Maqashid Al-Syari’ah Menurut Thahir Bin ‘Asyur
Nama lengkapnya adalah Muhammad al-Thahir (Thahir II) ibn Muhammad
ibn Muhammad al-Thahir (Thahir I) ibn Muhammad ibn Muhammad al-Syadhili
ibn al-‘Alim ‘Abd al-Qadir ibn Muhammad ibn ‘Asyur (selanjutnya disebut Ibnu
‘Asyur). Lahir pada tahun 1296 H/1879 M di Tunisia, Afrika Utara, dan meninggal
di kota yang sama pada 3 Rajab 1393 H/ 12 Juni 1973 M. Ayahnya bernama Muhammad
ibn Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, seorang ulama yang menguasai banyak disiplin
ilmu.[1] Muhammad aṭ-Ṭahir
Bin ‘Asyur wafat pada hari Ahad, tanggal 13 Rajab 1393H bertepatan dengan 12
Agustus 1973M dalam usia 98 tahun kelender Hijriah atau 94 tahun menurut
kalender Masehi. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum az-Zalaj.
Muhammad aṭ-Ṭahir
Bin ‘Asyur menguasai berbagai bidang keilmuan dan kajian, antara lain: Bahasa,
Sastra, Tafsir, Hadis, Usul Fikih, Fikih Pendidikan, Sejarah, Filsafat,
dan Dialektika, bahkan Kedokteran. Ia adalah seorang mujtahid dan mujadid.
Manifestasi ijtihadnya terlihat nyata dalam karyakaryanya, seperti: Tafsir at-Taḥrir
wa at-Tanwir, Maqaṣid asy-Syari’ah al-Islamiyah, dan Alaysa aṣ-Ṣubḥu bi
Qarib.[2]
Gagasan
pembaharuan Ibnu ‘Asyur termanifestasi dalam pembaharuan sistem pendidikan
az-Zaitunah yang dipercayakan kepadanya.[3]
Sebagai langkah awal perbaikan analisis Ibnu ‘Asyur melakukan kritik terhadap
kompetensi tenaga pendidik, sistem, dan sistematik buku ajar sebagai bagian
utama faktor ketertinggalan pendidikan Islam. Ia mengatakan bahwa salah satu
factor kejumudan Usul Fikih sebagai legal teori hukum Islam adalah abai terhadap
maqaṣid syari’ah.[4]
Maqaṣid syari’ah menurutnya adalah tolok ukur tepat atau tidaknya suatu
istinbat hukum, tetapi Usul Fikih sebagai landasan teori Fikih tidak
menyediakan ruang yang cukup untuk pengkajian maqaṣid syari’ah. Ilmu maqaṣid
syari’ah meneliti indikator-indikator internal dan ekternal teks untuk
memahami tujuan yang menjadi substansi hukum. Oleh karena itu Bin ‘Asyur
menekankan keharusan menjadikan maqaṣid syari’ah sebagai topik utama
dalam pengkajian kaidah istinbat hukum Islam. Lebih jauh ia mewacanakan maqaṣid
syari’ah sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang sejajar dengan Usul
Fikih, tidak lagi menjadi sub-bab dalam Usul Fikih. Kitab Maqaṣid
asy-Syari’ah al-Islamiyyah karyanya sepertinya representasi kesungguhan
Ibnu ‘Asyur untuk mewujudkan gagasan tersebut.[5]
Menurut Ibnu ‘Asyur, maqaṣid al-syari’ah ialah:
المعاني والحكم
الملحوظة للشارع في جميع أحوال التشريع أو معظمها، بحيث لاتختص ملاحظتها بالكون في نوع خاص
من أحكام الشريعة، فيدخل في هذا أوصاف الشريعة
وغاياتها العامة والمعاني التي لا يخلو االتشريع عن ملاحظتها.
“Makna-makna
dan himah-hikmah yang menjadi
pertimbangan Syari’ dalam segenap atau sebagian besar
pen-tasyri’-annya, yang pertimbangannya itu tidak terbatas dalam satu jenis
tertentu. Jadi, termasuk ke dalam maqaṣid adalah karakteristik syari’ah, tujuan-tujuannya yang
umum, serta makna-makna yang tidak mungkin untuk tidak dipertimbangkan dalam
pentasyri’an”.[6]
Ini
menunjukkan bahwa perhatian ushul-nya Thahir Ibnu Asyur mengacu kepada
maqashid. Thahir Ibnu Asyur juga menyatakan bahwa, ‘’jika terjadi
pertentangan antara dua maslahat, maka didahulukan yang lebih besar maslahatnya’’.[7]
Keberadaan maqaṣid dalam syariat Islam secara umum dan khusus adalah
suatu keniscayaan karena sifat hikmah yang dimiliki Allah sebagai asy-Syariʻ
atau pembuat syariat yang memustahilkan faal Allah bersifat ʻabaṡ (tanpa
tujuan tertentu). Menurut Ibnu ‘Asyur identifikasi maqaṣid asy-syariʻah dapat
dilakukan dengan tiga metode, yaitu:
a.
analisis pola tasyriʻ yaitu dengan
meneliti tata cara kerja syariat melalui penelitian terhadap ilat hukum-hukum
yang ditetapkannya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan meneliti hukum-hukum
yang telah diketahui ilatnya, jika sejumlah hukum memiliki ilat yang mengarah
pada suatu hikmah tertentu maka hikmah dimaksud adalah maqaṣid syariʻah.
Yang kedua adalaha dengan meneliti dalil-dalil untuk menemukan ʻillah yang
sama dari sejumlah hukum yang berbeda; jika ditemukan sejumlah hukum yang
berbeda ternyata memiliki ʻillah yang sama, maka ilat dimaksud ditetapkan
sebagai maqaṣid Syariʻah.
b.
ayat-ayat Alquran yang bersifat waḍiḥ
ad-dalalah yaitu yang dengan sendirinya menunjukkan makna yang jelas
sehingga kecil kemungkinan bahwa yang dimaksud ialah selain makna tersebut.
c.
Hadis Mutawatir yaitu hadis ṣaḥiḥ
yang pada setiap periode periwayatan diriwayatkan oleh sejumlah orang yang
secara logika dan kebiasaan tidak mungkin bersepakat untuk berbohong.[8]
Ibnu ‘Asyur juga membagi maqaṣid
menjadi dua bagian: maqaṣid al-syari’ah al-‘ammah dan maqaṣid
al-syari’ah al-khaṣṣah. Maqaṣid al-syari’ah al-‘ammah adalah sasaran
dan tujuan syariat yang mencakup kepentingan dan kemaslahatan manusia secara
umum, seperti melestarikan sebuah system yang bermanfaat, menjaga kemaslahatan,
menghindari kerusakan, merealisasikan persamaan hak antarmanusia, dan
melaksanakan syariat sesuai aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah.[9]
Sedangkan maqaṣid al-syari’ah al-khaṣṣah adalah tujuan syariat yang
khusus, yakni tentang muamalat, yang di dalamnya mengupas berbagai isu maqaṣid
al-syari’ah, misalnya maqaṣid al-syari’ah hukum keluarga, maqaṣid
al-syari’ah penggunaan harta, maqaṣid al-syari’ah hukum
perundang-undangan dan kesaksian, dan sebagainya.[10]
1.
Maqaṣid asy-Syariʻah al-ʻAmmah
Menurut Ibnu
‘Asyur maqaṣid asy-syariʻah al-ʻamah ialah sifat khas, tujuan umum, dan
prinsip dasar, yang terkandung dalam seluruh pembentukan seluruh atau sebagian
besar hukum-hukum syariat. Dengan demikian Ibnu ‘Asyur tidak membatasi maqaṣid
asy-syariʻah pada jalb al-maṣaliḥ wa dar`al-mafasid, tetapi menjadikannya
sebagai salah satu dari sejumlah maqaṣid asy-syariʻah yang lain yang
terdiri atas awṣaf, tujuan umum, dan prinsip-prinsip dasar syariat Islam
sebagaimana dimaksud.
a.
Awṣaf atau sifat
khas syariat Islam, yaitu:
-
sesuai fitrah (Syariat Islam
diturunkan untuk menjaga agar manusia tetap menetapi fitrahnya yaitu menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur dan kebenaran.
-
samaḥah/toleransi
(setiap ijtihad hukum seyogianya melahirkan hukum yang tidak menimbulkan
kesulitan yang ekstrim tetapi juga tidak longgar dan mengabaikan norma-norma
dan kaidah-kaidah syariat yang disepakati; kemaslahatan dan kemudahan yang
dihasilkan harus lebih besar daripada kompensasi dan kesusahan yang harus
dihadapi)
-
universalitas (Islam adalah agama
universal, syariat Islam ditujukan untuk seluruh umat manusia lintas zaman dan
kawasan semenjak periode kenabian hingga akhir zaman)
b.
