Maqashid Al-Syari’ah Menurut Rasyid Ridla

 

Muhammad Rasyid Ridho dilahirkan pada tahun 1865 M di Qalamun suatu desa di Lebanon dengan nama Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsudin bin Baha‟udin Al-Qolmuni Al-Husaini. Pada usia dua puluh delapan tahun, tepatnya tahun 1310 H/ 1892, terjadi revolusi besar dalam pemikirannya yang mengubah secara drastic pemahamannya terhadap Islam. Ini bermula ketika Rasyid Ridha menemukan beberapa edisi koran al-‘Urwatul Wutsq, yang concern dalam upaya mengobarkan spirit modernisasi pemikiran serta revivalisasi peradaban umat Islam yang tengah tiarap. Koran ini merupakan corong pemikiran Jamaluddin al-Afghani (1254 H/ 1839-1314 H/1897) dan Muhammad Abduh (1266 H/ 1848-1323 H/1905).

Tulisan-tulisan kedua tokoh ini membuatnya tersadar bahwa Islam tidak hanya agama rohani yang berkutat pada dimensi batin manusia, namun merupakan agama yang menyeimbangkan antara aspek duniawi dan ukhrawi, rasional dan sangat concern pada pengembangan peradaban umatnya. Islam juga merupakan agama yang diturunkan untuk membawa kesejahteraan dalam kehidupan duniawi manusia serta mempersiapkannya menjadi khalifah Allah swt. yang bertanggung jawab mewujudkan kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

Ridha merupakan penulis yang prolifik, yang telah menghasilkan karya-karya besar dalam pemikiran tafsir, hadith, politik, dakwah, kalam, perbandingan agama, fiqh dan fatwa. Antara tulisannya termasuklah Tarikh Al-Ustadh Al-Imam Al-Syaikh Muhammad ‘Abduh (Biografi Imam Muhammad Abduh),  Nida’ li Jins al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Muhammadi (Wahyu Nabi Muhammad), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tashri‘ Al-‘Am (Kemudahan Islam dan Prinsip-prinsip Umum dalam Syari‟at), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-‘Uzma (Khalifah dan Imam-Imam yang Besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (Dialog Antara Kaum Pembaharu dan Konservatif), Zikra Al-Maulid AnNabawiy (Memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad), dan Haquq AlMar’ah As-Salihah (Hak-hak Wanita Muslim).

Adapun kontribusi monumental Rasyid Ridha berikutnya adalah tafsir al-Manar (Tafsir al-Qur’an al-Hakim) yang merefleksikan pandangan-pandangan progresifnya dalam memahami Kitabullah yang tentunya menjadi sandaran utama menuju revivalisasi umat. Ide-ide modernisasi dan reformasi serta karakteristik dan model kebangkitan umat yang ingin diwujudkan Sang Tokoh akan dapat diamati dengan jelas di sela-sela interaksinya dengan ayat-ayat Kitab Suci ini.[1]

Rasyid Ridha menetapkan ijtihad sebagai penetapan hukum tidak lain bahwa didalam Al-Qur’an terdapat 510 ayat menjelaskan tentang politik, sedangkan selebihnya yaitu ibadah dan muamalah. Sedangkan jika merujuk pada hadits ahkam ada sekitar 500 dari 4000 berbicara tentang politik. Oleh karena itu, penggunaan ijtihad sangat penting sebab nabi juga telah mensetujuinya dengan syarat ada sandaran yang otentik baik dari Al-Qur’an maupun Hadits nabi. Dalam ijtihad, Rasyid Ridha memberikan peran penting umara’ sebagai kepala pemerintahan dalam menjalankan kewajibannya. Oleh sebab itu, ia membagi menjadi 2 dalam menetapkan suatu hukum ; pertama, ijtihad melalui ijma’ yang dilakukan oleh mujtahid. Kedua, ijtihad yang dilakukan oleh penguasa dalam masalah pemerintahan, birokrasi, dan militer.[2]

Tulisan - tulisan Muhammad Rasyid Ridla mengisyaratkan perlunya mashlahat diwujudkan untuk menghindari kesulitan dan menarik kemanfaatan meskipun beliau tidak mendifinisikan maslahat tersebut. Beliau menuturkan bahwa diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai mashlahat. Beliau tidak banyak berkomentar tetang perbedaan tersebut namun, dari beberapa tulisannya tersirat bahwa beliau setuju dengan pemikiran mashlahat yang dikemukakan asy-Syathibi. Ridla, bahkan memuji Syatibi sebagai tokoh teliti yang mampu secara bebas menjelaskan perbedaan antara mashlahat dan bid’at. Menurutnya, belum ada tokoh pendahulu dan susulan yang menyamainya.

Sebagaimana dikemukakan dalam kitab al-I’tisham, Syathibi menyetujui mashlahat mursalat dengan makna al-munasib yaitu makna yang memiliki konteks atau keserasian dengan nash. Syatibi mengemukakan bentuk-bentuk ketetapan hukum berdasarkan mashlahat mursalat antara lain; Pertama, kesepakatan para Sahabat mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf. Kedua, kesepakatan para sahabat menentukan hukuman had pada peminum minuman keras. Ketiga, pendapat Imam Malik tentang perlunya hukuman dalam penjara. Dan keempat, menetapkan Imam (khalifah) yang bukan kategori mujtahid ketika terjadi kekosongan mujtahid.

Rasyid Ridla sependapat dengan kasus mashlahat mursalat yang ditampilkan Syatibi di atas, ia bahkan menyebutnya sebagai penjelasan yang sangat detail dan jelas. Menurutnya, Syatibi telah membuktikan kasus mashlahat mursalat mengacu kepada petunjuk nash dan as-sunnat al-’amaliyyat, sedang sebagian lagi sejalan dengan qiyas yang benar.

Di samping mengakui pemikiran Syatibi, Ridla juga menambahkan bahwa dengan mengacu Hadis La dlaraara wa la dlirara, kasus-kasus yang berhubungan dengan aspek muamalah, seperti masalah peperangan, pengelolaan negara, peradilan dan politik telah diselesaikan para sahabat melalui mashlahat mursalat. Para Sahabat, kata Ridla, telah mengamalkan Hadis itu karena berdasarkan penelitiannya Hadis itu sangat sejalan dengan ayat yang mengandung penolakan kemafsadatan dan penarikan kemashlahatan dalam masalah waris dan perkawinan.

Rasyid Ridla sangat jelas menggunakan mashlahat sebagai salah satu metoda penetapan hukum. Misalnya, ia berpendapat bahwa racun dari satu sisi adalah sangat dilarang dan sangat berbahaya untuk diminum dan dimakan, namun ia membolehkan menggunakannya apabila racun itu menurut dokter dapat digunakan untuk pengobatan. Sebaliknya ia melarang memakan suatu makanan yang dihalalkan syara’ apabila berdaraskan dokter makanan itu sangat mengganggu kesehatan. Demikian pula ia melarang mentasarufkan barang (benda) yang dibolehkan syara’ apabila berdasarkan ijtihad hakim benda-benda itu sangat mengancam kemashlahatan.

Rasyid Ridla menambahkan bahwa semua ketetapan kasus di atas tidak berjalan permanen. Agama sebagai petunjuk dari Allah swt., menurutnya, telah menggariskan sesuatu ajaran yang adil dan benar. Segala sesuatu yang ada di dunia apa saja bentuknya dapat dihalalkan atau diharamkan, tergantung kepada terbangunnya ‘illat hukum yang jelas dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh nash.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa Ridla adalah pemikir yang menerapkan metodologi ijtihad dalam menggali ajaran al-Islam (memecahkan hukum). Metode yang digunakannya tidak lain, pertama, ia wajib mengacu pada Alquran dan Hadis sebagai sumber utamanya. Kedua, apabila tidak dijumpai dalam kedua sumber tersebut ia melakukan ijtihad melalui qiyas dan mashlahat. Qiyas dan mashlahat yang ditawarkannya adalah pertama, yang tidak bertentangan dengan Alquran dan Hadis. Ketiga, tidak boleh menetapkan qiyas dan mashlahat terhadap masalah yang telah ditetapkan oleh ulama salaf (para sahabat) melalui ijma. Sebab semua persoalan yang menyangkut hukum yang telah ditetapkan oleh ulama salaf (para sahabat) tidak mungkin bertentangan dengan petunjuk Syariah (Alquran dan Hadis). Oleh karena itu, Ridla mengemukakan tahapan-tahapan sistematis atau rambu-rambu yang perlu dijadikan titik tolak sebelum ijtihad itu dilakukan.

1.   Terhadap masalah yang ada nashnya secara qath’i, maka wajib mengamalkannya dan tidak ada tempat untuk dilakukan penalaran akal melalui ijtihad.

2.   Apa yang tercakup dalam nash secara jelas baik dari aspek ‘illat, aspek keumumannya, dan aspek mafhumnya maka merupakan kesepakatan ulama sejak awal untuk dapat diaplikasikan (diamalkan).

3.   Terhadap masalah yang tidak terdapat dalil qath’i dalam nash, atau Hadis yang dari sisi riwayatnya tidak sahih, maka merupakan wilayah perbedaan pendapat di kalangan para sahabat.

Bahkan Ridla lebih tegas bahwa hasil ijtihad para ulama merupakan karya kreatif yang tidak mutlak dikuti (taklid), sepanjang tidak jelas bersumber dari Alquran dan Hadis. Namun ia pun membolehkan mengamalkan (menghargai) hasil ijtihad para ulama yang sejalan dengan Alquran dan Hadis. Adapun yang berhubungan dengan masalah besar seperti masalah poltik dan masalah peradilan hukum, Ridla mengusulkan ulu al-amr yang berkewajiban bermusyawarah melakukan ijtihad dengan melakukan penelitian terhadap dilalat an-nash baik melalui qiyas maupun mashlahat.

Kemudian syarat-syarat ijtihad oleh para ulama dicermati Ridla karena mereka tidak melengkapi syarat-syarat ijtihad dengan subtansi yang berkaitan dengan pengetahuan mujtahid di bidang kemashlahatan umum, pengaturan persoalan-persoalan umum seperti keamanan, keselamatan, peperangan, harta dan politik. Bahkan para ulama tidak mensyaratkan mujtahid mengetahui hukum-hukum peradilan, termasuk pengetahuan cara-cara bermu’amalah yang (tentunya) belum terjadi di masa-masa awal. Pandangan Ridla tentang ijtihad, sebenarnya yang dimaksudkan adalah perlunya sikap ketulusan, kehati-hatian dan tidak ceroboh. Ia juga tidak ingin mentabukan kreativitas ijtihad, tetapi yang penting bagi kelompok yang mampu berijtihad tidak dibenarkan sebebas-bebasnya menggali dan memahami ajaran Islam melalui ijtihad yang tidak bertanggung jawab. Mereka wajib melaksanan ijtihad sesuai dengan petunjuk dan maksud yang disyari’atkan Alquran berdasarkan prinsip keadilan, persamaan, menghilangkan kesempitan dan kesulitan, prinsip kebolehan karena darurat, serta prinsip mengembalikan amanah kepada yang berhak (ahlinya).[3]


[1] Asep Hilmi, Pemikiran Modern Hukum Islam Rasyid Ridha, Tazkiya Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan & Kebudayaan, Vol. 18 No. 2 (Juli-Desember) 2017, hal. 192 – 195.

[2] Jarman Arroisi dan Adi Rahmat Kurniawan, Ijtihad, Pendidikan, dan Politik dalam Pemikiran Muhammad Rasyid Ridha, El-Afkar Vol.  10 Nomor.  1, Januari-Juni 2021, hal. 42.

[3] Fauzul Iman, Konsep Qiyâs dan Maslahah dalam Ijtihad Muhammad Rasyid Ridla, Tajdid, Vol. 26, No. 2, 2019, hal. 158-165.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

ringkasan Nahwu

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA