pemikiran politik sunni
oleh miftah dkk....
I.
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin telah mengatur seluruh kehidupan manusia, baik dari segi
keberadaannya sebagai makhluk individu maupun sebagai bagian dari masyarakat,
hubungannya secara vertikal maupun secara horisontal. Islam secara apik
mengatur semua hal tersebut agar para manusia dapat menjalankan fungsinya
sebagai makhluk hidup.
Sebagai agama samawi yang komponen dasarnya
adalah aqidah, syari’at dan akhlak, Islam mempunyai korelasi yang kuat dengan
politik. Islam mempunyai peran penting dalam menumbuhkan sikap dan perilaku
sosial politik. Keduanya mempunyai titik singgung yang kuat apabila dipahami
sebagai sarana untuk menata hidup manusia secara menyeluruh. Namun dalam
perjalanan sejarahnya, Islam cenderung berperan sebagai sumber idiologis untuk
menjustifikasi kemapanan sebuah kekuasaan. Pemikiran politik Islam sebagai
hasil sistematisasi ajaran dan tradisi kaum muslimin di bidang politik, muncul
sejalan dengan kepesatan ekspansi Islam keluar jazirah Arab. Hal tersebut
menimbulkan masalah – masalah baru tentang cara pengaturan negara. Pemikiran
politik tersebut lebih disebabkan oleh perbedaan penafsiran teks – teks
normatif dan juga pengaruh sosial budaya setempat.[1]
Salah satu isu yang kontroversial dalam
sejarah adalah mengenai teori khilafah atau imamah. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
umat Islam mengalami kekosongan pemerintahan dan dihadapkan pada krisis
konstitusional mengenai bagaimana mekanisme pemilihan pemerintah yang
menggantikan posisi Nabi SAW. Dalam keadaan seperti itu, Al Quran dan Hadis
tidak memberikan ketentuan yang jelas tentang mekanisme tersebut, bentuk
pemerintahan dan lembaga politik lainnya. Informasi yang ada hanya bersifat
global. Dari sini dapat dimengerti bahwa memang Al Quran memberi peluang bagi
umat Islam untuk melakukan kajian – kajian dan memformulasikan sistem
politiknya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
II.
RUMUSAN MASALAH
Sistematika pembahasan dalam makalah ini kami
susun dalam rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana gagasan politik Sunni dalam sejarah politik Islam ?
2. Bagaimana kaitan sejarah sosial politik Sunni Syiah ?
III.
PEMBAHASAN
A. Gagasan Politik Sunni Dalam Sejarah Politik Islam
Sunni atau yang sering disebut dengan ahlus
sunnah wal jama’ah adalah sebuah kelompok yang berpegang teguh pada hadits Nabi
setelah Al Quran sebagai sumber yang paling utama. Mereka adalah orang – orang
yang senantiasa mengikuti Nabi dan sahabat – sahabatnya, baik dalam syariat
maupun aqidahnya. Mereka merupakan kelompok terbesar dalam dunia Islam.
Sebagai kelompok
mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah
yang berkuasa. Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik Sunni cenderung
membela dan mempertahankan kekuasaan. Ibnu Taimiyah menyatakan
bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar
menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya
hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang
sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk
melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih
menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah. [2]
Kepemimpinan dalam sunni berbeda dengan Syiah.
Perbedaannya adalah doktrin Syiah tentang imamah dan konsep Sunni tentang
kekholifahan, yang mungkin terlihat tidak penting dan membingungkan non-Muslim,
telah menimbulkan konsekuensi- konsekuensi politik yang besar. Kholifah dipilih atau pengganti Nabi yang terpilih, dia
berhasil dalam kepemimpinan politik dan militer tapi bukan dalam otoritas
keagamaan nabi. Sebaliknya, kepemimpinan Syiah dalam masyarakat muslim
diberikan dalam Imam (pemimpin) yang meskipun bukan seorang Nabi tapi adalah
pemimpin agama dan politik yang mendapat ilham Tuhan, terbebas dari dosa dan
sempurna. Asal-usulnya secara langsung berasal dari nabi Muhammad dan Ali, Imam
pertama, dan dengan demikian otoritasnya disucikan.[3]
a.
Teori Sunni tentang Kekhalifahan
Secara etimologis kata kekhalifahan (khilafah)
berarti menggantikan seseorang, tetapi dalam semboyan politik Islam Sunni, kata
itu merujuk pada wewenang seseorang yang berfungsi sebagai pengganti Nabi dalam
kapasitasnya sebagai pemimpin masyarakat, namun bukan dalam fungsi kenabiannya.[4]
Prinsip politik sekitar jabatan khilafah cukup
sederhana, bahwa kepemimpinan umat setelah kematian Rosulullah janganlah
dibiarkan kosong. Untuk
mengisinya seseorang harus dipilih untuk jabatan tertinggi itu, untuk
menjalankan tugas utama pengawasan masalah komunitas. Dengan demikian persoalan
utama yang timbul adalah tentang kewajiban dan sifat – sifat pokok (calon untuk
jabatan khilafah itu).[5]
Mayoritas para teolog yang telah menerima
keperluan system khilafah dapat dibagi menjadi kedalam dua golongan : pertama,
meletakkan dasar kewajibannya pada bukti – bukti nas (syar’i) misalnya aliran –
aliran dogmatik, seperti Asy’ariyah. Mereka menyandarkan keyakinan mereka pada
Al-qur’an dan Hadits.[6]
Beberapa ulama lainnya meletakkan dasar
kepemimpinan dengan menggabungkan dasar hukum ( Syar’I yang datang dari wahyu)
dengan prinsip akal. Ini adalah posisi yang dipegang oleh ulama seperti
al-Mawardi, yang mengatakan bahwa “Adalah sifat dari orang - orang yang berakal untuk menyerahkan
(taslim) diri mereka kepada pemimpin (zaim yang akan melindungi mereka, untuk
tidak saling berbuat ketidak adilan, dan yang akan betindak sebagai hakim dalam
pertikaian mereka. Tanpa seorang
pemimpin mereka manusia akan hidup dalam pertikaian dan kelalaian, seperti
budak – budak yang ditinggalkan tuan. Ibnu Khaldun menjelaskan pendapat yang
sama, walaupun menempatkan tekanan yang lebih tinggi pada aspek rasionalnya
tentang kepentingan khilafah. “Semua masyarakat” dijelaskannya, harus mempunyai
seorang moderator (wazi’) yang menguasai masyarakat itu dan membentuk suatu
sumber pertimbangan.[7]
Untuk
mengendalikan pemerintahan secara efisien dan membela iman, khalifah harus
memenuhi tujuh kriteria sebagai berikut : adil, berpangetahuan luas, sehat
mental dan fisik, berani, cepat mengambil keputusan dan dari suku Quraisy.
Seorang kholifah atau imam disyaratkan juga mampu melaksanakan 10 tugas pokok:
1.
Membela
dan mempertahankan prinsip – prinsip agama
2.
Mengutamakan
keadilan yang segaris dengan syari’ah
3.
Memelihara
hukum dan tata tertib
4.
Memasyarakatkan
hukum – hukum Qur’an
5.
Mengorganisir
dan melaksanakan jihad
6.
Menangkal
serbuan musuh dari luar
7.
Menghimpun
pajak menurut syari’ah
8.
Memungut
uang dan bea dari Bait al-Mal (kas rakyat / Negara) untuk dibagikan
kepada mereka yang berhak menerimanya.
9.
Menunjuk
para pegawai pemerinth yang jujur dan tulus
10.
Memberikan
petunjuk dan melaksanakan supervise
Bila seorang kholifah terpilih dan memegang
kekuasaan, maka kepatuhan kepadanya tidak hanya dalam tugas politik, tetapi
juga dalam kewajiban agama. Namun seorang kholifah juga dapat kehilangan
kekuasaannya jika terdapat perubahan moral yang mengikis kadar pribadi atau
keimanannya ataupun bila kedapatan ia menghadapi berbagai kendala fisik dan
psikologis.[8]
Agama
islam dalam bentuk asalnya tidak menetapkan suatu cara atau prosedur tertentu
dalam memilih seorang kholifah pengganti Rosulullah. Kenyatan ini dalam
berbagai hal adalah suatu opini yang di pegang oleh mayoritas (jumhur) umat
Islam dalam madzhab Sunni.
Tidak
adanya sebuah nas yang memberikan instruksi tentang cara – cara pemilihan
seorang pemimpin ini menimbulakn berbagai cara dan prosedur. Empat Kholifah
Rosyidun yang secara silih berganti memimpin masyarakat Islam selama 29 tahun
(632 – 661 M) jelas nampak bahwa setiap kholifah terpilih dengan cara
–cara yang berbeda (empat cara).
Jika
menambahkan aspek keturunan, selain keempat cara itu, maka kita akan menemukan
ada lima cara dalam memilih seorang kholifah, sebagai berikut :
1.
Pertimbangan
di sebuah majlis
2.
Pilihan
dari seorang yang berkuasa
3.
Pilihan
melalui musyawaroh sahabat tertentu (syuro)
4.
Kholifah
yang diangkat setelah terjadinya pemberontakan (fitnah)
5.
Pemilihan
berdasarkan keturunan (irth)[9]
B. Kaitan Sejarah Sosial Politik Sunni Syiah
Berbicara mengenai sejarah Sunni Syi’ah, tentu
akan langsung tertuju pada masa suksesi[10]
Nabi Muhammad sebagai pemimpin ummat sekaligus sebagai pemimpin negara. Setelah
Nabi SAW wafat, diasumsikan bahwa harus ada seseorang yang menggantikan
perannya sebagai pemimpin umat sekaligus negara. Selain hal itu, hampir tidak
ada pesan lain yang berkaitan dengan politik. Nabi SAW menunjukkan bakat yang
istimewa sebagai pemimpin, akan tetapi beliau tidak membuat ketetapan mengenai
suksesi. Pesan yang sampai kepada umat Islam hanyalah yang dapat ditangkap dari
ayat Al quran[11] ;
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dengan tidak adanya ketetapan tentang siapa
pengganti Rasul, para sahabat memilih seorang pemimpin dan khalifah pertama,
yaitu Abu Bakar – seorang pemimpin yang sederhana – kemudian dilanjutkan oleh
Umar, seorang tokoh yang dihormati dan dibawah pemerintahannya umat Islam
menaklukkan berbagai wilayah yang kelak menjadi daerah kekuasaan mereka.
Kemudian beliau digantikan oleh Utsman. Selama pemerintahannya, terjadi
pertentangan antara keluarga dan rekan – rekannya dengan kelompok lain, yang
meyakini bahwa mereka diperlakukan secara tidak adil dalam pembagian harta
kekayaan dari hasil penaklukan. Utsman kemudian dibunuh dan digantikan oleh
Ali. [12]
Masalah yang diperselisihkan adalah tentang
siapa yang berhak memimpin umat dan bagaimana cara memilihnya. Kedua hal
tersebut tidak hanya menjadi sumber perpecahan antara dua aliran utama dalam
Islam sepanjang sejarah, tetapi juga menjadi masalah bagi sekte lainnya.
Salah satu kelompok minoritas kaum muslimin
berkeyakinan bahwa sebenarnya Rasul telah menunjuk calon pengganti dan calon
tersebut adalah menantu sekaligus sepupunya, ‘Ali. Menurut mereka, penunjukan
tersebut dilakukan Nabi dalam perjalanan beliau dari haji Wada’ di tempat yang
bernama Ghadir Khumm. Pada saat itu beliau membuat pernyataan bersejarah yang
telah diriwayatkan dalam berbagai versi : “ Barangsiapa yang menganggapku
sebagai pemimpin, mulai sekarang hendaklah menganggap ‘Ali sebagai
pemimpinnya”. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama Syi’ah. Mereka
beranggapan bahwa dalam suatu komunitas haruslah ada Rasul sebagai pemimpin
yang menyampaikan ajaran dari Tuhan. Dalam ketidakhadiran seorang Rasul,
haruslah ada seorang pemimpin yang tidak bercacat untuk membimbing pengikut – pengikut mereka. Dalam hal ini,
hanya pengetahuan yang paripurna serta mendalam tentang maksud yang sebenarnya
mengenai ayat – ayat Al Quran dan Sunnah
Nabi saja yang bisa menuntun masyarakat Muslim yang masih dini saat itu.
Pengetahuan itu hanya ada pada kerabat dekat
Nabi, khususnya ‘Ali dan keturunan laki – lakinya.[13]
Kelompok lain yang merupakan kelompok
mayoritas kaum muslimin berpendapat bahwa Rasul telah sengaja membiarkan
masalah mengenai pengganti beliau tetap terbuka dengan menyerahkan kepada umat
untuk menentukan siapa yang mereka anggap paling kompeten untuk mengemban
kepemimpinan. Kelompok ini adalah kelompok Sunni. Mereka tidak menyangkal
keotientikan riwayat Ghadir Khumm, namun mereka menyangkal penafsiran Syi’ah.
Kaum Sunni mendukung hak masyarakat Muslim untuk menentukan pengganti Rasul
dalam kepemimpinan politik, akan tetapi bukan penunjukan secara pre – emptive atas
seorang individu.[14]
Menurut mereka, pemimpin harus dipiih dari suku Quraisy yang pada akhirnya
menjadikan periode Madinah dan masa khulafaur rasyidin sebagai model dan
standard bagi perkembangan politik Islam.[15]
Masalah tersebut merupakan akar perdebatan dan
perselisihan antara sunni dan syiah. Perselisihan tersebut tidak hanya berhenti
sampai disitu saja, akan tetapi terus berlanjut sampai pada pemerintahan –
pemerintahan selanjutnya. Bahkan sampai detik ini pun perselisihan tersebut
masih terus menggelora, tidak hanya dari problematika politik namun juga
berkembang sampai problematika –problematika lain.
IV.
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah tersebut dapat
disimpulkan bahwa salah satu kelompok keagamaan Islam terbesar yaitu ahlus
sunnah wal jama’ah atau Sunni memiliki corak pemikiran atau teori yang berbeda
dari kelompok lain. Teori yang dikembangkan tersebut adalah kekhalifahan, yang
diartikan sebagai pengganti dari pemimpin sebelumnya (Nabi Muhammad SAW). Dalam
pemilihan kholifah tersebut terdapat berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh
calon pemimpin.
Masalah silang pendapat antara Sunni dan
Syi’ah tersebut sudah ada sejak masa wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kalangan
Syi’ah berpendapat bahwa Ali lah yang pantas menggantikan kedudukan Nabi karena
mereka berkeyakinan bahwa Nabi telah menunjuknya sebagai pengganti. Sementara
kalangan Sunni berpendapat bahwa pengganti Nabi tidak harus berasal dari ahl
bait, akan tetapi boleh dipilih dari masyarakat Muslim pada umumnya, asalkan
dia berasal dari keturunan Quraisy.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, kami yakin
masih banyak kesalahan yang terdapat dalam penulisan makalah ini karena memang
itu adalah keterbatasan kami dan tidak ada manusia yang sempurna, hanya Dialah
Yang Maha Sempurna. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun selalu kami nantikan
demi perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfa’at, bagi
penulis khususnya serta bagi para pembaca pada umumnya. Amin ya Robb al
‘alamin.
[1] Ridwan, Paradigma Politik Nu, Relasi Sunni – NU Dalam Pemikiran Politik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, Hal. 1-3.
2http://kumpulan-segalailmu.blogspot.com/2013/07/pemikiran-politik-sunni-syiah-khawarij.html, diunduh pada 16 November 2013, 09:30.
[3] http://miftac.blogspot.com/2012/01/pemikiran-keagamaan-dan-politik-sunni.html, Diunduh pada 16 November 2013, 10:22.
[4] Khalid Ibrohim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah. Pustaka
Panjimas; Jakarta. 1994. Hal 9.
[5] Mehdi Muzaffaarri, Kekuasaan Dalam Islam. Diterjemahkan oleh Drs. Abdul Rahman Ahmed. Rineka Cipta; Jakarta.
1994. Hal 31-32.
[10] suksesi adalah proses pergantian
kepemimpinan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
[11] Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001, Hal. 45-46.
[13] Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni Dan Syi’ah, Pemikiran Politik Islam
Modern Menghadapi Abad Ke 20, Bandung: Pustaka, 1988, Hal. 6-7.
Komentar