Epistemologi Fiqh
I.
PENDAHULUAN
Mempelajari
ilmu fiqh merupakan suatu keharusan bagi umat Muslim, karena dengan
mempelajarinya mereka dapat menjalankan dan mengamalkan ajaran – ajaran yang
disyariatkan sesuai dengan maksud dan tujuannya, tidak mengada – ada. Namun,
seiring perkembangan zaman dan dengan berbagai latar belakang yang berbeda
telah melahirkan berbagai pemikiran – pemikiran baru dalam ilmu fiqh.
Hal ini disebabkan munculnya masalah – masalah
yang belum ditemukan pada masa dahulu. Bahkan masalah yang dahulu dianggap
mustahil banyak terjadi pada masa – masa sekarang ini. Dapat diambil contoh
tentang permasalahan bayi tabung, dahulu masalah ini sangatlah dianggap
mustahil terjadi. Akan tetapi dengan perkembangan berbagai ilmu pengetahuan dan
teknologi, masalah tersebut muncul sehingga secara otomatis memerlukan
pengkajian yang mendalam lagi dalam penetapan hukumnya menurut kacamata Islam.
Perkembangan
fiqh sendiri tidak dapat dipisahkan dari segala kebudayaan dan kebiasaan yang
telah mengakar dalam suatu wilayah. Begitu pula di Indonesia, tradisi yang
telah tertanam tidak serta merta dihapus, namun lebih disesuaikan dengan
syariat Islam, karena pada dasarnya Islam adalah agama yang fleksibel.
II.
RUMUSAN MASALAH
Makalah
ini kami susun dengan sistematika sebagai berikut :
1.
Apa
yang dimaksud dengan epistemologi fiqh?
2.
Bagaimana
kondisi masyarakat Indonesia?
3.
Bagaimana
studi nalar fiqh di Indonesia?
III.
PEMBAHASAN
A.
EPISTEMOLOGI
FIQH
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti kata/pembicaraan/ilmu.[1] Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, epistemologi berarti cabang dari filsafat yang
menyelidiki sumber – sumber serta kebenaran pengetahuan atau bisa disebut dengan
teori pengetahuan. Epistemologi adalah salah satu dari tiga tiang penyangga
yang dikaji dalam filsafat ilmu selain ontologi dan aksiologi. Apabila dalam
ontologi permasalahan yang dibahas adalah tentang hakikat apa yang dikaji dan
dalam aksiologi permasalahannya bermuara pada untuk apa ilmu yang telah dikaji
itu dipergunakan, sedangkan dalam epistemologi adalah tentang bagaimana cara
melakukan pengkajian terhadap ilmu pengetahuan dan menyusun tubuh
pengetahuannya.
Dari
pengertian diatas dapat diketahui bahwa maksud dari epistemologi fiqh adalah
bagaimana caranya mengetahui pesan – pesan syara’ yang terdapat dalam Al Quran
dan Hadis sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai perbuatan. Pengkajian
tersebut dalam Islam terwujud dalam ushul
al fiqh yang didalamnya memerlukan berbagai macam keilmuan agar
tujuan dari syara’ (memelihara agama, diri, akal, keturunan dan harta) tetap
terjaga.[2]
Syariat
sebagai suatu tatanan hidup memiliki posisi yang amat penting, karena
didalamnya tersimpan berbagai kebutuhan dan ajaran yang berkenaan dengan umat
manusia. Namun manusia yang memiliki kemampuan terbatas tidak semua dapat
mengartikan maksud dari isi syariat itu sehingga memerlukan pengkajian yang
mendalam agar mampu memahami isinya.
Dengan
berbagai macam kondisi keilmuan yang dimiliki seseorang untuk memahami syariat,
sudah pasti muncul berbagai penafsiran yang berbeda antara golongan satu dengan
golongan yang lain. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
dimana pengkaji/penafsir itu tinggal. Namun, hal itu bukan berarti syariat itu
dapat diatur sesuai dengan keinginan pensyarah.
B.
