MAZHAB AL-ZAHIRI (IMAM DAWUD BIN KHALAF AL-ISFAHANI): TELAAH HISTORIS DAN METODOLOGIS

 A.    Pendahuluan

Salah satu mazhab fikih yang pernah hidup dan berkembang di dunia Islam adalah mazhab az-Zahiri. Nama ini memang tak sepopuler empat mazhab yang lain, seperti Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali. Namun, dalam sebahagian kitab-kitab fikih, mazhab ini selalu diperhitungkan sebagai pembanding dengan mazhab yang lain. Mazhab az-Zahiri muncul sekitar abad ketiga Hijriyah di Irak. Didirikan oleh seorang ahli hukum (fakih) bernama Dawud bin Khalaf al-Isfahani.

Dawud bin Khalaf al-Isfahani adalah putra dari seorang sekretaris (katib) hakim di Isfahan pada masa Khalifah al-Ma’mun. Dia mempelajari fikih dari tokoh-tokoh mazhab Syafi‘i, seperti Abu Saur Ibrahim bin Khalid Yamani al-Kalbi dan Ishaq bin Rahawah. Bahkan, seperti dikemukakan Abu Zahrah, pemikiran hukum Dawud mungkin disebabkan oleh pengaruh yang "berlebihan" dari kegigihan Imam Syafi‘i dalam membela kedudukan sunah sebagai sumber hukum Islam di zamannya. Di saat-saat sejumlah fakih (ahli hukum Islam) mengabaikan sunah, bahkan ada kelompok yang disinyalir inkarsunah.

Dengan latar belakang pendidikan yang demikian, ia berpaling dari mazhab Hanafi yang dianut oleh ayahnya. Akan tetapi, Dawud sendiri bukan penganut mazhab Syafi‘i, melainkan mendirikan mazhab atas namanya sendiri, mazhab ad-Dawudi yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan mazhab az-Zahiri. Inti pokok dari paham mazhab az-Zahiri ini berkisar pada masalah sumber hukum dan cara memahaminya. Menurut mazhab ini, sumber hukum fikih hanya nash dalam arti Alquran dan sunah. Dalam hal tertentu, mazhab ini menerima ijmak para sahabat.

 

B.    Sekilas tentang Biografi Imam Dawud Bin Khalaf

Nama Iengkapnya ialah Dawud ibn 'Ali ibn Khalaf al-Asfihani. la di­ kenal sebagai ahli dhahir dan penen­tang qiyas dan illat.  Dikatakan ahli dhahir, sebab ia mengambil dan me­nentukan hukum dari suratan teks al­ Qur'an dan al-Sunnah, yang dalam ba­hasa Arab disebut dhahirnya Nash.[1]

Beliau dilahirkan di Kufah pada tahun 202 H dan meninggal di Bagdad pada tahun 270 H. Ayahnya adalah panitra Qadhi Abdullah bin Khaliq al-Kufiy yang bertugas di Afganistan pada masa al- Ma’mun khalifah ke 7 dari bani Abbas.Tokoh ini lebih populer dikenal dengan sebutan Daud az-Zahiriy karena dalam melakukan istinbat hukum lebih menekankan dan berpegang pada zahir nash al-Kitab dan al-Sunnah.[2]

Imam Daud az-Zahiriy bertempat di Bagdad dan asalnya dari kalangan penduduk Qasyam, beliau bermazhab syafi’i dan amat teguh memegang hadits sedang ayahnya bermazhab Hanafi, namun pada akhirnya beliau menentang mazhab Syafi’i mempergunakan qiyas dan memandangnya sebagai sumber hukum.[3]

Dalam mempelajari hadis Nabi beliau belajar pada seorang ulama hadis terkenal pada masanya Ishaq ibn Rawahaih. Demikian juga ia selalu menerima dan menemui para ulama dalam usahanya mempelajari dan mengumpulkan berbagai hadits. Beliau juga merupakan seorang ulama yang terkenal anti taklid. Beliau juga memiliki kemampuan luar biasa dalam bidang tulis menulis, akan tetapi hasil karyanya itu sudah lama menghilang bersama dengan para penukilnya.[4]

C.    Lingkungan latar sosial budaya Masa Dawud Bin Khalaf

Mazhab ini muncul sebagai reaksi terhadap beberapa pemikiran, terutama di bidang fikih yang berkembang pada abad kedua Hijriyah. Pada abad itu terjadi pertentangan antara ahlulhadis (golongan yang dalam menetapkan hukum berpegang pada Alquran dan hadis, tidak mau menggunakan ijtihad) dan ahlur ra’yi (golongan yang dalam menetapkan hukum selain berpegang pada Alquran dan hadis juga menggunakan akal pikiran atau ijtihad).