Tujuan umum syariat Islam, yaitu:
-
Kemaslahatan (Sumber-sumber syariat
yang menjadi dalil maqaṣid asy-syariʻah menunjukkan secara keseluruhannya
maupun secara parsial bahwa tujuan utama pembinaan syariat ialah memelihara
tatanan alam dan kelanggengan maslahatnya dengan menjaga kebaikan unsur yang
paling menentukan yaitu manusia)
-
sadd aż-żariʻah (Sadd aż-żari’ah sebagai
maqaṣid Syariʻah, dipahami dari pendekatan dan metode syariat dalam membina
hukum-hukum dan merealisasikan tujuannya. Allah ketika mengharamkan suatu
perbuatan juga mengharamkan perbuatan lain yang menyebabkan terjadinya
perbuatan diharamkan tersebut. Hanya saja Ibnu ‘Asyur menjadikan pertimbangan
maslahat-mafsadat sebagai kemestian dalam implementasi sadd żari’ah untuk
menghindari sikap guluw atau berlebih-lebihan dalam menetapkan hukum haram).
-
stabilitas dan ketahanan social
(tujuan pokok syariat Islam ialah menciptakan tatanan umat yang kukuh dan
stabil dengan mewujudkan semua kemaslahatannya dan menghindari segala sesuatu
yang membawa kemudaratan baginya)
c.
Prinsip-prinsip dasar syariat,
yaitu:
-
Kesetaraan (Islam melebur seluruh
penganutnya dalam suatu wadah persaudaraan Global dan diantara substansi
persaudaraan ialah kesetaraan dan persamaan hak masing-masing individu –dengan
segala perbedaan yang ada di antara mereka –dengan memiliki hak-kewajiban yang
sama terhadap syariat)
-
substansialitas hokum (Dikaitkannya
hukum dengan substansi tindakan hukum memungkinkan implementasi hukum-hukum
syariat secara relevan dan tepat pada setiap kondisi, karakter, dan bentuk
setiap aktivitas individual dan kolegial mukalaf secara luas dan menyeluruh)
-
ḥurriyah, (risalah Islam diturunkan
untuk menghapus penghambaan dan menjunjung tinggi kebebasan selama dalam
pelaksanaannya tidak menimbulkan mudarat atau kerusakan baik kepada pihak lain
maupun kepada diri sendiri)
-
supremasi hokum (upaya syariat agar
hukum dihormati dan ditegakkan dalam segala kondisi terlihat dari dua
pendekatan yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi mukalaf
yaitu ketegasan dan disiplin yang tinggi melalui peringatan keras dan ancaman
sanksi terhadap tindakan melanggar hokum serta kemudahan dan toleransi dalam
batas-batas yang tidak melanggar maqaṣid asy-syariʻah)
Dengan
demikian, setiap istinbat hukum yang dihasilkan oleh mujtahid hendaklah
mencerminkan karakter, tujuan, dan nilai-nilai tersebut; di mana produk ijtihad
dimaksud haruslah tidak melawan fitrah, moderat, dapat bersepadan dengan
situasi dan lingkungan, mendatangkan maslahat yang signifikan, berlaku setara
sepanjang fitrah menghendaki keseteraan dimaksud, tidak mudah dimanipulasi,
tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar tinimbang maslahat yang dihasilkan,
melindungi hak-hak individual, dan berdampak positif bagi penguataan stabilitas
dan ketahanan sosial.[11]
2.
Maqaṣid
Asy-Syariʻah Khusus
Maqaṣid
asy-syariʻah khusus menurut Ibnu ‘Asyur ialah: ketentuan-ketentuan hukum yang
disyariatkan untuk melindungi kemaslahatan umum serta hikmah atau tujuan-tujuan
yang hendak diwujudkan melalui implementasi ketentuan-ketentuan hukum dimaksud.
Batasan khusus dalam konteks ini ialah khusus pada masing-masing
kategori hukum muamalat sebagaimana dinyatakan secara langsung oleh Ibnu
‘Asyur. Ia kemudian mengelompokkan hukum muamalat menjadi enam kategori, yaitu:
hukum kekeluargaan, hukum perniagaan, hukum ketenagakerjaan, hokum tabarruʻat,
hukum peradilan dan kesaksian, serta hukum (sanksi) pidana.
a)
Maqaṣid hukum
perkeluargaan: mengukukuhkan ikatan pernikahan, mengukuhkan hubungan nasab,
mengukuhkan hubungan persemendaan, dan menentukan tata cara pemutusan
masing-masing hubungan.
b)
Maqaṣid syariʻah hukum
perniagaan ialah: rawaj, transparansi, perlindungan harta, berkekuatan
hukum, berkeadilan.
d.
Maqaṣid syariʻah hukum
ketenagakerjaan ialah: intensifikasi muamalah ketenagakerjaan, rukhṣah untuk
garar yang susah dihindari, tidak memberatkan penggarap, berlaku mengikat jika
pekerjaan telah dimulai, pekerja atau penggarap dapat mengajukan syarat
tambahan, menyegerakan pembayaran imbalan, keleluasaan teknis penyelesaian
pekerjaan, menghindari unsur-unsur perbudakan.
c)
Maqaṣid syariʻah hukum tabarru’at
atau donasi ialah: intensifikasi tabarruʻat, suka rela mutabarriʻ,
fleksibilitas, perlindungan terhadap hak-hak pihak terkait.
d)
Maqaṣid syariʻah hukum
peradilan ialah: lembaga peradilan sebagai perangkat yang mendukung upaya
penegakan kebenaran dan membungkam kebatilan, penyerahan objek sengketa kepada
yang berhak sesegera mungkin, kesaksian yang berdasarkan fakta, dan
dokumentassi kesaksian.
e)
Maqaṣid syariʻah hukum sanksi
pidana ialah: memberi efek jera kepada pelaku, memberi rasa puas kepada korban
atau keluarganya, memberi efek ngeri atau takut kepada yang lain.
Jika Al-Juwainiy dan al-Gazali menggeneralisir jalb al-maṣaliḥ
wa dar` al-mafasid sebagai maqaṣid asy-syariʻah, dan ʻIzz bin ʻAbdus-Salam
kemudian menjabarkan maqaṣid secara terperinci pada masing-masing jenis
hukum baik ibadah ritual maupun muamalah, maka dapat dikatakan bahwa pemikiran maqaṣid
khaṣṣah Ibnu ‘Asyur berada di antara keduanya. Ibnu ‘Asyur
mengklasifikasikan hukum-hukum yang mengatur interaksi antar mukalaf ke dalam
rumpun-rumpun tertentu kemudian merumuskan maqaṣid syariʻah pada
masing-masing rumpun. Tampaknya hal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran tentang
dinamika muamalah yang terus berkembang tidak terbatas pada yang telah ada,
sehingga ijtihad akan selalu dibutuhkan. Melalui maqaṣid asy-syariʻah al-khaṣṣah
Ibnu ‘Asyur menawarkan suatu konsep sebagai perangkat untuk memudahkan
ijtihad-jtihad dimaksud dan menjadikannya lebih dekat dengan kebenaran.[12]
[1] Irham Sya’roni, Maqaṣid Al-Syari’ah Dalam Nalar
Ilmiah Thahir Ibnu ‘Asyur, Hal. 4, https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/4701/Ushul%20Fiqh%206.%20ok.pdf?sequence=1&isAllowed=y.
[2] Indra, Maqaṣid Asy-Syariʻah
Menurut Muhammad At-Ṭahir Bin ʻAsyur, Tesis Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara Medan, 2016, Hal. 39.
[3] Ibid, Hal. 40.
[4] Muhammad Aṭ-Ṭahir Bin ‘Asyur, Alaisa
Aṣ-Ṣubḥu Bi Qarib: At-Ta’lim Al-‘Arabiy Al-Islamiy, Tarikhiyah Wa Ara` Iṣlaḥiyah
(Tunisia: Dar As-Salam), 2006, Hal. 100.
[5] Indra, Hal. 42
[6] Muhammad Thahir ibn
‘Asyur, Maqaṣid al-Syari‘ah
al-Islamiyyah, (Amman: Dar al-Nafais), 2001, hal. 15.
[7] Orien Effendi, Kontribusi Pemikiran
Maqasid Syari’ah Thahir Ibnu Asyur Dalam Hukum Islam, Bilancia Vol. 14 No.
2, Juli-Desember 2020, Hal. 259.
[8] Indra, hal. 70.
[9] Siti Muhtamiroh, Muhammad Thahir bin ‘Asyur
dan Pemikirannya tentang Maqashid al-Syari’ah, Jurnal at-Taqaddum, Vol.
5, No. 2, 2013, hal. 271-272, https://journal.walisongo.ac.id/index.php/attaqaddum/article/view/698/620.
[10] Bekti Cikita Setiya Ningsih, Comparison Of
Al-Syatibi And Thahir Ibn Asyria’s Thoughts On Maqashid Shari’ah, MIZANI:
Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan Volume 8, No. 1, 2021, hal. 19.
[11] Orien Effendi, Hal. 260 – 266. Indra, hal. 72
– 112.
[12] Indra, hal. 141-142.
Komentar