KONDISI MASYARAKAT INDONESIA
Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang plural karena terdiri dari berbagai jenis suku
dan budaya. Mereka juga berada dalam daerah geografis yang berbeda – beda
karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas. Oleh sebab itu
banyak terdapat perbedaan antar suku, wilayah dan budaya. Bahkan sebelum Islam
masuk, masyarakat Indonesia telah terlebih dahulu mengenal dan menganut ajaran
Hindu – Budha, sehingga ketika Islam datang ke Indonesia, para pendakwah Islam
harus mampu memperkenalkan dengan baik sehingga ajaran Islam dapat diterima
oleh kalangan masyarakat.
Para
Walisongo dianggap telah berhasil menyebarkan ajaran syariat Islam dengan baik.
Karena dengan ketekunan dan kesabarannya, mereka mampu mengadaptasikan dan
menyatukan ajaran syariat Islam dengan budaya yang telah berkembang di
Indonesia. Dengan pencampuran yang “apik” antara syariat dengan budaya
Indonesia yang notabene telah banyak mengandung unsur Hindu-Budha sebagai agama
yang telah terlebih dahulu menggaungi masyarakat, membuat masyarakat dengan
mudah tertarik menerima dan masuk Islam.[3]
C.
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Hukum
Islam sebagai suatu pranata sosial memiliki dua fungsi yaitu sebagai kontrol
sosial serta nilai baru dan proses perubahan sosial. Pada fungsi yang pertama,
hukum Islam ditempatkan sebagai kontrol sekaligus social engineering terhadap
keberadaan suatu masyarakat. Sedangkan fungsi yang kedua, hukum Islam merupakan
produk sejarah yang diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan
sosial, budaya dan politik. Oleh sebab itu, hukum Islam dituntut mampu
memberikan jawaban terhadap setiap permasalahan yang muncul tanpa kehilangan
dasar – dasarnya. Sebab, apabila tidak terwujud, hukum Islam akan mengalami
kemandulan fungsi sehingga menyebabkannya kehilangan aktualitas.[4]
Begitu
pula dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia. Islam di Indonesia kemungkinan
berasal dari Arab atau Mesir, karena kedua tempat ini bermadzhab Syafi’i
sebagaimana kebanyakan penduduk Indonesia. Sejarah dan dinamika hukum Islam di Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari sosial-politik dan budaya yang ada di Indonesia
sejak sebelum kemerdekaan sampai era kemerdekaan. Hal tersebut dijelaskan
dengan menggunakan teori – teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, yaitu[5]:
1. Teori Kredo
Disebut
juga dengan teori syahadat, yaitu teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum
Islam bagi orang – orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Teori ini
merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid, dimana seseorang yang menyatakan iman
kepada Alloh, maka ia harus tunduk kepada perintah-Nya.
2. Teori
Receptio in Complexu
Teori
ini menetapkan bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam apabila dia telah
memeluk agama Islam.
3. Teori
Receptie
Teori
ini menyebutkan bahwa hukum adatlah yang berlaku bagi masyarakat Islam. Hukum Islam
dapat berlaku apabila telah diterima oleh hukum adat. Sejak berlaku kebijakan
tersebut, eksistensi hukum Islam secara formal mengalami kondisi yang
memprihatinkan. Akan tetapi, bukan berarti kegiatan intelektual pengembangan
hukum Islam berhenti. Karena pada masa itu lahir tokoh – tokoh intelektual
seperti imam Nawawi Al Bantani, Abdul Hamid Al Hakim dan masih banyak ulama lainnya.
4. Teori
Receptie Exit
Setelah
kemerdekaan Indonesia, Indonesia melakukan upaya pembaharuan hukum, karena
hukum yang berlaku sebelumnya yang menganut teori Receptie tidak sesuai dengan
jiwa UUD 1945. Dengan demikian teori tersebut dihapus, sehingga yang berlaku
adalah sesuai dengan pasal 29 (2) yaitu “negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
5. Teori
Receptio a Contrario
Teori
ini adalah lanjutan dari teori sebelumnya (receptie exit) yang merupakan lawan
dari receptie yang menyatakan bahwa hukum adat berlaku apabila tidak
bertentangan dengan hukum agama.
6. Teori
Eksistensi
Teori
ini menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia.
Maksudnya adalah hukum Islam terdapat dalam hukum nasional dan mempunyai wibawa
hukum sebagai hukum nasional.
7. Teori Interdependensi
Teori
ini berarti hubungan antara hukum Islam, hukum adat dan hukum Barat bukan dalam
masalah konflik, tetapi proses saling koreksi dan mengisi serta melengkapi
(saling bergantung).
8. Teori Sinkretisme
Dengan
adanya kesadaran dari masyarakat akan suatu hukum bahwa hukum itulah yang
berlaku akan menampakkan bahwa antara sistem hukum adat dan sistem hukum Islam
berlaku sejajar. Kondisi tersebut bisa muncul dengan adanya sifat akomodatif
Islam terhadap budaya Jawa sehingga mengakibatkan terjadinya hubungan yang erat
antara nilai – nilai Islam dengan hukum adat.
Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik hukum Islam di Indonesia sangatlah
dominan diwarnai oleh kepribadian Arab dan lekat pada Madzhab Syafi’i. Ini
dapat dilihat dari kitab – kitab yang dipakai sebagai rujukan kebanyakan fiqh –
fiqh Syafi’iyah. Kondisi tersebut perlu dicarikan jalan agar tidak selalu
terpaku pada fiqh yang berlatar belakang Timur Tengah sehingga lahir hukum
Islam yang berkepribadian Nusantara. Artinya, dalam perumusan hukum hendaknya
memperhatikan kondisi sosial masyarakat Indonesia sehingga hasilnya akan cocok
dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat.[6]
Permasalahan
yang paling kursial dihadapi oleh umat Islam dalam upaya pembaharuan hukum
Islam di Indonesia adalah masih minimnya metodologi yang dapat melahirkan
kesetaraan antara Islam ideal dengan kebutuhan masyarakat. Sebagaimana mengutip
dari pendapat Gus Dur yaitu bagaimana membuat Islam peka kepada kebutuhan
manusia pada masa kini dan yang akan datang. Hal yang harus dilakukan adalah
pribumisasi Islam yaitu mempertimbangkan kebutuhan – kebutuhan lokal dalam
merumuskan hukum – hukum agama, serta tidak meninggalkan norma – norma
keagamaan demi tujuan budaya. [7]
Pada
masa sekarang ini,dapat kita temukan kelompok organisasi muslim yang berkembang
dalam masyarakat Indonesia. Masing – masing dari mereka memiliki cara pandang
yang berbeda dalam mengejawantahkan syariat. Mereka mempunyai lembaga – lembaga
dan kaidah khusus dalam pengkajian syariat Islam. Lembaga – lembaga tersebut
antara lain:
I. Manhaj
Tarjih Muhammadiyah
Kata tarjih
berasal dari Bahasa Arab rajjaha – yurajjihu – tarjihan yang berarti
memberi pertimbangan lebih dari pada yang lain. Sebagian besar ulama memberikan
rumusan bahwa tarjih itu adalah
تقديم المجتهد أحد الطريقين
المعارضين لما فيه من مزية معتبرة تجعل العمل به أولى من الأخر
yaitu
usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu diantara dua jalan
yang bertentangan karena adanya kelebihan yang lebih kuat dari yang lain.
Pada
awal berdirinya Muhammadiyah, belum ada pembentukan lembaga tarjih yang
berfungsi untuk merumuskan hukum permasalahan – permasalahan masyarakat saat
itu. Hal ini dikarenakan belum meluasnya wilayah dan masih sedikitnya pengikut.
Namun seiring perkembangan organisasi ini, masalah – masalah yang dihadapi juga
semakin beraneka ragam sehingga membutuhkan suatu lembaga agar tidak terjadi
perselisihan dalam pemahaman masalah keagamaan. Oleh karena itu pada tahun 1937
M dibentuklah Manhaj Tarjih Muhammadiyah yang saat ini menambah nama menjadi
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
Langkah
pertama yang diambil oleh lembaga ini adalah mengkaji mabadi’ khomsah yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam
persoalan keagamaan. Masalah lima tersebut adalah :
1. Agama, yakni agama Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW, ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Qur’an dan
yang tersebut dalam Sunnah yang shahih berupa perintah-perintah dan
larangan-larangan berupa petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.
Agama
adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan nabi – nabiNya, berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia
di dunia dan akhirat.
2. Dunia, yang dimaksud “urusan dunia”
dalam sabda Rasulullah SAW, “Kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah
segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu
perkara-perkara / pekerjaan-pekerjaan / urusan-urusan) yang diserahkan
sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia).
3. Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah dengan jalan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya
dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya. Ibadah itu ada yang umum dan ada
yang khusus. Ibadah yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Ibadah
yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah perincian-perinciannya,
tingkah dan cara-caranya yang tertentu.
4. Sabilillah, ialah jalan yang
menyampaikan kepada keridlaan Allah, berupa segala amalan yang diizinkan Allah
untuk memuliakan kalimat- (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.
5. Qiyas, dalam keputusan tidak dijelaskan
definisi, metode, unsur dan sejarahnya. Namun apabila dilihat dari pendapat
ulama ushul, qiyas mempunyai empat unsur yaitu ashl, hukum ashl, fara’
dan adanya kesamaan ‘illah.[8]
MT-PPI
membedakan tiga istilah teknis dalam ijtihad, yaitu metode, pendekatan dan
teknik. Metode ijtihad MT-PPI adalah :
a. Bayani
(semantik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kebahasaan.
b. Ta‘lili
(rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan
penalaran.
Sedangkan
pendekatan yang dipakai oleh MT-PPI adalah : At-tafsir al-ijtima‘i
al-mu‘ashir (hermeneutik), At-tarikhiyyah (historis), sosiologis,
antropologis. Dan teknik yang dipakai oleh MT-PPI adalah ijma‘, qiyas,
mashlahah mursalah, dan ‘urf.[10]
Pokok
– pokok yang telah dihasilkan oleh MT-PPI dalam rekonstruksi fiqh antara lain:
1.
Dalam
beristidlal, dasar utamanya adalah al-Qur’an dan al-sunnah al-shahihah.
2.
Dalam
memutuskan sesuatu keputusan, harus dilakukan dengan cara musyawarah.
3.
Tidak
mengikat diri pada salah satu mazhab, namun pendapat-pendapat mazhab dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan
jiwa al-Qur’an dan al-sunnah, atau dasar lain yang dianggap kuat.
4.
Berprinsip
terbuka dan toleran.
5.
Di dalam
masalah akidah hanya digunakan dalil-dalil yang mutawatir.
6.
Tidak
menolak ijma’ sahabat sebagai dasar sesuatu keputusan.
7.
Menggunakan
metode al-jam’u wa al-taufiq terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung
ta’arrud.
8.
Menggunakan
asas sadd al-dzara’i untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
9.
Ta’lil dapat
digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan al-hadis,
sepanjang sesuai dengan maqasid al-syari’ah.
10. Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum,
dilakukan dengan cara yang konprehensif, utuh dan bulat.
11. Dali-dalil umum al-Qur’an dapat ditakhsis dengan hadis
ahad, kecuali dalam bidang akidah.
12. Dalam mengamalkan agama Islam, menggunakan prinsip al-taysir.
II. Lajnah
Bahtsul Masail Nahdlotul Ulama
NU
didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur dan merupakan organisasi
kemasyarakatan Islam terbesar di Nusantara. NU didirikan dengan tetap berpegang
teguh pada salah satu dari madzhab empat sebagai asas ahlus sunnah wal
jama’ah. Alasan berdirinya NU antara lain :
1.
aksi
kultural untuk bangsa yakni menggunakan kultural budaya setempat untuk
memperkenalkan Islam pada masyarakat.
2.
Aktifitas
yang mencerminkan dinamika berpikir kaum muda
3.
Usaha
membela keprihatinan keagamaan disebabkan munculnya gerakan wahabiyah yang
berusaha menghilangkan segala khurafat.
Sejak
berdiri hingga saat ini, NU mengalami dinamika sejarah sesuai dengan situasi
dan transformasi masyarakat. Pertama, periode awal sebagai organisasi keagamaan
dimana NU mempunyai misi mengembangkan kegiatan – kegiatan keagamaan,
pendidikan, ekonomi dan sosial. Periode pertengahan, yakni ketika NU berubah
menjadi sebuah partai politik. Periode ketiga, NU kembali pada aktifitas sosial
keagamaan.[11]
Studi
tentang NU tidak terlepas dari tradisi pemikiran fikih baik dalam kerangka
teoritis maupun produk materil. Bahtsul Masail atau Lembaga Bahtsul Masail
Diniyah di lingkungan NU adalah sebuah lembaga yang memberikan fatwa – fatwa
hukum keagamaan kepada umat Islam. Tugas dari Bahtsul Masail adalah menghimpun,
membahas dan memecahkan masalah – masalah yang harus segera mendapat kepastian
hukum. Sebagai sebuah lembaga fatwa, mereka menyadari bahwa tidak semua masalah
dapat diketahui dari nash Al Quran secara langsung, akan tetapi membutuhkan
nalar kritis dan ijtihad.[12]
Praktek
Bahtsul Masail ini telah berlangsung sejak 13 Rabi’ al Tsani 1345 H/21 Oktober
1926 M. Istinbath hukum yang dipakai oleh lembaga ini bukan dengan
mengambil hukum secara langsung dari hukum yang asli (Al Quran dan Hadis),
karena mereka menyadari akan keterbatasan yang dimiliki dan sulit dilakukan.
Tetapi istinbath hukum yang dipakai adalah upaya mengeluarkan hukum
syara’ dengan al qowaid al fiqhiyyah dan
al qowaid al ushuliyyah. Dengan
demikian, hasil ijtihad NU merupakan hasil ijtihad ulama atas nash – nash Al Quran
dan Hadis yang sesuai dengan prinsip – prinsip mujtahid.[13]
Penggunaan
qaidah fiqhiyah dikalangan ulama’ NU dilatarbelakangi konsep bermadzhab
dalam mengembangkan hukum Islam yang menjadi pilihan bagi ulama NU. Konsep
tersebut dengan cara mengikuti pendapat – pendapat yang sudah ada dalam madzhab
tertentu dengan metode qauli maupun manhaji.
Bermadzhab
secara qouly adalah dengan cara mempelajari pokok permasalahan dan
mencari jawabannya dengan mengikuti hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh
Imam madzhab (merujuk kepada kitab - kitab al mu’tabaroh). Sedangkan
bermadzhab secara manhaji adalah apabila dengan metode qouly
tidak dapat menemukan jawaban, maka dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah
hukum yang telah ditetapkan oleh imam madzhab.[14]
Selain
kedua metode diatas, NU juga menggunakan metode ilhaq al masail binadzariha,
yakni menyamakan hukum suatu masalah dengan ketetapan yang telah ada serta
metode istinbath jama’i, yakni ijtihad kolektif untuk memberikan jawaban
atas persoalan – persoalan aktual yang belum ditemukan sama sekali oleh
mujtahid – mujtahid terdahulu.[15]
III. Komisi
Fatwa MUI
Majelis
Ulama Indonesia didirikan 26 Juli 1975/17 Rajab 1395 H oleh Musyawarah Nasional
I Majelis Ulama se-Indonesia di Jakarta. MUI merupakan wadah musyawarah ulama’,
zuama, dan cendekiawan muslim. Majelis ini bertujuan mengamalkan ajaran Islam untuk
ikut serta mewujudkan masyarakat damai, aman, adil dan makmur serta diridloi
Alloh SWT dalam wadah NKRI berkesatuan Pancasila.
Sejak
berdirinya pada tahun 1975, MUI berperan sebagai pemberi fatwa bagi masyarakat
yang membutuhkan. Permintaan fatwa itu bisa berasal dari pemerintah maupun
perseorangan/lembaga. Sejalan dengan hal tersebut, sudah sewajarnya apabila MUI
senantiasa berupaya meningkatkan kualitas peran dan kinerjanya. Pedoman
penetapan fatwa yang ditetapkan berdasarkan SK Dewan Pimpinan Majelis Ulama
Indonesia nomor: U-596/MUI/X/1997 tanggal 2 Oktober 1997 dipandang sudah tidak
memadai lagi. Oleh karena itu MUI mengeluarkan pedoman baru yang cukup sempurna
serta transparan.
Pedoman
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
- Dasar umum dan sifat fatwa
1.
Penetapan
fatwa didasarkan pada Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas serta dalil lain yang mu’tabar.
2.
Aktifitas
penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamai
Komisi Fatwa.
3.
Penetapan
fatwa bersifat responsif, proaktif dan antisipatif.
- Metode penetapan fatwa
1. Sebelum fatwa ditetapkan, ditinjau
terlebih dahulu pendapat para imam madzhab dan ulama yang mu’tabar
tentang masalah yag akan difatwakan beserta dalil – dalinya.
2. Masalah yang telah jelas hukumnya
disampaikan sebagaimana adanya.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafah
dikalangan madzhab, maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan
titik temu diantara pendapat – pendapat ulama madzhab melalui metode al jam’u wa al taufiq, dan jika usaha
tersebut tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan dengan hasil tarjih
melalui metode muqoronah dengan
menggunakan kaidah – kaidah ushul fiqh
muqaran.
4. Dalam masalah yang tidak ditemukan
pendapat hukumnya dikalangan madzhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil
ijtihad jama’i (kolektif) melalui
metode bayani, ta’lili (qiyasi,
istihsani, ilhaqi), isthilahi, dan
sadd al zari’ah.
5. Penetapan fatwa harus didasarkan pada
kemaslahatan umum dan tujuan syari’ah.[16]
IV. Dewan Hisbah Persis
Persatuan Islam didirikan pada 11 September 1923
oleh sekelompok umat Islam yang tertarik pada kajian dan aktifitas keagamaan.
Organisasi ini dimotori oleh dua tokoh utama yaitu H. Zamzam dan H. Mahmud
Yunus. H. Zamzam menghabiskan waktunya dengan belajar tiga setengah tahun di
Dar ‘Ulum Makkah. Sedangkan H. Mahmud Yunus adalah seorang pedagang yang telah
mengenyam pelajaran agama dari kecil. Pada tahun 1924 Ahmad Hasan bergabung.
Beliu adalah seorang yang cerdas dan menguasai berbagai bahasa dan pengetahuan
baik umum maupun agama.
Menjelang tahun 1926 muncul perbedaan – perbedaan
antara kaum tua dan kaum muda sehingga melahirkan perpecahan kelompok dan kaum
tuapun mendirikan organisasi lain yang bernama Permoefakatan Islam. Sedangkan
kelompok sisanya tetap pada Persis. Anggaran dasar Persis adalah pengembangan
Islam berdasarkan Al Quran dan Sunnah serta dakwah dan pendidikan Islam.[17]
Persis menamakan dirinya sebagai organisasi yang
berusaha untuk membela Islam sehingga setiap individu maupun organisasi yang
mereka yakini salah akan ditentang. Mereka hanya menjadikan Al Quran dan Hadis
sebagai sumber utama hukum agama tanpa kumpulan – kumpulan penafsiran yang
telah ada selama dua abad ini. Praktek – praktek keagamaan yang dilakukan oleh
kaum tua dan ulama tradisionalis seperti niat, talqin, penggunaan bahasa Arab
dalam khutbah dianggap sebagai bid’ah.[18]
V. Al
Irsyad
Al Irsyad didirikan setelah Jami’at
Khoir, yaitu organisasi yang didirikan warga keturunan Arab di Jakarta. Organisasi
Al-Irsyad Al-Islamiyyah (secara resminya bernama jam’iyat al-Islah wa al-Irsyad
al-Islamiyyah) didirikan pada tanggal 6 September 1914. Tokoh
yang paling berpengaruh adalah Ahmad Soorketti (Syeikh Ahmad
bin Muhammad Al-Soorkaty al-Anshary) seorang keturunan
Sudan yang melakukan pengembaraan ke Indonesia untuk mengajar di Jami’at Khoir.
Namun karena terjadi ketidakharmonisan antara keduanya, akhirnya beliau keluar
dan mendirikan organisasi baru bersama sahabatnya.
Sejak awal didirikannya, al Irsyad
telah menamakan dirinya sebagai perhimpunan yang memurnikan ajaran tauhid ‘ibadah dan ‘amaliyah Islam
serta kemasyarakatan berdasarkan Al Quran dan Sunnah. Untuk memahami Al Quran,
al Irsyad berpendirian bahwa pemahaman dapat dilakukan dengan tafsir bin
naqli dan tafsir bir ra’yi. Sedangkan hadits, mereka berpandangan
bahwa hanya sebagian hadits saja yang digunakan untuk menetapkan hukum agama
(hadis mutawatir, shahih dan hadis hasan yang saling mendukung).[19]
Sedangkan dalam ijma’ dan qiyas, mereka berpendapat hanya ijma’ shahabat saja
yang dapat dijadikan sumber hukum agama dan qiyas hanya dapat digunakan untuk
menetapkan masalah yang menyangkut masalah duniawi. Oleh karena itu, terhadap
masalah yang belum ada kepastian hukumnya karena tidak adanya petunjuk yang
tegas dalam Al Quran dan Hadis, organisasi ini berpendirian bahwa hal tersebut
dapat ditetapkan berdasarkan pendapat ahli hukum agama Islam yang berkualitas sebagai
mujtahid.[20]
Dalam
masalah akidah, al Irsyad tidak jauh berbeda dengan umat Islam yang lain yaitu
sebagaimana dirumuskan dalam enam rukun iman. Sedangkan dalam fiqh, mereka
tidak mengikatkan pada madzhab tertentu, akan tetapi berpedoman dengan sumber
utama hukum Islam. Dalam prakteknya, mereka menggunakan Fiqh Sunnah, Bulughul
Maram dan buku fiqh terbitan masjid At Taqwa Surabaya.
IV.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
- epistemologi fiqh adalah bagaimana caranya mengetahui pesan – pesan syara’ yang terdapat dalam Al Quran dan Hadis sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai perbuatan.
- Pada dasarnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural dan telah mengenal Hindu – Budha sebelum Islam masuk. Oleh karena itu, Islam datang harus dengan wajah baru dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.
- Islam itu adalah agama yang fleksibel, dapat berada dalam semua wilayah, termasuk Indonesia. Hukum yang digunakannya pun dewasa ini diadaptasikan kebudaya Indonesia (disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia). Terhadap masalah – masalah yang baru yang belum ada ketegasan hukum dalam al Quran da Hadis, dilakukan jalan ijtihad.
V.
SARAN/KRITIK
Demikianlah
makalah ini kami buat, kami yakin masih banyak kesalahan yang terdapat dalam
penulisan makalah ini karena memang itu adalah keterbatasan kami dan tidak ada
manusia yang sempurna, hanya Dialah Yang
Maha Sempurna. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun selalu kami
nantikan demi perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfa’at, bagi penulis khususnya serta bagi para pembaca pada umumnya. Amin
ya Robb al ‘alamin.
[1] id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi
[2] Danusiri, Epistemologi Syara’(Mencari Format Baru Fiqh
Indonesia), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000), hal. 45-47.
[3] http://zaennury.blogspot.com/2011/05/epistimologi-hukum-islam-di-indonesia.html
[4] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam
Indonesia dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 22-23.
[5] Idem, hal. 66-89.
[6] Idem, hal.89-94.
[7] Idem, hal. 97-98.
[8] Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan
Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hal. 3-4 dan 28-92.
[9]https://docs.google.com/viewer?a=v&pid=sites&srcid=ZGVmYXVsdGRvbWFpbnxtdWhhbW1hZGl5YWhzdHVkaWVzfGd4OjJiNmQxNDgwOTljNThmOGU&pli=1
Keterangan lebih lengkapnya dapat
dilihat di buku Manhaj Tarjih
Muhammadiyah hal. 113-141.
[10] Idem.
[11] Imam Yahya, Dinamika Ijtihad NU, (Semarang:Walisongo
Press, 2009), hal. 1-4.
[12] Idem, hal.39-40.
[13] Idem, hal. 46-48.
[14] Idem, hal. 49.
[15] Idem, hal. 114.
[16] Majelis Ulama Indonesia,
Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, (Jakarta:Erlangga, 2011), hal. 3-8.
[17] Howard M. Federspiel, Persatuan
Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (Persatuan Islam:
Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX), penerj. Yudian W, Asmin dan Afandi
Mochtar, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996), hal. 14-18.
[18] Ibid, hal. 31-91.
[19] Moh. Amaluddin, Organisasi
Al Irsyad di Kabupaten Banyuwangi, (Semarang:Balai Penelitian Aliran
Kerohanian/Keagamaan,1995), hal.28-29.
[20] Idem, hal. 29-30.
Komentar