Pada waktu yang sama, telah lahir pula gerakan Batiniah di kalangan kaum Syiah, suatu aliran yang hanya mengambil arti batin dari nash. Selain daripada itu, telah lahir pula aliran Muktazilah yang memandang akal lebih utama dan lebih menentukan daripada wahyu dalam menetapkan segala persoalan agama. Mazhab az-Zahiri lahir sebagai reaksi terhadap aliran-aliran yang berkembang di masa itu, terutama aliran Batiniah kaum Syiah.

Dalam sejarah perkembangannya, mazhab az- Zahiri ini pernah berkembang pesat dan tersebar luas serta mempunyai pengikut yang tidak sedikit jumlahnya. Pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, az-Zahiri merupakan mazhab fikih keempat di dunia Islam, setelah mazhab Syafi‘i, mazhab Hanafi, dan mazhab Maliki.[5]

D.    Pendidikan, Guru dan Murid Imam Dawud Bin Khalaf

Tokoh yang dijuluki Abu Sulaiman ini dibesarkan dan berdomisili di Baghdad sampai meninggal dunia. Ia meninggal di Baghdad pada bulan Ramadhan dan dikuburkan disana. Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafidz dan pendiri madzhab al-dzohiry. Beliau merantau ke Naisabur dan besar di Baghdad. Pada mulanya ia merupakan penganut fanatik madzhab syafi’i, dan termasuk orang yang begitu mencintai sang Imam sehingga menulis dua buku mengenai keutamaan dan sanjungan kepada Imam Syafi’i.  Meskipun ayahnya seorang penganut madzhab Hanafi. Beliau belajar tidak langsung kepada Imam Syafi’i, akan tetapi dari murid dan sahabat Imam Syafi’i, karena ia baru berusia 4 tahun ketika Imam Syafi’i wafat.

Di samping mempelajari fiqh Syafi’i, beliau juga mempelajari hadits dari para muhadits semasanya. Beliau menerima hadits dari orang-orang yang bermukim di Baghdad, kemudian berkunjung ke Naisabur, Iran, dan meriwayatkan hadits dari para muhadits negeri tersebut. Beliau menyusun hadits-hadits yang diriwayatkan di dalam bukunya sehingga-ketika berorientasi ke fiqh Zhahiri- fiqhnya merupakan hadits yang di riwayatkannya oleh beliau.[6]

Namun tidak lama menganut madzhab ini beliau keluar dan berkata “sesungguhnya sumber-sumber hukum Islam adalah nash-nash saja”. Ia menolak dan tidak mengikuti qiyas. Ketika ditanya, bagaimana Anda membatalkan qiyas padahal Imam syafi’i menganutnya? beliau menjawab, ‘saya mengikuti argumentasi Syafi’i dalam membatalkan Istihsan, maka saya juga menemukan adanya pembatalan pada qiyas’.

Daud az-Zhahiri termasuk dalam tingkatan imam mujtahid. Keluasan ilmu dan pengaruhnya di masyarakat dapat dilihat dari banyaknya yang hadir di majlis tempat ia mengajar. Dikatakan, setiap harinya ada empat ratus orang yang hadir di majlis Imam Daud. Imam Daud seorang mujtahid, muhaddits, hafiz, zahid dan wara’. Diantara guru beliau adalah Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaurin. Beliau dikenal sebagai tokoh yang tidak terikat pada pendapat jumhur atau mayoritas ulama. Ia sering menggunakan majlis studi sebagai ajang argumentasi dan mengajak untuk berfikir berdasarkan orientasi Alquran dan Sunnah semata.[7]

Daud mempunyai murid yang cukup banyak. Dinyatakan bahwa pada majelisnya terdapat lebih kurang empat ratus orang murid yang berserban hijau. Di antara murid-muridnya itu ada yang menjadi ulama yang cukup menonjol, seperti: Ibrahim bin Muhammad Naftawaih, seorang ahli nahwu di samping ahli fikih, Zakaria bin Yahya al-Saji, 'Abbas bin Muhammad Muzakkar, Muhammad bin Daud, dan Yusuf bin Ya'qub serta 'Abd Allah bin al-Muglis, Sepeninggal mereka masih cukup banyak yang mendukung dan membela mazhabnya. Di antaranya ialah: Ahmad bin Muhammad al-Qadhi al-Mansuri, 'Abd Allah bin 'Ali bin Husain bin Muhammad al-Nakhai, dan 'Abd al-Aziz Ahmad al-Jazri al-Asfiharti. Disamping nama-nama tersebut, Ibn al-Nadim juga menyebut-nyebut nama 'Abd al-Mun'im bin Tulail al-Tamimi al-Nasafi (w. 346 H.), seorang yang terkenal ketaatannya dan disebut-sebut sebagai pengikut Daud.[8]

E.    Karya Dawud Bin Khalaf (1/2 halaman)

Mazhab Zahiri memiliki banyak karangan yang terdiri dari berbagai bidang, di antaranya meliputi bidang fiqih, ushul fiqih, dan bidang lainnya. Karangan-karangan tersebut diantaranya:

1.     Kitab al-Hujjah (buku tentang argumentasi)

2.     Kitab al-Khabar al-mujib li al-‘Ilm (buku mengenai informasi keilmuan)

3.     Kitab al-Khusus wa al-Umum (buku tentang penjelasan mengenai lafal umum dan khusus)

4.     Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal (buku mengenai lafal yang jelas dan tidak jelas pengertiannya)

5.     Kitab Ibthal al-Qiyas (buku yang membahas masalah penolakan terhadap qiyas)

6.     Kitab Ibthal al-Taqlid (buku yang berisi penjelasan mengenai larangan bertaqlid)

7.     Kitab Khabar al-Wahid (buku tentang hadits ahad).[9]

 

F.    Area Pengaruh Mazhab Zhahiri

Mazhab Zhahiri berkembang pesat di wilayah Irak dan sekitarnya pada kurun abad ke 3 dan ke 4 H. Mazhab Zhahiri adalah mazhab ke empat di negeri Timur setelah Hanafiy, Syafi’iy, dan Malikiy. Kemudian disusul Hanbaliy. Namun pada abad ke 5 H, di bawah al-Qadhi Ibn Abi Ya’la (w. 458), Mazhab Hanbali berkembang mengalahkan Mazhab Zhahiri.[10]

Mazhab Zahiri banyak mendapat tantatangan dan perlawanan yang hebat. Hal ini dikarenakan Imam Daud melarang taklid secara mutlak sekalipun itu orang awan. Jika ia tidak mampu berijtihad hendaknya bertanya kepada orang yang mampu memberikan penjelasan dalil Alquran, Sunnah ataupun ijma’.[11]

M. Abu Zahroh menulis, ada dua faktor penyebab mazhab ini tersebar:

1.     Karya-karya Imam Daud. Ia telah menulis sejumlah buku yang kesemuanya berisi Sunnah dan Atsar, menyangkut penetapan dalil-dalil furu’ fikih mazhab Zhahiri, penjelasan hukum dan ketercakupan nash-nash terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul.

2.     Para murid yang turut menyebarkan mazhab ini -terutama anaknya Abu Bakr bin Daud- yang mengajak masyarakat kepada mazhab Zhahiri dengan mengumandangkan kedudukan Sunnah pada saat banyaknya corak ragam fikih dan mazhab-mazhab yang muncul.[12]

Pada saat Mazhab Zhahiri mundur di negeri Timur, Mazhab ini benderang di Andalusia. Bukan karena banyaknya pengikut melainkan karena sosok intelektual cemerlang Ibn Hazm. Seorang tokoh yang memiliki argumentasi kuat dan berpengetahuan luas dibidang fikih, filsafat, sastra, dan kebudayaan. Ibn Hazm berjasa besar melestarikan Mazhab Zhahiri sehingga furu’ dan ushul mazhab tidak berserakan di buku-buku dan dalam mazhab-mazhab lain.[13] Karya Ibn Hazm termasuk dalam deretan karya-karya besar khazanah Islam.

Benih-benih mazhab Zhahiri sudah terdapat di Andalusia sejak Imam Daud masih hidup. Pada Abad ke tiga Hijriah, sekelompok ulama Andalusia melakukan perjalanan ilmiah ke Negeri Timur (Baghdad) dan bertemu dengan Imam Ahmad dan juga para tokoh ulama seperti Imam Daud dan lainnya. Para ulama ini lalu menyebarkan apa yang mereka dapati dari Timur berupa Sunnah, atsar, dan juga mazhab. Diantara mereka ada yang menyebarkan mazhab tersebut.

 

G.   Karakteristik Metode Istimbath dan Pendekatan Dawud Bin Khalaf dalam Memahami Nash

Dalam sejarah pengkajian hukum Islam, dikenal beberapa madzhab fiqh, yang secara umum terbagi menjadi dua, yaitu madzhab Sunni dan Syi’i. Dikalangan Sunni terdapat beberapa madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali, Dhahiri, Auza’I, Thabari dan Laits. Sementara dikalangan Syi’ah terdapat dua madzhab fiqh yaitu Zaidiyah dan Ja’fariyah. Namun yang berkembang kini hanyalah madzhab Ja’fariyah dan Syi’ah Imamiyah.

Seperti disebutkan di muka, bahwasanya Imam Daud Az Zhohiri yang sempat mengagumi Imam Syafi’I akhirnya menolak ijtihad beliau tentang qiyas, kemudian Daud al-zhahiri mengemukakan teori kajian hukum yang lebih menekankan pada pengalaman literaris untuk diaplikasikan pada kenyataan kehidupan mukallaf. Dan itulah menurutnya yang disebut istidlal. Dengan demikian, menurutnya sumber hokum itu adalah al-Qur’an dan al-Sunnah. Kemudian menurutnya ijtihad hanya dapat dilakukan untuk mengaplikasikan pesan ayat pada kehidupan dan perbuatan mukallaf.

Adapun yang menjadi pedoman serta alasan Imam Daud al-zhahiri dalam menetapkan suatu hukum antara lain sebagai berikut :

1.     Al-qur’an.  

Pegangan utama dari madzhab dhahir ialah dzahir nash-nash yang diambil daripada al-Qur’an. Hujah serta alasan yang dikemukakan oleh beliau dikarenakan semuanya tertulis lengkap dan dijelaskan di dalam al-Qur’an. Baik penjelasan secara langsung daripada al-Qur’an itu sendiri atau dijelaskan dengan Hadits. Dengan kata lain, madzhab ini secara toeritis berdasarkan lafadz zhahir dari nash al-Qur’an dan Hadits selama tidak ada dalil atau keterangan lain yang membolehkan ayat al-Qur’an ataupun Hadits tersebut diabaikan atau ditinggalkan.

2.     Hadits.

Selain daripada al-Qur’an, madzhab tersebut juga menggunakan dalil dari makna zhahir nash-nash yang dikutip hadits. Sebagaimana diketahui al-Qur’an dan Hadits saling melengkapi menjelaskan terhadap hukum dari al-Qur’an yang masih perlu penjelasan Hadits.

3.     Ijma’.

Madzhab zhahiri hanya menerima ijma’ sebagai sumber hukum ketika tidak ada dalil dari nash saja. Selain itu ijma’ dapat diterima dengan berdasarkan syarat tertentu pula yaitu ijma’ tersebut harus merupakan hasil kesepakatan dari seluruh ulama’ dan mujtahid yang ada, sesuai dengan pengertian ijma’ yang dikemukakan ulama’ ushul fiqh, bukan hanya dari kesepakatan golongan yang ada diwilayah tertentu saja.

4.     Ijtihad.

Imam Daud al-Zhahiri juga membuka ruang atau pintu ijtihad, tetapi tidak menerima segala sumber hukum seperti Qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan metode istinbath lainnya yang didasarkan pada ra’yu.[14]

 

H.   Analisis

Mazhab az-Zhahiri dibangun atas tekstualitas dalam menafsirkan hukum. Ia mengambil pemahaman dari teks secara penuh. Jika suatu hukum tidak didapati dalam teks, maka ia menggunakan ijma’ sahabat. Jika tetap tidak ada, ia mengambil ijma’ umat Islam. Adapun sumber hukum yang tidak disepakati seperti qiyas, istihsan, saddu adz-dzariah, dan lain-lain, ditolak oleh Az-Zhahiri. Secara umum, mazhab ini hanya mengakui Al-Qur’an dan sunah sebagai sumber hukum yang sah, yang dipahami dengan tekstual. Sehingga, mereka melarang penggunaan ra’yu (akal).[15]

Dari sudut tinjauan historis, Az-Zhahiri memang lebih muda dari tokoh-tokoh mazhab sunni lainnya seperti Imam Abu Hanifah (w. 767 M); Imam Malik ibn Anas (w. 795 M); Imam al-Syafi‘i (w. 819 M) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 855 M). Oleh karena masanya yang sangat berdekatan, maka kelihatannya keberadaan mazhab zahiri ini menjadi kalah populer dari mazhab-mazhab tersebut. Keempat tokoh yang disebut selain berpegang kepada nash, mereka juga melakukan penalaran dalam istinbat-nya, sementara Dawud ibn ‘Ali mengajak untuk hanya berpegang kepada nash dan meninggalkan penalaran.

Melihat kecenderungan aliran al-Syafi‘i yang sangat kuat berpegang kepada nash, telah mendorong Dawud banyak menemui guru-guru hadis yang tersohor pada masanya, seperti Sulayman ibn Harb, al-Qa‘nabi, ‘Umar ibn Marzuq, Musaddad ibn Musarhad dan disebut juga bahwa ia mempelajari hadis dari Ishaq ibn Ibrahim al-Hanzali yang populer dengan nama Ibn Rahawayh. Kekayaan perbendaharaannya di lapangan hadis ini telah membuatnya merasa tidak memerlukan sarana lain (selain nash) untuk menyelesaikan problematika yang timbul dalam bidang hukum. Atas dasar itu mulailah ia menawarkan metode (manhaj) zahiri-nya dan menolak penggunaan qiyas sebagai sumber hukum. Ia menegaskan: 

Sesungguhnya dasar-dasar penetapan hukum Islam adalah al-Kitab, sunnah dan ijma’ saja. Adapun qiyas tidak boleh dipakai sebagai dasar penetapan hukum. Qiyas pertama sekali digunakan oleh Iblis

Sampai abad ke-4 H, perkembangan mazhab zahiri ini masih terbatas di wilayah Irak dan seberang sungai Oxus (Transoksania). Memang seperti telah disebut, keberadaan mazhab zahiri setelah mazhab-mazhab lain membuatnya lambat berkembang. Ada beberapa faktor, yang menyebabkan lambannya perkembangan tersebut:

1.      Karena mazhab-mazhab yang empat telah demikian tersiar dan dianut oleh kaum muslimin, misalnya mazhab Hanafi di Irak, mazhab al-Syafi‘i di daerah Hijaz, Siria dan Mesir, mazhab Maliki di daerah Barat (al-Maghrib ) dunia Islam dan mazhab al-Hanbali juga di Irak.

2.      Penolakannya terhadap penggunaan qiyas yang berarti berbeda dengan anutan mayoritas ulama, membuatnya mendapat serangan/kritik yang pedas dan bertubi-tubi yang pada gilirannya membuat orang tidak mau mengikutinya.

3.      Tersiar bahwa Dawud ibn ‘Ali menganut faham bahwa al-Qur’an itu baharu (khalq al-Qur’an) dan orang yang ber-hadath besar (karena janabah atau hayd) boleh menyentuh dan membaca al-Qur’an. Pendapat mana pada masanya berbeda dengan yang dianut mayoritas Fuqaha’.[16]

 

I.      Kesimpulan

Nama Iengkapnya ialah Dawud ibn 'Ali ibn Khalaf al-Asfihani. la di­ kenal sebagai ahli dhahir dan penen­tang qiyas dan illat.  Dikatakan ahli dhahir, sebab ia mengambil dan me­nentukan hukum dari suratan teks al­ Qur'an dan al-Sunnah, yang dalam ba­hasa Arab disebut dhahirnya Nash. Mazhab ini muncul sebagai reaksi terhadap beberapa pemikiran, terutama di bidang fikih yang berkembang pada abad kedua Hijriyah. Pada abad itu terjadi pertentangan antara ahlul hadis dan ahlur ra’yi. Pada waktu yang sama, telah lahir pula gerakan Batiniah di kalangan kaum Syiah serta telah lahir pula aliran Muktazilah.

Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafidz dan pendiri madzhab al-dzohiry. Beliau merantau ke Naisabur dan besar di Baghdad. Di samping mempelajari fiqh Syafi’i, beliau juga mempelajari hadits dari para muhadits semasanya. Mazhab Zahiri memiliki banyak karangan yang terdiri dari berbagai bidang, di antaranya meliputi bidang fiqih, ushul fiqih, dan bidang lainnya. Mazhab Zhahiri berkembang pesat di wilayah Irak dan sekitarnya pada kurun abad ke 3 dan ke 4 H. Mazhab az-Zhahiri dibangun atas tekstualitas dalam menafsirkan hukum. Secara umum, mazhab ini hanya mengakui Al-Qur’an dan sunah sebagai sumber hukum yang sah, yang dipahami dengan tekstual. Sehingga, mereka melarang penggunaan ra’yu (akal).

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi, Istinbat Hukum Islam Perspektif Az Zahiri, Nurani, Vol. 14, No. 2, Desember 2014: 2748, H. 38-39.

Ahmad Qarib, Metode Ijtihad Mazhab Zahiri (Studi Tentang Pemikiran Ibnu Hazm Al-Andalusi), H. 20-21.

Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Cet. Ii; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), H.231.

Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, H. 175.

Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, Ter. Halid Alkaf, Cet. 1 (Jakarta:Penerbit Lentera, 2001) H, 175.

Http://Imanhsy.Blogspot.Com/2011/06/Biografi-Dan-Metode-Ushul-Fiqh-Imam.Html,

Http://Ulumsyareah.Blogspot.Com/2013/04/Mazhab-Az-Zhahiri-1-Pendiri-Dan.Html,

Https://Ibtimes.Id/Az-Zhahiri-Pendiri-Mazhab-Fiqh-Tekstual/,

Https://Mahira12.Blogspot.Com/2018/05/Biografi-Imam-Daud-Adz-Dzohiry-V.Html,

Https://Www.Republika.Co.Id/Berita/Os912f313/Mengenal-Mahzab-Azzahiri,

Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Cet. 1 Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997), H.153

M. Abu Zahroh, Tarikh Al- Mazahib Al-Islamiyah (Dar  Al-Fikr Al-Arabi, Tth.) Juz 2, H. 350.

M.A. Tihami, Dawud Al-Dhahiri Dan Aliran Al-Dhahiriyah, Jurnal Al-Qalam No. 52/X/1995.

Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, H. 207.

 



[1] M.A. Tihami, Dawud Al-Dhahiri Dan Aliran Al-Dhahiriyah, Jurnal Al-Qalam No. 52/X/1995.

[2] Huzaimahtahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Cet. 1 Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997), H.153

[3] Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Cet. Ii; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), H.231.

[4] Ibid, H. 155.

[8] Ahmad Qarib, Metode Ijtihad Mazhab Zahiri (Studi Tentang Pemikiran Ibnu Hazm Al-Andalusi), H. 20-21.

[9] Penulis Iain Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, H. 207.

[10] Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, Ter. Halid Alkaf, Cet. 1 (Jakarta:Penerbit Lentera, 2001) H, 175.

[11] M. Abu Zahroh, Tarikh Al- Mazahib Al-Islamiyah (Dar  Al-Fikr Al-Arabi, Tth.) Juz 2, H. 350.

[12] Ibid, H. 351.

[13] Dr. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, H. 175.

[16] Abdul Hadi, Istinbat Hukum Islam Perspektif Az Zahiri, Nurani, Vol. 14, No. 2, Desember 2014: 2748, H. 38-39.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

ringkasan Nahwu

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA