Maqashid Al-Syari’ah Di Dunia Modern
Dalam proses sejarah aturan-aturan syariah
mengalami berbagai ragam interpretasi sehingga melahirkan berbagai konsep. Di
antara konsep yang paling masyhur ialah konsep al-Syatibi tentang maqashid
al-syariah yang secara literar berarti tujuan penerapan hukum. Sejak terbitnya
kitab al-Muwafaqat karya al-Syatibi, maqashid al-syariah menjadi suatu konsep
baku dalam ilmu ushul fiqh yang berorientasi kepada tujuan hukum syariah.
Sebelum al-Syatibi, metode penalaran terhadap nash masih didominasi oleh dua
teori, yaitu teori keumuman lafal (umum al-lafz) yang dipegang oleh jumhur
ulama dan teori kekhususan sebab (khushush al-sabab) yang dipegang oleh ulama
minoritas.
Jumhur ulama menetapkan kaidah bahwa yang
menjadi pegangan ialah redaksi lafal umum, bukan sebab khusus (al-ibrah bi umum
al-lafaz, la bi khushhush al sabab). Maksud kaidah ini ialah jika suatu nash
menggunakan redaksi bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain
menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu turun untuk menanggapi suatu
peristiwa khusus. Sedangkan ulama minoritas menetapkan kaidah bahwa “yang
dijadikan pegangan ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal ‘al-ibrah bi
khushush al-sabab, la bi umum al-lafdz. Maksudnya ialah jika suatu nash turun
untuk menanggapi suatu sebab khusus, atau satu nash mempunyai riwayat sebab
nuzul atau sebab wurud, maka yang perlu dipegang ialah sebab khusus tersebut.
Pembicaraan tentang pembentukan atau
pengembangan hukum yang dalam istilah ushul fiqh disebut ijtihad berkaitan erat
dengan perubahan-perubahan social yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat.
Ijtihad, baik secara langsung atau pun tidak dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan social yang diakibatkan oleh antara lain kemajuan ilmu dan
teknologi, sedangkan disadari bahwa perubahan-perubahan social itu harus diberi
arah oleh hukum, sehingga dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan umat
manusia.[1]
Maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata maqashid
merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan,
sedangkan syari'ah mempunyai pengertian hukum-hukum Allah. yang
ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk
mencapai kebahagiaan
hidup di dunia maupun di akhirat. Maka dengan demikian, maqashid
al-syari'ah berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum.[2]
Maqasid al-Syari’ah adalah tujuan utama (nilai universal) yang akan dicapai dari ketetapan hukum
baik secara umum maupun secara khusus. Sedangkan dalam usaha menangkap dari
tujuan Syari’ah atau hukum harus memperhatikan dalil-dalil atau dasar
hukum secara komprehensif dan kemaslahatan manusia. Sebagian ulama berpendapat Maqasid
al-Syari’ah merupakan hikmah dan rahasia dari ketetapan hukum. Sementara ulama
kontemporer cenderung kepada nilai universal dalam memaknai Maqasid
al-Syari’ah, yaitu: pesan moral dari Tuhan yang akan disampaikan kepada
manusia melalui sebuah hukum atau syari’ah. Dari uraian tersebut diatas tentang
makna Maqasid al-Syari’ah bisa disimpulkan bahwa Allah Swt yang
menurunkan Syari’ah memiliki tujuan yaitu untuk kemaslahatan bagi
manusia dan menghindarkan manusia dari kemadharatan baik didunia dan diakhirat.[3]
Maqashid
Syariah sebagai sebuah ilmu tidak lahir begitu saja, melainkan melului proses
yang cukup panjang. Dan kalau kita perhatikan di dalam banyak ayat Al-Quran,
kita akan menemukan jejak-jejak maqashid ini, misalnya ketika Allah SWT
berfirman :
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا
يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
Artinya : “Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.
Banyak
para ulama terdahulu yang sudah menyinggung maqashid syariah, namun belum
terdefinisikan. Akhir abad kelima baru mulai muncul karya di bidang Maqashid
Syariah secara lebih khusus dalam suatu karya tersendiri. Setelah era
Asy-Syathibi, nampaknya ilmu Maqashid Syariah mengalami stagnan. Baru muncul
lagi setelah abad 15 hijryah, yang ditandainya dengan kemunculan Ibnu Asyur (w.
1393 H) yang dipandang sebagai bapak maqashid modern.[4]
Sebagai
sumber utama ajaran agama Islam, Al-Qur’an mengandung berbagai ajaran yaitu
aqidah, akhlak, dan syariat. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan,
akhlak berkenaan dengan etika-moral sedangkan syariat berhubungan dengan
berbagai aspek hukum yang timbul dari perilaku dan perkataan. Seseorang yang
ingin memahami kandungan Alquran dituntut untuk memahami berbagai macam ilmu
pengetahuan, diantaranya pemahaman Bahasa, Sunnah, Asbabun Nuzul. Dengan
pemahaman secara mendalam terhadap Alquran tersebut, seseorang akan dapat
mengetahui dan memahami tujuan dari syariat tersebut. Untuk memahami maqasid,
seseorang dituntut untuk memahami konteks sehingga suatu nash tidak hanya dapat
diterapkan di Arab namun juga di belahan bumi lainnya.
Dilihat
dari sudut kerasulan Nabi Muhammad saw, dapat diketahui bahwa syariah Islam
diturunkan oleh Allah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan manusia secara
keseluruhan. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi
kepada kemaslahatan umat manusia. Al-maqasid digunakan dalam
rangka mengungkap sejumlah tujuan (yang dianggap) Ilahi dan konsep akhlak yang
melandasi proses al-tashri’ al-islami (penyusunan hukum berdasarkan
syariah Islam), seperti prinsip keadilan, kehormatan manusia, kebebasan
kehendak, kesucian, kemudahan, kesetiakawanan. Tujuan-tujuan dan konsep-konsep
itulah yang membentuk sebuah jembatan antara al-Tashri’ al-Islami dan
konsep-konsep yang berjalan sekarang tentang HAM, pembangunan dan keadilan
sosial.[5]
Mengkaji teori maqasid tidak dapat
dipisahkan dari pembahasan tentang maslahah. Karena dari segi substansinya, wujud maqasid
al-Syariah adalah kemaslahatan. Dan hampir semua mufassir, imam madzhab
fiqh, maupun ulama-ulama Islam dari bidang keilmuan lainya, membahas bab maslahah,
meskipun pemahaman konsep maslahah yang dimaksudkan oleh para mufassir,
para imam madzhab maupun paara ulama-ulama islam yang lain tersebut
berbeda-beda dan tidak seragam. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
serangkaian aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam syariah adalah
untuk membawa manusia ke dalam kondisi yang baik dan menghindarkan mereka dari
segala hal yang membuat mereka dalam kondisi Agar manusia dapat memperoleh
kemaslahatan dan terhindar dari kemadharatan, maka ia harus menjalankan
syariah. Dengan individu tersebut menjalankan syariah, maka ia akan terbebas
dari ikatan-ikatan nafsu.
Selanjutnya,
maslahah dapat dirumuskan menjadi tiga bagian
yang berurutan secara hierarkis, pertama al-dharuriyyat (primer) adalah sesuatu yang harus ada atau
dilaksanakan untuk mewujudkan kemaslahatan yang terkait dengan urusan duniawi
maupun ukhrawi. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan,
bahkan bisa mengakibatkan hilangnya hidup dan kehidupan. Ada lima tujuan dalam maslahah
dharuriyyah ini, yaitu: untuk menjaga agama/aqidah (khifdu al-din),
menjagai jiwa (khifdu al-nafs), menjaga keturunan (khifdu an-nasl),
menjaga akal (khifdu al-aql), dan menjaga harta (khifdu almal),
yang selanjutnya kelima hal tersebut disebut al-kulliyat al-khams. Kedua, al-khajiyyat (sekunder)
yaitu sesuatu
yang sebaiknya ada agar menusia bisa hidup dan melaksanakan kehidupannya dengan
leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu tersebut tidak ada, maka ia
tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian namun ketiadaanya akan
menimbulkan kesulitan (masyaqah) dan kesempitan. Ketiga al-takhsiniyyat
(tersier) adalah sesuatu yang dibutuhkan tetapi
tidak sampai pada taraf dua kategori kebutuhan diatas. Hal-hal yang termasuk
dalam kategori tahsiniyyah jika ada dan dilakukan akan menyempurnakan
suatu aktivitas yang dilakukan, dan jika tidak ada atau ditinggalkan tidak akan
menimbulkan kesulitan.[6]
Urutan peringkat
di atas saling melengkapi. Peringkat kedua melengkapi peringkat pertama,
sedangkan peringkat ketiga sebagai komplemen peringkat kedua.[7]
Pengkategorian
yang dilakukan dalam maqashid daruriyaat, tahsiniyaat dan hajiyaat menunjukkan
bahwa betapa pentingnya pemeliharaan lima unsure pokok itu dalam kehidupan
manusia. Dalam rangka pemahaman dan dinamika hukum Islam, pengkategorian dalam
macam maqashid tersebut dapat pula dilihat dalam dua kelompok besar yaitu dari
segi keduniaan dan keakhiratan. Pembagian maqashid ke dalam maqashid yang
mengandung kemaslahatan duniawi dan ukhraw, tidak dimaksudkan untuk menarik
garis pemisah secara tajam antara dua orientasi kandungan hukum Islam itu.
Sebab kedua aspek itu secara hakiki tidak dapat dipisahkan dalam hukum Islam.
Dengan pemahaman maqashid al-syari’ah ijtihad dapat dikembangkan, terutama
dalam menghadapi berbagai permasalahan baru yang tidak disinggung oleh nash.
Dengan demikian, hukum Islam akan tetap dinamis dalam menjawab berbagai
fenomena sosial yang senantiasa berubah dan berkembang.[8]
[1] Ridwan
Jamal, Maqashid Al-Syari’ah Dan Relevansinya Dalam Konteks Kekinian,
Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol 8, No 1 (2010), Hal. 1-2.
[2] Ghofar
Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, Sultan Agung Vol XLIV No. 118, 2009, Hal.
118.
[3] Muh.
Mukhlish Abidin, Paradigma Maqasid Syariah Menjadi Disiplin Ilmu,
Tawazun: Journal Of Sharia Economic Law,Vol. 2, 2019, Hal. 76.
[4] Ahmad Sarwat, Maqashid Syariah,
Jakarta : Rumah Fiqih Publishing, 2019, Hal. 29-36.
[5] Siti
Zumrotun, Al-Maqasid: Alternatif
Pendekatan Ijtihad Zaman Kontemporer, Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam
Dan Kemanusiaan, Volume 13, No. 1, Juni 2013, Hal. 129-130.
[6] Muhamad
Ramdani Wahab, Tinjauan Maqasid Syariah
Sebagai Landasan Hukum Kontemporer, Hal. 365 -367.
[7] Husain, Teori
Maqasid Syari’ah, Sulesana Volume
13 Nomor 1 Tahun 2019, Hal. 7.
[8] Ridwan Jamal, Hal. 11.
Komentar