urf dan urgensinya


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR  BELAKANG
Para ulama’ telah  sepakat  bahwa  segala  tindakan manusia, baik berupa   ucapan  maupun  perbuatan, dalam  hal ibadah  maupun  mu’amalah,  berupa  tindakan  pidana   maupun   perdata,  masalah  akad  ataupun  pengelolaan, dalam  syariat  Islam  semuanya   masuk  dalam wilayah   hukum.  Hukum – hukum  itu    sebagian   ada  yang  dijelaskan  oleh  al  Qur an  dan  as  Sunnah  dan sebagian  tidak.   Tetapi  syariat  Islam  telah  menetapkan  dalil  dan tanda  - tanda  tentang  hukum  yang  dijelaskan oleh keduanya,  sehingga  seorang  mujtahid  dengan dalil  dan  tanda  -  tanda  hukum  itu  dapat  menetapkan  dan   menjelaskan  hukum  -  hukum  yang  tidak   dijelaskan  tersebut   dan terbentuklah  ilmu  fikh.[1]
Dalil  yang  dapat  diambil sebagai  hukum syariat  yang  sebangsa perbuatan  itu  ada  empat  yaitu al Quran, as Sunnah, al Ijma’  dan Qiyas. Namun segala   sesuatu  yang telah   menjadi  suatu   kebiasaan  dan kesepakatan serta  diakui   kebenarannya juga  tidak  dapat   dihilangkan begitu   saja.  Apalagi  hal  tersebut  mengandung unsur  mashlahah.   Oleh  karena  itu  para  ulama’  juga memberikan  pertimbangan  terkait kebiasaan  yang berlaku tersebut  dengan  memberikan  batasan  - batasan  yang  sesuai   dengan   kaidah  -  kaidah yang terkandung dalam al  Quran  dan  as  Sunnah.  Namun ‘urf  juga  tidak  bisa  selamanya dipakai dalam  konteks yang  sama  dikarenakan  perkembangan zaman  yang  selalu   mengalami  perubahan  dari  masa   ke  masa (taghoyyurul  ahkam bitaghoyyuril  azminah  wal amkinah).



B.      RUMUSAN  MASALAH
Sebelum makalah ini kami susun, terlebih dahulu kami  rumuskan  masalah  dalam pembahasan ini sebagai berikut:
1.      Apakah  definisi ‘urf ?
2.      Bagaimana pandangan ulama’ mengenai ‘urf, adat dan ijma’?
3.      Bagaimana pembagian ‘urf ?
4.      Bagaimana kehujjahan ‘urf ?
5.      Bagaimana relevansi ‘urf ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    DEFINISI   ‘URF
Menurut ulama fikih urf merupakan  bagian  dari  dalil  -  dalil  syar’i,  sehingga  ‘urf  sering dijadikan sebagai  dasar  hukum  untuk  beberapa cabang hukum  fikih,  khususnya hal  -  hal   yang   berkenaan   dengan  sumpah,  nadzar dan  tholak.[2]
Secara etimologi, kata ‘urf berasal dari lafadz ‘arofa,ya’rifu, ‘urfan yang berarti mengenal atau mengerti.[3] Seringpula diartikan al ma’ruf yang berarti yang dikenal atau yang dianggap baik.
Sedangkan secara terminologi, para ulama’ dan ilmuan menyebutkan dengan redaksi yang berbeda – beda.
Dalam  kitab  Ushul al Fiqh  Al  Islamiy  disebutkan  bahwa   ‘urf   adalah sesuatu  yang  telah  menjadi  kebiasaan manusia  dan  dijalankan baik berupa pekerjaan atau  perkataan  yang  diketahui   keumumannya.[4]
 العرف هو ما اعتاده الناس و ساروا عليه من كل فعل شاع او لفظ تعارفوا إطلاقه  
Ustadz Abdul Wahab Khollaf memberikan definisi bahwa ‘urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh masyarakat dan telah dijalankan baik hal itu berupa ucapan, perbuatan ataupun larangan. [5]
من قول او فعل او ترك ما تعارفه الناس و ساروا عليه
Nasrun Rusli menyebutkan bahwa ‘urf  ialah  sesuatu  yang  telah dibiasakan  oleh  manusia  dan  mereka  telah menjalaninya  dalam berbagai   aspek  kehidupan .[6] Satria Efendi mengungkapkan sebagaimana  yang dikemukakan  oleh   Abdul  Karim  Zaidan ,   istilah  ‘urf   berarti :
 ما ألفه المجتمع و اعتاده و سار في حياته من اقوال أو فعل
yakni sesuatu yang sudah tidak  asing  lagi  bagi  suatu  masyarakat  karena telah   menjadi  kebiasaan  dan  menyatu dengan kehidupan mereka baik  berupa  perbuatan  atau  perkataan.[7]  
Dari berbagai pandangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ‘urf adalah sesuatu (ma) yang telah mentradisi dan diakui dikalangan masyarakat baik berupa ucapan atau perbuatan, baik atau buruk.

B.     ‘URF, ADAT DAN IJMA’
Dalam disiplin/literature  ilmu Ushul Fiqh, pengertian adat (al-‘âdah) dan ‘urf  mempunyai peranan yang cukup signifikan. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Kata ‘urf berasal dari kata ‘araf yang mempunyai derivasi kata al-ma‘rûf yang berarti sesuatu yang dikenal/diketahui. Sedangkan kata adat berasal dari kata ‘âd yang mempunyai derivasi kata al-‘âdah yang berarti sesuatu yang diulang-ulang (kebiasaan).[8]
Ulama berbeda pandangan mengenai ‘urf dan ‘adah. Menurut Ustadz Abdul Wahab Khollaf, tidak  ada perbedaan antara ‘urf  dan  adah. Adat  perbuatan,  seperti  kebiasaan  umat   manusia  dalam  melakukan  jual beli   dengan  tukar - menukar  secara  langsung, dengan  hanya  menerima  barang dan  menyerahkan  harga tanpa bentuk  ucapan  akad. Adat  ucapan,  seperti  kebiasaan manusia menyebut al walad  sebagai anak laki -  laki, bukan anak perempuan,  tidak  mengucapkan  daging  untuk  ikan.  Adat terbentuk  dari kebiasaan  manusia menurut derajat mereka,  secara  umum  maupun  tertentu.[9]
Begitu juga halnya dengan Dr. Wahbah Zuhaily, beliau menyebutkan bahwa ‘urf dan adat adalah sinonim dengan mengutip pendapat  Abdulloh bin Ahmad an Nasfy dan syarah at Tahrir.[10]
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa adat merupakan sebuah kecenderungan baik berupa ucapan maupun perbuatan pada suatu obyek yang terulang – ulang baik dilakukan oleh pribadi maupun kelompok. Sedangkan ‘urf adalah sebuah kebiasaan yang telah melekat pada jiwa – jiwa manusia dan bisa diterima oleh akal.[11]
Dari berbagai pandangan diatas, penyusun lebih condong kepada pendapat yang menyebutkan bahwa ‘urf dan adat bukan sinonim. Adat menyimpan makna yang lebih umum daripada ‘urf karena didalamnya tercakup kebiasaan individu maupun kelompok (mayoritas). Sedangkan ‘urf  hanya berkenaan dengan perkara yang telah disepakati/dijalankan oleh masyarakat.
Kemudian bagaimana pandangan tentang ‘urf dan ijma’?
Secara  sepintas,  kita  akan  melihat seolah – olah ada  persamaan  antara  ijma’  dan ‘urf, karena  keduanya  sama – sama  ditetapkan  dan  tidak ada  yang  menyalahinya.  Perbedaannya  adalah  dalam ijma’  ada suatu  peristiwa  atau   kejadian yang  perlu  ditetapkan  hukumnya.  Oleh  karena  itu  para  mujtahid  membahas  dan  menyatakan pendapatnya,  ternyata  pendapatnya  tersebut  sama  (disepakati)  oleh  mujtahid yang  lain.  Sedang  ‘urf   adalah  telah  terjadinya  peristiwa  atau kejadian,  kemudian  beberapa  orang  anggota  masyarakat menetapkan  pendapat  dan  melaksanakannya. Hal  ini  dipandang  baik pula oleh  anggota  masyarakat  yang lain,  lalu merekapun  mengerjakannya. Karena  frekuensi  pengerjaan  yang  sering  sehingga  lama  kelamaan  menjadi  hukum yang  tidak  tertulis  yang  telah  berlaku  diantara  mereka. Pada  ijma’,  masyarakat  melaksanakan  suatu   pendapat  karena  para  mujtahid  telah  menyepakatinya,  sedangkan  ‘urf,  masyarakat  mengerjakannya   karena  telah  menjadi  kebiasaan dan memandang  baik.[12]  Dr. Wahbah az Zuhaily  menyebutkan  bahwa  ijma’  terbentuk  karena  kesepakatan  mujtahid  ummat,  sedangkan  dalam ‘urf   tidak  disyaratkan   adanya  kesepakatan,  akan  tetapi  cukup  dilakukan  oleh orang  banyak  baik   umum  ataupun  khusus.[13]
إن الإجماع مبناه اتفاق مجتهدى الأمة , اما العرف فلا يشترط فيه الإتفاق وانما يكفى فيه سلوك الأكثرية بما فيهم العـوام و الخواص

C.     MACAM  -  MACAM  ‘URF
‘Urf  dapat  dibagi  menjadi  beberapa  bagian, baik  dalam  segi   sifatnya,  diterima  atau  tidaknya  dan  segi  ruang  lingkupnya.  Dalam  segi  sifatnya,  ‘urf   terbagi   atas:
a.       ‘Urf  Qauly, ialah  ‘urf  yang  berupa  perkataan,  seperti  perkataan walad, menurut  bahasa  berarti  anak,  termasuk   didalamnya  anak laki  -  laki   dan  anak  perempuan. Tetapi  dalam  percakapan sehari – hari biasa  diartikan  dengan  anak laki -  laki  saja. Begitu  juga  dengan lahmun (daging), menurut  bahasa  berarti  daging,  termasuk didalamnya segala macam  daging, seperti daging binatang  darat  dan  daging ikan. Tetapi  dalam  percakapan sehari – hari hanya berarti daging binatang darat saja, tidak termasuk  didalamnya binatang air.[14]
b.      ‘Urf ‘amaly, yakni ‘urf  yang berupa perbuatan. Seperti kebiasaan jual – beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighot akad jual – beli. Padahal menurut syara’, shighot  jual – beli itu merupakan salah satu rukun  jual – beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dalam melakukan  jual – beli tanpa adanya shighot, dan tidak terjadi hal – hal yang tidak diinginkan, maka syara’ memperbolehkannya.[15]
Urf dalam segi diterima atau tidak dibagi atas:
a.       ‘Urf shohih, ما تعارفه الناس ولا يخالف دليلا شرعيا و لا يحـل محرما و لا يبطل واجبا[16], yakni segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan orang – orang pada umumnya, tidak bertentangan dengan syara’ serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, hal ini dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’. Begitu juga kebiasaan memberikan nafkah bagi anak istri. Dalam memberikan nafkah tidak ditentukan berapa besar kadar nafkah yang harus diberikan. Akan tetapi ini dilihat dari bagaimana kebiasaan yang berlaku pada umumnya dalam suatu masyarakat seberapa besar nafkah yang harus diberikan serta disesuaikan dengan kemampuan suami. Ini adalah aplikasi daripada ayat dari surat Al Baqoroh ayat 233:  
artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.[17]

b.      ‘Urf fasid,ما تعارفه الناس ولكـنه يخالف الشرع او يحل المحرم او يبطل الواجب,[18] yakni segala sesuatu yang telah diketahui oleh masyarakat, tidak baik dan tidak diterima karena bertentangan dengan syara’. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau sebuah tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.[19]
Sedangkan ‘urf ditinjau dari segi ruang lingkupnya terbagi atas:
a.       ‘Urf ‘am (adat kebiasaan umum), ما يتعارفه غالبية أهل البلدان فى وقت من الأوقات,[20] yakni adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di satu masa. Seperti adat kebiasaan yang berlaku di beberapa negeri dalam memakai ungkapan “ engkau telah haram aku gauli “ kepada istrinya sebagai ungkapan dari pernyataan menjatuhkan talak, serta kebiasaan menyewa kamar mandi tanpa menentukan secara pasti lamanya mandi dan berapa kadar air yang digunakan.[21]
b.      ‘Urf khos (adat kebiasaan khusus), ما يتعارفه أهل بلدة او إقليم او طائفة معينة من الناس,[22] yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu. Seperti kebiasaan masyarakat Iraq dalam menggunakn kata ad dabbah hanya kepada kuda, dan menganggap catatan jual beli yang ada dipihak penjual sebagai bukti yang sah dalam masalah utang piutang.[23]

D.    KEHUJJAHAN ‘URF
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid (adat kebiasaan yang salah) untuk dijadikan landasan hukum karena sudah jelas bahwa ‘urf fasid itu menyalahi apa yang telah ditetapkan oleh syara’ serta dapat merusak hukum syara’. Pembicaraan selanjutnya adalah tentang ‘urf shohih. Menurut hasil penelitian al Tayyib Khudari al Sayyid, guru besar Ushul Fiqh di Universitas al Azhar Mesir dalam karyanya al Ijtihad fi ma la nassa fih, bahwa madzhab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyyah dan kalangan Malikiyyah dan selanjutnya oleh kalangan Hanabillah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya pada prinsipnya madzhab – madzhab besar fiqh tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan diantara madzhab – madzhab tersebut, sehingga ‘urf dimasukkan dalam kelompok dalil – dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.[24]
‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan, antara lain:
1.      Berdasarkan ayat dari surat al A’raf ayat 199;
خذ العـفـو وأمر بالعرف و اعـرض عن الجاهلين
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (‘urf) serta berpalinglah dari orang – orang yang bodoh.
Kata ‘urf  disini, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh para ulama ushul fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik dan telah menjadi tradisi masyarakat.
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن و ما رآه المسلمون سيئا فهو عند الله سيئ.
2.      Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik selama tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasululloh. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Sebagaimana adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dengan cara berbagi untung (al mudarabah). Praktik seperti ini sudah berkembang dikalangan bangsa Arab sebelum Islam.
Berdasarkan kenyataan ini, para ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum bilamana memenuhi beberapa persyaratan.
Adapun syarat – syarat ‘urf dapat dijadikan landasan hukum adalah sebagai berikut :
1.      ‘Urf  itu harus termasuk ‘urf yang shohih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran Al Quran dan Sunnah Rasulullah, misalnya, kebiasaan disatu negeri bahwa sah mengembalikan harta amanah kepada istri atau anak dari pihak pembeli atau pemilik amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan pegangan jika terjadi tuntutan dari pihak pemilik harta itu sendiri.
2.      Urf  itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negeri itu.
3.      Urf  itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang mewakafkan hasil kebunnya kepada ulama, sedangkan yang disebut ulama waktu itu adalah hanya orang yang mempunyai pengetahuan agama tanpa adanya persyaratan harus memiliki ijazah, maka kata ulama dalam pernyataan wakaf itu harus diartikan dengan pengertiannya yang sudah dikenal pada waktu itu, bukan dengan pengertian ulama yang menjadi popular kemudian setelah ikrar wakaf terjadi.
4.      Tidak ada ketegasan dari pihak – pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan urf. Misalnya adat yang berlaku dalam suatu masyarakat, seorang istri belum boleh dibawa oleh suami pindah dari rumah orang tuanya apabila suami belum melunasi maharnya, namun ketika berakad kedua belah pihak telah sepakat bahwa sang istri sudah boleh dibawa oleh suaminya tanpa adanya persyaratan terlebih dahulu melunasi maharnya. Dalam masalah ini, yang dianggap berlaku adalah kesepakatan itu, bukan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut.[25]

E.     KERELEVANAN ‘URF
Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum, memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab disamping banyak masalah – masalah yang tidak tertampung oleh metode – metode lainnya, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah bilamana ‘urf tersebut berubah. Inilah yang dimaksud oleh para ulama bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat  “ تغير الأحكام بتغير الأزمان و الأمكنة . Maksudnya adalah, hukum yang pada mulanya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.[26] Misalnya sifat adil adalah syarat diterimanya kesaksian seseorang berdasarkan firman Alloh dalam surat at Tholaq ayat 2,
  وأشهدوا ذوى عدل منكم وأقيموا الشهادة لله
...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.[27]
Ayat tersebut berbicara tentang keadilan bagi seseorang yang hendak merujuk istrinya yang telah ditalak tiga kali. Syarat kesaksian yang diterima seperti yang tercantum dalam ayat tersebut adalah bersifat adil, yaitu suatu sifat yang dimiliki oleh seseorang yang mampu membawanya untuk menaati agama Alloh dan menjaga harga diri.
Dalam setiap daerah ataupun peradaban, kadar bagi sifat adil ini memiliki perbedaan antara satu tempat dengan tempat lain, dan dalam suatu masa ke masa yang lain. Misalnya didaerah A, ukuran adil ditentukan dengan selalu berbuat baik, di daerah B ditentukan dengan tidak pernah berbohong sedang di daerah C, kadar tersebut ditentukan dengan seringnya beribadah. Hal inilah yang dimaksud dengan perbedaan ‘urf tersebut.
Hukum Islam hendaklah mempertimbangkan perbedaan pandangan tersebut. Demikian juga dalam memahami ayat – ayat yang bersifat global, perlu mempertimbangkan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku disuatu tempat.
  
BAB III
PENUTUP
I.              KESIMPULAN
Salah satu sumber yang dipakai untuk penetapan hukum adalah ‘urf. ‘Urf adalah sesuatu yang telah menjadi tradisi dan disepakati dalam masyarakat. Para ulama berbeda pendapat tentang ‘urf dan adat. Sebagian ulama menyatakan bahwa keduanya adalah sinonim dan sebagian lain menyatakan berbeda. Sedangkan ‘urf dan ijma’ para ulama sepakat bahwa keduanya berbeda.Namun tidak semua ulama’ sepakat menggunakan ‘urf sebagai acuan sehingga perlu ditetapkan syarat – syarat agar ‘urf dapat dijadikan landasan hukum antara lain:
1.      Harus berupa ‘urf yang shohih
2.      Bersifat umum
3.      Sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf.
4.      Tidak ada ketegasan yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut.
‘Urf  juga dapat berubah dikarenakan perubahan zaman dan tempatnya. Oleh karena itu para mujtahid perlu memperhatikan pandangan tersebut sebelum menetapkan suatu hukum agar hukum itu bisa diterima masyarakat secara umum.

II.           SARAN
Demikianlah makalah ini kami buat, kami yakin masih banyak kesalahan yang terdapat dalam penulisan makalah ini karena memang itu adalah keterbatasan kami dan tidak ada manusia yang sempurna, hanya Dialah Yang  Maha Sempurna. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun selalu kami nantikan demi perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfa’at, bagi penulis khususnya serta bagi para pembaca pada umumnya. Amin ya Robb al ‘alamin.


[1] Abdul  Wahab  Khallaf,  Ilmu  Ushul Fikih  (Kaidah  Hukum Islam),Penerj.: Faiz el Muttaqin,(Jakarta:  Pustaka  Amani,2003),hal. 1.
[2] Wahbah al Zuhaily, Ushul  al Fiqh al Islamy, (Damaskus: Dar al Fikri,1986), hal. 828.
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,(Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,2009),hal. 264.
[4]  Wahbah al Zuhaily, Ushul al Fiqh  al Islamy, (Damaskus: Dar al Fikri,1986), hal.828.
[5] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al Fiqh,(Indonesia: Haromain,2004),hal. 89.
[6] Nasrun Rusli, Konsep  Ijtihad  al  Syaukani   Relevansinya  bagi  Pembaharuan   Hukum  Islam  di Indonesia,(Ciputat:  PT. Logos  Wacana  Ilmu,1999),  hal  34.
[7] Satria  Effendi  M  Zein, Ushul  Fiqh, (Jakarta:  Kencana  Pernada  Media  Group, 2009), hal. 153.
[8] Dida Darul Ulum dan Morhani,http://adat-dan-urf.html,29 April 2007,09.46.
[9] Abdul Wahab  Khallaf,  Ilmu  Ushul Fikih  (Kaidah  Hukum Islam),Penerj.: Faiz el Muttaqin,(Jakarta:  Pustaka  Amani,2003), hal. 117.
[10] Wahbah al Zuhaily,Op.Cit.,hal. 828-829.
[11] Ibnu Husnan Manshur, Al Tsamarot Al Mardliyah Bisyarhi Al Faroidu Al Bahiyyah, (Jombang: Pustaka Al Mardliyyah,2008), hal. 84-85.
[12] A.Hanafi,Op.cit,  hal. 150.
[13] Wahbah  al   Zuhaily,  Ushul   al Fiqh  al   Islamy,   (Damaskus:  Dar al   Fikri,1986),hal.829.
[14] A. Hanafi, Ushul  Fikih, (Jakarta:  Wijaya,1959),  hal.  151.
[15] Idem, hal. 151.
[16] Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Ushul al Fiqh, (__: Majlis al A’la al Indunisiy li ad Da’wah al Islamiyyah,1986),hal. 89.
[17] Al Quran dan Terjemahnya, Kudus :Menara Kudus, 2006.
[18] Abdul Wahab Khollaf,Op.cit, hal. 89.
[19] A. Hanafi, Ushul  Fikih, (Jakarta:  Wijaya,1959),  hal.  151.
[20] Wahbah  al  Zuhaily, Ushul  al Fiqh  al  Islamy,  (Damaskus:  Dar al   Fikri,1986), hal.829.
[21] Satria  Effendi  M  Zein,  Ushul  Fiqh, (Jakarta:  Kencana  Pernada  Media  Group, 2009),hal. 154.
[22] Wahbah al Zuhaily,Op.cit, hal 830.
[23] Satria Efendi M Zein,Op.cit, hal.154.
[24] Idem,hal. 155.
[25] Idem,hal. 156 – 157.
[26] Satria  Effendi  M  Zein,  Ushul  Fiqh, (Jakarta:  Kencana  Pernada  Media  Group, 2009),hal. 157-158.
[27] Al Quran dan Terjemahnya, Kudus : Menara Kudus,2006.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaidah ghoiru asasiyah

ringkasan Nahwu

AKHLAK TERHADAP TEMAN SEBAYA