Epistemologi Fiqh

I.              PENDAHULUAN
Mempelajari ilmu fiqh merupakan suatu keharusan bagi umat Muslim, karena dengan mempelajarinya mereka dapat menjalankan dan mengamalkan ajaran – ajaran yang disyariatkan sesuai dengan maksud dan tujuannya, tidak mengada – ada. Namun, seiring perkembangan zaman dan dengan berbagai latar belakang yang berbeda telah melahirkan berbagai pemikiran – pemikiran baru dalam ilmu fiqh.
 Hal ini disebabkan munculnya masalah – masalah yang belum ditemukan pada masa dahulu. Bahkan masalah yang dahulu dianggap mustahil banyak terjadi pada masa – masa sekarang ini. Dapat diambil contoh tentang permasalahan bayi tabung, dahulu masalah ini sangatlah dianggap mustahil terjadi. Akan tetapi dengan perkembangan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, masalah tersebut muncul sehingga secara otomatis memerlukan pengkajian yang mendalam lagi dalam penetapan hukumnya menurut kacamata Islam.
Perkembangan fiqh sendiri tidak dapat dipisahkan dari segala kebudayaan dan kebiasaan yang telah mengakar dalam suatu wilayah. Begitu pula di Indonesia, tradisi yang telah tertanam tidak serta merta dihapus, namun lebih disesuaikan dengan syariat Islam, karena pada dasarnya Islam adalah agama yang fleksibel.
II.           RUMUSAN MASALAH
Makalah ini kami susun dengan sistematika sebagai berikut :
1.             Apa yang dimaksud dengan epistemologi fiqh?
2.             Bagaimana kondisi masyarakat Indonesia?
3.             Bagaimana studi nalar fiqh di Indonesia?

III.        PEMBAHASAN
A.   EPISTEMOLOGI FIQH
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti kata/pembicaraan/ilmu.[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, epistemologi berarti cabang dari filsafat yang menyelidiki sumber – sumber serta kebenaran pengetahuan atau bisa disebut dengan teori pengetahuan. Epistemologi adalah salah satu dari tiga tiang penyangga yang dikaji dalam filsafat ilmu selain ontologi dan aksiologi. Apabila dalam ontologi permasalahan yang dibahas adalah tentang hakikat apa yang dikaji dan dalam aksiologi permasalahannya bermuara pada untuk apa ilmu yang telah dikaji itu dipergunakan, sedangkan dalam epistemologi adalah tentang bagaimana cara melakukan pengkajian terhadap ilmu pengetahuan dan menyusun tubuh pengetahuannya.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa maksud dari epistemologi fiqh adalah bagaimana caranya mengetahui pesan – pesan syara’ yang terdapat dalam Al Quran dan Hadis sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai perbuatan. Pengkajian tersebut dalam Islam terwujud dalam ushul  al fiqh yang didalamnya memerlukan berbagai macam keilmuan agar tujuan dari syara’ (memelihara agama, diri, akal, keturunan dan harta) tetap terjaga.[2]
Syariat sebagai suatu tatanan hidup memiliki posisi yang amat penting, karena didalamnya tersimpan berbagai kebutuhan dan ajaran yang berkenaan dengan umat manusia. Namun manusia yang memiliki kemampuan terbatas tidak semua dapat mengartikan maksud dari isi syariat itu sehingga memerlukan pengkajian yang mendalam agar mampu memahami isinya.
Dengan berbagai macam kondisi keilmuan yang dimiliki seseorang untuk memahami syariat, sudah pasti muncul berbagai penafsiran yang berbeda antara golongan satu dengan golongan yang lain. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana pengkaji/penafsir itu tinggal. Namun, hal itu bukan berarti syariat itu dapat diatur sesuai dengan keinginan pensyarah.
B.  KONDISI MASYARAKAT INDONESIA
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural karena terdiri dari berbagai jenis suku dan budaya. Mereka juga berada dalam daerah geografis yang berbeda – beda karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas. Oleh sebab itu banyak terdapat perbedaan antar suku, wilayah dan budaya. Bahkan sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah terlebih dahulu mengenal dan menganut ajaran Hindu – Budha, sehingga ketika Islam datang ke Indonesia, para pendakwah Islam harus mampu memperkenalkan dengan baik sehingga ajaran Islam dapat diterima oleh kalangan masyarakat.
Para Walisongo dianggap telah berhasil menyebarkan ajaran syariat Islam dengan baik. Karena dengan ketekunan dan kesabarannya, mereka mampu mengadaptasikan dan menyatukan ajaran syariat Islam dengan budaya yang telah berkembang di Indonesia. Dengan pencampuran yang “apik” antara syariat dengan budaya Indonesia yang notabene telah banyak mengandung unsur Hindu-Budha sebagai agama yang telah terlebih dahulu menggaungi masyarakat, membuat masyarakat dengan mudah tertarik menerima dan masuk Islam.[3]
C.  PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Hukum Islam sebagai suatu pranata sosial memiliki dua fungsi yaitu sebagai kontrol sosial serta nilai baru dan proses perubahan sosial. Pada fungsi yang pertama, hukum Islam ditempatkan sebagai kontrol sekaligus social engineering terhadap keberadaan suatu masyarakat. Sedangkan fungsi yang kedua, hukum Islam merupakan produk sejarah yang diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya dan politik. Oleh sebab itu, hukum Islam dituntut mampu memberikan jawaban terhadap setiap permasalahan yang muncul tanpa kehilangan dasar – dasarnya. Sebab, apabila tidak terwujud, hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi sehingga menyebabkannya kehilangan aktualitas.[4]
Begitu pula dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia. Islam di Indonesia kemungkinan berasal dari Arab atau Mesir, karena kedua tempat ini bermadzhab Syafi’i sebagaimana kebanyakan penduduk Indonesia. Sejarah dan dinamika hukum Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosial-politik dan budaya yang ada di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sampai era kemerdekaan. Hal tersebut dijelaskan dengan menggunakan teori – teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, yaitu[5]:
1. Teori Kredo
Disebut juga dengan teori syahadat, yaitu teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam bagi orang – orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Teori ini merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid, dimana seseorang yang menyatakan iman kepada Alloh, maka ia harus tunduk kepada perintah-Nya.
2. Teori Receptio in Complexu
Teori ini menetapkan bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam apabila dia telah memeluk agama Islam.
3. Teori Receptie
Teori ini menyebutkan bahwa hukum adatlah yang berlaku bagi masyarakat Islam. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diterima oleh hukum adat. Sejak berlaku kebijakan tersebut, eksistensi hukum Islam secara formal mengalami kondisi yang memprihatinkan. Akan tetapi, bukan berarti kegiatan intelektual pengembangan hukum Islam berhenti. Karena pada masa itu lahir tokoh – tokoh intelektual seperti imam Nawawi Al Bantani, Abdul Hamid Al Hakim dan masih banyak ulama lainnya.
4. Teori Receptie Exit
Setelah kemerdekaan Indonesia, Indonesia melakukan upaya pembaharuan hukum, karena hukum yang berlaku sebelumnya yang menganut teori Receptie tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945. Dengan demikian teori tersebut dihapus, sehingga yang berlaku adalah sesuai dengan pasal 29 (2) yaitu “negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
5. Teori Receptio a Contrario
Teori ini adalah lanjutan dari teori sebelumnya (receptie exit) yang merupakan lawan dari receptie yang menyatakan bahwa hukum adat berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum agama.
6. Teori Eksistensi
Teori ini menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia. Maksudnya adalah hukum Islam terdapat dalam hukum nasional dan mempunyai wibawa hukum sebagai hukum nasional.
7. Teori Interdependensi
Teori ini berarti hubungan antara hukum Islam, hukum adat dan hukum Barat bukan dalam masalah konflik, tetapi proses saling koreksi dan mengisi serta melengkapi (saling bergantung).
8. Teori Sinkretisme
Dengan adanya kesadaran dari masyarakat akan suatu hukum bahwa hukum itulah yang berlaku akan menampakkan bahwa antara sistem hukum adat dan sistem hukum Islam berlaku sejajar. Kondisi tersebut bisa muncul dengan adanya sifat akomodatif Islam terhadap budaya Jawa sehingga mengakibatkan terjadinya hubungan yang erat antara nilai – nilai Islam dengan hukum adat.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik hukum Islam di Indonesia sangatlah dominan diwarnai oleh kepribadian Arab dan lekat pada Madzhab Syafi’i. Ini dapat dilihat dari kitab – kitab yang dipakai sebagai rujukan kebanyakan fiqh – fiqh Syafi’iyah. Kondisi tersebut perlu dicarikan jalan agar tidak selalu terpaku pada fiqh yang berlatar belakang Timur Tengah sehingga lahir hukum Islam yang berkepribadian Nusantara. Artinya, dalam perumusan hukum hendaknya memperhatikan kondisi sosial masyarakat Indonesia sehingga hasilnya akan cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat.[6]
Permasalahan yang paling kursial dihadapi oleh umat Islam dalam upaya pembaharuan hukum Islam di Indonesia adalah masih minimnya metodologi yang dapat melahirkan kesetaraan antara Islam ideal dengan kebutuhan masyarakat. Sebagaimana mengutip dari pendapat Gus Dur yaitu bagaimana membuat Islam peka kepada kebutuhan manusia pada masa kini dan yang akan datang. Hal yang harus dilakukan adalah pribumisasi Islam yaitu mempertimbangkan kebutuhan – kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum – hukum agama, serta tidak meninggalkan norma – norma keagamaan demi tujuan budaya. [7]
Pada masa sekarang ini,dapat kita temukan kelompok organisasi muslim yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Masing – masing dari mereka memiliki cara pandang yang berbeda dalam mengejawantahkan syariat. Mereka mempunyai lembaga – lembaga dan kaidah khusus dalam pengkajian syariat Islam. Lembaga – lembaga tersebut antara lain:
              I.     Manhaj Tarjih Muhammadiyah
Kata tarjih berasal dari Bahasa Arab rajjaha – yurajjihu – tarjihan yang berarti memberi pertimbangan lebih dari pada yang lain. Sebagian besar ulama memberikan rumusan bahwa tarjih itu adalah
 تقديم المجتهد أحد الطريقين المعارضين لما فيه من مزية معتبرة تجعل العمل به أولى من الأخر
yaitu usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu diantara dua jalan yang bertentangan karena adanya kelebihan yang lebih kuat dari yang lain.
Pada awal berdirinya Muhammadiyah, belum ada pembentukan lembaga tarjih yang berfungsi untuk merumuskan hukum permasalahan – permasalahan masyarakat saat itu. Hal ini dikarenakan belum meluasnya wilayah dan masih sedikitnya pengikut. Namun seiring perkembangan organisasi ini, masalah – masalah yang dihadapi juga semakin beraneka ragam sehingga membutuhkan suatu lembaga agar tidak terjadi perselisihan dalam pemahaman masalah keagamaan. Oleh karena itu pada tahun 1937 M dibentuklah Manhaj Tarjih Muhammadiyah yang saat ini menambah nama menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
Langkah pertama yang diambil oleh lembaga ini adalah mengkaji mabadi’ khomsah yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan keagamaan. Masalah lima tersebut adalah :
1.    Agama, yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih berupa perintah-perintah dan larangan-larangan berupa petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.
Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan nabi – nabiNya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.
2.    Dunia, yang dimaksud “urusan dunia” dalam sabda Rasulullah SAW, “Kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-perkara / pekerjaan-pekerjaan / urusan-urusan) yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia).
3.    Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Ibadah yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu.
4.    Sabilillah, ialah jalan yang menyampaikan kepada keridlaan Allah, berupa segala amalan yang diizinkan Allah untuk memuliakan kalimat- (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.
5.    Qiyas, dalam keputusan tidak dijelaskan definisi, metode, unsur dan sejarahnya. Namun apabila dilihat dari pendapat ulama ushul, qiyas mempunyai empat unsur yaitu ashl, hukum ashl, fara’ dan adanya kesamaan ‘illah.[8]
MT-PPI membedakan tiga istilah teknis dalam ijtihad, yaitu metode, pendekatan dan teknik. Metode ijtihad MT-PPI adalah :
a.    Bayani (semantik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kebahasaan.
b.    Ta‘lili (rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran.
c.    Istishlahi (filosofis) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemaslahatan.[9]
Sedangkan pendekatan yang dipakai oleh MT-PPI adalah : At-tafsir al-ijtima‘i al-mu‘ashir (hermeneutik), At-tarikhiyyah (historis), sosiologis, antropologis. Dan teknik yang dipakai oleh MT-PPI adalah ijma‘, qiyas, mashlahah mursalah, dan ‘urf.[10]
Pokok – pokok yang telah dihasilkan oleh MT-PPI dalam rekonstruksi fiqh antara lain:
1.         Dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Qur’an dan al-sunnah al-shahihah.
2.         Dalam memutuskan sesuatu keputusan, harus dilakukan dengan cara musyawarah.
3.         Tidak mengikat diri pada salah satu mazhab, namun pendapat-pendapat mazhab dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan al-sunnah, atau dasar lain yang dianggap kuat.
4.         Berprinsip terbuka dan toleran.
5.         Di dalam masalah akidah hanya digunakan dalil-dalil yang mutawatir.
6.         Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar sesuatu keputusan.
7.         Menggunakan metode al-jam’u wa al-taufiq terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arrud.
8.         Menggunakan asas sadd al-dzara’i untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
9.         Ta’lil dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan al-hadis, sepanjang sesuai dengan maqasid al-syari’ah.
10.     Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum, dilakukan dengan cara yang konprehensif, utuh dan bulat.
11.     Dali-dalil umum al-Qur’an dapat ditakhsis dengan hadis ahad, kecuali dalam bidang akidah.
12.     Dalam mengamalkan agama Islam, menggunakan prinsip al-taysir.
           II.     Lajnah Bahtsul Masail Nahdlotul Ulama
NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur dan merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Nusantara. NU didirikan dengan tetap berpegang teguh pada salah satu dari madzhab empat sebagai asas ahlus sunnah wal jama’ah. Alasan berdirinya NU antara lain :
1.          aksi kultural untuk bangsa yakni menggunakan kultural budaya setempat untuk memperkenalkan Islam pada masyarakat.
2.          Aktifitas yang mencerminkan dinamika berpikir kaum muda
3.          Usaha membela keprihatinan keagamaan disebabkan munculnya gerakan wahabiyah yang berusaha menghilangkan segala khurafat.
Sejak berdiri hingga saat ini, NU mengalami dinamika sejarah sesuai dengan situasi dan transformasi masyarakat. Pertama, periode awal sebagai organisasi keagamaan dimana NU mempunyai misi mengembangkan kegiatan – kegiatan keagamaan, pendidikan, ekonomi dan sosial. Periode pertengahan, yakni ketika NU berubah menjadi sebuah partai politik. Periode ketiga, NU kembali pada aktifitas sosial keagamaan.[11]
Studi tentang NU tidak terlepas dari tradisi pemikiran fikih baik dalam kerangka teoritis maupun produk materil. Bahtsul Masail atau Lembaga Bahtsul Masail Diniyah di lingkungan NU adalah sebuah lembaga yang memberikan fatwa – fatwa hukum keagamaan kepada umat Islam. Tugas dari Bahtsul Masail adalah menghimpun, membahas dan memecahkan masalah – masalah yang harus segera mendapat kepastian hukum. Sebagai sebuah lembaga fatwa, mereka menyadari bahwa tidak semua masalah dapat diketahui dari nash Al Quran secara langsung, akan tetapi membutuhkan nalar kritis dan ijtihad.[12]
Praktek Bahtsul Masail ini telah berlangsung sejak 13 Rabi’ al Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 M. Istinbath hukum yang dipakai oleh lembaga ini bukan dengan mengambil hukum secara langsung dari hukum yang asli (Al Quran dan Hadis), karena mereka menyadari akan keterbatasan yang dimiliki dan sulit dilakukan. Tetapi istinbath hukum yang dipakai adalah upaya mengeluarkan hukum syara’ dengan al qowaid al fiqhiyyah dan al qowaid al ushuliyyah. Dengan demikian, hasil ijtihad NU merupakan hasil ijtihad ulama atas nash – nash Al Quran dan Hadis yang sesuai dengan prinsip – prinsip mujtahid.[13]
Penggunaan qaidah fiqhiyah dikalangan ulama’ NU dilatarbelakangi konsep bermadzhab dalam mengembangkan hukum Islam yang menjadi pilihan bagi ulama NU. Konsep tersebut dengan cara mengikuti pendapat – pendapat yang sudah ada dalam madzhab tertentu dengan metode qauli maupun manhaji.
Bermadzhab secara qouly adalah dengan cara mempelajari pokok permasalahan dan mencari jawabannya dengan mengikuti hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh Imam madzhab (merujuk kepada kitab - kitab al mu’tabaroh). Sedangkan bermadzhab secara manhaji adalah apabila dengan metode qouly tidak dapat menemukan jawaban, maka dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah hukum yang telah ditetapkan oleh imam madzhab.[14]
Selain kedua metode diatas, NU juga menggunakan metode ilhaq al masail binadzariha, yakni menyamakan hukum suatu masalah dengan ketetapan yang telah ada serta metode istinbath jama’i, yakni ijtihad kolektif untuk memberikan jawaban atas persoalan – persoalan aktual yang belum ditemukan sama sekali oleh mujtahid – mujtahid terdahulu.[15]
        III.     Komisi Fatwa MUI
Majelis Ulama Indonesia didirikan 26 Juli 1975/17 Rajab 1395 H oleh Musyawarah Nasional I Majelis Ulama se-Indonesia di Jakarta. MUI merupakan wadah musyawarah ulama’, zuama, dan cendekiawan muslim. Majelis ini bertujuan mengamalkan ajaran Islam untuk ikut serta mewujudkan masyarakat damai, aman, adil dan makmur serta diridloi Alloh SWT dalam wadah NKRI berkesatuan Pancasila.
Sejak berdirinya pada tahun 1975, MUI berperan sebagai pemberi fatwa bagi masyarakat yang membutuhkan. Permintaan fatwa itu bisa berasal dari pemerintah maupun perseorangan/lembaga. Sejalan dengan hal tersebut, sudah sewajarnya apabila MUI senantiasa berupaya meningkatkan kualitas peran dan kinerjanya. Pedoman penetapan fatwa yang ditetapkan berdasarkan SK Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia nomor: U-596/MUI/X/1997 tanggal 2 Oktober 1997 dipandang sudah tidak memadai lagi. Oleh karena itu MUI mengeluarkan pedoman baru yang cukup sempurna serta transparan.
Pedoman tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
-   Dasar umum dan sifat fatwa
1.         Penetapan fatwa didasarkan pada Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas serta dalil lain yang mu’tabar.
2.         Aktifitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamai Komisi Fatwa.
3.         Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif dan antisipatif.
-   Metode penetapan fatwa
1.    Sebelum fatwa ditetapkan, ditinjau terlebih dahulu pendapat para imam madzhab dan ulama yang mu’tabar tentang masalah yag akan difatwakan beserta dalil – dalinya.
2.    Masalah yang telah jelas hukumnya disampaikan sebagaimana adanya.
3.   Dalam masalah yang terjadi khilafah dikalangan madzhab, maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu diantara pendapat – pendapat ulama madzhab melalui metode al jam’u wa al taufiq, dan jika usaha tersebut tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan dengan hasil tarjih melalui metode muqoronah dengan menggunakan kaidah – kaidah ushul fiqh muqaran.
4.   Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya dikalangan madzhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif) melalui metode bayani, ta’lili (qiyasi, istihsani, ilhaqi), isthilahi, dan sadd al zari’ah.
5.    Penetapan fatwa harus didasarkan pada kemaslahatan umum dan tujuan syari’ah.[16]
             IV.  Dewan Hisbah Persis
Persatuan Islam didirikan pada 11 September 1923 oleh sekelompok umat Islam yang tertarik pada kajian dan aktifitas keagamaan. Organisasi ini dimotori oleh dua tokoh utama yaitu H. Zamzam dan H. Mahmud Yunus. H. Zamzam menghabiskan waktunya dengan belajar tiga setengah tahun di Dar ‘Ulum Makkah. Sedangkan H. Mahmud Yunus adalah seorang pedagang yang telah mengenyam pelajaran agama dari kecil. Pada tahun 1924 Ahmad Hasan bergabung. Beliu adalah seorang yang cerdas dan menguasai berbagai bahasa dan pengetahuan baik umum maupun agama.
Menjelang tahun 1926 muncul perbedaan – perbedaan antara kaum tua dan kaum muda sehingga melahirkan perpecahan kelompok dan kaum tuapun mendirikan organisasi lain yang bernama Permoefakatan Islam. Sedangkan kelompok sisanya tetap pada Persis. Anggaran dasar Persis adalah pengembangan Islam berdasarkan Al Quran dan Sunnah serta dakwah dan pendidikan Islam.[17]
Persis menamakan dirinya sebagai organisasi yang berusaha untuk membela Islam sehingga setiap individu maupun organisasi yang mereka yakini salah akan ditentang. Mereka hanya menjadikan Al Quran dan Hadis sebagai sumber utama hukum agama tanpa kumpulan – kumpulan penafsiran yang telah ada selama dua abad ini. Praktek – praktek keagamaan yang dilakukan oleh kaum tua dan ulama tradisionalis seperti niat, talqin, penggunaan bahasa Arab dalam khutbah dianggap sebagai bid’ah.[18]
                     V.     Al Irsyad
Al Irsyad didirikan setelah Jami’at Khoir, yaitu organisasi yang didirikan warga keturunan Arab di Jakarta. Organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyyah (secara resminya bernama jam’iyat al-Islah wa al-Irsyad al-Islamiyyah) didirikan pada tanggal 6 September 1914. Tokoh yang paling berpengaruh adalah Ahmad Soorketti (Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Soorkaty al-Anshary) seorang keturunan Sudan yang melakukan pengembaraan ke Indonesia untuk mengajar di Jami’at Khoir. Namun karena terjadi ketidakharmonisan antara keduanya, akhirnya beliau keluar dan mendirikan organisasi baru bersama sahabatnya.
Sejak awal didirikannya, al Irsyad telah menamakan dirinya sebagai perhimpunan yang memurnikan ajaran tauhid ‘ibadah dan ‘amaliyah Islam serta kemasyarakatan berdasarkan Al Quran dan Sunnah. Untuk memahami Al Quran, al Irsyad berpendirian bahwa pemahaman dapat dilakukan dengan tafsir bin naqli dan tafsir bir ra’yi. Sedangkan hadits, mereka berpandangan bahwa hanya sebagian hadits saja yang digunakan untuk menetapkan hukum agama (hadis mutawatir, shahih dan hadis hasan yang saling mendukung).[19] Sedangkan dalam ijma’ dan qiyas, mereka berpendapat hanya ijma’ shahabat saja yang dapat dijadikan sumber hukum agama dan qiyas hanya dapat digunakan untuk menetapkan masalah yang menyangkut masalah duniawi. Oleh karena itu, terhadap masalah yang belum ada kepastian hukumnya karena tidak adanya petunjuk yang tegas dalam Al Quran dan Hadis, organisasi ini berpendirian bahwa hal tersebut dapat ditetapkan berdasarkan pendapat ahli hukum agama Islam yang berkualitas sebagai mujtahid.[20]
Dalam masalah akidah, al Irsyad tidak jauh berbeda dengan umat Islam yang lain yaitu sebagaimana dirumuskan dalam enam rukun iman. Sedangkan dalam fiqh, mereka tidak mengikatkan pada madzhab tertentu, akan tetapi berpedoman dengan sumber utama hukum Islam. Dalam prakteknya, mereka menggunakan Fiqh Sunnah, Bulughul Maram dan buku fiqh terbitan masjid At Taqwa Surabaya.
IV.        KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
  1.  epistemologi fiqh adalah bagaimana caranya mengetahui pesan – pesan syara’ yang terdapat dalam Al Quran dan Hadis sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai perbuatan.
  2. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural dan telah mengenal Hindu – Budha sebelum Islam masuk. Oleh karena itu, Islam datang harus dengan wajah baru dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.
  3.  Islam itu adalah agama yang fleksibel, dapat berada dalam semua wilayah, termasuk Indonesia. Hukum yang digunakannya pun dewasa ini diadaptasikan kebudaya Indonesia (disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia). Terhadap masalah – masalah yang baru yang belum ada ketegasan hukum dalam al Quran da Hadis, dilakukan jalan ijtihad.
V.           SARAN/KRITIK
Demikianlah makalah ini kami buat, kami yakin masih banyak kesalahan yang terdapat dalam penulisan makalah ini karena memang itu adalah keterbatasan kami dan tidak ada manusia yang sempurna, hanya Dialah Yang  Maha Sempurna. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun selalu kami nantikan demi perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfa’at, bagi penulis khususnya serta bagi para pembaca pada umumnya. Amin ya Robb al ‘alamin.




[1] id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi
[2] Danusiri, Epistemologi Syara’(Mencari Format Baru Fiqh Indonesia), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000), hal. 45-47.
[3] http://zaennury.blogspot.com/2011/05/epistimologi-hukum-islam-di-indonesia.html
[4] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 22-23.
[5] Idem, hal. 66-89.
[6] Idem, hal.89-94.
[7] Idem, hal. 97-98.
[8] Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hal. 3-4 dan 28-92.
Keterangan lebih lengkapnya dapat dilihat di buku Manhaj Tarjih Muhammadiyah hal. 113-141.
[10] Idem.
[11] Imam Yahya, Dinamika Ijtihad NU, (Semarang:Walisongo Press, 2009), hal. 1-4.
[12] Idem, hal.39-40.
[13] Idem, hal. 46-48.
[14] Idem, hal. 49.
[15] Idem, hal. 114.
[16] Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, (Jakarta:Erlangga, 2011), hal. 3-8.
[17] Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX), penerj. Yudian W, Asmin dan Afandi Mochtar, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996), hal. 14-18.
[18] Ibid, hal. 31-91.
[19] Moh. Amaluddin, Organisasi Al Irsyad di Kabupaten Banyuwangi, (Semarang:Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan,1995), hal.28-29.
[20] Idem, hal. 29-30.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ringkasan Nahwu

kaidah ghoiru asasiyah

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA