, Imam Syafi’i mengulasnya secara khusus dalam satu bab tersendiri yang bertajuk kitab siyarul Auza’i, yang berisi perdebatan antara Imam Hanafi dan ulama Hanafiah dengan Imam Al-Auza’i. Kitab lain yang memuat pendapat Al-Auza’i antara lain Muqaddimah al-Jarh wat Ta’dil karya Abu Hatim, Tarikh Damsyiq karya Ibnu Asakir Ad-Dimasyqi dan Al-Bidayah wan Nihayah karya Abul Fida Muhmmad ibn Katsir Ad-Dimasyqi. Keilmuan Imam Al-Auza’i begitu membekas di hati rakyat Beirut hingga saat ini. Terbukti salah satu akademi studi Islam di kota itu yang didirikan pada tahun 1980an diberi nama Kulliyah Al-Imam Al-Auza’i lid Dirasa al-Islamiyyah, Akademi Studi Keislaman Imam Al-Auza’i.

 

  1. KARAKTERISTIK METODE ISTIMBATH DAN PENDEKATAN DALAM IMAM AL-AUZA’I MEMAHAMI NASH

 Muhammad Fauzi Faidallah (ahli fikih kontemporer, guru besar Universitas Damascus) mengatakan bahwa dalam menetapkan hukum Islam al-Auza’I termasuk ahli fikih yang berorientasi pada penggunaan hadits (ahlulhadits dan Ahlurra’yi).[14] Adapun metode istinbath hukum yang digunakan oleh Imam al-Auza’i sebagai berikut:

1.     al-Qur’an

al-Qur’an adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT. Kepada Nabi SAW dengan perantara melalui malaikat Jibril sebagai pedoman hidup. Imam al-Auza’i menjadikan al-Qur’an sebagai landasan pokok dalam menetapkan hukum Islam, karena al-Qur’an merupakan hujjah syari’ah. kandungan hukumnya elastis abadi sampai hari kiamat.[15]

2.     As-Sunnah

As-sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an, karena fungsi utamanya adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang mujmal, walaupun dalam beberapa hal, as-Sunnah menetapkan hukum tersendiri tanpa terkait pada al-Qur'an. As-sunnah menurut istilah syara’ adalah sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan (taqrir). Dalam menetapkan hukum Islam Imam al-Auza’i menggunakan as-Sunnah sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an.

3.     Perkataan para sahabat

Imam al-Auza’i menjadikan fatwa sahabat yang disepakati sebagai hujjah. Karena fatwa sahabat merupakan hadits yang harus dilaksanakan.[16]

Imam Auza’I adalah tokoh Hadits yang tidak menyukai qiyas. Dan berbagai penalaran lainnya dalam masalah di mana terdapat nash-nash al-Qur’an maupun Sunah. Sheikh Muhammad al-Khudhari Bik dalam kitabnya Tarikh al-Tasyri’ al-Islami memberikan sedikit ciri khas yang dimiliki oleh madzhab al-auza’i ini, yaitu mereka sangat benci sekali dengan qiyas dalam fiqih mereka. Corak ini jelas terpengaruh oleh Imam al-Auza’i sendiri yang merupakan seorang Muhaddits (Ahli Hadits). Terbukti banyak beberapa para ahli hadits di masa setelah yang meriwayatkan hadits melalui beliau, termasuk Shaikhoni dalam hadits, yaitu Imam Al-Bukhari dan juga Imam Muslim al-Naisaburi. Dan juga para pemilik kitab-kitab Sunan, seperti Imam Ibnu Majah, Imam al-Nasa’i dan juga Imam al-Turmudzi serta Imam Abu Daud.

 

  1. ANALISIS

Madzhab ini banyak diamalkan pada kisaran tahun ke-2 Hijrah sampai pertengahan abad ke-3 Hijrah di negeri Syam (sekarang: Lebanon, Yordania, Syiria, Palestina). Dinamakan madzhab al-auza’i karena penisbatan kepada Imam madzhab ini, yaitu Imam Abdurrahman bin Muhammad Al-Auza’i. Penisbatan al-Auza’i adalah penisbatan suku asli dari ayahnya yang merupakan berasal dari suku al-Auza’ [الأوزاع], suku asli yang mendiami Bab-al-Faradis, sebelah selatan Beirut yang berbatasan dengan Suriah. dan wafat di kota yang sama pada tahun 157 Hijrah.

Pada masa perkambangannya, madzhab ini tidak hanya diamalkan di Syam saja, tapi juga diamalkan sampai ke negeri Andalus (Sekarang Spanyol) lewat banyaknya imigran yang masuk ke Andalus dari Syam. Bahkan Khaizuran (173 H), Istri Khalifah al-Mahdi (Masa al-Abbasiyah) itu bermadzhab fiqih-nya Imam al-Auza’i. Salah satu tokoh berkembangannya madzhab ini ialah Abdurrahman bin Ibrahim (245 H) dari keluarga Umawi (penguasa ketika itu), yang menyebarkan madzhab al-Auza’ie dengan posisinya sebagai Gubernur Yordan serta Palestina ketika itu. Dan juga, yang masyhur ialah Sho’sho’ah bin Salam bin Abdullah al-Dimasyqa (190 H) yang membawa madzhab ini ke Andalus, yang mana beliau juga seorang khathib di Qurthuba.

Sayangnya, di pertengahan abad ke-3, madzhab ini perlahan mulai hilang dan ditinggalkan serta tidak ada lagi yang mengamalkan. Salah satu penyebabnya adalah masuknya madzhab Imam al-Syafi’i di awal abad ke-3 ke Syam, yang akhirnya menggerus Madzhab Al-Auza’i. Kalau di Andalus, madzhab ini tergerus oleh eksistensinya madzhab al-Malikiyah di pertengahan abad ke-3 tersebut.

Tapi kalau diteliti lebih dalam, punahnya madzhab ini bukan hanya karena adanya madzhab baru yang datang, tapi karena memang tidak adanya budaya pelestarian ilmu dengan tulisan yang dilakukan oleh para murid dan pengikut Imam al-Auza’i. Mereka hanya mengamalkan tanpa mengabadikan. Akhirnya kita sulit untuk melihat fiqih dan corak ushul madzhab al-Auza’i serta fatwa-fatwa beliau. Tapi kita akan masih mendapati beberapa pendapat fiqih beliau di beberapa kitab fiqih Muqaranah Madzhab seperti Kitab Bidayatul-Mujtahid karangan Imam Ibnu Rusyd, atau juga kitab al-Majmu’ karangan Imam al-Nawawi, serta kitab Bada’i al-Shana’i karangan Imam al-Kasani dari kalangan al-Hanafiyah.

I.               KESIMPULAN

Madzhab Auza’I adalah madzhab yang dinisbahkan kepada kepada Imam Abdurrahman bin Muhammad Al-Auza’i. Penisbatan al-Auza’i adalah penisbatan suku asli dari ayahnya yang merupakan berasal dari suku al-Auza’. Madzhab Auza’i diikuti dan diamalkan oleh penduduk negeri Syam (Suriah, Lebanon, Jordania & Palestina) selama kurang lebih dua ratus tahun. Madzhab al-auza’i ini sangat benci sekali dengan qiyas dalam fiqih mereka. Corak ini jelas terpengaruh oleh Imam al-Auza’i sendiri yang merupakan seorang Muhaddits. Hingga akhir hayatnya pada tahun 157 H atau 774 Masehi, fatwa dan pemikiran Al-Auza'i belum pernah terkodifikasi (muddawan) dalam satu buku tersendiri. Namun demikian buah pemikirannya tersebar di banyak kitab seperti Ikhtilafi Al Fuqaha karya Ibnu Jarir At Tabari dan Al Umm karya al-Syafi’I. Kitab lain yang memuat pendapat Al-Auza'i antara lain Muhadimmah al-Jarh wat Takdil karya Abu Hatim. Tarikh Damsyik karya ibn Assyakir Ad-Dimasiqy dan al-Bidayah wan Nihayah karya Abul Fida Muhammad ibn Katsir Ad-Dimasyqi. Pada pertengahan abad ke-3, madzhab ini perlahan mulai hilang dan ditinggalkan serta tidak ada lagi yang mengamalkan karena memang tidak adanya budaya pelestarian ilmu dengan tulisan yang dilakukan oleh para murid dan pengikut Imam al-Auza’i.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 145.

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Juz. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 146.

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam., h. 13.

Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), h. 22.

Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy, disadur oleh Wajidi Sayadi dengan judul “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” (Cet.I ; Jakarta : Raja Grafindo, 2001), h. 71.

Ali Fikri, Kisah-kisah Para Imam Madzhab, Cet. I, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), h. 204.

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam I (Cet.I ; Jakarta : Logos, 1997), h. 107.

M. Noor Harisudin, Pengantar Ilmu Fiqih, (Surabaya : Pena Salsabila, 2019) h. 105.

Muhammad Ali As-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, diterjemahkan oleh Dedi Junaedi dengan judul “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” (Cet. I ; Jakarta : Akademika Aressindo, 1996), h. 124.

https://zulfanisadamayanti.blogspot.com/2018/05/biografi-al-awzai-dan-imam-malik.html,

https://akurat.co/fakta-al-auzai-yatim-penggagas-ilmu-ekonomi-syariah


[1] Ali Fikri, Kisah-kisah Para Imam Madzhab, Cet. I, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), h. 204.

[2] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 145.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam I (Cet.I ; Jakarta : Logos, 1997), h. 107.

[7] Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy, disadur oleh Wajidi Sayadi dengan judul “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” (Cet.I ; Jakarta : Raja Grafindo, 2001), h. 71.

[8] Muhammad Ali As-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, diterjemahkan oleh Dedi Junaedi dengan judul “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” (Cet. I ; Jakarta : Akademika Aressindo, 1996), h. 124.

[9] Ibid.

[10] M. Noor Harisudin, Pengantar Ilmu Fiqih, (Surabaya : Pena Salsabila, 2019) h. 105.

[11] Ibid, h. 106.

[14] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Juz. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 146.

[15] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), h. 22.

[16] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam., h. 13.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

ringkasan Nahwu

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA